Pengembangan Diri

Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri

Published

on

Dalam hidupnya, Penulis berusaha untuk bisa berbuat baik sebanyak mungkin ke orang lain. Apalagi, tujuan terbesar dalam hidup Penulis adalah bisa menjadi bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang, termasuk membagikan ilmu-ilmu yang dimiliki.

Namun, belakangan ini Penulis sering melakukan kontemplasi terkait hal ini. Alasannya, Penulis menyadari bahwa terkadang (atau sering?) dirinya masih berbuat baik dengan mengharapkan timbal balik yang bermacam-macam.

Gejolak dalam diri pun muncul: Jika tidak bisa berbuat baik dengan ikhlas, apakah lebih baik tidak berbuat sama sekali saja? Pertanyaan ini semakin sering muncul di kepala, ketika menyadari bahwa berbuat baik bisa sangat dekat dengan sifat manipulatif.

Berbuat Baik Itu Ternyata Bisa Bersifat Manipulatif

Ketika mempelajari tentang sifat manipulatif, Penulis telah menemukan beberapa ciri yang sudah dijabarkan pada tulisan sebelumnya. Dalam daftar tersebut, Penulis sudah menuliskan salah satu cirinya, yaitu “Berbuat baik (secara tidak ikhlas) dan sering mengungkitnya“.

Pada saat itu, Penulis menganggap bahwa tidak ikhlas di sini berarti kita berharap balasan seperti agar orang tersebut juga baik ke kita. Namun, ketika melihat pos dari Adjie Santosoputro di bawah ini, Penulis jadi sadar makna tersebut ternyata lebih luas.

Penulis selalu berusaha bersikap baik dan menyenangkan orang lain, bahkan melebihi ke dirinya sendiri. Penulis merasa senang saja jika bisa membahagiakan orang lain. Namun, ketika melihat ke dirinya lebih dalam, ada hal lain yang Penulis harapkan.

Ada harapan bisa dekat dengan orang tersebut, ada harapan agar diingat sebagai orang baik, ada harapan agar dirinya tidak tersiksa dengan perasaan kesepian, dan masih banyak lagi harapan Penulis ke orang lain.

Ketika menyadari hal ini, Penulis pun jadi merasa bersalah karena ternyata selama ini dirinya berbuat baik secara tidak ikhlas. Penulis ternyata manipulatif karena melakukan itu semua demi mendapatkan apa yang dirinya inginkan.

Penulis benar-benar tidak menyangka kalau berbuat baik ke orang lain bisa sedekat itu dengan sifat manipulatif. Lantas, apakah lebih baik kita tidak perlu berbuat baik ke orang lain, jika masih takut itu hanya sekadar bentuk manipulasi ke orang lain?

Menemukan Jawaban dari Demon Slayer

Begitu takutnya Penulis menjadi sosok yang manipulatif, sehingga sempat terbesit di pikiran untuk kembali acuh dan tidak peduli dengan orang lain, seperti dulu lagi. Toh, rasanya dulu juga baik-baik saja.

Penulis merasa masih belum bisa menguasai ilmu ikhlas dengan baik, karena masih banyak berharap ke orang lain. Jika belum bisa ikhlas berbuat baik dan justru akan membebani orang lain dengan perasaan bersalah, mungkin diam dan tidak berbuat apa-apa akan jadi lebih baik.

Namun, saat pikiran negatif tersebut terus muncul, sebuah “hidayah” datang ketika Penulis sedang menonton Demon Slayer Season 3 episode 3. Saat itu, salah satu hashira bernama Muichirō Tokitō sedang dalam perjalanan menuju desa yang sedang diserang oleh iblis.

Dalam perjalanan, ia menemukan seorang anak tanpa keahlian berpedang sedang diserang iblis. Tokitō yang tak punya empati dan berpikir rasional pun berpikir tak penting menyelamatkan seorang anak kecil. Masih banyak orang penting yang harus diselamatkan.

Namun, tiba-tiba ia teringat kata-kata sang protagonis utama anime ini, Tanjiro Kamado. Ia berucap:

“Karena membantu orang lain akhirnya berujung pada kebaikanku sendiri.”

Berkat ucapan tersebut, Tokitō pun berubah pikiran dan segera menyelamatkan anak tersebut dari iblis. Mungkin kalimat ini terdengar sepele, tapi bagi Penulis, rasanya seperti sebagai jawaban yang dirinya butuhkan.

Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri

Salah satu tujuan hidup terbesar Penulis adalah bisa menjadi pribadi yang bermanfaat sebanyak-banyaknya. Sebelum maut menjemput, setidaknya ada sesuatu yang telah Penulis berikan ke dunia ini walaupun tidak seberapa.

Segala ilmu yang Penulis miliki kalau bisa Penulis sebarkan seluas-luasnya ke orang lain. Memberikan ilmu ke orang lain tidak akan mengurangi ilmu yang kita miliki. Penulis juga berharap, itu bisa menjadi amal jariyah bagi Penulis.

Namun, untuk bisa meraih impian tersebut, Penulis harus belajar lebih keras lagi tentang keikhlasan dalam berbuat baik. Tak perlu mengharapkan apa-apa, yang penting lakukan saja hal baik sebanyak mungkin ke sekitar selama masih bernapas.

Seperti kata Tanjiro, kebaikan yang kita lakukan pada akhirnya akan kembali ke diri kita sendiri. Jika masih belum bisa menguasai ilmu ikhlas sepenuhnya, yakin saja bahwa kebaikan kita akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Tuhan, entah di dunia maupun akhirat.

Untuk itu, ke depannya Penulis akan tetap berusaha berbuat baik kepada orang lain. Tidak secara berlebihan, secukupnya saja. Pada dasarnya, apapun yang berlebihan tidak pernah baik, bahkan dalam berbuat baik sekalipun.

Penulis juga akan berusaha memahami kalau menjadi people pleaser terus-terusan akan membuat kita lelah. Kebahagiaan orang lain bukan tanggung jawab kita. Membahagiakan orang lain itu boleh, selama mampu menjaga boundaries dan tidak berlebihan.

Sebuah pengingat dari Adjie Santosoputro dan Tanjiro Kamado dalam waktu yang berdekatan ini berhasil memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sering hinggap di pikiran Penulis belakangan ini mengenai “berbuat baik” ke sesama manusia.

Tuhan memang selalu memiliki cara yang tidak disangka dalam memberikan jawaban-Nya.


Lawang, 8 Mei 2023, terinspirasi setelah sering merenungkan masalah ini

Foto Featured Image:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version