Pengembangan Diri
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
Dalam hidupnya, Penulis berusaha untuk bisa berbuat baik sebanyak mungkin ke orang lain. Apalagi, tujuan terbesar dalam hidup Penulis adalah bisa menjadi bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang, termasuk membagikan ilmu-ilmu yang dimiliki.
Namun, belakangan ini Penulis sering melakukan kontemplasi terkait hal ini. Alasannya, Penulis menyadari bahwa terkadang (atau sering?) dirinya masih berbuat baik dengan mengharapkan timbal balik yang bermacam-macam.
Gejolak dalam diri pun muncul: Jika tidak bisa berbuat baik dengan ikhlas, apakah lebih baik tidak berbuat sama sekali saja? Pertanyaan ini semakin sering muncul di kepala, ketika menyadari bahwa berbuat baik bisa sangat dekat dengan sifat manipulatif.
Berbuat Baik Itu Ternyata Bisa Bersifat Manipulatif
Ketika mempelajari tentang sifat manipulatif, Penulis telah menemukan beberapa ciri yang sudah dijabarkan pada tulisan sebelumnya. Dalam daftar tersebut, Penulis sudah menuliskan salah satu cirinya, yaitu “Berbuat baik (secara tidak ikhlas) dan sering mengungkitnya“.
Pada saat itu, Penulis menganggap bahwa tidak ikhlas di sini berarti kita berharap balasan seperti agar orang tersebut juga baik ke kita. Namun, ketika melihat pos dari Adjie Santosoputro di bawah ini, Penulis jadi sadar makna tersebut ternyata lebih luas.
Penulis selalu berusaha bersikap baik dan menyenangkan orang lain, bahkan melebihi ke dirinya sendiri. Penulis merasa senang saja jika bisa membahagiakan orang lain. Namun, ketika melihat ke dirinya lebih dalam, ada hal lain yang Penulis harapkan.
Ada harapan bisa dekat dengan orang tersebut, ada harapan agar diingat sebagai orang baik, ada harapan agar dirinya tidak tersiksa dengan perasaan kesepian, dan masih banyak lagi harapan Penulis ke orang lain.
Ketika menyadari hal ini, Penulis pun jadi merasa bersalah karena ternyata selama ini dirinya berbuat baik secara tidak ikhlas. Penulis ternyata manipulatif karena melakukan itu semua demi mendapatkan apa yang dirinya inginkan.
Penulis benar-benar tidak menyangka kalau berbuat baik ke orang lain bisa sedekat itu dengan sifat manipulatif. Lantas, apakah lebih baik kita tidak perlu berbuat baik ke orang lain, jika masih takut itu hanya sekadar bentuk manipulasi ke orang lain?
Menemukan Jawaban dari Demon Slayer
Begitu takutnya Penulis menjadi sosok yang manipulatif, sehingga sempat terbesit di pikiran untuk kembali acuh dan tidak peduli dengan orang lain, seperti dulu lagi. Toh, rasanya dulu juga baik-baik saja.
Penulis merasa masih belum bisa menguasai ilmu ikhlas dengan baik, karena masih banyak berharap ke orang lain. Jika belum bisa ikhlas berbuat baik dan justru akan membebani orang lain dengan perasaan bersalah, mungkin diam dan tidak berbuat apa-apa akan jadi lebih baik.
Namun, saat pikiran negatif tersebut terus muncul, sebuah “hidayah” datang ketika Penulis sedang menonton Demon Slayer Season 3 episode 3. Saat itu, salah satu hashira bernama Muichirō Tokitō sedang dalam perjalanan menuju desa yang sedang diserang oleh iblis.
Dalam perjalanan, ia menemukan seorang anak tanpa keahlian berpedang sedang diserang iblis. Tokitō yang tak punya empati dan berpikir rasional pun berpikir tak penting menyelamatkan seorang anak kecil. Masih banyak orang penting yang harus diselamatkan.
Namun, tiba-tiba ia teringat kata-kata sang protagonis utama anime ini, Tanjiro Kamado. Ia berucap:
“Karena membantu orang lain akhirnya berujung pada kebaikanku sendiri.”
Berkat ucapan tersebut, Tokitō pun berubah pikiran dan segera menyelamatkan anak tersebut dari iblis. Mungkin kalimat ini terdengar sepele, tapi bagi Penulis, rasanya seperti sebagai jawaban yang dirinya butuhkan.
Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
Salah satu tujuan hidup terbesar Penulis adalah bisa menjadi pribadi yang bermanfaat sebanyak-banyaknya. Sebelum maut menjemput, setidaknya ada sesuatu yang telah Penulis berikan ke dunia ini walaupun tidak seberapa.
Segala ilmu yang Penulis miliki kalau bisa Penulis sebarkan seluas-luasnya ke orang lain. Memberikan ilmu ke orang lain tidak akan mengurangi ilmu yang kita miliki. Penulis juga berharap, itu bisa menjadi amal jariyah bagi Penulis.
Namun, untuk bisa meraih impian tersebut, Penulis harus belajar lebih keras lagi tentang keikhlasan dalam berbuat baik. Tak perlu mengharapkan apa-apa, yang penting lakukan saja hal baik sebanyak mungkin ke sekitar selama masih bernapas.
Seperti kata Tanjiro, kebaikan yang kita lakukan pada akhirnya akan kembali ke diri kita sendiri. Jika masih belum bisa menguasai ilmu ikhlas sepenuhnya, yakin saja bahwa kebaikan kita akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Tuhan, entah di dunia maupun akhirat.
Untuk itu, ke depannya Penulis akan tetap berusaha berbuat baik kepada orang lain. Tidak secara berlebihan, secukupnya saja. Pada dasarnya, apapun yang berlebihan tidak pernah baik, bahkan dalam berbuat baik sekalipun.
Penulis juga akan berusaha memahami kalau menjadi people pleaser terus-terusan akan membuat kita lelah. Kebahagiaan orang lain bukan tanggung jawab kita. Membahagiakan orang lain itu boleh, selama mampu menjaga boundaries dan tidak berlebihan.
Sebuah pengingat dari Adjie Santosoputro dan Tanjiro Kamado dalam waktu yang berdekatan ini berhasil memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sering hinggap di pikiran Penulis belakangan ini mengenai “berbuat baik” ke sesama manusia.
Tuhan memang selalu memiliki cara yang tidak disangka dalam memberikan jawaban-Nya.
Lawang, 8 Mei 2023, terinspirasi setelah sering merenungkan masalah ini
Foto Featured Image:
Produktivitas
Selama Bangun, Mata Kita Terus Terpapar Layar
Coba ingat-ingat aktivitas kita dalam sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Seberapa banyak aktivitas yang melibatkan layar di perangkat elektronik, baik dari ponsel, laptop, hingga televisi?
Penulis sendiri baru-baru ini menyadari bahwa dirinya hampir terpapar layar selama dirinya beraktivitas, mengingat pekerjaan dan hobi menulis Penulis sama-sama menuntut dirinya untuk selalu berada di hadapan layar.
Pada tulisan kali ini, Penulis ini melakukan interopeksi diri mengenai betapa panjangnya durasi dalam satu hari yang dihabiskan untuk menatap layar elektronik yang sejatinya memancarkan blue light.
Bagaimana Penulis Menghabiskan Sebagian Besar Waktunya di Depan Layar
Hari-Hari Lihat Layar (St. Luke’s)
Penulis akan berbagai dari pengalamannya sendiri (di hari kerja) untuk menjelaskan bagaimana kita sangat sering terpapar layar sejak dari bangun tidur. Penulis tidak akan menggunakan contoh “rutinitas yang ideal,” melainkan menggunakan contoh keseharian yang sering dilakukan.
Pagi hari di saat waktu Shubuh, Penulis akan terbangun karena alarm ponsel dan tablet. Setelah menunaikan ibadah sholat, Penulis akan kembali rebahan dan mengecek ponsel. Terkadang Penulis membaca buku dulu, tapi lebih sering mengecek ponsel.
Seringnya, Penulis akan tertidur lagi sekitar 1-2 jam setelah bangun pagi. Penulis baru akan terbangun lagi menjelang morning concall dan brainstorm yang dilakukan setiap pagi jam 9. Kalau lagi malas, Penulis akan rapat di atas kasur, bisa menggunakan tablet maupun laptop.
Biasanya rapat pagi ini berlangsung sekitar 1 jam. Setelah itu, Penulis akan sarapan yang sering dilakukan sambil menonton YouTube. Selesai sarapan (Penulis sarapan cukup siang), Penulis akan kembali bekerja dan berhenti menjelang Dhuhur untuk mandi, rawat diri, dan sholat Dhuhur.
Antara waktu Dhuhur dan Maghrib adalah waktu utama Penulis untuk bekerja di depan PC. Karena memasang larangan untuk mengecek media sosial atau bermain game di jam kerja, Penulis biasanya beristirahat sambil membaca buku, tidur sejenak, atau sekadar bermain dengan kucing.
