Film & Serial

The Fall of Marvel Cinematic Universe

Published

on

Penulis termasuk orang yang “telat” mengikuti film-film Marvel atau yang disebut sebagai Marvel Cinematic Universe (MCU). Bagaimana tidak, Penulis baru maraton film-filmnya beberapa minggu sebelum menonton film Avengers: Infinity Wars di tahun 2018.

Tentu ada beberapa film Marvel yang sudah pernah Penulis tonton sebelumnya seperti Iron Man. Namun, Penulis banyak melewatkan film superhero lainnya, terutama yang namanya tidak pernah terdengar sebelumnya.

Apa yang Penulis suka dari konsep yang ditawarkan oleh Marvel adalah kesinambungan antara film-filmnya, hingga memiliki konklusi di dua film Avengers. Banyak yang mencoba meniru konsep ini (termasuk DC), tetapi rasanya tidak ada yang seberhasil Marvel.

Setelah Infinity Saga (film-film dari Phase 1 sampai Phase 3) berakhir, Marvel move on ke saga selanjutnya, yaitu Multiverse Saga yang dimulai dari Phase 4 hingga Phase 6 mendatang. Sayangnya, Penulis merasa Marvel mengalami penurunan kualitas yang cukup drastis.

Pada tulisan kali ini, Penulis akan coba memberikan opininya terkait jatuhnya Marvel Cinematic Universe dari sudut pandang Penulis sebagai penggemar, terutama mencari tahu apa faktor yang bisa membuat Marvel berada di titik yang sekarang.

Tier List Film dan Serial MCU Phase 4

Selama Phase 1 sampai Phase 3, MCU telah memiliki total 23 film. Di Phase 4, MCU telah memiliki 6 judul film, 8 serial, serta 1 special presentation. Fase ini masih memiliki film Black Panther: Wakanda Forever dan The Guardians of the Galaxy Holiday Special.

Penulis mencoba untuk membuat semacam tier list untuk film dan serial yang telah tayang di Phase 4, di mana tier S artinya great, tier A artinya bagus, tier B artinya oke atau B aja, tier C artinya buruk, dan tier D artinya sangat buruk. Berikut daftarnya:

Bagi Penulis, hanya film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings yang patut mendapatkan apresiasi tinggi. Film Spider-Man: No Way Home bagus, tetapi itu karena ada unsur nostalgianya yang sangat kental hingga menutupi berbagai plot hole di dalamnya.

Serial-serial awal Marvel seperti WandaVision dan Loki sangat menjanjikan, yang sayangnya tidak berhasil ditiru oleh serial-serial Marvel selanjutnya. Apalagi, masing-masing serial juga memiliki kekurangan yang sama. Penulis akan menjelaskan hal ini lebih rinci di bawah.

Sebagai perbandingan, Penulis juga membuat tier list untuk film-film yang telah tayang di Infinity Saga alias Phase 1, Phase 2, dan Phase 3. Berikut adalah daftarnya:

NB: The Incredible Hulk (2008) tidak Penulis masukkan karena belum menontonnya

Bisa dilihat untuk dua tier teratas, Penulis memasukkan 11 film di Infinity Saga atau setara dengan 50% dari total film Marvel. Sebaliknya, hanya ada 2 film dan 3 serial Marvel di Multiverse Saga yang masuk ke dalam dua tier teratas atau sekitar 33%.

Namun, jika melihat daftar di dua tier terbawah, Infinity Saga hanya memiliki 3 judul (13%) saja, sedangkan Multiverse Saga memiliki 7 judul (46%) baik film maupun serial. Bahkan untuk sekadar “oke”, Marvel tampak kesulitan di Phase 4 ini.

Penulis bisa bilang, film terburuknya Marvel di Infinity Saga masih lebih bagus daripada beberapa film dan serial yang ada di Multiverse Saga. Penulis jelas memilih untuk menonton Iron Man 2 daripada harus menonton ulang Eternals.

Memang banyak film Marvel di Infinity Saga yang kualitasnya sekadar “oke” alias di tier B. Namun, film-film tersebut masih jauh lebih baik daripada beberapa judul terakhir yang dirilis oleh Marvel.

Terlalu Mengandalkan Cameo dan Nostalgia

Penulis merasa kalau Marvel terlalu mengandalkan cameo dan nostalgia untuk bisa membuat Phase 4 terlihat menarik. Ini seolah mengesankan kalau Marvel tidak terlalu percaya diri dengan kualitas film dan serial yang mereka buat sendiri.

Selain No Way Home yang sudah Penulis sebutkan, ada film Doctor Strange in the Multiverse of Madness yang memunculkan banyak cameo. Masalahnya, Marvel tampak menyia-nyiakan para cameo tersebut hingga membuat banyak penggemar kesal.

Serial She-Hulk mungkin akan sepi dari awal jika Daredevil tidak diiklankan dari awal akan muncul. Ms. Marvel “mendatangkan” Captain Marvel di bagian akhir serial, sedangkan Hawkeye memunculkan Yelena Belova dari film Black Widow.

Serial WandaVision bahkan memunculkan pemeran Quicksilver alias Pietro Maximoff dari semesta X-Men yang diperankan oleh Evan Peters. Ini memunculkan perdebatan tentang multiverse, walau teori itu dipatahkan di akhir serial.

Love and Thunder sempat memunculkan pasukan Guardians of the Galaxy walau sebentar. Bahkan, film yang bagus seperti Shang-Chi juga menampilkan cameo dari Wong dan Abomination untuk adegan yang sebenarnya tidak terlalu penting juga.

Padahal, film atau serial yang tidak memunculkan cameo juga bisa terlihat bagus, seperti yang kita saksikan di serial Moon Knight. Serial Loki juga memiliki fokus yang bagus ke protagonis utamanya.

