Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 38 Semua Sudah Tahu
Aku hanya bisa memberi tatapan kosong ketika Kenji memintaku untuk menemaninya menjenguk Sica. Ia kebingungan melihat responku, namun kurang dari semenit ia memberi tatapan “ah, aku mengerti apa yang telah terjadi”. Karena itu ia menambahkan, kemungkinan semua teman sekelas akan ikut menjenguk, jadi tidak usah takut suasananya menjadi awkward. Aku hanya mengangguk-angguk dengan tatapan yang sama.
***
Di jam istirahat pertama, Kenji dan Bejo mengumumkan bahwa sepulang sekolah nanti, kami semua akan menjenguk Sica yang sudah sadar kembali. Sebenarnya kami bisa mengunjunginya kemarin, hanya saja kami terlalu heboh dengan kembalinya Kenji dan Sarah. Omong-omong soal Sarah, ia masih terlihat takut-takut dengan kami, sehingga membuatnya diam tak bersuara sepanjang hari ini. Untunglah, beberapa teman seperti Rena dan Ve berusaha untuk membuat Sarah nyaman dengan mengajaknya bicara.
Aku jadi teringat tentang pertanyaanku kemarin ke Sica, mengapa ia tidak memiliki teman perempuan dekat di kelas. Untuk menghilangkan rasa penasaran tersebut, aku menanyakannya kepada Gita.
“Kenapa kamu bertanya itu Le?” tanya Gita balik, mungkin merasa pertanyaanku itu tidak perlu ditanyakan olehku.
“Hanya penasaran Gita, kenapa anak sebaik Sica justru tidak memilki teman dekat.” aku berusaha menjelaskan inti dari pertanyaanku.
Gita memandangku dengan tatapan memelas. Aku tidak paham apa yang perlu dikasihani dengan pertanyaanku? Atau justru tatapannya itu ditujukan kepada Sica?
“Kamu tahu Le, bagi kami kaum wanita, Sica itu terlihat terlalu sempurna. Ia pintar, cantik, baik hati, supel, hingga seolah-olah ia adalah makhluk yang sempurna. Mungkin itulah Le alasannya, ia terlalu tinggi untuk digapai oleh kami yang biasa-biasa saja.”
Aku sedikit terlonjak mendengar jawaban Gita. Terlalu sempurna? Benarkah kesempurnaan membuat kita menjadi susah memiliki kawan? Jika dipikir-pikir, mungkin ada benarnya. Dulu aku merasa begitu sempurna, sehingga tidak memiliki kawan satu pun. Akan tetapi tentu hal tersebut tidak bisa dibandingkan dengan Sica, karena kesempurnaan milikku adalah bentuk keangkuhan, sedangkan Sica adalah murni miliknya, walaupun aku percaya tidak ada manusia yang sempurna.
“Kamu beneran suka sama Sica ya Le?” tanya Gita menarikku kembali dari alam pikirku.
“Eh…itu…enggak kok. Aku hanya penasaran.” jawabku tergagap karena tidak menduga Gita akan bertanya sefrontal ini.
Gita hanya tersenyum masam, lalu membalikkan tubuhnya. Apakah aku salah karena menanyakan pertanyaan ini, pertanyaan yang jawabannya mungkin dirasakan oleh teman perempuan satu kelas? Belum kutemukan jawabannya, bel tanda masuk sudah berdering.
***
Jam istirahat kedua, teman-teman melakukan berbagai aktivitas. Sudarwono bersaudara selalu menjadi yang pertama keluar kelas. Kenji biasanya menghampiri aku untuk mengajak ke kantin, namun lebih sering aku tolak karena memang aku tidak suka membelanjakan uangku untuk membeli makanan. Toh aku sangat jarang merasa lapar, walaupun otak digunakan seharian untuk berpikir.
Karena sudah menemukan metode untuk berbicara dengan Juna, maka aku mencoba untuk mengajaknya berbicara.
