Renungan

Merenungi Manusia Primitif yang Masih Hidup di Era Modern

Published

on

Dalam tulisan “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis sudah menjabarkan tentang bagaimana kita ini adalah ancaman paling nyata, baik bagi makhluk hidup lain maupun sesama manusia.

Pada salah satu poin, Penulis juga menjelaskan bagaimana manusia tanpa segan menghabisi manusia lain dengan berbagai alasan, walau ketamakan jelas jadi salah satu faktor utamanya. Alhasil, bangsa-bangsa yang kalah harus menepi demi keselamatannya.

Menariknya, mereka ini terus bisa mempertahankan peradabannya walau terisolasi dari dunia lain. Melalui kacamata kita, mereka terlihat sebagai bangsa primitif yang hidup di era modern yang serba canggih. Keberadaan mereka ini membuat Penulis jadi merenung.

Bagaimana Kehidupan “Manusia Primitif” Terputus dari Kehidupan Modern

Man in Hole (USA Today)

Melalui video dokumenter yang sama dari artikel “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis jadi menyadari bahwa di dalam hutan Amazon, masih ada banyak native tribe yang seolah mencerminkan kehidupan beribu-ribu tahun yang lalu.

Penulis juga menemukan fakta tentang Man in Hole. Singkat cerita, ia adalah orang terakhir dari salah satu suku yang menghuni hutan Amazon, setelah anggota sukunya yang lain telah tewas terbunuh akibat konflik agraria yang terjadi di Brazil.

Hidupnya yang nomaden seumur hidupnya terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup. Ketika mengetahui fakta ini, Penulis jadi berempati dengannya dan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi “orang terakhir” dari sukunya sebelum akhirnya ia juga meninggal.

Keberadaan mereka, yang pernah (dan mungkin masih) terancam karena peradaban manusia yang lebih modern, terlihat seolah timeline mereka tidak pernah maju dan memutus kehidupan mereka dengan dunia luar. Teknologi yang mengubah peradaban manusia tak pernah menyentuh mereka.

Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Brazil yang berada di belahan bumi lain. Di Indonesia pun, yang terdiri dari banyak sekali suku, masih banyak yang menjalani kehidupan primitif dan tinggal di dalam hutan, jauh dari peradaban modern.

Secara manusiawi, kita pasti merasa “kasihan” dengan kehidupan yang seperti itu. Namun, pantaskan mereka dikasihani? Atau justru sebenarnya kita yang patut dikasihani?

Apakah Kita Lebih Bahagia dari Manusia Primitif?

Mungkin Mereka Lebih Bahagia dari Kita (Scientific American)

Belum lama ini, Penulis juga membuat artikel berjudul “Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri”. Teknologi dan berbagai ciptaan kita memang sangat membantu memajukan peradaban, tapi di sisi lain memiliki efek negatif karena mengakibatkan ketergantungan.

Kita akan kesulitan hidup tanpa smartphone, internet, listrik, dan lain sebagainya. Mati listrik beberapa jam saja sudah menderita setengah mati, seolah tidak ada aktivitas offline yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu sembari menunggu listrik kembali nyala.

Nah, tentu “penderitaan” seperti ini tidak pernah dialami oleh manusia primitif. Mereka telah terbiasa hidup berpijak tanah dan beratapkan langit. Mereka tak pernah berjumpa dengan listrik, apalagi internet, dan hidup mereka bisa baik-baik saja dari generasi ke generasi.

Kita dalam peradaban modern kerap dibuat stres dengan berbagai tekanan, yang bisa berupa tuntutan pekerjaan, kewajiban mencari uang untuk melanjutkan hidup, tarikan pajak yang tak masuk akal dari pemerintah, dan lain sebagainya.

Sekali lagi, tekanan seperti ini rasanya tidak dialami oleh manusia primitif. Mereka tidak mengenal adanya KPI, kalau lapar ya langsung berburu atau berkebun. Mereka tidak dibingungkan dengan tatanan dunia yang makin ke sini makin uangsentris.

Para manusia primitif tampaknya juga tak pernah memikirkan gengsi seperti manusia modern, yang kerap ditampilkan melalui gaya hidup mereka. Tanpa pakai baju pun, mereka tetap sehat-sehat saja, walau manusia terutama di barat juga semakin jarang menggunakan baju.

Dengan beberapa contoh tersebut, apakah kita masih bisa berpikir kalau kehidupan kita lebih baik dari kehidupan mereka?

Penutup

Lantas, apakah renungan di atas membuat Penulis ingin hidup seperti manusia primitif? Tentu tidak. Penulis besar dengan kehidupan modern, sehingga penyesuaian untuk hidup seperti mereka akan menjadi penderitaan yang luar biasa.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan insight bahwa di kehidupan modern yang serba digital ini, masih ada kehidupan terbelakang di sudut-sudut dunia ini. Walaupun begitu, belum tentu kita lebih bahagia dibandingkan mereka. Bisa jadi, mereka jauh lebih bahagia dengan kehidupannya.

Penulis merasa bersyukur dengan kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya, walau terkadang masih ada perasaan iri kepada manusia primitif yang tampaknya bisa hidup lebih tenang dibandingkan kebanyakan manusia modern.


Lawang, 1 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton video dokumenter tentang hutan Amazon yang menjadi rumah bagi penduduk asli Amerika

Foto Featured Image: AP News

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version