Politik & Negara
Berusaha Memahami Situasi Politik yang Sedang Terjadi Saat Ini
Selama beberapa minggu terakhir, drama perpolitikan di Indonesia benar-benar dinamis sekaligus panas. Penyebab utamanya tentu saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang entah mengapa penuh dengan drama.
Tidak hanya drama di Jakarta, banyak peristiwa politik lain yang juga terjadi bersamaan. Salah satu yang mencuri perhatian Penulis adalah banyaknya calon kepala daerah yang hanya berhadapan dengan kotak kosong karena terlalu gemuknya koalisi.
Oleh karena itu, ada banyak hal yang terbesit di pikiran Penulis setelah mengamati dunia politik pada masa-masa ini, sehingga merasa perlu untuk menuangkan pikiran dan opininya melalui tulisan ini.
Gagal Paham Netizen (atau Buzzer?) Menyikapi Peringatan Darurat

Penulis sudah merangkum kejadian Peringatan Darurat pada tulisan sebelumnya. Intinya, pada akhirnya keinginan DPR untuk membuat RUU Pilkada demi membatalkan putusan MK dibatalkan karena desakan dari masyarakat.
Seperti yang kita tahu, menjelang rapat untuk membahas RUU Pilkada tersebut, masyarakat berkumpul di beberapa kota besar Indonesia untuk melakukan aksi protes. Bahkan, banyak public figure yang turun seperti Reza Rahadian, Andovi, serta banyak komika.
Nah, dengan dikabulkannya permintaan tersebut, tentu kita sebagai masyarakat merasa senang karena berhasil menahan pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengubah peraturan demi kepentingan tertentu. Iya, kan?
Ternyata, tidak semua berpikiran seperti itu. Ada pihak (kemungkinan buzzer) yang menuduh kalau gerakan Peringatan Darurat tersebut merupakan gerakan terstruktur yang dikomandoi oleh pihak tertentu untuk tujuan lain. Siapa? Mereka tidak menyebutkannya.
Lantas, tujuan lainnya itu apa? Nah, di sini Penulis tidak paham. Mayoritas pos yang kontra dengan Peringatan Darurat tidak menjelaskan secara spesifik apa maksud lain dari gerakan tersebut. Kalau yang pro kan jelas, kami tidak ingin peraturan diubah seenak udel-nya.
Anehnya, mereka justru melempar isu lain untuk memperkeruh keadaan. Contoh, mereka menyinggung masalah politik dinasti di Banten. “Kenapa kalian diam ketika ada dinasti di Banten,” kurang lebih begitu narasi dari mereka.
Bagi Penulis, mereka yang bernarasi seperti itu tidak paham substansi. Peringatan Darurat bukan muncul semata-mata untuk menolak dinasti, tapi (sekali lagi) mencegah agar jangan sampai peraturan bisa diubah semena-mena demi kepentingan tertentu.
Politik dinasti sudah banyak terjadi selama ini, bukan dipelopori oleh keluarga Joko Widodo selaku presiden kita. Tidak ada perarturan yang melarang kalau kita kerabat dari pejabat publik, kita dilarang untuk menjadi pejabat publik juga.
Yang dipermasalahkan adalah kalau dinasti itu dibangun dengan mengubah peraturan yang sudah ada. Kedua anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, sama-sama terganjal umur. Gibran berhasil diloloskan pamannya, tapi Kaesang tidak.
Nah, waktu meloloskan Gibran, tidak ada yang berdaya untuk mengubah keputusan MK tersebut, bukan? Lantas, mengapa saat MK memutuskan yang terakhir kemarin, tiba-tiba DPR bergerak cepat untuk menganulir keputusan tersebut? Ini kan anomali yang sangat aneh.
Isu lain yang dilempar ke publik adalah mempertanyakan mengapa para orang pro Peringatan Darurat tidak sevokal ini saat membahas RUU Perampasan Aset. Ini kesalahan logika lainnya karena sudah berbeda substansi. Buzzer memang selalu punya caranya sendiri, walau sering tak masuk akal.
Negara Tanpa Oposisi, tapi Lebih Parah

Salah satu poin yang diputuskan oleh MK adalah menurunkan batas threshold partai politik untuk bisa mencalonkan orang, dari 20% menjadi 7.5% saja. Tentu ini keputusan yang bagus sekali, karena threshold yang terlalu tinggi menimbulkan sedikitnya calon yang bisa dipilih.