“Juna, aku mengganggu?”
Ia menoleh dan melihat kelima jariku, terkekeh dengan geli.
“Tentu tidak Le, terima kasih sudah memberitahukan metode tersebut kepada teman-teman yang lain.”
“Mengapa kau bisa begitu berbeda di antara jeda dua detik?”
“Entahlah, sejak kecil aku begitu lambat dalam memberikan respon. Butuh lima detik agar otakku dapat memprosesi informasi yang masuk.”
“Lalu, mengapa biasanya kau respon dalam tiga detik?”
“Itu karena aku sering dimarahi oleh orang-orang yang mengajakku berbicara, sehingga aku menjawabnya lebih cepat dengan mengulang pertanyaannya, memberikan jeda untuk otakku menyerap informasi.”
“Tapi kau termasuk pintar Juna, bahkan di kelas ini, bagaimana bisa?”
“Otakku memang lambat menerima informasi yang berupa audio, akan tetapi di sisi lain sangat cepat menyerap informasi visual. Berikan aku buku telepon, beri beberapa menit, maka aku akan hafal halaman pertamanya.”
“Benarkah? Susah dipercaya.”
“Mau bukti? Coba tuliskan sesuatu secara acak rangkaian angka, huruf maupun simbol. Beri aku waktu beberapa detik untuk membacanya.”
Kulakukan apa yang ia minta, mencoba membuatnya sesulit mungkin. Begitu selesai, kuberikan kepadanya. Ia membaca kertas tersebut, membaca sepintas, lalu mengembalikannya kepadaku. Lantas, ia sebutkan semua yang tertera di kertas tersebut, lengkap dengan kesalahan-kesalahan penulisannya.
“Wah, luar biasa, tak kusangka kau memiliki kemampuan seperti itu.”
“Anggap saja ditukar dengan kemampuan otakku yang lambat menangkap informasi berupa audio. Kamu tahu mengapa aku sering sibuk menulis sewaktu istirahat?”
Aku menggelengkan kepala.
“Aku mencatat semua informasi yang aku dapatkan, baik pelajaran maupun tindak tanduk kalian. Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul karena keterbatasanku ini, tetapi aku ingin bisa membaur dengan kalian. Oleh karena itu aku banyak mencatat tentang hal tersebut, sehingga ketika kalian mengajakku berbicara, aku bisa nyambung.”
“Aku paham.”
Aku berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Juna.
“Kau juga mencatat pertanyaan Gita sewaktu istirahat pertama?”
“Tentu saja, banyak catatanku yang berisi perasaanmu kepada Sica, baik yang berasal darimu maupun orang lain. Aku rasa semua teman-teman satu kelas sudah tahu Le.” katanya sambil tersenyum.
Aku segera membalikkan badanku, mengakhiri percakapan.
***
Setelah berkutat dengan kimia, akhirnya kami bisa bernafas lega karena waktu untuk pulang telah tiba. Masuk ke kelas akselerasi berarti kami harus siap belajar satu setengah kali lebih cepat dibandingkan kelas regular. Di saat kelas lain masih bersantai, kami sudah akan naik tingkat ke kelas sebelas. Ketika kelas regular naik kelas, kami sudah separuh jalan menuju kelas dua belas. Inilah resikonya menjadi anak akselerasi, namun aku sama sekali tidak menyesali kondisi ini. Aku adalah penyuka tantangan, apalagi jika terkait dengan pelajaran. Aku akan berusaha mengalahkan semua teman-temanku di sini, termasuk Kenji.
Sesuai kesepakatan, kami semua akan mengunjungi Sica sepulang sekolah. Setelah mampir ke toko kelontong untuk membeli roti dan susu (lagi), kami berempatbelas mencegat angkot bersama-sama. Aku sengaja tidak pulang terlebih dahulu untuk mengajak Gisel, karena takut bocah itu akan membuka semua apa yang terjadi kemarin lusa. Mau ditaruh mana muka ini jika teman-teman sampai tahu.
