Penulis merasa kalau dirinya adalah orang yang pelupa. Bukan tipe yang lupa tanggal ulang tahun seseorang, lebih ke pelupa untuk task apa yang harus diselesaikan. Jika task tersebut tidak dicatat, biasanya akan mudah terlupa begitu saja.
Untuk mengatasi hal ini, Penulis berupaya untuk mengatasinya dengan memanfaatkan aplikasi Microsoft To-Do List yang ter-install di PC maupun ponselnya. Namun, sudah menggunakan ini pun terkadang Penulis lupa untuk mengeceknya!
Penulis berusaha untuk mencari solusi lain. Lantas, Penulis teringat akan isi buku Atomic Habit di mana salah satu cara untuk membuat kebiasaan bisa terbentuk adalah dengan membuatnya mudah terlihat.
Oleh karena itu, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis catatan yang selalu terlihat di depan mata. Bukan di gawai yang Penulis miliki, tapi benar-benar di buku catatan fisik dan ditulis secara manual pula.
Mengapa Masih Perlu Catatan Fisik?
Penulis sudah menyinggung kalau dirinya telah mencoba menggunakan aplikasi Microsoft To-Do List untuk mencatat berbagai task agar tidak lupa dikerjakan. Apalagi, aplikasi tersebut dilengkapi dengan fitur reminder untuk membantu mengingatkan kita.
Untuk pekerjaan-pekerjaan rutin, hal ini memang sangat membantu. Namun, ada yang tidak bisa di-cover oleh aplikasi ini setidaknya untuk Penulis: hal-hal yang muncul secara spontandan tidak terencana.
Contohnya di sini adalah mencatat apa yang perlu dibahas untuk rapat besok. Mungkin task rapat di pagi hari bisa dimasukkan ke dalam aplikasi To-Do List, tapi isinya terkadang muncul secara tiba-tiba saat sedang mengerjakan task lain.
Lalu, mengapa tidak ditambahkan saja catatannya ke dalam aplikasi To-Do List? Jawabannya adalah kembali lagi karena Penulis pelupa, Penulis kemungkinan besar akan lupa untuk mengeceknya! Akibatnya, hal tersebut pun jadi lupa untuk dibahas ketika rapat.
Penulis juga sempat berusaha menggunakan aplikasi Google Keep. Namun, masalahnya tetap sama, aplikasi ini tidak selalu langsung terlihat sehingga Penulis sering lupa untuk mengeceknya, bahkan ketika sudah memasang reminder.
Oleh karena itu, Penulis membutuhkan sebuah media yang akan 24 jam terlihat oleh mata. Buku catatan fisik, yang mungkin sudah terasa old school, akhirnya menjadi pilihan utama. Buku catatan ini akan terus berada di atas meja kerja Penulis dan selalu terbuka saat jam kerja.
Berhubung Penulis punya hobi menulis manual, kegiatan mencatat ini Penulis buat semenarik mungkin dengan menambahkan batas dengan berbagai warna beserta tanggal yang ditulis menggunakan huruf latin. Hobi yang aneh memang untuk seorang laki-laki.
Memang ada kekurangannya mencatat secara manual seperti ini, seperti catatan yang telah dituliskan akan sulit untuk ditelusuri dan diarsipkan. Namun, buku catatan inimemang Penulis gunakan untuk sesuatu yang bersifat spontan dan berjangka pendek.
Setiap pagi, Penulis akan membaca buku catatan ini untuk memastikan tidak ada task atau poin yang harus diselesaikan. Meskipun terkadang masih miss, Penulis merasa metode ini berhasil meminimalisirnya.
Mengapa Tidak Menggunakan Medium Lain?
Sebenarnya, Penulis memiliki tablet yang telah dilengkapi dengan stylus karena pada dasarnya Penulis memang masih suka menulis secara manual, yang juga menjadi salah satu alasan mengapa Penulis membeli tablet tersebut.
