Politik & Negara
Berusaha Memahami Situasi Politik yang Sedang Terjadi Saat Ini
Selama beberapa minggu terakhir, drama perpolitikan di Indonesia benar-benar dinamis sekaligus panas. Penyebab utamanya tentu saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang entah mengapa penuh dengan drama.
Tidak hanya drama di Jakarta, banyak peristiwa politik lain yang juga terjadi bersamaan. Salah satu yang mencuri perhatian Penulis adalah banyaknya calon kepala daerah yang hanya berhadapan dengan kotak kosong karena terlalu gemuknya koalisi.
Oleh karena itu, ada banyak hal yang terbesit di pikiran Penulis setelah mengamati dunia politik pada masa-masa ini, sehingga merasa perlu untuk menuangkan pikiran dan opininya melalui tulisan ini.
Gagal Paham Netizen (atau Buzzer?) Menyikapi Peringatan Darurat
Penulis sudah merangkum kejadian Peringatan Darurat pada tulisan sebelumnya. Intinya, pada akhirnya keinginan DPR untuk membuat RUU Pilkada demi membatalkan putusan MK dibatalkan karena desakan dari masyarakat.
Seperti yang kita tahu, menjelang rapat untuk membahas RUU Pilkada tersebut, masyarakat berkumpul di beberapa kota besar Indonesia untuk melakukan aksi protes. Bahkan, banyak public figure yang turun seperti Reza Rahadian, Andovi, serta banyak komika.
Nah, dengan dikabulkannya permintaan tersebut, tentu kita sebagai masyarakat merasa senang karena berhasil menahan pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengubah peraturan demi kepentingan tertentu. Iya, kan?
Ternyata, tidak semua berpikiran seperti itu. Ada pihak (kemungkinan buzzer) yang menuduh kalau gerakan Peringatan Darurat tersebut merupakan gerakan terstruktur yang dikomandoi oleh pihak tertentu untuk tujuan lain. Siapa? Mereka tidak menyebutkannya.
Lantas, tujuan lainnya itu apa? Nah, di sini Penulis tidak paham. Mayoritas pos yang kontra dengan Peringatan Darurat tidak menjelaskan secara spesifik apa maksud lain dari gerakan tersebut. Kalau yang pro kan jelas, kami tidak ingin peraturan diubah seenak udel-nya.
Anehnya, mereka justru melempar isu lain untuk memperkeruh keadaan. Contoh, mereka menyinggung masalah politik dinasti di Banten. “Kenapa kalian diam ketika ada dinasti di Banten,” kurang lebih begitu narasi dari mereka.
Bagi Penulis, mereka yang bernarasi seperti itu tidak paham substansi. Peringatan Darurat bukan muncul semata-mata untuk menolak dinasti, tapi (sekali lagi) mencegah agar jangan sampai peraturan bisa diubah semena-mena demi kepentingan tertentu.
Politik dinasti sudah banyak terjadi selama ini, bukan dipelopori oleh keluarga Joko Widodo selaku presiden kita. Tidak ada perarturan yang melarang kalau kita kerabat dari pejabat publik, kita dilarang untuk menjadi pejabat publik juga.
Yang dipermasalahkan adalah kalau dinasti itu dibangun dengan mengubah peraturan yang sudah ada. Kedua anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, sama-sama terganjal umur. Gibran berhasil diloloskan pamannya, tapi Kaesang tidak.
Nah, waktu meloloskan Gibran, tidak ada yang berdaya untuk mengubah keputusan MK tersebut, bukan? Lantas, mengapa saat MK memutuskan yang terakhir kemarin, tiba-tiba DPR bergerak cepat untuk menganulir keputusan tersebut? Ini kan anomali yang sangat aneh.
Isu lain yang dilempar ke publik adalah mempertanyakan mengapa para orang pro Peringatan Darurat tidak sevokal ini saat membahas RUU Perampasan Aset. Ini kesalahan logika lainnya karena sudah berbeda substansi. Buzzer memang selalu punya caranya sendiri, walau sering tak masuk akal.
