Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 24 Keluarga Kenji
Hingga menjelang pekan UAS tiba, kami bertiga -aku, Kenji, dan Yuri- selalu menyempatkan diri untuk belajar sepulang sekolah di kelas, kecuali jika ibu Yuri mendapatkan pesanan yang cukup banyak. Teman-teman yang lain terkadang juga ikut apabila sedang tidak memiliki jadwal les. Walaupun aku sering menyombongkan diri dengan kemampuan otakku, motor dari gerakan ini adalah Kenji yang begitu lihai dalam menjelaskan, sesuatu yang jelas butuh aku pelajari lagi.
Ada yang harus dikorbankan untuk kegiatan ini, alokasi waktu untuk mengajar Gisel menjadi berkurang, bahkan terkadang hilang sama sekali. Untunglah adikku pengertian, dan mau menggeser jam bertanyanya malam hari. Kenji pun menjadi tidak sesering dulu mampir ke rumah. Apa daya, demi kesuksesan teman-teman satu kelas, ada satu dua hal yang tidak bisa dihindari.
Ketika melihat wajah-wajah teman yang sumringah karena paham setelah penjelasan Kenji, aku merasa ikut bahagia pula walaupun tidak melakukan apa-apa. Rasanya begitu menyenangkan apabila kita bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain. Inilah kepingan puzzle yang sempat hilang dariku, kepingan yang sempat hilang dan meninggalkan lubang menganga di hatiku. Jelas selama bertahun-tahun ‘membuat bahagia orang lain’ tidak pernah ada dalam tujuan hidupku.
“Le, kok malah ngelamun? Gita tanya tuh soal biologi, aku masih menjelaskan algoritma ke Yuri.”
Dasar tukang pemotong lamunan, batinku, mengingat betapa seringnya Kenji merusak momenku. Maka dengan sedikit senyum sebal aku berusaha menjawab pertanyaan Gita, yang tempat lesnya libur karena sang guru les memiliki keperluan ke luar kota.
Setelah menjawab beberapa pertanyaan dari Gita, ia bertanya beberapa hal tentang Gisel.
“Le, kenapa orangtuamu memutuskan Gisel untuk homeschooling?”
Sempat terdiam beberapa detik untuk menguasai keadaan, aku berusaha untuk menjawabnya sejujur mungkin.
“Sebenarnya aku yang memutuskan hal tersebut.”
“Lo kenapa? Memang ke mana orangtuamu?”
Ah tidak, emosi mulai memanjat naik ke ubun-ubun, semoga Kenji mendengar percakapan kami sehingga aku tidak perlu menjawab pertanyaan yang kubenci ini. Kulirik Kenji, ia nampak fokus mengajar Yuri. Tidak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya ke Gita, tapi aku juga tidak bisa menjawabnya dengan kebohongan, walaupun itu sering kulakukan ketika masa-masa awal sekolah.
“Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.”
Aku rasa Gita cukup bijak untuk tidak bertanya lebih lanjut, namun aku merasa sedikit-sedikit masalah keluargaku mulai terkuak secara perlahan. Ada perasaan takut bahwa teman-temanku akan menjauhi diriku setelah mengetahui betapa berantakan kehidupan keluargaku.
***
Sepulang sekolah, ketika matahari sudah berada di sudut yang cukup membuat langit redup, aku menghampiri Gisel yang sedang membaca di kamarnya. Pertanyaan Gita hari ini membuatku ingin bertanya sesuatu kepada adikku.
“Gisel.”
“Eh kakak, kebetulan ada yang mau Gisel tanyakan ke kakak.”
“Sebentar Gisel, kakak juga ada pertanyaan buat Gisel.”
“Apa kak?”
Dengan berdeham sedikit untuk melemaskan tenggorokan, maka keluarlah pertanyaan tersebut.
“Apa Gisel tidak mau sekolah seperti anak-anak seumuran Gisel?”
Dengan memainkan pensil sambil menerawang ke atas seolah sedang menimbang-nimbang jawaban, adikku menjawab.