Penulis pernah membahas mengenai bagaimana Jokowi berhasil mengalahkan lawan-lawannya tanpa berperang, yakni dengan cara mengajak koalisi lawan-lawannya. Hal ini tampaknya akan dilanjutkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam satu pernyataan, Prabowo pernah mengatakan kalau oposisi bukanlah budaya Indonesia, karena budaya Indonesia adalah gotong royong. Bagi Penulis, dalam negara yang mengusung demokrasi, ini adalah hal yang cukup berbahaya.
Hal ini bisa dilihat dari peta Pilkada saat ini, di mana ada begitu banyak satu calon diusung oleh hampir semua partai yang ada untuk melawan kotak kosong, atau minimal melawan calon independen. Ada puluhan kasus seperti ini di seluruh Indonesia.
Penulis ambil contoh di Jakarta, di mana Ridwan Kamil diusung oleh 15 partai. Partai Nasdem, PKB, dan PKS, yang awalnya ingin mengusung Anies Baswedan, berbalik arah dan ikut mendukung Ridwan Kamil karena gagal mencapai threshold.
Setelah keputusan MK, PDIP akhirnya maju sendirian dengan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Ada pasangan ketiga dari jalur independen, yang juga kontroversial karena mencatut banyak KTP orang dan tetap diloloskan untuk berlaga di Pilkada.
Di Jawa Timur pun begitu, di mana partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Khofifah. Yang berbeda adalah PDIP yang mengusuk Risma dan PKB yang mengusung Luluk.
Bayangkan, satu orang diusung oleh belasan partai. Jika pun mereka kalah, suara mereka di dewan akan sangat dominan. Lantas, bagaimana pihak Eksekutif dan Legislatif bisa bekerja dengan baik jika tidak seimbang seperti ini?
Negara butuh kontrol, karena itulah kita menganut trias politika. Tidak boleh ada satu pihak yang terlalu dominan. Kalau Eksekutif dan Legislatif-nya sejalan terus, lantas siapa yang bisa menjamin kalau semua keputusan yang dibuat akan menguntungkan untuk rakyat?
Kita seolah semakin bertransformasi menjadi negara tanpa oposisi yang makin parah. Siapa yang tidak mau ikut, entah baik atau buruk, akan ditinggal. Memang benar kalau tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi dan berada di luar kekuasaan.
Penutup
Situasi politik di Indonesia saat ini, setidaknya bagi Penulis, sudah berada di tahap yang membuat geleng-geleng kepala. Konsep bernegara yang kita kenal selama ini perlahan digeser, sehingga tak terasa kita akan dibawa kembali ke era otoriter seperti dulu.
Mungkin kita masih bisa bersuara, mungkin kita masih bisa melempar kritik. Akan tetapi, negara ini seolah sedang diatur oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing alias oligarki. Negara ini mau maju mau mundur, suka-suka mereka.
Kalau mau sarkas, sudah tidak perlu adakan Pemilu saja sekalian. Silakan pilih suka-suka kalian. Apakah namanya masih bebas, jika pilihan yang ada diatur-atur oleh pemilik kekuasaan, baik dengan cara halus maupun kasar?
Penulis yang ilmunya rendah ini berusaha memahami situasi politik saat ini, dan kesimpulannya, ini hanya tentang bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Nasib kita sebagai rakyat tak menjadi pertimbangan sama sekali.
Lawang, 4 September, terinspirasi setelah melihat komentar-komentar netizen (atau buzzer?) terkait peringatan darurat yang ramai beberapa minggu lalu
Foto Featured Image: Merdeka
Politik & Negara
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat…
Rasanya beberapa minggu terakhir ini, Indonesia menjadi sedikit tidak nyaman sebagai rumah kita tinggal. Pasalnya, muncul sekali banyak berita yang membuat kita merasa resah, kecewa, marah, sedih, campur aduk pokoknya.
Puncaknya mungkin ketika meninggalnya Affan Kurniawan, seorang driver ojek online (ojol) yang tewas terlindas mobil Brimob pada tanggal 28 Agustus 2025. Sejak itu, situasi mengalami eskalasi yang begitu cepat hingga terjadi kerusuhan di mana-mana.
Namun, menurut Penulis, rasanya apa yang terjadi beberapa minggu ini merupakan akumulasi dari kekecewaan demi kekecewaan yang kita alami selama beberapa bulan terakhir, atau bahkan sudah bertahun-tahun menggumpal di dalam diri kita.