Namun, makin ke sini, stylus tersebut makin jarang digunakan. Seandainya menulis di tablet pun, pada akhirnya catatan tersebut akan tenggelam begitu saja dan kerap lupa untuk mengeceknya kembali.
Selain itu, layar tablet akan mengunci secara otomatis jika lama tidak digunakan, sama seperti ponsel. Jika menyalakannya terus seharian dan menonaktifkan mode auto-lock-nya, tentu akan membuat baterainya cepat habis.
Dengan demikian, seandainya Penulis membuat catatan di tablet sebagai pengingat, tentu tidak efektif karena harus berkali-kali menyalakan tablet. Apalagi, tablet ini juga kerap Penulis gunakan sebagai layar kedua
Penulis sempat mengandalkan Sticky Notes sebagai pengingat. Selain bisa ditempel di mana-mana, Sticky Notes kerap berwarna cerah sehingga akan mencuri perhatian kita saat akan bekerja. Tentu ini jadi pengingat yang mudah kita notice, bukan?
Sayangnya, Sticky Notes pun bagi Penulis kurang efektif. Pertama, Sticky Notes harus ditempel di suatu tempat. Kamar Penulis yang sudah penuh dengan barang jelas tidak memiliki tempat kosong untuk hal tersebut.
Kedua, Sticky Notes yang sudah dipasang sulit untuk di-edit. Padahal, Penulis suka menambahkan catatan tambahan menggunakan tinta merah yang biasanya berfungsi sebagai penanda kalau task tersebut sudah diselesaikan atau sudah dibahas dalam rapat.
Ketiga, Sticky Notes bisa berceceran ke mana-mana jika sudah terlalu banyak. Padahal, setiap hari ada cukup banyak hal yang perlu Penulis catat secara manual. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana rupa kamarnya jika menempel terlalu banyak Sticky Notes.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Penulis memutuskan untuk memanfaatkan buku catatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Penulis menganggap kalau buku catatan ini adalah otak kedua Penulis dalam bentuk fisik.
Lawang, 26 Agustus 2024, terinspirasi setelah menyadari betapa pentingnya catatan yang harus selalu terlihat
Coba ingat-ingat aktivitas kita dalam sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Seberapa banyak aktivitas yang melibatkan layar di perangkat elektronik, baik dari ponsel, laptop, hingga televisi?
Penulis sendiri baru-baru ini menyadari bahwa dirinya hampir terpapar layar selama dirinya beraktivitas, mengingat pekerjaan dan hobi menulis Penulis sama-sama menuntut dirinya untuk selalu berada di hadapan layar.
Pada tulisan kali ini, Penulis ini melakukan interopeksi diri mengenai betapa panjangnya durasi dalam satu hari yang dihabiskan untuk menatap layar elektronik yang sejatinya memancarkan blue light.
Penulis akan berbagai dari pengalamannya sendiri (di hari kerja) untuk menjelaskan bagaimana kita sangat sering terpapar layar sejak dari bangun tidur. Penulis tidak akan menggunakan contoh “rutinitas yang ideal,” melainkan menggunakan contoh keseharian yang sering dilakukan.
Pagi hari di saat waktu Shubuh, Penulis akan terbangun karena alarm ponsel dan tablet. Setelah menunaikan ibadah sholat, Penulis akan kembali rebahan dan mengecek ponsel. Terkadang Penulis membaca buku dulu, tapi lebih sering mengecek ponsel.
Seringnya, Penulis akan tertidur lagi sekitar 1-2 jam setelah bangun pagi. Penulis baru akan terbangun lagi menjelang morning concall dan brainstorm yang dilakukan setiap pagi jam 9. Kalau lagi malas, Penulis akan rapat di atas kasur, bisa menggunakan tablet maupun laptop.
Biasanya rapat pagi ini berlangsung sekitar 1 jam. Setelah itu, Penulis akan sarapan yang sering dilakukan sambil menonton YouTube. Selesai sarapan (Penulis sarapan cukup siang), Penulis akan kembali bekerja dan berhenti menjelang Dhuhur untuk mandi, rawat diri, dan sholat Dhuhur.