“Sebenarnya Gisel pengen sih, tapi mau gimana lagi, Gisel udah berapa kali ditolak sama sekolah. Gisel pengen punya temen-temen yang baik kayak temen-temen kakak.”
“Kita coba lagi ya tahun depan, kakak belum tahu caranya, tapi kakak akan cari tahu. Sampai saat itu, Gisel belajar sendiri sama kakak ya.”
“Iya kak terima kasih.” jawab Gisel sambil memamerkan giginya yang baru saja tanggal.
Kakak janji Gisel, kakak akan membuatmu sekolah lagi, kakak akan berusaha cita-citamu sebagai guru tercapai. Kakak janji.
***
Pekan UAS akhirnya telah selesai, dan aku cukup percaya diri dengan hasilnya. Selama ini aku belajar dengan tekun, ditambah lagi dengan mengajari teman-teman sekelas yang sejatinya memperkuat pendalamanku terhadap materi-materi ujian. Karena ada sedikit waktu untuk bersantai, aku memutuskan untuk mengajak Gisel ke rumah Kenji. Ini merupakan pertama kali aku mengajak adikku ke rumah sederhana tersebut dan Gisel merasa sangat antusias.
“Wah, ini ya rumahnya kak Kenji. Imut kak rumahnya!” seru adikku begitu kami berdua tiba di rumah Kenji. Belum sempat mengetuk pintu, Kenji sudah membukakan pintu, mungkin karena mendengar suara Gisel.
“Hai Gisel, selamat datang di rumah mungilku. Maaf ya kalau rumahnya sempit, tapi banyak bukunya kok, hahaha.” kata Kenji lembut kepada adikku.
Mendengar hal tersebut, adikku langsung masuk ke dalam rumah Kenji menuju rak buku. Luar biasa, aku berada di antara orang-orang yang haus bacaan. Terkadang aku merasa kecil bila berada di sekitar mereka.
“Jangan melamun terus Le, itu Gisel sudah masuk. Kamu mau disini saja atau duduk menenggak teh manis? Hehehe.” tangan Kenji yang melambai-lambai di depan wajahku membuatku tersadar dari lamunanku lagi. Kuturuti perkataan Kenji, karena aku sangat menyukai teh buatannya.
Begitu aku memasuki rumahnya, terlihat olehku di sudut sana adikku sudah tenggelam di dalam buku-buku. Entah buku apa yang dibaca, tapi ia nampak serius sekali. Penasaran, kudekati dia.
“Gisel, baca apa?”
“Ini kak, judulnya Ensiklopedia Fisika. Gisel sudah pernah membaca sekilas tentang planet-planet, tapi di buku ini lebih lengkap, Gisel jadi semangat ingin membacanya.”
Luar biasa sekali adikku ini. Mungkin suatu saat dia akan hapal berapa diameter tiap-tiap planet, apa nama bulan-bulan di planet lain, dan berapa waktu yang dibutuhkan planet-planet untuk berevolusi.
“Adikmu tampaknya tertarik dengan dunia luar angkasa. Begitu masuk, matanya langsung menangkap buku ini. Mungkin saja dia akan menjadi astronot, hoho.” gumam Kenji dengan membawakan tiga cangkir teh manis.
“Cita-cita Gisel guru bukan? Mungkin yang lebih realistis adalah menjadi guru Fisika.”
“Ah, kamu masih susah diajak bercanda ya Le.” Kenji menjawab sambil melihat ketekunan Gisel.
Aku memutuskan untuk ikut melihat-lihat koleksi buku Kenji. Satu persatu judul buku aku baca, belum ada yang menarik untukku, hingga ketika aku sampai di rak bawah, kutemukan sebuah buku yang dengan tulisan `Album Keluarga` di sisi buku. Kuambil buku tersebut, dan segera menanyakannya pada Kenji.
“Kenji, ini album keluargamu?”
“Oh, iya Le, itu album keluargaku. Silahkan dilihat, kamu kan belum pernah bertemu dengan keluargaku.”