Penulis tidak akan membahas secara detail apa yang sebenarnya telah terjadi belakangan ini, rasanya sudah cukup banyak yang membahas hal tersebut (dan juga sudah cukup basi karena situasi yang sudah mulai kondusif).
Di sini, Penulis ingin berandai-andai seandainya saja bisa menuliskan surat terbuka untuk para tuan dan puan terhormat yang mengurus bangsa ini. Walau tidak menyelesaikan masalah (tentu saja), setidaknya Penulis bisa mengeluarkan unek-uneknya yang mungkin juga akan mewakili para Pembaca sekalian.
***
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami sebagai rakyat hanya ingin keadilan
Bagaimana bisa kalian menari-nari ketika kami sedang kesulitan
Sedangkan seharusnya kamu menjadi tanggung jawab kalian
Rakyat mana yang sebenarnya kalian wakili?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Mengapa belakangan banyak perkataan kontroversial keluar dari mulut tuan dan puan
Perkataan yang seolah tak memiliki hati dan kepekaan sosial
Seolah kalian hidup di dalam gelembung kalian sendiri
Hingga rasanya begitu tone deaf dan tak peduli dengan rakyat yang kalian wakili?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Mengapa peraturan yang pro rakyat justru selalu dipersulit dan tak pernah kelar
Tapi peraturan yang menguntungkan kelompok tertentu bisa selesai secara kilat
Apakah betul kalau tuan dan puan memang pilih kasih
Hanya akan membantu siapa yang memberi untung?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kita ini sama-sama manusia yang hidup di negara indah ini
Tapi mengapa tuan dan puan menganggap kami ini berbeda derajat
Padahal tuan dan puan selalu mengemis suara di masa pemilu
Tapi mengapa di saat seperti ini justru tutup telinga?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami sebagai rakyat terus tercekik dengan pajak yang bermacam-macam itu
Hampir semua aspek kehidupan kami ini dipajaki
Bagaimana bisa negara yang katanya kaya raya ini
Justru pemasukan terbesarnya dari keringat rakyat?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Hutang adalah menjadi momok yang mengerikan bagi kami
Bukan semata-mata takut dikejar penagih hutang, takut dengan neraka juga
Tapi kenapa hutang negara bisa begitu tingginya
Sampai terasa mustahil untuk bisa melunasi semuanya?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Banyak efisiensi terjadi di mana-mana, yang merupakan bahasa halus pemecatan
Hampir semua sektor mengeluh dan terpaksa melakukan efisiensi
Kami bukan pemalas, kami juga mampu bekerja dengan baik
Kami justru heran, mana 19 juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan itu?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Di tengah sulitnya kami mencari pekerjaan yang layak
Mengapa ada banyak orang-orang yang bisa rangkap jabatan di pemerintahan
Apakah Indonesia kekurangan orang kompeten
Sehingga satu orang bisa mengisi dua-tiga posisi sekaligus?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kenapa banyak sekali orang-orang mendapatkan gelar kehormatan
Di tengah kondisi rakyat yang masih bingung besok bisa makan atau tidak
Mengapa kita selalu disibukkan dengan seremoni-seremoni
Sehingga melupakan hal yang substansial?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Penjarahan yang rakyat lakukan memang tidak bisa dibenarkan
Tapi jangan lupa, selama ini tuan dan puan juga melakukan penjarahan besar-besaran
Hutan digundul, laut dikeruk, peradaban diusir
Bukankah itu semua demi kepentingan pemilik usaha yang ingin menguras Indonesia?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami sudah hidup dengan banyak kesulitan masing-masing
Kenapa tuan dan puan seolah ingin menambah kesulitan kami
Dengan merilis kebijakan-kebijakan yang merugikan kami
Padahal kami hanya ingin hidup dengan tenang?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami hanya ingin bersuara dan mengeluarkan semua aspirasi
Walau tak tentu didengar, tapi setidaknya kami berusaha
Tapi kenapa kamu justru dilibas sana-sini
Bahkan hingga dilindas sampai mati?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kenapa tuan dan puan terkadang terasa paranoid dengan rakyatnya sendiri
Padahal tuan dan puan dibayar untuk mengurus kami
