Leon dan Kenji (Buku 1)

Chapter 24 Keluarga Kenji

Published

on

Hingga menjelang pekan UAS tiba, kami bertiga -aku, Kenji, dan Yuri- selalu menyempatkan diri untuk belajar sepulang sekolah di kelas, kecuali jika ibu Yuri mendapatkan pesanan yang cukup banyak. Teman-teman yang lain terkadang juga ikut apabila sedang tidak memiliki jadwal les. Walaupun aku sering menyombongkan diri dengan kemampuan otakku, motor dari gerakan ini adalah Kenji yang begitu lihai dalam menjelaskan, sesuatu yang jelas butuh aku pelajari lagi.

Ada yang harus dikorbankan untuk kegiatan ini, alokasi waktu untuk mengajar Gisel menjadi berkurang, bahkan terkadang hilang sama sekali. Untunglah adikku pengertian, dan mau menggeser jam bertanyanya malam hari. Kenji pun menjadi tidak sesering dulu mampir ke rumah. Apa daya, demi kesuksesan teman-teman satu kelas, ada satu dua hal yang tidak bisa dihindari.

Ketika melihat wajah-wajah teman yang sumringah karena paham setelah penjelasan Kenji, aku merasa ikut bahagia pula walaupun tidak melakukan apa-apa. Rasanya begitu menyenangkan apabila kita bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain. Inilah kepingan puzzle yang sempat hilang dariku, kepingan yang sempat hilang dan meninggalkan lubang menganga di hatiku. Jelas selama bertahun-tahun ‘membuat bahagia orang lain’ tidak pernah ada dalam tujuan hidupku.

“Le, kok malah ngelamun? Gita tanya tuh soal biologi, aku masih menjelaskan algoritma ke Yuri.”

Dasar tukang pemotong lamunan, batinku, mengingat betapa seringnya Kenji merusak momenku. Maka dengan sedikit senyum sebal aku berusaha menjawab pertanyaan Gita, yang tempat lesnya libur karena sang guru les memiliki keperluan ke luar kota.

Setelah menjawab beberapa pertanyaan dari Gita, ia bertanya beberapa hal tentang Gisel.

“Le, kenapa orangtuamu memutuskan Gisel untuk homeschooling?”

Sempat terdiam beberapa detik untuk menguasai keadaan, aku berusaha untuk menjawabnya sejujur mungkin.

“Sebenarnya aku yang memutuskan hal tersebut.”

“Lo kenapa? Memang ke mana orangtuamu?”

Ah tidak, emosi mulai memanjat naik ke ubun-ubun, semoga Kenji mendengar percakapan kami sehingga aku tidak perlu menjawab pertanyaan yang kubenci ini. Kulirik Kenji, ia nampak fokus mengajar Yuri. Tidak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya ke Gita, tapi aku juga tidak bisa menjawabnya dengan kebohongan, walaupun itu sering kulakukan ketika masa-masa awal sekolah.

“Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.”

Aku rasa Gita cukup bijak untuk tidak bertanya lebih lanjut, namun aku merasa sedikit-sedikit masalah keluargaku mulai terkuak secara perlahan. Ada perasaan takut bahwa teman-temanku akan menjauhi diriku setelah mengetahui betapa berantakan kehidupan keluargaku.

***

Sepulang sekolah, ketika matahari sudah berada di sudut yang cukup membuat langit redup, aku menghampiri Gisel yang sedang membaca di kamarnya. Pertanyaan Gita hari ini membuatku ingin bertanya sesuatu kepada adikku.

“Gisel.”

“Eh kakak, kebetulan ada yang mau Gisel tanyakan ke kakak.”

“Sebentar Gisel, kakak juga ada pertanyaan buat Gisel.”

“Apa kak?”

Dengan berdeham sedikit untuk melemaskan tenggorokan, maka keluarlah pertanyaan tersebut.

“Apa Gisel tidak mau sekolah seperti anak-anak seumuran Gisel?”

Dengan memainkan pensil sambil menerawang ke atas seolah sedang menimbang-nimbang jawaban, adikku menjawab.