Masuk jam istirahat di malam hari, biasanya Penulis habiskan dengan cek media sosial ataupun menonton YouTube di televisi ruang keluarga bersama ibu. Makan malam pun seringnya dilakukan sambil menonton televisi.
Jam 9 ke atas, biasanya Penulis kembali masuk ke kamar dan mulai menulis artikel blog di depan laptop. Setelah selesai, Penulis bisa kembali cek media sosial atau bermain game di tablet. Tak jarang juga Penulis menonton YouTube di televisi kamar sebelum akhirnya tidur.
Cara Mengurangi Durasi Melihat Layar
Buku Menjadi “Pelarian” yang Baik (Rahul Shah)
Dari cerita di atas, bisa dilihat kalau hampir seluruh kegiatan Penulis di hari kerja dilakukan dengan melihat layar, entah itu ponsel, tablet, laptop, maupun PC. Mau serius, mau santai, semua berkaitan dengan layar.
Bisa dibilang, hanya ada lima aktivitas yang tidak melibatkan layar sama sekali, yakni ketika sholat, membaca buku, bermain kucing, mandi, dan tidur. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya Penulis terhadap perangkat-perangkat elektronik untuk menjalani kesehariannya.
Penulis merasa kalau ini bukan gaya hidup yang sehat. Meskipun pekerjaannya menuntut untuk sering melihat layar, Penulis harusnya bisa mengimbanginya dengan aktivitas-aktivitas lain yang tidak membutuhkan layar.
Membaca buku jelas menjadi opsi yang paling menyenangkan bagi Penulis. Buku bisa menjadi jeda sejenak dari layar sekaligus sebagai penambah wawasan bagi dirinya. Namun, “daya” baca Penulis sudah tidak seperti dulu. Mentok-mentok satu jam sudah lelah, kecuali sedang membaca novel yang seru.
Selain itu, olahraga outdoor seperti lari pagi juga bisa menjadi aktivitas yang sehat. Dulu Penulis cukup rutin melakukannya, bahkan bisa menyebuhkan insomnia yang dideritanya. Namun, belakangan ini entah mengapa rasanya sangat berat untuk melakukannya.
Mencari hobi offline yang tidak membutuhkan layar juga bisa menjadi alternatif. Contoh yang paling gampang tentu saja bermain board game seperti yang sering Penulis lakukan di akhir pekan bersama circle-nya. Tidak hanya bermain, Penulis juga bisa mengobrol dengan teman-temannya.
Hobi offline lain yang bisa menyita waktu kita adalah merakit model kit seperti Gundam, LEGO, dan sejenisnya. Masih ada banyak hobi offline lainnya yang bisa dilakukan, seperti berkebun, futsal, memancing, memasak, menggambar, main musik, dan lainnya.
Penulis juga ingin mengurangi kebiasaan makan sambil nonton YouTube. Walau kesannya multitasking, aktivitas makan sebenarnya bisa menjadi jeda yang baik. Apalagi, sudah seharusnya kita fokus dengan makanan yang ada di hadapan kita dan bersyukur masih bisa menikmatinya.
Kegiatan lain yang perlu dikurangi adalah bermain media sosial. Aktivitas yang satu ini telah terbukti sebagai penyedot waktu terbesar. Walau sudah membatasi diri sekitar 1-2 jam per hari, Penulis merasa itu masih terlalu banyak dan bisa dikurangi lagi agar lebih produktif.
***
Mungkin karena kebetulan saja pekerjaan Penulis menuntut dirinya untuk melihat layar seharian. Apalagi, Penulis masih work from home sampai sekarang. Jadi, tulisan ini bisa jadi tidak related kepada orang-orang yang pekerjaannya tidak selalu mengharuskan mereka untuk melihat layar.
Namun, bagi para Pembaca yang juga menjalani rutinitas seperti Penulis, semoga saja tulisan ini bisa membantu menyadarkan betapa seringnya mata kita terpapar layar elektronik dan mulai mencari alternatif aktivitas lain yang lebih sehat.
Lawang, 1 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa dirinya hampir selalu menatap layar monitor dalam banyak bentuk
Sumber Featured Image: Ron Lach
Produktivitas
Pentingnya Catatan yang Selalu Terlihat oleh Mata
Penulis merasa kalau dirinya adalah orang yang pelupa. Bukan tipe yang lupa tanggal ulang tahun seseorang, lebih ke pelupa untuk task apa yang harus diselesaikan. Jika task tersebut tidak dicatat, biasanya akan mudah terlupa begitu saja.