Hingga membuat sabotase di berbagai lini komunikasi
Seolah ingin memonopoli informasi yang sampai ke publik?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami ingin transparansi senyata mungkin dari tuan dan puan
Karena uang kami yang dipakai untuk menggaji tuan dan puan
Apakah tuan dan puan takut ada hal-hal tabu terungkap
Yang membuat kami sebagai pemberi gaji menjadi murka?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
UMR kami sangat rendah jika dibandingkan gaji serta tunjangan tuan dan puan
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun harus hemat setengah mati
Tapi tuan dan puan banyak yang aslinya sudah kaya raya
Lantas mengapa masih mendambakan gaji serta tunjangan tinggi?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Di saat banyak sekali harga barang pokok meroket
Banyak sekali keistimewaan yang didapatkan oleh tuan dan puan sekalian
Kami rakyat harus banting tulang untuk bisa membelinya
Sedangkan tuan dan puan bisa mendapatkannya begitu saja?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami berusaha hidup dengan jujur dan baik
Tapi mengapa tuan dan puan banyak yang tersandung korupsi
Padahal kehidupan sudah lebih dari layak dibanding mayoritas masyarakat
Mengapa justru memilih untuk menjadi serakah dan tak pernah puas?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Sungguh, kami tak masalah tuan dan puan diberi gaji dan tunjangan tinggi
Karena mengurus suatu negara sebesar Indonesia bukanlah hal yang mudah
Namun, jika kinerjanya kami anggap kurang
Masih pantaskan kalian menerima gaji dan tunjangan sebesar itu?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Kami ini rakyatmu, kita ini sama-sama orang Indonesia
Kami ini bukan musuhmu, kami ingin sama-sama membuat Indonesia menjadi besar
Tapi mengapa terkadang kesenjangan sosial antara kita begitu lebar
Seolah penjajah tak pernah benar-benar hengkang dari negeri ini?
Kepada Tuan dan Puan yang Terhormat,
Rasanya surat terbuka untuk tuan dan puan ini tak akan sampai
Siapalah hamba hingga didengar oleh tuan dan puan yang terhormat
Tapi setidaknya melalui tulisan ini, hamba bisa bersuara
Sambil berharap yang terbaik untuk negeri ini.
Lawang, 8 September 2025, terinspirasi dengan “ricuhnya” Indonesia beberapa minggu terakhir
Foto Featured Image: Kompas
Politik & Negara
Pemerintah Selalu Benar, yang Salah Selalu Rakyat
Raja Ampat di Papua tengah menjadi sorotan. Pasalnya, ada isu yang menyebut kalau aktivitas pertambangan nikel di sana berpotensi merusak ekosistem alam yang ada di sana, baik di darat maupun laut. Tagar #saverajaampat pun viral di media sosial.
Nah, salah satu kebiasaan di negara kita tercinta adalah sebuah isu akan diseriusi atau ditindaklanjuti ketika sudah menjadi viral. Bahkan, sampai muncul istilah no viral no justice. Itu juga terjadi di kasus Raja Ampat ini.
Setelah ramai, pihak pemerintah bergerak cepat untuk melakukan klarifikasi atau meluruskan isu ini. Melansir dari berbagai sumber, aktivitas pertambangan di seputar Raja Ampat telah dibekukan untuk sementara waktu.

Namun, Penulis ingin membahas hal lain pada tulisan kali ini. Bukan fokus ke masalah Raja Ampat-nya, melainkan melihat bagaimana pemerintah memberikan respons saat ada kritik yang ditujukan kepada mereka.
Ucapan Bahlil yang Bikin Garuk-Garuk Kepala
Orang “terdepan” yang sering muncul terkait kasus ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Bahkan, beliau sampai langsung menuju Raja Ampat untuk meninjau langsung lokasi pertambangan.
Ada beberapa pernyataan beliau yang sudah muncul di publik, yang rasanya perlu kita soroti, tapi ini yang paling bikin garuk-garuk kepala:
“Ada pihak-pihak asing yang tidak senang atau kurang berkenan dengan proyek hilirisasi ini,” ungkap Bahlil sebagaimana dilansir dari Antara.
Menurut Penulis, secara tidak langsung Bahlil seolah menuduh masyarakat yang mendengungkan tagar #saverajaampat merupakan antek asing yang tidak suka Indonesia menjadi negara hebat dengan proyek-proyek hilirisasi yang dicanangkan.
Paling halus, Bahlil seolah menuduh kalau kita yang menentang aktivitas pertambangan di Raja Ampat mudah digiring oleh kekuatan-kekuatan asing untuk menghambat kemajuan bangsa melalui hilirisasi.