“Sebenarnya Gisel pengen sih, tapi mau gimana lagi, Gisel udah berapa kali ditolak sama sekolah. Gisel pengen punya temen-temen yang baik kayak temen-temen kakak.”

“Kita coba lagi ya tahun depan, kakak belum tahu caranya, tapi kakak akan cari tahu. Sampai saat itu, Gisel belajar sendiri sama kakak ya.”

“Iya kak terima kasih.” jawab Gisel sambil memamerkan giginya yang baru saja tanggal.

Kakak janji Gisel, kakak akan membuatmu sekolah lagi, kakak akan berusaha cita-citamu sebagai guru tercapai. Kakak janji.

***

Pekan UAS akhirnya telah selesai, dan aku cukup percaya diri dengan hasilnya. Selama ini aku belajar dengan tekun, ditambah lagi dengan mengajari teman-teman sekelas yang sejatinya memperkuat pendalamanku terhadap materi-materi ujian. Karena ada sedikit waktu untuk bersantai, aku memutuskan untuk mengajak Gisel ke rumah Kenji. Ini merupakan pertama kali aku mengajak adikku ke rumah sederhana tersebut dan Gisel merasa sangat antusias.

“Wah, ini ya rumahnya kak Kenji. Imut kak rumahnya!” seru adikku begitu kami berdua tiba di rumah Kenji. Belum sempat mengetuk pintu, Kenji sudah membukakan pintu, mungkin karena mendengar suara Gisel.

“Hai Gisel, selamat datang di rumah mungilku. Maaf ya kalau rumahnya sempit, tapi banyak bukunya kok, hahaha.” kata Kenji lembut kepada adikku.

Mendengar hal tersebut, adikku langsung masuk ke dalam rumah Kenji menuju rak buku. Luar biasa, aku berada di antara orang-orang yang haus bacaan. Terkadang aku merasa kecil bila berada di sekitar mereka.

“Jangan melamun terus Le, itu Gisel sudah masuk. Kamu mau disini saja atau duduk menenggak teh manis? Hehehe.” tangan Kenji yang melambai-lambai di depan wajahku membuatku tersadar dari lamunanku lagi. Kuturuti perkataan Kenji, karena aku sangat menyukai teh buatannya.

Begitu aku memasuki rumahnya, terlihat olehku di sudut sana adikku sudah tenggelam di dalam buku-buku. Entah buku apa yang dibaca, tapi ia nampak serius sekali. Penasaran, kudekati dia.

“Gisel, baca apa?”

“Ini kak, judulnya Ensiklopedia Fisika. Gisel sudah pernah membaca sekilas tentang planet-planet, tapi di buku ini lebih lengkap, Gisel jadi semangat ingin membacanya.”

Luar biasa sekali adikku ini. Mungkin suatu saat dia akan hapal berapa diameter tiap-tiap planet, apa nama bulan-bulan di planet lain, dan berapa waktu yang dibutuhkan planet-planet untuk berevolusi.

“Adikmu tampaknya tertarik dengan dunia luar angkasa. Begitu masuk, matanya langsung menangkap buku ini. Mungkin saja dia akan menjadi astronot, hoho.” gumam Kenji dengan membawakan tiga cangkir teh manis.

“Cita-cita Gisel guru bukan? Mungkin yang lebih realistis adalah menjadi guru Fisika.”

“Ah, kamu masih susah diajak bercanda ya Le.” Kenji menjawab sambil melihat ketekunan Gisel.

Aku memutuskan untuk ikut melihat-lihat koleksi buku Kenji. Satu persatu judul buku aku baca, belum ada yang menarik untukku, hingga ketika aku sampai di rak bawah, kutemukan sebuah buku yang dengan tulisan `Album Keluarga` di sisi buku. Kuambil buku tersebut, dan segera menanyakannya pada Kenji.

“Kenji, ini album keluargamu?”

“Oh, iya Le, itu album keluargaku. Silahkan dilihat, kamu kan belum pernah bertemu dengan keluargaku.”

