Sosial Budaya
Twitter dan Tuntutan Kesempurnaannya
Sempat lama tak terpakai, penulis kembali gemar bermain Twitter dalam 2 tahun terakhir. Kalau tidak salah, gara-gara banyaknya tweet Rocky Gerung yang bernada sarkas dan sedikit nakal.
Semenjak itu, penulis pun lebih sering menghabiskan waktunya di Twitter dibandingkan Instagram yang membuat penulis sering membandingkan dirinya dengan orang lain.
Akan tetapi, akhir-akhir ini penulis merasa risau ketika bermain Twitter. Entah mengapa banyak pengguna media sosial berlogo burung ini seolah menuntut kita untuk selalu sempurna, sehingga tak ada ruang sedikitpun untuk kesalahan.
Social Justice Warrior
Dulu, penulis mengira istilah Social Justice Warrior atau sering disingkat SJW adalah orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan berusaha mengingatkan ke sebanyak mungkin orang lain tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Ternyata, SJW bukan itu. Sesuai namanya, keadilan sosial adalah sesuatu yang mereka perjuangkan dan bela mati-matian melalui media sosial maupun aksi-aksi nyata.
Dari yang penulis perhatikan, banyak “SJW” yang bermain Twitter meskipun mereka tak pernah mendeklarasikan diri. Penulis menyimpulkan sendiri berdasarkan tweet-tweet yang mereka ketik sendiri. Jadi, bisa saja salah.
Biasanya, ketika ada sebuah tweet yang dianggap menyerang atau menyinggung orang atau kelompok tertentu (biasanya minoritas), tweet tersebut akan langsung dikeroyok para “SJW” dengan berbagai argumen.
Masalah Sosial vs Masalah Agama
Ketika ada orang-orang (terutama para selebtweet dengan jumlah pengikut yang tinggi) membuat ciutan yang menyangkut masalah sosial, mereka benar-benar tidak boleh membuat kesalahan.
Walaupun seandainya niat mereka baik, akan ada orang-orang yang melihat celah kesalahan pada cuitan tersebut. Tak jarang tudingan-tudingan seperti “tak peka”, “omdo doang”, atau “kamu tak tahu rasanya” akan muncul di kolom komentar.
Maka dari itu, jangan sampai menjadikan permasalahan sosial sebagai bahan bercanda. Netizen akan siap menghujat siapapun yang menjadikan mental illness, anak broken home, emansipasi wanita, dan lain sebagainya sebagai bahan tweet secara keliru.
Anehnya, setidaknya bagi penulis, ketika banyak yang menjadikan agama (semua jenis agama) sebagai bahan candaan di Twitter, mereka terlihat kalem-kalem saja dan malah ikut menertawakannya.
Penulis pun jadi bingung, ini penulis yang gagal paham atau memang ada sesuatu yang salah dengan kita. Apakah karena kita terbiasa dengan yang namanya standar ganda?
Menurut penulis, baik permasalahan sosial maupun agama tidak bisa dijadikan sebagai bahan bercanda. Karena itu, penulis tidak pernah suka dengan yang namanya dark jokes.
Tuntutan Untuk Sempurna
Kemunculan orang-orang yang terlihat seperti “SJW” tersebut membuat kita merasa dituntut untuk menjadi manusia yang sempurna. Beberapa baris kata yang kita ketik seolah menjadi bukti yang cukup untuk menghakimi kita.
Seorang pengguna Twitter bernama Edward Suhadi (kalau tidak salah, ia pernah menjadi cameo di film Kulari ke Pantai) membuat thread yang mewakili perasaan penulis.
Menurutnya, sekarang ini menulis apapun di Twitter seolah selalu ketemu aja salahnya. Jika apes, sang pembuat tweet bisa dimaki-maki habisan oleh netizen.
Mencoba memberikan motivasi dianggap sebagai toxic positivity. Padahal, bisa jadi sang pembuat tweet sedang terlintas untuk membagikan semangat begitu saja. Mungkin, penggunaan kata atau kalimatnya saja yang kurang tepat.
Yang berbahaya, kita seolah bisa tahu dengan tepat apa maksud dari pembuat tweet. Kita bukan dukun, kita tak akan pernah tahu apa yang ada di pikiran mereka. Jadi, kenapa harus sotil?
Jika balasan komentar mengandung argumen yang membantah sih masih oke. Bagaimana dengan balasan yang hanya bersifat menyerang dan dibumbui dengan caci maki? Inilah yang lebih toxic.
Entah kenapa masyarakat sangat mudah ngegas dan tidak bisa hidup dengan lebih santuy di Twitter seperti dulu. Oh bisa ding, kalau yang dijadikan bahan candaan masalah agama. Kalau ada yang marah, berarti close-minded dan radikal. Kita ini memang lucu, kok.
Penutup
Ada yang bilang, Twitter menjadi seperti ini karena banyak pengguna Instagram yang pindah. Mereka tak paham “kultur” Twitter dan masih membawa “kultur” Instagram. Benarkah demikian? Entahlah, tak ada data yang mendukung.
Karena mulai jengah dengan Twitter, penulis jadi mulai beralih ke Pinterest atau benar-benar berhenti bermain media sosial untuk sementara waktu.
Biarlah penulis ketinggalan informasi, toh kita terkenal karena mudah melupakan suatu isu atau permasalahan. Kalaupun ada thread atau drama yang terjadi, paling dua minggu kemudian sudah lenyap ditelan waktu.
Penulis paham, para “SJW” ini pun mungkin berniat baik. Mereka ingin menjaga perasaan orang, terutama minoritas. Mereka ingin keadilan sosial yang merata untuk semua kalangan.
Hanya saja, rasanya kok semakin ke sini para “SJW” ini semakin berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Penulis jadi berpikiran kalau mereka lebih sentimen kepada siapa yang mengucapkannya, bukan apa yang diucapkannya.
Jika masyarakat terus-menerus menjadi hakim sosial yang menuntut kita untuk menjadi sempurna setidaknya di dunia maya, tentu akan menghasilkan lingkungan yang tidak nyaman bagi banyak orang.
Bukan tidak mungkin, orang-orang akan jadi takut beropini karena takut dihakimi oleh para “SJW” ini.
Kebayoran Lama, 9 November 2019, terinspirasi dari kegelisahan penulis ketika melihat linimasa Twitter.
Foto: freestocks.org