Antara waktu Dhuhur dan Maghrib adalah waktu utama Penulis untuk bekerja di depan PC. Karena memasang larangan untuk mengecek media sosial atau bermain game di jam kerja, Penulis biasanya beristirahat sambil membaca buku, tidur sejenak, atau sekadar bermain dengan kucing.
Masuk jam istirahat di malam hari, biasanya Penulis habiskan dengan cek media sosial ataupun menonton YouTube di televisi ruang keluarga bersama ibu. Makan malam pun seringnya dilakukan sambil menonton televisi.
Jam 9 ke atas, biasanya Penulis kembali masuk ke kamar dan mulai menulis artikel blog di depan laptop. Setelah selesai, Penulis bisa kembali cek media sosial atau bermain game di tablet. Tak jarang juga Penulis menonton YouTube di televisi kamar sebelum akhirnya tidur.
Dari cerita di atas, bisa dilihat kalau hampir seluruh kegiatan Penulis di hari kerja dilakukan dengan melihat layar, entah itu ponsel, tablet, laptop, maupun PC. Mau serius, mau santai, semua berkaitan dengan layar.
Bisa dibilang, hanya ada lima aktivitas yang tidak melibatkan layar sama sekali, yakni ketika sholat, membaca buku, bermain kucing, mandi, dan tidur. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya Penulis terhadap perangkat-perangkat elektronik untuk menjalani kesehariannya.
Penulis merasa kalau ini bukan gaya hidup yang sehat. Meskipun pekerjaannya menuntut untuk sering melihat layar, Penulis harusnya bisa mengimbanginya dengan aktivitas-aktivitas lain yang tidak membutuhkan layar.
Membaca bukujelas menjadi opsi yang paling menyenangkan bagi Penulis. Buku bisa menjadi jeda sejenak dari layar sekaligus sebagai penambah wawasan bagi dirinya. Namun, “daya” baca Penulis sudah tidak seperti dulu. Mentok-mentok satu jam sudah lelah, kecuali sedang membaca novel yang seru.
Selain itu, olahraga outdoor seperti lari pagi juga bisa menjadi aktivitas yang sehat. Dulu Penulis cukup rutin melakukannya, bahkan bisa menyebuhkan insomnia yang dideritanya. Namun, belakangan ini entah mengapa rasanya sangat berat untuk melakukannya.
Mencari hobi offline yang tidak membutuhkan layar juga bisa menjadi alternatif. Contoh yang paling gampang tentu saja bermain board game seperti yang sering Penulis lakukan di akhir pekan bersama circle-nya. Tidak hanya bermain, Penulis juga bisa mengobrol dengan teman-temannya.
Hobi offline lain yang bisa menyita waktu kita adalahmerakit model kit seperti Gundam, LEGO, dan sejenisnya. Masih ada banyak hobi offline lainnya yang bisa dilakukan, seperti berkebun, futsal, memancing, memasak, menggambar, main musik, dan lainnya.
Penulis juga ingin mengurangi kebiasaan makan sambil nonton YouTube. Walau kesannya multitasking, aktivitas makan sebenarnya bisa menjadi jeda yang baik. Apalagi, sudah seharusnya kita fokus dengan makanan yang ada di hadapan kita dan bersyukur masih bisa menikmatinya.
Mungkin karena kebetulan saja pekerjaan Penulis menuntut dirinya untuk melihat layar seharian. Apalagi, Penulis masih work from home sampai sekarang. Jadi, tulisan ini bisa jadi tidak related kepada orang-orang yang pekerjaannya tidak selalu mengharuskan mereka untuk melihat layar.
Namun, bagi para Pembaca yang juga menjalani rutinitas seperti Penulis, semoga saja tulisan ini bisa membantu menyadarkan betapa seringnya mata kita terpapar layar elektronik dan mulai mencari alternatif aktivitas lain yang lebih sehat.