Gisel menutup ensiklopedianya dan ikut melihat-lihat album ini. Kubuka halaman pertama. Foto di halaman pertama adalah foto sebuah pernikahan. Mempelai prianya bermata sipit, berkulit putih, dan berwajah tampan. Dia terlihat gagah dengan balutan pakaian bernuansa Jawa. Jadi ini ayahnya Kenji.
“Yang ini ayahku Le. Seperti yang kamu tahu, dia keturunan Jepang yang sudah lama tinggal disini. Alasan mereka menggunakan tradisi Jawa adalah ibuku memang asli Jawa. Yang ini adalah ibuku, cantik bukan?”
Orang yang bersanding di sebelah ayah Kenji sangatlah cantik meskipun tidak seberapa tinggi. Beliau terlihat sangat anggun, dan dari sorot matanya tampaknya ia adalah seorang yang penyayang, penyabar dan penuh pengertian. Pantaslah jika Kenji luar biasa baik karena memang orang tua Kenji tampaknya orang baik-baik.
“Iya Kenji, memang cantik.”
“Sayangnya, aku belum pernah bertemu dengan beliau.”
“Kenapa?”
“Bukannya aku pernah cerita ya? Pasti waktu itu kau melamun, hehehe. Baiklah aku akan menceritakan lagi, toh Gisel juga belum mengerti kisahku.”
Kenji menghirup tehnya, menarik nafas dalam-dalam, dan memulai kisahnya,
“Ibuku meninggal sewaktu melahirkan aku. Ayah sering bercerita, hal terakhir yang dilakukan ibuku adalah mencium keningku dan meminta maaf karena tidak memiliki waktu untuk merawatku. Kadang aku ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki ibu, jadi aku selalu menghormati wanita baik tua maupun muda. Mungkin dengan begitu baktiku kepada ibu bisa terbayar.”
Kulirik Gisel, matanya sudah mulai berkaca-kaca.
“Sejak itu, aku hidup bertiga dengan ayah dan kakakku. Aku merasa kasihan dengan ayahku, bebannya terlalu berat waktu itu. Bukan saja merawatku yang masih bayi, tapi juga harus merawat kakakku yang mengalami kelainan mental. Bahkan hartanya pun banyak terkuras hanya untuk berusaha mengobati kakakku. Itulah mengapa rumahku sederhana seperti ini. Sebenarnya dulu ayahku sudah memiliki pekerjaan yang mapan, namun karena harus menjaga kami berdua, dia terpaksa keluar dari pekerjaannya tersebut. Dia tidak rela meninggalkan kami sendirian di rumah. Apalagi, ayah dan ibu sama-sama anak tunggal, dan kakek-nenekku sudah meninggal semua. Jadi aku adalah keturunan Yasuda yang terakhir, hehehe.”
“Ayahmu juga bernama Yasuda?”
“Satoshi Yasuda, itulah namanya. Jadi kamu bisa memanggilku Yasuda junior, hehehe.”
“Mengapa ayahmu tidak menikah lagi? Toh sewaktu ibumu meninggal ayahmu masih lumayan muda.”
“Ayah sangat mencintai ibu. Baginya, hanya ibu satu-satunya wanita yang pantas mendampinginya. Sebenarnya banyak wanita yang mendekati ayah, tapi tidak ada satupun yang bisa menggusur kedudukan ibu.”
Aku merasa sedih dan geram mendegar cerita Kenji. Sedih karena memang kisah Kenji sangat menyedihkan, geram karena kesal ayahku tidak seperti itu. Mengapa ayah kami begitu berbeda? Mengapa orang tua kami sangat berbeda? Apa salahku?
“Sudahlah Gisel, tak perlu menangis seperti itu. Cup cup cup.” hibur Kenji terhadap adikku. Ternyata adikku sudah mengeluarkan air matanya dan mulai terisak dengan keras.
“Padahal aku belum selesai cerita bagian ketika ayah dan kakakku meninggal lho.”
“Jika kau tidak ingin bercerita, aku tidak memaksa.”
“Tidak Le, aku sangat senang bisa berbagi kisah seperti ini.”