Untuk mengatasi hal ini, Penulis berupaya untuk mengatasinya dengan memanfaatkan aplikasi Microsoft To-Do List yang ter-install di PC maupun ponselnya. Namun, sudah menggunakan ini pun terkadang Penulis lupa untuk mengeceknya!
Penulis berusaha untuk mencari solusi lain. Lantas, Penulis teringat akan isi buku Atomic Habit di mana salah satu cara untuk membuat kebiasaan bisa terbentuk adalah dengan membuatnya mudah terlihat.
Oleh karena itu, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis catatan yang selalu terlihat di depan mata. Bukan di gawai yang Penulis miliki, tapi benar-benar di buku catatan fisik dan ditulis secara manual pula.
Mengapa Masih Perlu Catatan Fisik?
Penulis sudah menyinggung kalau dirinya telah mencoba menggunakan aplikasi Microsoft To-Do List untuk mencatat berbagai task agar tidak lupa dikerjakan. Apalagi, aplikasi tersebut dilengkapi dengan fitur reminder untuk membantu mengingatkan kita.
Untuk pekerjaan-pekerjaan rutin, hal ini memang sangat membantu. Namun, ada yang tidak bisa di-cover oleh aplikasi ini setidaknya untuk Penulis: hal-hal yang muncul secara spontan dan tidak terencana.
Contohnya di sini adalah mencatat apa yang perlu dibahas untuk rapat besok. Mungkin task rapat di pagi hari bisa dimasukkan ke dalam aplikasi To-Do List, tapi isinya terkadang muncul secara tiba-tiba saat sedang mengerjakan task lain.
Lalu, mengapa tidak ditambahkan saja catatannya ke dalam aplikasi To-Do List? Jawabannya adalah kembali lagi karena Penulis pelupa, Penulis kemungkinan besar akan lupa untuk mengeceknya! Akibatnya, hal tersebut pun jadi lupa untuk dibahas ketika rapat.
Penulis juga sempat berusaha menggunakan aplikasi Google Keep. Namun, masalahnya tetap sama, aplikasi ini tidak selalu langsung terlihat sehingga Penulis sering lupa untuk mengeceknya, bahkan ketika sudah memasang reminder.
Oleh karena itu, Penulis membutuhkan sebuah media yang akan 24 jam terlihat oleh mata. Buku catatan fisik, yang mungkin sudah terasa old school, akhirnya menjadi pilihan utama. Buku catatan ini akan terus berada di atas meja kerja Penulis dan selalu terbuka saat jam kerja.
Berhubung Penulis punya hobi menulis manual, kegiatan mencatat ini Penulis buat semenarik mungkin dengan menambahkan batas dengan berbagai warna beserta tanggal yang ditulis menggunakan huruf latin. Hobi yang aneh memang untuk seorang laki-laki.
Memang ada kekurangannya mencatat secara manual seperti ini, seperti catatan yang telah dituliskan akan sulit untuk ditelusuri dan diarsipkan. Namun, buku catatan ini memang Penulis gunakan untuk sesuatu yang bersifat spontan dan berjangka pendek.
Setiap pagi, Penulis akan membaca buku catatan ini untuk memastikan tidak ada task atau poin yang harus diselesaikan. Meskipun terkadang masih miss, Penulis merasa metode ini berhasil meminimalisirnya.
Mengapa Tidak Menggunakan Medium Lain?
Sebenarnya, Penulis memiliki tablet yang telah dilengkapi dengan stylus karena pada dasarnya Penulis memang masih suka menulis secara manual, yang juga menjadi salah satu alasan mengapa Penulis membeli tablet tersebut.
Namun, makin ke sini, stylus tersebut makin jarang digunakan. Seandainya menulis di tablet pun, pada akhirnya catatan tersebut akan tenggelam begitu saja dan kerap lupa untuk mengeceknya kembali.
Selain itu, layar tablet akan mengunci secara otomatis jika lama tidak digunakan, sama seperti ponsel. Jika menyalakannya terus seharian dan menonaktifkan mode auto-lock-nya, tentu akan membuat baterainya cepat habis.