Negara Tanpa Oposisi, tapi Lebih Parah
Salah satu poin yang diputuskan oleh MK adalah menurunkan batas threshold partai politik untuk bisa mencalonkan orang, dari 20% menjadi 7.5% saja. Tentu ini keputusan yang bagus sekali, karena threshold yang terlalu tinggi menimbulkan sedikitnya calon yang bisa dipilih.
Penulis pernah membahas mengenai bagaimana Jokowi berhasil mengalahkan lawan-lawannya tanpa berperang, yakni dengan cara mengajak koalisi lawan-lawannya. Hal ini tampaknya akan dilanjutkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam satu pernyataan, Prabowo pernah mengatakan kalau oposisi bukanlah budaya Indonesia, karena budaya Indonesia adalah gotong royong. Bagi Penulis, dalam negara yang mengusung demokrasi, ini adalah hal yang cukup berbahaya.
Hal ini bisa dilihat dari peta Pilkada saat ini, di mana ada begitu banyak satu calon diusung oleh hampir semua partai yang ada untuk melawan kotak kosong, atau minimal melawan calon independen. Ada puluhan kasus seperti ini di seluruh Indonesia.
Penulis ambil contoh di Jakarta, di mana Ridwan Kamil diusung oleh 15 partai. Partai Nasdem, PKB, dan PKS, yang awalnya ingin mengusung Anies Baswedan, berbalik arah dan ikut mendukung Ridwan Kamil karena gagal mencapai threshold.
Setelah keputusan MK, PDIP akhirnya maju sendirian dengan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Ada pasangan ketiga dari jalur independen, yang juga kontroversial karena mencatut banyak KTP orang dan tetap diloloskan untuk berlaga di Pilkada.
Di Jawa Timur pun begitu, di mana partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Khofifah. Yang berbeda adalah PDIP yang mengusuk Risma dan PKB yang mengusung Luluk.
Bayangkan, satu orang diusung oleh belasan partai. Jika pun mereka kalah, suara mereka di dewan akan sangat dominan. Lantas, bagaimana pihak Eksekutif dan Legislatif bisa bekerja dengan baik jika tidak seimbang seperti ini?
Negara butuh kontrol, karena itulah kita menganut trias politika. Tidak boleh ada satu pihak yang terlalu dominan. Kalau Eksekutif dan Legislatif-nya sejalan terus, lantas siapa yang bisa menjamin kalau semua keputusan yang dibuat akan menguntungkan untuk rakyat?
Kita seolah semakin bertransformasi menjadi negara tanpa oposisi yang makin parah. Siapa yang tidak mau ikut, entah baik atau buruk, akan ditinggal. Memang benar kalau tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi dan berada di luar kekuasaan.
Penutup
Situasi politik di Indonesia saat ini, setidaknya bagi Penulis, sudah berada di tahap yang membuat geleng-geleng kepala. Konsep bernegara yang kita kenal selama ini perlahan digeser, sehingga tak terasa kita akan dibawa kembali ke era otoriter seperti dulu.
Mungkin kita masih bisa bersuara, mungkin kita masih bisa melempar kritik. Akan tetapi, negara ini seolah sedang diatur oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing alias oligarki. Negara ini mau maju mau mundur, suka-suka mereka.
Kalau mau sarkas, sudah tidak perlu adakan Pemilu saja sekalian. Silakan pilih suka-suka kalian. Apakah namanya masih bebas, jika pilihan yang ada diatur-atur oleh pemilik kekuasaan, baik dengan cara halus maupun kasar?
Penulis yang ilmunya rendah ini berusaha memahami situasi politik saat ini, dan kesimpulannya, ini hanya tentang bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Nasib kita sebagai rakyat tak menjadi pertimbangan sama sekali.
Lawang, 4 September, terinspirasi setelah melihat komentar-komentar netizen (atau buzzer?) terkait peringatan darurat yang ramai beberapa minggu lalu
Foto Featured Image: Merdeka
You must be logged in to post a comment Login