Gisel menutup ensiklopedianya dan ikut melihat-lihat album ini. Kubuka halaman pertama. Foto di halaman pertama adalah foto sebuah pernikahan. Mempelai prianya bermata sipit, berkulit putih, dan berwajah tampan. Dia terlihat gagah dengan balutan pakaian bernuansa Jawa. Jadi ini ayahnya Kenji.

“Yang ini ayahku Le. Seperti yang kamu tahu, dia keturunan Jepang yang sudah lama tinggal disini. Alasan mereka menggunakan tradisi Jawa adalah ibuku memang asli Jawa. Yang ini adalah ibuku, cantik bukan?”

Orang yang bersanding di sebelah ayah Kenji sangatlah cantik meskipun tidak seberapa tinggi. Beliau terlihat sangat anggun, dan dari sorot matanya tampaknya ia adalah seorang yang penyayang, penyabar dan penuh pengertian. Pantaslah jika Kenji luar biasa baik karena memang orang tua Kenji tampaknya orang baik-baik.

“Iya Kenji, memang cantik.”

“Sayangnya, aku belum pernah bertemu dengan beliau.”

“Kenapa?”

“Bukannya aku pernah cerita ya? Pasti waktu itu kau melamun, hehehe. Baiklah aku akan menceritakan lagi, toh Gisel juga belum mengerti kisahku.”

Kenji menghirup tehnya, menarik nafas dalam-dalam, dan memulai kisahnya,

“Ibuku meninggal sewaktu melahirkan aku. Ayah sering bercerita, hal terakhir yang dilakukan ibuku adalah mencium keningku dan meminta maaf karena tidak memiliki waktu untuk merawatku. Kadang aku ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki ibu, jadi aku selalu menghormati wanita baik tua maupun muda. Mungkin dengan begitu baktiku kepada ibu bisa terbayar.”

Kulirik Gisel, matanya sudah mulai berkaca-kaca.

“Sejak itu, aku hidup bertiga dengan ayah dan kakakku. Aku merasa kasihan dengan ayahku, bebannya terlalu berat waktu itu. Bukan saja merawatku yang masih bayi, tapi juga harus merawat kakakku yang mengalami kelainan mental. Bahkan hartanya pun banyak terkuras hanya untuk berusaha mengobati kakakku. Itulah mengapa rumahku sederhana seperti ini. Sebenarnya dulu ayahku sudah memiliki pekerjaan yang mapan, namun karena harus menjaga kami berdua, dia terpaksa keluar dari pekerjaannya tersebut. Dia tidak rela meninggalkan kami sendirian di rumah. Apalagi, ayah dan ibu sama-sama anak tunggal, dan kakek-nenekku sudah meninggal semua. Jadi aku adalah keturunan Yasuda yang terakhir, hehehe.”

“Ayahmu juga bernama Yasuda?”

“Satoshi Yasuda, itulah namanya. Jadi kamu bisa memanggilku Yasuda junior, hehehe.”

“Mengapa ayahmu tidak menikah lagi? Toh sewaktu ibumu meninggal ayahmu masih lumayan muda.”

“Ayah sangat mencintai ibu. Baginya, hanya ibu satu-satunya wanita yang pantas mendampinginya. Sebenarnya banyak wanita yang mendekati ayah, tapi tidak ada satupun yang bisa menggusur kedudukan ibu.”

Aku merasa sedih dan geram mendegar cerita Kenji. Sedih karena memang kisah Kenji sangat menyedihkan, geram karena kesal ayahku tidak seperti itu. Mengapa ayah kami begitu berbeda? Mengapa orang tua kami sangat berbeda? Apa salahku?

“Sudahlah Gisel, tak perlu menangis seperti itu. Cup cup cup.” hibur Kenji terhadap adikku. Ternyata adikku sudah mengeluarkan air matanya dan mulai terisak dengan keras.

“Padahal aku belum selesai cerita bagian ketika ayah dan kakakku meninggal lho.”

“Jika kau tidak ingin bercerita, aku tidak memaksa.”

“Tidak Le, aku sangat senang bisa berbagi kisah seperti ini.”

“Kau ingin melanjutkan ceritamu?”