Kasarnya, kita itu tidak tahu apa-apa, mau saja termakan propaganda asing tanpa bukti yang benar. Apalagi, Bahlil telah turun ke sana dan mendapatkan sambutan dan dukungan yang (katanya) masyarakat sana (walau ia juga sempat disoraki ‘penipu’ di bandara).
Pemerintah Tidak Pernah Salah, yang Salah Rakyat
Pernyataan Bahlil tersebut membuat Penulis merasa dejavu karena rasanya pola seperti ini bukan pertama kali terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto. Setiap ada yang “oposisi” terhadap pemerintah dan kebijakannya, tuduhan-tuduhan tak berdasar langsung disematkan.
Tidak percaya? Coba baca pernyataan Presiden Prabowo berikut ini:
“Coba perhatikan secara obyektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus obyektif, dong.”
Pernyataan tersebut muncul saat ramai-rama demo yang menentang pengesahan RUU TNI, yang dikhawatirkan akan membangkitkan dwifungsi ABRI yang telah dimatikan sejak masa reformasi. Ia seolah menuduh bahwa semua orang yang demo itu ditunggangi oleh pihak lain.
Itu masih dalam topik antek asing. Masih banyak sekali pernyataan dari pemerintah yang terkesan menyudutkan masyarakat. Masih ingat bagaimana respons pejabat publik saat tagar #indonesia gelap dan #kaburajadulu muncul di internet? Benar-benar bikin kita menarik napas panjang.
Contoh lain, saat program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan kritik dari seorang profesor, bagaimana respons Presiden Prabowo?
“Sampai sekarang ada profesor-profesor yang pintar-pintar kok nggak setuju. Heran saya. Profesor pintar atau bodoh? Saya nggak tahu itu.”
Ancaman Nyata untuk Demokrasi
Dalam iklim demokrasi, tentu hal-hal semacam ini berbahaya karena bisa mematikan kebebasan berbicara masyarakat. Setiap yang berbeda dan tidak sejalan oleh pemerintah langsung dimatikan. Tidak ada ruang untuk oposisi.
Apalagi, saat ini Presiden Prabowo praktis bisa dibilang tidak memiliki oposisi resmi di kursi, mengingat hampir semuanya mendukung beliau. Jika rakyat pun dilarang menjadi oposisi, lantas siapa yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah?
Penulis jadi berpikir, apakah memang pemerintah saat ini selalu merasa dirinya benar, sehingga rakyat yang selalu disalahkan? Pemerintah kita menolak disebut otoriter, tapi mengapa lagaknya seperti berusaha membungkam setiap suara yang berbeda?
Idealnya, ketika ada kritik atau ketidaksetujuan dari masyarakat, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harusnya bisa menanggapinya dengan bijak. Beri respons yang menghadirkan solusi, atau minimal bisa menenangkan publik.
Entah mengapa Penulis merasa komunikasi publik pemerintah sekarang ini terasa sangat kurang, bahkan kadang terasa terlalu angkuh. Apa karena mereka merasa punya posisi yang sangat kuat, sehingga bisa begitu percaya diri dengan pernyataan-pernyataan kontroversial? Entahlah.
Lawang, 9 Juni 2025, terinspirasi dari ramainya isu pertambangan Nikel di wilayah Raja Ampat
Sumber Artikel:
- Bahlil menduga pihak asing terlibat untuk gagalkan hilirisasi – Antara
- 5 Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Terkait Tambang Nikel di Raja Ampat – Liputan 6
- Tinjau Tambang Nikel di Raja Ampat, Teriakan Bahlil Penipu Menggema di Bandara Sorong – RCTI Plus
- Di balik retorika ‘waspadai kekuatan asing’ ala Presiden Prabowo Subianto – ‘Prabowo adu domba warga dengan warga’ – BBC
- Prabowo Kritik Profesor yang Nyinyir Proyek Makan Bergizi Gratis – Tempo
Politik & Negara
Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?
Terkuaknya kasus korupsi Pertamina dan “bensin oplosan” akhir-akhir ini seolah menjadi gong dari berbagai isu yang sedang melanda Indonesia. Bayangkan saja, potensi kerugian negara bisa mencapai 1.000 triliun sehingga layak menyandang sebagai “juara” korupsi.