Dengan demikian, seandainya Penulis membuat catatan di tablet sebagai pengingat, tentu tidak efektif karena harus berkali-kali menyalakan tablet. Apalagi, tablet ini juga kerap Penulis gunakan sebagai layar kedua
Penulis sempat mengandalkan Sticky Notes sebagai pengingat. Selain bisa ditempel di mana-mana, Sticky Notes kerap berwarna cerah sehingga akan mencuri perhatian kita saat akan bekerja. Tentu ini jadi pengingat yang mudah kita notice, bukan?
Sayangnya, Sticky Notes pun bagi Penulis kurang efektif. Pertama, Sticky Notes harus ditempel di suatu tempat. Kamar Penulis yang sudah penuh dengan barang jelas tidak memiliki tempat kosong untuk hal tersebut.
Kedua, Sticky Notes yang sudah dipasang sulit untuk di-edit. Padahal, Penulis suka menambahkan catatan tambahan menggunakan tinta merah yang biasanya berfungsi sebagai penanda kalau task tersebut sudah diselesaikan atau sudah dibahas dalam rapat.
Ketiga, Sticky Notes bisa berceceran ke mana-mana jika sudah terlalu banyak. Padahal, setiap hari ada cukup banyak hal yang perlu Penulis catat secara manual. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana rupa kamarnya jika menempel terlalu banyak Sticky Notes.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Penulis memutuskan untuk memanfaatkan buku catatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Penulis menganggap kalau buku catatan ini adalah otak kedua Penulis dalam bentuk fisik.
Lawang, 26 Agustus 2024, terinspirasi setelah menyadari betapa pentingnya catatan yang harus selalu terlihat
Foto Featured Image: lil artsy
Produktivitas
Cara Saya Hilangkan Kebiasaan Buruk Dikit-Dikit Cek HP
Ketika sedang suwung atau menganggur, apa yang akan Pembaca lakukan pertama kali? Kalau Penulis, satu hal yang sangat mungkin dilakukan adalah mengecek ponselnya, entah untuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk ataupun scrolling media sosial.
Parahnya lagi, Penulis kerap berganti-ganti platform ketika sudah cek HP. Bosan buka Instagram, pindah ke X. Bosan di X, pindah ke YouTube. Bosan di YouTube, pindah ke Pinterest. Begitu terus hingga screentime ponsel Penulis menjadi berjam-jam.
Penulis sebenarnya menyadari kalau sedikit-sedikit mengecek ponsel merupakan kebiasaan yang buruk karena seolah-olah otak ini tidak boleh diberi jeda sedikit pun dari konsumsi-konsumsi konten. Otak (dan organ tubuh lainnya) ini seolah tidak boleh istirahat.
Padahal, jeda sejenak dari segala kegiatan dan konsumsi konten bagus untuk otak. Membiarkan pikiran mengembara atau merenung terkadang menjadi sesuatu yang kita butuhkan di tengah berbagai tuntutan hidup.
Oleh karena itu, Penulis pun berusaha mengurangi ketergantungan dirinya yang sedikit-sedikit mengecek ponsel. Awalnya memang sangat sulit karena sudah menjadi kebiasaan, tapi lama-kelamaan Penulis mulai terbiasa untuk menjauhinya dan menggantinya dengan aktivitas lain.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin berbagi pengalaman dirinya berusaha mengurangi kebiasaan buruk ini untuk bisa meningkatkan produktivitas dirinya. Penulis tidak membuat daftarnya berdasarkan riset mendalam, hanya dari pengalaman pribadinya saja.
1. Memberikan Batasan ke Aplikasi
Hampir semua media sosial menghadirkan konten tak terbatas yang bertujuan untuk membuat kita betah berlama-lama di platform mereka. Akibatnya, kita suka lupa waktu jika sudah bermain media sosial, terutama jika sedang mengonsumsi konten-konten video pendek.
Penulis termasuk yang kesulitan untuk mengerem kebiasaan buruk ini, sehingga membutuhkan bantuan aplikasi. Untungnya, hampir di semua ponsel pintar saat ini telah memiliki fitur untuk membatasi penggunaan aplikasi dalam jangka waktu panjang.
Namun, Penulis merasa aplikasi bawaan tersebut kurang ketat karena bisa kita ubah dengan mudah. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk menggunakan aplikasi yang lebih ketat seperti AppBlock dan Opal. Jika batas durasinya sudah lewat, maka Oval tersebut akan otomatis memblokir aplikasi tersebut.
Di ponsel, Penulis memberi batasan penggunaan semua media sosial 1,5 jam per hari, mulai dari YouTube, Instagram, X, TikTok, hingga Threads. Durasi 1,5 jam bukan untuk per aplikasi, tapi kombinasi dari semuanya.