Lawang, 1 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa dirinya hampir selalu menatap layar monitor dalam banyak bentuk
Ketika sedang suwung atau menganggur, apa yang akan Pembaca lakukan pertama kali? Kalau Penulis, satu hal yang sangat mungkin dilakukan adalah mengecek ponselnya, entah untuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk ataupun scrolling media sosial.
Parahnya lagi, Penulis kerap berganti-ganti platform ketika sudah cek HP. Bosan buka Instagram, pindah ke X. Bosan di X, pindah ke YouTube. Bosan di YouTube, pindah ke Pinterest. Begitu terus hingga screentime ponsel Penulis menjadi berjam-jam.
Penulis sebenarnya menyadari kalau sedikit-sedikit mengecek ponsel merupakan kebiasaan yang buruk karena seolah-olah otak ini tidak boleh diberi jeda sedikit pun dari konsumsi-konsumsi konten. Otak (dan organ tubuh lainnya) ini seolah tidak boleh istirahat.
Padahal, jeda sejenak dari segala kegiatan dan konsumsi konten bagus untuk otak. Membiarkan pikiran mengembara atau merenung terkadang menjadi sesuatu yang kita butuhkan di tengah berbagai tuntutan hidup.
Oleh karena itu, Penulis pun berusaha mengurangi ketergantungan dirinya yang sedikit-sedikit mengecek ponsel. Awalnya memang sangat sulit karena sudah menjadi kebiasaan, tapi lama-kelamaan Penulis mulai terbiasa untuk menjauhinya dan menggantinya dengan aktivitas lain.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin berbagi pengalaman dirinya berusaha mengurangi kebiasaan buruk ini untuk bisa meningkatkan produktivitas dirinya. Penulis tidak membuat daftarnya berdasarkan riset mendalam, hanya dari pengalaman pribadinya saja.
1. Memberikan Batasan ke Aplikasi
Hampir semua media sosial menghadirkan konten tak terbatas yang bertujuan untuk membuat kita betah berlama-lama di platform mereka. Akibatnya, kita suka lupa waktu jika sudah bermain media sosial, terutama jika sedang mengonsumsi konten-konten video pendek.
Penulis termasuk yang kesulitan untuk mengerem kebiasaan buruk ini, sehingga membutuhkan bantuanaplikasi. Untungnya, hampir di semua ponsel pintar saat ini telah memiliki fitur untuk membatasi penggunaan aplikasi dalam jangka waktu panjang.
Namun, Penulis merasa aplikasi bawaan tersebut kurang ketat karena bisa kita ubah dengan mudah. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk menggunakan aplikasi yang lebih ketat seperti AppBlock dan Opal. Jika batas durasinya sudah lewat, maka Oval tersebut akan otomatis memblokir aplikasi tersebut.
Di ponsel, Penulis memberi batasan penggunaan semua media sosial 1,5 jam per hari, mulai dari YouTube, Instagram, X, TikTok, hingga Threads. Durasi 1,5 jam bukan untuk per aplikasi, tapi kombinasi dari semuanya.
2. Menjauhkan Ponsel dari Jangkauan
Cara pertama yang sering Penulis lakukan adalah menjauhkan ponsel sejauh mungkin dari jangkauannya. Biasanya ini Penulis terapkan ketika kerja, di mana Penulis meletakkan ponselnya di tempat yang tidak kelihatan hingga lupa di mana menaruhnya.
Cara ini cukup efektif jika Penulis ingin mengurangi distraksi ketika jam kerja, apalagi Penulis work from home. Penulis harus bisa mendisiplinkan diri sendiri karena tidak ada orang lain yang mengawasi. Alhasil, screentime Penulis terutama di jam kerja (9-6) bisa berkurang drastis.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mematikan notifikasi ponsel dengan mengubahnya ke Mode Hening atau mengaktifkan fitur Do Not Disturb. Dengan begitu, suara-suara notifikasi yang seolah tak ada habisnya itu bisa diredam dan tidak membuat kita merasa penasaran lagi.