Selain itu, masyarakat juga benar-benar dirugikan karena mereka yang selama ini menggunakan Pertamax ternyata sama saja dengan menggunakan Pertalite. Bayar lebih untuk barang yang lebih murah, kan menjengkelkan, ya?
Entah mengapa rasanya 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar penuh dengan permasalahan. Saking banyaknya, masyarakat pun dibuat pusing olehnya. Narasi “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu pun mencuat.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin mengeluarkan semua unek-uneknya tentang berbagai isu yang sempat dan sedang panas dibicarakan. Siapkan obat sakit kepala, karena tulisan ini berpotensi mendatangkan sakit kepala kepada Pembaca!
Berbagai Isu yang Membuat Sakit Kepala

Mari kita bicarakan isu-isu yang relatif lebih “ringan” terlebih dahulu, yang sebenarnya juga kurang pas disebut “ringan” karena efek sakit kepalanya juga tidak main-main. Awal tahun ini, kita dipusingkan dengan masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Meskipun pada akhirnya hanya diterapkan kepada barang-barang tertentu, buruknya komunikasi pemerintah menimbulkan gejolak di masyarakat, seolah pemerintah memang sengaja melakukan tes ombak dulu sebelum membuat keputusan.
Selanjutnya ada kasus situs web Coretax, yang menghabiskan anggaran hingga Rp1,2 triliun dengan hasil yang sangat mengecewakan. Entah sudah berapa kali keluhan yang disematkan kepada situs tersebut karena tidak bisa menjalankan fungsi dasar.
Masalah LPG 3 kg yang sempat dilarang untuk dijual ke agen-agen sempat ramai dan mendapatkan banyak kecaman, sebelum Presiden Prabowo tampil sebagai pahlawan untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Kalau Penulis pribadi merasa paling jengkel dengan pernyataan dari Presiden Prabowo yang mengatakan kalau pohon sawit ‘kan sama-sama pohon, sehingga kita tidak perlu takut dengan deforestasi. Penulis tak menyangka ucapan tersebut muncul dari mulut seorang presiden yang Penulis anggap pintar.
Belakangan ini, PHK besar-besaran juga marak terjadi di banyak tempat, termasuk PT Sritex yang tutup. Jangan lupa, saat artikel ini ditulis, rupiah sudah tembus ke angka Rp16.580, lebih buruk dibandingkan saat Krisis Moneter 1998.
Belum lagi masalah yang masih diliputi oleh banyak misteri seperti Pagar Laut. Entah mengapa semua isu-isu ini datang dalam waktu yang berdekatan, seolah tidak memberi kita jeda untuk sekadar bernapas.
Makan Bergizi Gratis dan Efisiensi Anggaran

Salah satu program kerja Presiden Prabowo yang paling sering disorot belakangan ini tentu saja Makan Bergizi Gratis (MBG), yang memang sejak masa kampanye menjadi program andalan Prabowo-Gibran.
Ada yang melaporkan makanan yang disajikan basi dan kurang bermutu, meski Penulis pribadi mendapatkan testimoni yang positif dari anak-anak Karang Taruna yang duduk di bangku SMP. Penulis juga mendapat laporan ada sekolah yang belum kebagian jatah.
Terlepas dari kualitasnya, sejak awal banyak yang menganggap kalau program ini sangat boros anggaran dan dikhawatirkan tidak tepat sasaran. Bukti nyata borosnya program ini adalah ditetapkannya efisiensi anggaran dari semua lini, termasuk pendidikan itu sendiri.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dihemat hingga Rp22,54 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dihemat hingga Rp8 triliun. Total target dana yang akan didapatkan setelah melakukan efisiensi ini adalah RP750 triliun.
Namun, entah mengapa Penulis merasa efisiensi yang diterapkan ini rasanya kok cuma gimmick semata. Alasannya, kalau memang mau efisiensi yang ketat, kurangi gaji pejabat publik dan cabut fasilitas-fasilitas yang kurang perlu. Penulis yakin, anggaran yang dihemat akan lumayan besar.
Selain itu, RUU Perampasan Aset untuk para koruptor juga tak kunjung disahkan. Jika koruptor berhasil dimiskinkan, tentu itu akan mengembalikan kerugian negara yang telah dicuri.
Sayangnya, tampaknya pemerintah kita belum seberani itu dan lebih memilih untuk mengorbankan banyak hal lewat efisiensi. Korbannya? Tentu masyarakat, di mana tak sedikit pegawai pemerintah yang terancam atau bahkan sudah di-PHK.