“Tentu.”

Kenji kembali menegak teh miliknya.

“Sekitar satu minggu sebelum hari pertama MOS, kakakku entah tanpa sengaja atau tidak, menusukkan sebilah pisau ke lehernya sendiri ketika ayahku tengah beristirahat. Tentu saja kakakku berteriak hingga ayahku terbangun. Dengan membawa mobil pinjaman, beliau membawa kakakku ke rumah sakit. Tapi karena Allah berkehendak lain, maka mereka berdua diambil nyawanya di jalanan. Mereka mengalami kecelakaan. Keduanya tewas seketika. Mobilnya remuk tak karuan. Sejak itulah aku hidup sebatang kara di gubuk ini.”

Tangis Gisel yang tadi sudah mereda, kembali menggelegar.

“Untunglah para tetanggaku adalah orang-orang yang baik. Mereka membantu pemakaman mereka berdua. Dan tentu saja para tetanggaku tahu kalau aku tinggal sendirian. Ada beberapa tetanggaku yang menawarkan untuk mengasuhku, namun aku menolak mereka dengan halus. Bukannya tidak menghargai tawaran mereka, hanya saja aku takut diriku menjadi beban mereka. Akhirnya, aku memutuskan untuk melamar kerja sebagai loper koran karena ayahku memiliki kenalan seorang agen penjualan koran. Lumayanlah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar kerusakan mobil tetanggaku.”

“Apa? Jadi mobil yang rusak itu kau harus menggantinya?”

“Tentu saja Le, keluargaku yang merusaknya, tentu saja aku yang harus menggantinya.”

“Tapi tidak mungkin seorang anak yang hidup sendirian sepertimu mengganti sebuah mobil.”

“Kalau kita berusaha, pasti bisa Le. Bantuan juga pasti datang tanpa kita minta.”

“Bantuan dari siapa?”

“Tentu saja dari Allah.”

Aku segera terdiam kembali. Sungguh menyedihkan kisah Kenji. Bahkan jika saja aku tidak memiliki rasa malu, aku akan menangis sekarang juga. Tapi rasanya tidak pantas jika Alexander Napoleon Caesar menangis hanya karena mendengar kisah sedih.

“Berarti kejadiannya belum lama kan? Namun mengapa kau bisa seceria ini.”

“Aku tidak ingin membagi perasaan sedihku ke orang lain. Aku hanya ingin memberikan kebahagian untuk orang lain.”

Kenji kembali menegak tehnya, kali ini hingga tersisa ampasnya saja. Mungkin itu tanda ceritanya telah usai.

“Mungkin aku telah kehilangan semua keluargaku, tapi setidaknya aku telah menemukan keluarga baru.”

“Siapa?” tanyaku penasaran.

“Kalian.” jawabnya dengan senyum penuh kebahagiaan.

Akhirnya, air mataku jatuh juga.

***

Setelah bisa menguasai emosiku kembali, aku mengajak Gisel untuk pulang karena malam akan segera tiba. Saat aku berada di ambang pintu, aku melihat Kenji masih memegangi album keluarga tersebut. Aku paham akan alasannya, mungkin dia rindu untuk bertemu dengan keluarganya. Terlihat, dia mengambil salah satu foto keluar dari albumnya dan membaliknya. Entah aku salah lihat atau tidak, namun ekspresi Kenji langsung berubah secara drastis, menjadi tegang dan serius. Hendak aku bertanya kepadanya, ia langsung kembali ke dirinya semula.

“Iya Le, ada yang ketinggalan?” tanyanya dengan senyum sepuluh sentinya.

“Ada masalah? Kenapa ekspresimu berubah?” jawabku dengan pertanyaan pula.

“Tidak, tidak ada apa-apa kok. Kamu salah lihat mungkin. Aku baik-baik saja kok.”

Terdiam aku mendengar kebohongannya. Jelas-jelas tadi wajahnya tegang. Namun aku tidak ingin memperpanjang hal sepele seperti ini. Maka aku membalikkan badan, menyusul Gisel yang sudah berjalan duluan.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version