3. Install WhatsApp atau Aplikasi Chat di PC/Laptop
Salah satu alasan mengapa Penulis suka mengecek ponselnya adalah karena ingin memeriksa apakah ada pesan WhatsApp yang masuk. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk meng-install aplikasi WhatsApp versiPC, sehingga dirinya tak perlu lagi mengecek ponsel.
Kebetulan, di tempat kerja Penulis WhatsApp menjadi media utama untuk berkomunikasi, sehingga tidak mungkin Penulis tidak memeriksa WhatsApp. Bahkan, Penulis menggunakan layar kedua menggunakan tablet untuk selalu menampilkan WhatsApp, karena Penulis juga punya kebiasaan buruk sedikit-sedikit cek WhatsApp.
Tidak hanya WhatsApp, semua aplikasi chat yang Penulis gunakan juga Penulis install di PC, mulai dari Skype hingga Discord. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan urgent untuk mengecek ponsel di jam kerja.
4. Jangan Gunakan Ponsel Sebagai Alarm Pagi
Selain godaan di kala menganggur dan di jam kerja, salah satu godaan terbesar untuk mengecek ponsel adalah di pagi hari. Penulis punya kebiasaan buruk setelah mematikan alarm, Penulis akan membuka aplikasi media sosial sebentar.
Oleh karena itu, Penulis menyarankan untuk menggunakan alarm konvensional di pagi hari, bukan alarm yang ada di ponsel. Kalau perlu, jauhkan juga ponsel dari jangkauan sebelum tidur.
Selain itu, tentukan jam berapa ponsel boleh mulai dicek, misalnya pukul tujuh pagi setelah rutinitas pagi telah selesai dituntaskan. Namun, jika boleh jujur, di antara semua poin yang ada di artikel ini, poin inilah yang sampai sekarang masih Penulis sulit terapkan.
5. Sibukkan Diri dengan Kegiatan Bermanfaat
Salah satu pemicu kita kerap mengecek ponsel adalah karena suwung atau sedang menganggur, seperti yang sudah Penulis singgung di atas. Oleh karena itu, kita harus kreatif mengisi waktu kosong kita dengan aktivitas lain.
Melakukan hobi adalah salah satu cara yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang. Kalau Penulis, biasanya akan membaca buku atau menulis artikel. Kedua aktivitas ini lumayan ampuh bagi Penulis untuk tidak mengecek ponsel.
Di malam hari setelah jam kerja, biasanya Penulis menyempatkan diri untuk menemani ibu menonton televisi. Meskipun bukan kegiatan yang produktif, setidaknya menemani ibu menjadi aktivitas yang bermanfaat sekaligus melepas penat setelah seharian bekerja.
***
Berselancar di media sosial untuk mencari hiburan bukan hal yang salah. Yang salah adalah jika dilakukan secara berlebihan hingga lupa waktu. Waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Penulis merasa bahwa dirinya sudah terlalu attach dengan ponsel, sehingga muncul kebiasaan sedikit-sedikit ingin mengecek ponsel. Menyadari kekurangan ini, Penulis pun berusaha untuk melakukan tips-tips yang telah disebutkan di atas.
Semoga saja tulisan ini bisa membantu Pembaca yang juga mengalami kesulitan seperti Penulis.
Lawang, 22 Juli 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau dirinya kerap kali mengecek HP-nya setiap tidak ada aktivitas
Sejak kecil, Penulis sudah gemar membaca walau jenisnya baru sebatas komik dan ensiklopedia anak. Semakin dewasa, variasi bacaan Penulis pun bertambah, seperti novel, sejarah, pengembangan diri, biografi, hingga filsafat.
Namun, ada masa ketika Penulis benar-benar tidak membaca sama sekali. Hobi yang dulu sangat menyenangkan menjadi menjemukan dan terasa berat. Buku-buku yang sudah beli ditumpuk begitu saja, bahkan beberapa masih dibungkus plastik.