Untuk apa efisiensi yang dilakukan ini? Selain untuk membiayai MBG, dana yang ada akan dijadikan modal awal untuk Danantara.
Skeptisme Mengelilingi Danantara

Dengan semua isu yang terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ini, tentu banyak masyarakat (termasuk Penulis) jadi merasa skeptis dengan Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Danantara, yang akan mengelola dana hingga 14 ribu triliun.
Dana tersebut didapatkan dari aset tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pertamina, PLN, Mind ID, BRI, BNI, Bank Mandiri, dan Telkom Indonesia. Nantinya aset-aset tersebut akan digunakan untuk membiayai banyak proyek strategis, termasuk hilirisasi.
Secara konsep, proyek Danantara memang potensial, tapi kekhawatiran mengenai potensi korupsinya lebih menakutkan. Sentimen publik makin negatif karena diketuai oleh mantan napi koruptor, Burhanuddin Abdullah.
Apalagi, berdasarkan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR membuat Danantara tidak bisa diaudit oleh KPK dan BPK, kecuali atas permintaan dari DPR. Masalah transparasi menjadi isu utama yang membuat masyarakat menjadi skeptis.
Kasus korupsi Pertamina yang baru saja terungkap seolah menegaskan kalau para elite politik kita sulit untuk diberikan amanah dalam mengelola uang dengan nominal yang fantastis. Jangan sampai Danantara akan menjadi mega korupsi selanjutnya mengalahkan kasus Pertamina.
Selain itu, jika Danantara ini memang program kerja yang bagus, mengapa tidak dikampanyekan oleh Presiden Prabowo saat masa kampanye? Ini seolah mengulang Ibu Kota Negara (IKN) yang juga tidak dikampanyekan oleh Joko Widodo di tahun 2019.
Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu

Itulah beberapa isu yang cukup membuat masyarakat merasa pusing dengan kondisi negara saat ini. Beberapa isu lain yang tidak Penulis singgung adalah revisi UU Minerba dan kembalinya multifungsi TNI/Polri seperti zaman Orde Baru.
Ini semua pada akhirnya membuat banyak orang menyuarakan Indonesia Gelap (yang dibantah oleh pemerintah) dan memicu gerakan #KaburAjaDulu. Sudah banyak yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.
Parahnya, respons pemerintah cenderung defensif dan justru melakukan serangan balik, mulai dari tidak terima dengan Indonesia Gelap hingga menyematkan status “tidak nasionalis” kepada masyarakat yang memilih kabur ke luar negeri dan “jangan balik lagi”.
Padahal, seharusnya pemerintah intropeksi diri mengapa gerakan ini sampai muncul dan memikirkan solusinya. Kan masalahnya banyak yang timbul dari sisi pemerintah, ya masa solusinya masyarakat yang harus memikirkannya?
Teman Penulis bahkan sampai berpendapat bahwa bisa bertahan hidup hari ini saja sudah luar biasa. Masih bisa napas pun sudah alhamdulillah, walau ia bercelutuk bernapas pun susah di Jakarta karena polusinya yang luar biasa.
Pertanyaan besarnya adalah, mau sampai kapan kita dibuat pusing oleh negara ini? Kita sudah berusaha menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara dengan taat membayar pajak, tapi justru terus dizalimi seperti ini.
Mungkin memang sudah saatnya doa “ampunilah dosa para pemimpin kami” diganti dengan “berikanlah balasan yang setimpal kepada para pemimpin kami”. Yang jelas di bulan puasa yang sedang berlangsung saat ini, rasanya kita perlu banyak beristigfar dalam menghadapi berbagai masalah negara ini.
Lawang, 3 Maret 2025, terinspirasi setelah merasa pusing dengan kondisi negara saat ini
Sumber Featured Image:
Sumber Artikel:
-
Non-Fiksi12 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Olahraga12 bulan agoKok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
-
Permainan12 bulan agoKoleksi Board Game #28: Point City
-
Sosial Budaya12 bulan agoMengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
-
Olahraga11 bulan agoApakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Fiksi8 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis
-
Sosial Budaya12 bulan agoLaki-Laki Tidak Bercerita, Laki-Laki Curhat ke ChatGPT
-
Olahraga9 bulan agoSaya Memutuskan Puasa Nonton MU di Bulan Puasa




You must be logged in to post a comment Login