2. Menjauhkan Ponsel dari Jangkauan
Cara pertama yang sering Penulis lakukan adalah menjauhkan ponsel sejauh mungkin dari jangkauannya. Biasanya ini Penulis terapkan ketika kerja, di mana Penulis meletakkan ponselnya di tempat yang tidak kelihatan hingga lupa di mana menaruhnya.
Cara ini cukup efektif jika Penulis ingin mengurangi distraksi ketika jam kerja, apalagi Penulis work from home. Penulis harus bisa mendisiplinkan diri sendiri karena tidak ada orang lain yang mengawasi. Alhasil, screentime Penulis terutama di jam kerja (9-6) bisa berkurang drastis.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mematikan notifikasi ponsel dengan mengubahnya ke Mode Hening atau mengaktifkan fitur Do Not Disturb. Dengan begitu, suara-suara notifikasi yang seolah tak ada habisnya itu bisa diredam dan tidak membuat kita merasa penasaran lagi.
3. Install WhatsApp atau Aplikasi Chat di PC/Laptop
Salah satu alasan mengapa Penulis suka mengecek ponselnya adalah karena ingin memeriksa apakah ada pesan WhatsApp yang masuk. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk meng-install aplikasi WhatsApp versi PC, sehingga dirinya tak perlu lagi mengecek ponsel.
Kebetulan, di tempat kerja Penulis WhatsApp menjadi media utama untuk berkomunikasi, sehingga tidak mungkin Penulis tidak memeriksa WhatsApp. Bahkan, Penulis menggunakan layar kedua menggunakan tablet untuk selalu menampilkan WhatsApp, karena Penulis juga punya kebiasaan buruk sedikit-sedikit cek WhatsApp.
Tidak hanya WhatsApp, semua aplikasi chat yang Penulis gunakan juga Penulis install di PC, mulai dari Skype hingga Discord. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan urgent untuk mengecek ponsel di jam kerja.
4. Jangan Gunakan Ponsel Sebagai Alarm Pagi
Selain godaan di kala menganggur dan di jam kerja, salah satu godaan terbesar untuk mengecek ponsel adalah di pagi hari. Penulis punya kebiasaan buruk setelah mematikan alarm, Penulis akan membuka aplikasi media sosial sebentar.
Oleh karena itu, Penulis menyarankan untuk menggunakan alarm konvensional di pagi hari, bukan alarm yang ada di ponsel. Kalau perlu, jauhkan juga ponsel dari jangkauan sebelum tidur.
Selain itu, tentukan jam berapa ponsel boleh mulai dicek, misalnya pukul tujuh pagi setelah rutinitas pagi telah selesai dituntaskan. Namun, jika boleh jujur, di antara semua poin yang ada di artikel ini, poin inilah yang sampai sekarang masih Penulis sulit terapkan.
5. Sibukkan Diri dengan Kegiatan Bermanfaat
Salah satu pemicu kita kerap mengecek ponsel adalah karena suwung atau sedang menganggur, seperti yang sudah Penulis singgung di atas. Oleh karena itu, kita harus kreatif mengisi waktu kosong kita dengan aktivitas lain.
Melakukan hobi adalah salah satu cara yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang. Kalau Penulis, biasanya akan membaca buku atau menulis artikel. Kedua aktivitas ini lumayan ampuh bagi Penulis untuk tidak mengecek ponsel.
Di malam hari setelah jam kerja, biasanya Penulis menyempatkan diri untuk menemani ibu menonton televisi. Meskipun bukan kegiatan yang produktif, setidaknya menemani ibu menjadi aktivitas yang bermanfaat sekaligus melepas penat setelah seharian bekerja.
***
Berselancar di media sosial untuk mencari hiburan bukan hal yang salah. Yang salah adalah jika dilakukan secara berlebihan hingga lupa waktu. Waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Penulis merasa bahwa dirinya sudah terlalu attach dengan ponsel, sehingga muncul kebiasaan sedikit-sedikit ingin mengecek ponsel. Menyadari kekurangan ini, Penulis pun berusaha untuk melakukan tips-tips yang telah disebutkan di atas.
Semoga saja tulisan ini bisa membantu Pembaca yang juga mengalami kesulitan seperti Penulis.
Lawang, 22 Juli 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau dirinya kerap kali mengecek HP-nya setiap tidak ada aktivitas
Foto Featured Image: Kerde Severin
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login