Ketika direnungkan, mungkin salah satu penyebabnya adalah Penulis terlalu banyak mengonsumsi konten pendek di media sosial. Konten pendek yang muncul tanpa batas tersebut seolah “menjebak” Penulis untuk tidak mengonsumsi konten panjang.
Berbeda dengan menonton video panjang di YouTube di mana kita bisa menentukan konten mana yang ingin kita tonton, konten pendek di TikTok, Reels, maupun Shorts selalu menghadirkan konten baru yang tidak kita rencanakan untuk kita tonton. Semua berdasarkan algoritma.
Adanya unsur “kejutan” membuat kita mendapatkan dopamin dari sana, sehingga di dalam otak seolah ada mindset untuk terus mencari konten yang akan memberikan kita kebahagiaan. Masalahnya, ini bisa berlangsung selama berjam-jam tanpa disadari.
Penulis sendiri merasa kalau dirinya bisa terjebak berjam-jam jika sudah melakukan scrolling-scrolling di media sosial. Yang rencananya cuma 5 menit bisa bertambah hingga 2 jam. Tentu ini sangat berpengaruh kepada produktivitas sehari-hari.
Permasalahan lain adalah karena otak terbiasa dengan konten pendek yang menyajikan info secara cepat dan singkat, kita jadi tidak terbiasa (baca: malas) untuk mengonsumsi konten yang lebih panjang dan lengkap.
Konten panjang yang Penulis maksud di sini bisa berbentuk buku, jurnal, film, dokumenter, serial, dan lain sebagainya. Konten panjang membutuhkan “dedikasi” kita untuk menghabiskan beberapa jam (bahkan hari) yang kita miliki untuk menyelesaikannya.
Di sisi lain, konten pendek akan langsung habis secara instan dalam hitungan detik atau menit. Dalam sekejap, kita bisa mendapatkan sesuatu entah itu ilmu ataupun hiburan. Dalam beberapa jam, entah berapa info yang masuk ke dalam otak kita, walau kebanyakan akan langsung terlupakan.
Konten panjang memiliki batas yang jelas kapan dia akan selesai. Konten pendek memang cuma berdurasi beberapa detik/menit, tapi konten-konten selanjutnya akan terus bermunculan tanpa habis. Inilah yang berbahaya dari mengonsumsi konten pendek di media sosial.
Mungkin akan ada yang berargumen kalau konten pendek seperti itu akan sangat berguna untuk menghemat waktu, Itu ada benarnya, tapi terkadang kita membutuhkan informasi yang lebih lengkap, bukan yang sepotong-sepotong.
Menurut Penulis, netizen kita sering ribut di internet juga salah satunya adalah kebiasaan ini. Kita jadi merasa paling tahu hanya bermodalkan konten-konten pendek. Padahal, kebijaksanaan tertinggi menurut Socrates adalah mengetahui kalau kita ini tidak tahu apa-apa.
Bagaimana Buku Bisa Menjadi Penyelamat Penulis
Biasanya, ketika mulai menyadari bahwa dirinya sudah terlalu banyak mengonsumsi konten pendek di media sosial, Penulis akan melakukan detox untuk sementara waktu. Tidak sampai tidak mengecek media sosialnya, tapi cukup mengurangi durasinya per hari.
Untuk itu, Penulis menggunakan berbagai aplikasi yang bisa melimitasi penggunaan media sosial. Ini tentu harus diiringi oleh niat yang kuat, karena godaan untuk mengubah limitasinya sangat besar dan mudah dilakukan.
Penulis benar-benar berusaha untuk mematuhi batasan penggunaan media sosial di gawainya, walau terkadang masih indisipliner. Harusnya, kalau memang sudah limit, ya sudah, jangan diubah batas durasinya, jangan dibuka aplikasi pembatasnya untuk menghapus limit yang sudah dibuat.