Ke depannya, tampaknya Marvel masih akan mengandalkan dua hal ini. Terbaru, Ryan Reynolds baru mengumumkan kalau film Deadpool 3 akan dibintangi oleh karakter kesayangan sejuta umat, Wolverine yang diperankan oleh the one and only Hugh Jackman.

Memang, semesta yang dibuat oleh Marvel membuat semua film dan serialnya saling terkait. Hanya saja, kalau cuma mengandalkan cameo dan nostalgia saja sebagai fans service tanpa diiringi kualitas yang baik, ya buat apa?

Apalagi, Marvel memiliki kelebihan dalam memilih cast-nya. Oscar Isaac (Moon Knight) sangat disukai oleh penggemar. Florence Pugh (Yelena Belova), Iman Vellani (Kamala Khan), Hailee Steinfeld (Kate Bishop), semua langsung jadi favorit banyak orang, sehingga sayang jika kualitas mereka kurang dimaksimalkan dengan baik.

Quantity Over Quality?

Marvel sempat membuat jargon expanding the universe yang menandakan kalau semesta Marvel akan semakin luas. Masalahnya, bagi Penulis semesta Marvel sudah terlalu luas hingga mereka terlihat kesulitan untuk mengendalikannya.

Dulu di Infinity Saga, Marvel merilis sekitar 2-3 film setiap tahunnya. Sekarang pun Marvel masih konsisten merilis sekitar tiga film setiap tahunnya. Bedanya, sekarang Marvel juga merilis serial yang tayang secara eksklusif di Disney+.

Di tahun 2021 ada 5 serial yang dirilis oleh Marvel, sedangkan di tahun 2022 ada 3 serial yang dirilis. Jangan lupa kalau di tahun ini juga akan ada dua special presentation, yakni Werewolf by Night dan The Guardians of the Galaxy Holiday Special.

Tentu ini menimbulkan pertanyaan, apakah Marvel memang sekarang lebih fokus ke kuantitas daripada kualitas? Mereka membuat begitu banyak serial yang tentunya diproyeksikan akan muncul di proyek-proyek Marvel selanjutnya.

Selain membuat serial untuk karakter yang sudah ada, Marvel juga memanfaatkannya untuk memperkenalkan beberapa karakter baru. Jika dibuat daftar, pasti akan ada banyak sekali nama-nama baru.

Masalahnya, kuantitas ini juga sangat berpengaruh ke kualitas yang dimiliki. Lihat saja betapa buruknya CGI di serial She-Hulk: Attorney at Law yang seolah menyiratkan kalau budget Marvel sedang tipis. Tidak hanya itu, kualitas penceritaannya pun buruk.

Hampir semua serial Marvel memiliki kelemahan dengan mengulur-ulur cerita sebelum ke klimaks utama. Akhir yang anti-klimaks, kesan terburu-buru, alur agak berantakan, dan banyak hal buruk lainnya menjadi “ciri khas” dari serial Marvel.

Kemungkinan, ini dikarenakan durasi serial yang hanya berkisar di angka 30 menit. Sebagai perbandingan, serial dari platform lain seperti Game of Thrones dan The Boys memiliki durasi sekitar 1 jam, sehingga setiap episodenya memiliki core cerita yang mantap.

Penulis memahami kalau Marvel Studios baru masuk ke ranah serial, sehingga mereka masih meraba-raba. Mereka bisa belajar dari serial-serial di platform sebelah untuk bisa mendapatkan formula untuk membuat serial yang baik dan mampu memuaskan penonton.

Penutup

“Sejujurnya, yang paling dekat yang bisa saya pikirkan tentang mereka (Marvel), dan dibuat seperti apa adanya, dengan aktor melakukan yang terbaik yang mereka bisa dalam situasinya, adalah taman hiburan. Ini bukan sinema manusia yang mencoba menyampaikan pengalaman emosional dan psikologis kepada manusia lain.”

-Martin Scorsese-

Sewaktu Martin Scorsese melontarkan pernyataan di atas, banyak penggemar yang langsung memberikan hate comment kepada sang sutradara. Tak sedikit yang menganggap kalai Scorsese hanya iri dengan kesuksesan yang diraih oleh Marvel.

Namun, ketika Penulis baca lagi, mungkin apa yang diucapkan Scorsese ada benarnya. Marvel hanya membuat film yang “menghibur” seperti layaknya taman bermain, bukan film dengan penuh makna yang emosional, Oscar-worthy, mind-blowing, dan lain sebagainya.

Bandingkan dengan film-film seperti Everything, Everywhere, All at Once yang bagi Penulis berhasil membuat penontonnya merasa emosional dan terhanyut ketika menontonnya. Film-film Marvel jarang ada yang seperti itu.

Apakah yang dilakukan oleh Marvel salah? Tentu tidak. Secara komersial, strategi tersebut terbukti berhasil karena mampu menjangkau pasar yang sangat luas. Mau tua maupun muda, mereka bisa menikmati film-film Marvel tanpa perlu terlalu banyak berpikir.

Hanya saja, jangan sampai Marvel merasa jumawa karena memilki fanbase yang besar, sehingga membuat film dan serial ala kadarnya. Seolah ada mindset, mau bikin ampas sekalipun, pasti masih banyak yang mau nonton karena this is Marvel.

Pada tulisan berikutnya, Penulis akan membahas mengenai masa depan MCU beserta proyek-proyek akan mereka miliki untuk Phase 5 dan Phase 6. Beberapa terlihat menjanjikan, tetapi bisa saja hal tersebut salah seperti yang banyak terjadi di Phase 4.


Lawang, 22 Oktober 2022, terinspirasi setelah merasa kualitas film dan serial Marvel mengalami penurunan kualitas

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version