“Kau ingin melanjutkan ceritamu?”
“Tentu.”
Kenji kembali menegak teh miliknya.
“Sekitar satu minggu sebelum hari pertama MOS, kakakku entah tanpa sengaja atau tidak, menusukkan sebilah pisau ke lehernya sendiri ketika ayahku tengah beristirahat. Tentu saja kakakku berteriak hingga ayahku terbangun. Dengan membawa mobil pinjaman, beliau membawa kakakku ke rumah sakit. Tapi karena Allah berkehendak lain, maka mereka berdua diambil nyawanya di jalanan. Mereka mengalami kecelakaan. Keduanya tewas seketika. Mobilnya remuk tak karuan. Sejak itulah aku hidup sebatang kara di gubuk ini.”
Tangis Gisel yang tadi sudah mereda, kembali menggelegar.
“Untunglah para tetanggaku adalah orang-orang yang baik. Mereka membantu pemakaman mereka berdua. Dan tentu saja para tetanggaku tahu kalau aku tinggal sendirian. Ada beberapa tetanggaku yang menawarkan untuk mengasuhku, namun aku menolak mereka dengan halus. Bukannya tidak menghargai tawaran mereka, hanya saja aku takut diriku menjadi beban mereka. Akhirnya, aku memutuskan untuk melamar kerja sebagai loper koran karena ayahku memiliki kenalan seorang agen penjualan koran. Lumayanlah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar kerusakan mobil tetanggaku.”
“Apa? Jadi mobil yang rusak itu kau harus menggantinya?”
“Tentu saja Le, keluargaku yang merusaknya, tentu saja aku yang harus menggantinya.”
“Tapi tidak mungkin seorang anak yang hidup sendirian sepertimu mengganti sebuah mobil.”
“Kalau kita berusaha, pasti bisa Le. Bantuan juga pasti datang tanpa kita minta.”
“Bantuan dari siapa?”
“Tentu saja dari Allah.”
Aku segera terdiam kembali. Sungguh menyedihkan kisah Kenji. Bahkan jika saja aku tidak memiliki rasa malu, aku akan menangis sekarang juga. Tapi rasanya tidak pantas jika Alexander Napoleon Caesar menangis hanya karena mendengar kisah sedih.
“Berarti kejadiannya belum lama kan? Namun mengapa kau bisa seceria ini.”
“Aku tidak ingin membagi perasaan sedihku ke orang lain. Aku hanya ingin memberikan kebahagian untuk orang lain.”
Kenji kembali menegak tehnya, kali ini hingga tersisa ampasnya saja. Mungkin itu tanda ceritanya telah usai.
“Mungkin aku telah kehilangan semua keluargaku, tapi setidaknya aku telah menemukan keluarga baru.”
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Kalian.” jawabnya dengan senyum penuh kebahagiaan.
Akhirnya, air mataku jatuh juga.
***
Setelah bisa menguasai emosiku kembali, aku mengajak Gisel untuk pulang karena malam akan segera tiba. Saat aku berada di ambang pintu, aku melihat Kenji masih memegangi album keluarga tersebut. Aku paham akan alasannya, mungkin dia rindu untuk bertemu dengan keluarganya. Terlihat, dia mengambil salah satu foto keluar dari albumnya dan membaliknya. Entah aku salah lihat atau tidak, namun ekspresi Kenji langsung berubah secara drastis, menjadi tegang dan serius. Hendak aku bertanya kepadanya, ia langsung kembali ke dirinya semula.
“Iya Le, ada yang ketinggalan?” tanyanya dengan senyum sepuluh sentinya.
“Ada masalah? Kenapa ekspresimu berubah?” jawabku dengan pertanyaan pula.
“Tidak, tidak ada apa-apa kok. Kamu salah lihat mungkin. Aku baik-baik saja kok.”
Terdiam aku mendengar kebohongannya. Jelas-jelas tadi wajahnya tegang. Namun aku tidak ingin memperpanjang hal sepele seperti ini. Maka aku membalikkan badan, menyusul Gisel yang sudah berjalan duluan.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login