Ketika tidak bisa mengecek media sosial (yang sudah menjadi kebiasaan), tentu kita butuh aktivitas lain untuk mengalihkan fokus kita. Jelas setiap orang memiliki preferensi aktivitasnya masing-masing, tapi kalau Penulis pribadi memilih media buku, “kawan lama” yang sudah menjadi hobi Penulis sejak lama.
Untuk bisa membangkitkan minat bacanya kembali, Penulis memutuskan untuk membaca buku yang benar-benar menarik minatnya, bisa buku lama maupun buku baru. Contoh buku yang berhasil membuat Penulis bersemangat membaca adalah Keajaiban Toko Kelontong Namiya.
Tidak hanya karya fiksi, Penulis juga memilih buku non-fiksi dengan topik yang menarik minatnya. Contoh, Penulis suka sejarah, maka Penulis membeli buku sejarah. Buku sejarah yang sedang dibaca saat ini adalah Sejarah Prancis dan Memahami Jepang.
Bahkan, Penulis juga mulai membeli komik lagi seperti ketika masih muda dulu. Contoh, Penulis telah membeli semua komik Dragon Ball Super dari volume 1 sampai 19. Jika sukanya baca komik, ya tidak apa. Aktivitas membaca tidak selalu dikonotasikan belajar, karena membaca juga bisa menjadi sarana hiburan.
Penulis bukan tipe pembaca yang harus menghabiskan satu buku dulu baru berpindah ke buku lain. Saat ini saja, ada belasan buku dengan berbagai genre/topik yang sedang Penulis baca secara bersamaan. Penulis tinggal memilih mau membaca yang mana hari ini, tergantung mood-nya.
Inilah mengapa buku bisa menjadi penyelamat Penulis dari kecanduan konten pendek di media sosial: Penulis bisa bebas memilih buku apa yang akan dibaca. Hal ini tidak kita dapatkan dari TikTok, Reels, dan Shorts yang menghadirkan konten sesuai dengan algoritma mereka.
Membaca juga menjadi pilihan Penulis karena dirinya memang tidak terlalu suka aktivitas menonton film atau serial. Apalagi, Penulis punya kebiasaan buruk ketika sudah menonton serial yang menarik: tidak bisa berhenti menonton semua episodenya sampau tamat.
Ini terjadi ketika Penulis mulai menonton serial How I Met Your Mother. Bahkan, final season-nya Penulis tamatkan dalam semalam. Karena alasan inilah Penulis menghindari menonton serial, karena percuma jika kecanduan kita di media sosial malah berpindah ke serial.
Kalaupun menonton konten di YouTube, jangan membuka Shorts. Penulis menonton YouTube di TV agar akses ke Shorts menjadi lebih sulit. Alhasil, Penulis pun hanya bisa memilih konten-konten yang berdurasi panjang, entah yang berbobot ataupun yang ringan.
Penutup
Penulis merasa terlalu banyak mengonsumsi konten pendek di media sosial tidak baik untuk dirinya, terutama karena mengganggu produktivitasnya. Untuk itu, ada beberapa hal yang Penulis lakukan, mulai dari membatasi durasi media sosial hingga menghabiskan waktunya lebih banyak untuk membaca.
Membaca buku fisik, setidaknya bagi Penulis, merupakan aktivitas yang bisa membantu Penulis menjauhi media sosial. Penulis bisa memilih buku mana yang akan Penulis baca, tidak seperti konten pendek di media sosial yang tidak bisa kita atur.
Penulis menyadari kalau membaca buku bukan aktivitas favorit banyak orang. Oleh karena itu, mungkin di tulisan berikutnya Penulis akan mencoba berbagai tips agar minat baca itu bisa tumbuh, terutama untuk Pembaca yang juga merasa butuh “lari” dari kecanduan konten-konten pendek di media sosial.
Lawang, 24 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau dirinya mulai bersemangat untuk banyak membaca lagi
You must be logged in to post a comment Login