Ketika kami sudah sampai di rumah sakit dan hendak masuk ke dalam ruangan, aku melihat keraguan dalam wajah Sarah. Kenji berusaha untuk menyemangatinya, namun ia tetap ragu untuk masuk ke dalam ruangan itu. Beberapa sudah masuk ke dalam kamar inap, tidak menyadari ketakutan Sarah untuk bertemu dengan Sica. Karena Kenji terlihat susah untuk meyakinkan Sarah, aku maju untuk membantunya.
“Aku sudah bertemu Sica kemarin, dan ia khawatir kau akan merasa bersalah karena telah membuatnya masuk rumah sakit. Meskipun aku tidak setuju dengan pendapatnya, kau perlu tahu bahwa Sica tidak marah kepadamu. Ia sama sekali tidak menyalahkanmu.”
Sarah hanya terdiam mendengar perkataanku, namun memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Untunglah, nampaknya hari ini tidak ada pasien lain yang berada di kamar lain, sehingga kedatangan kami yang beramai-ramai ini tidak terlalu mengganggu.
Teman-teman yang lain langsung menyingkir ketika melihat Sarah berjalan perlahan memasuki ruangan. Mereka nampaknya tahu, ada sesuatu yang ingin diutarakan oleh Sarah. Aku dan Kenji mengikutinya dari belakang. Untunglah fokus teman-teman ada di Sarah, bukan ke diriku yang sedang meredam getaran-getaran yang entah darimana datangnya.
Sunyi sesaat ketika Sarah dan Sica saling bertatap muka. Mungkin itu bukan istilah yang tepat, karena Sarah tidak berani menatap wajah Sica secara langsung, walaupun Sica memasang wajah yang bersahabat. Betapa hebat wanita yang satu ini, sama sekali tidak mengukir dendam di hatinya.
Karena mereka hanya saling berdiam diri dalam waktu yang cukup lama, Sica memutuskan untuk mengambil inisiatif.
“Aku minta maaf ya Sarah.”
Satu kalimat, dan tumpahlah air mata Sarah. Ia menutupi mukanya, berusaha menahan suara agar tidak terlalu keras isaknya terdengar. Teman-teman perempuan yang lain berusaha untuk menenangkan Sarah, dan menggiringnya agar duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang Sica. Rupanya mama Sica sedang tidak ada di tempat.
Selang beberapa saat, ketika sudah berhasil menguasai emosinya, Sarah mulai mengeluarkan permohonan maafnya yang tulus. Sica pun hanya bisa menjawab bahwa ia sudah memaafkan Sarah, dan berharap setelah ini mereka bisa menjadi teman yang baik. Beberapa teman nampak terharu melihat adegan. Aku? Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin kejadian seperti ini bisa melelehkan hatiku yang terbuat dari besi?
Sekitar 45 menit kami berada di rumah sakit. Mereka semua silih berganti mengajak bicara Sica, menanyakan ini dan itu. Nampaknya belum ada yang menyadari bahwa telah terjadi sesuatu kemarin lusa antara aku dan Sica. Terang saja, karena aku belum sekalipun mengeluarkan suara semenjak memasuki ruangan ini. Aku hanya menyimak baik-baik percakapan mereka, perbincangan antar teman kelas. Setelah itu, kami pun satu per satu berpamitan dengan Sica, dimulai dengan Sarah hingga aku yang terakhir.
Ketika aku hendak berpamitan dengan Sica, teman-teman sudah keluar dari ruangan, menyisakan kami berdua. Berat rasanya untuk berpamitan dengan dirinya karena aku masih merasa canggung, apalagi jika teringat kalimat terakhir yang keluar dari bibirku.
Hingga akhirnya, Sica lah yang berbicara terlebih dahulu dengan diiringi senyumannya.
“Le, tolong temani aku sebentar di sini.”
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login