Cerpen
Lelatu
Kobaran api menjalar ke udara di tengah pekatnya malam. Langit cerah tak berawan, memperkecil kemungkinan hujan turun untuk memadamkan kebakaran di rumah tetanggaku yang sedang dilalap api ini. Entah apa yang menjadi pemicunya.
Aku bersama beberapa warga lain bahu membahu ikut membantu memadamkan api dengan peralatan seadanya. Ember, bak mandi, selang, hingga kaleng cat kami manfaatkan untuk menimba air. Lokasi kampung kami yang cukup jauh dari pusat kota membuat mobil pemadam kebakaran tidak bisa datang lebih cepat.
Pasangan pemilik rumah hanya bisa menangis histeris, beberapa meter dari lokasi. Bukan karena rumah mereka yang terbakar, melainkan karena satu-satunya anak mereka masih terjebak di dalam rumah. Mereka tidak ada di lokasi ketika kebakaran terjadi. Api sudah terlampau besar untuk bisa diterjang warga demi menyelamatkan sang anak tersebut, yang baru duduk di bangku SMA.
Selain kedua orangtua anak tersebut, kekasih yang sekaligus tetangga anak tersebut juga sedang menangis tersedu, membayangkan tubuh pacarnya dimakan api tanpa ampun. Gadis tersebut baru duduk di bangku SMP, dan sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Sambil estafet menggiringkan ember demi ember, aku mencuri pandang kepadanya, memastikan kondisinya baik-baik saja.
***
Beberapa bulan sebelumnya, warga baru tersebut datang ke kampung kami. Mereka merupakan pasangan dari luar pulau, yang pindah ke mari karena tugas dinas sang suami. Sang anak yang baru saja lulus dari SMP turut serta diajak serta, mungkin karena mereka tidak ingin jauh-jauh dari satu-satunya buah hati mereka.
Meskipun datang dari belahan daerah yang jauh dari kami, nyatanya anak tersebut mudah sekali beradaptasi dengan kami. Ia tidak pernah merasa canggung ketika berkomunikasi dengan kami, tak segan menawarkan bantuan jika ada yang membutuhkan, terkadang melemparkan candaaan yang membuat teman-teman lain tertawa.
Ia menjadi yang tertinggi di antara remaja lainnya, mungkin hobi basketnya yang memiliki andil dalam pertumbuhannya tersebut. Selain itu, ia juga pandai memainkan gitar. Jari-jarinya tampak lihai berpindah-pindah dari satu senar ke senar lainnya. Vokal yang dihasilkan dari pita suaranya juga lumayan merdu untuk dinikmati.
Pendek kata, ia berhasil berbaur dengan sempurna dengan lingkungannya. Di antara pembauran tersebut, terselip cinta.
***
Orang yang beruntung mendapatkan cinta dari anak pindahan tersebut adalah gadis yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Pada mulanya, mereka seringkali bertikai kecil-kecilan, saling mengumpat dengan bercanda. Karena interaksi macam itulah teman-teman yang lain sering menjodohkan mereka berdua.
Siapa yang menyangka, berawal dari itulah benih-benih cinta tumbuh. Tanpa disadari oleh yang lain, mereka sering bertukar kabar melalui WA, kadang sekadar mengucapkan selamat malam. Semua mereka lakukan diam-diam, seolah ingin menyembunyikan fakta bahwa mereka saling mencintai.
Karena telah lama dekat, seringkali adikku tersebut bercerita kepadaku. Itu pun setelah kupaksa untuk berkata sejujurnya, karena meskipun bukan kakak karena kesamaan DNA, aku merasa berhak untuk mengetahui apa-apa tentang dia. Akhirnya sedikit demi sedikit ia mau membuka diri, bercerita tentang hubungan mereka.
Sebagai orang yang jauh lebih tua, aku sering memberikan nasihat-nasihat kepada gadis yang sudah kuanggap adikku sendiri tersebut. Aku tak pernah secara gamblang menyatakan setuju atau tidak setuju dengan hubungannya, aku hanya selalu mendoakan yang terbaik untuknya.
Dari cerita ke cerita, aku menyadari bahwa mereka benar-benar saling mencintai, mungkin lebih besar dari rasa sayangku kepada adikku tersebut. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan hubungan yang mereka sembunyikan tersebut.
***
Setelah upaya selama enam jam, akhirnya kebakaran berhasil dipadamkan. Sang ayah langsung menerjang masuk untuk mengecek keadaan, meskipun sempat ditahan oleh beberapa pihak kepolisian yang baru saja tiba. Selang beberapa menit, sang ayah kembali dengan tangan hampa, ekspresinya kosong.
Mungkin ia telah menemukan mayat anaknya yang pasti sudah tidak dapat diidentifikasi. Sekarang tugas pihak yang berwajib untuk mencari tahu penyebab kebakaran, yang turut membakar dua rumah di kanan-kirinya meskipun tidak sampai memakan korban jiwa.
Aku menghampiri gadis yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri untuk memberikan semangat. Kerengkuh pundaknya, seolah ingin memberikan energiku kepadanya.
“Sabar ya dek, ini ujian, semoga kekasihmu diterima di sisi-Nya.”
Ia hanya mengangguk pelan, sambil bergumam terima kasih. Aku memandang kosong bekas bangunan yang habis terbakar tersebut, sambil berharap polisi tidak menemukan kejanggalan dari aksiku semalam, ketika aku mendatangi rumah ini, membuat anak dari pemilik rumah tidak sadarkan diri, lantas membakar rumah itu dengan segala trik yang sudah kupelajari berbulan-bulan yang lalu.
Pemicu kebakaran ini sebenarnya sudah jelas, lelatu alias percikan api. Api kecemburuan. Percikan itulah yang menjadi penyebab kebakaran besar ini.
Lawang, 18 Juni 2018, terinspirasi sama apa hayo 🙂
Cerpen
Ingin Hilang Ingatan
Hilang ingatan. Aku ingin hilang ingatan. Tidak perlu semuanya, cukup tiga hingga empat tahun terakhir. Aku ingin melupakan semua kenangan yang terjadi pada rentang waktu itu. Aku ingin semuanya seolah-olah tidak pernah terjadi. Bisakah keinginanku ini dikabulkan oleh Tuhan?
***
Aku lupa tanggal pastinya, tapi kejadian itu terjadi sekitar tiga setengah tahun lalu tanpa sengaja. Pada hari itu, seorang tetangga baru datang menempati rumah kosong yang berlokasi tepat di depan rumahku.
Dari desas-desus yang aku dengar dari orangtuaku, penghuni rumah tersebut merupakan keluarga kecil yang terdiri dari papa, mama, dan seorang anak perempuan yang sepertinya seusiaku.
Kata mama, ia sudah bertemu dengan keluarga tersebut. Mereka keluarga yang ramah dan anaknya cantik sekali. Pertemuan ini terjadi di kala aku masih berada di kampus, sehingga aku belum berkesempatan untuk bertatap muka dengan mereka.
Aku pun penasaran dengan keluarga ini, sehingga sesekali mengintip tetangga depan melalui jendela ruang tamu. Aku telah melihat sekilas pasangan suami istri tersebut yang nampaknya sangat bahagia. Namun, aku belum pernah melihat putri mereka sekalipun.
***
“Mas Bayu, kan?”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang perempuan berambut sebahu tersenyum dengan lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Aku melihatnya keheranan, bagaimana perempuan ini bisa tahu namaku?
“Namaku Cleo, tetangga baru yang tinggal di depan rumah mas. Boleh aku duduk di sini?” tanyanya sembari menarik kursi di hadapanku meskipun belum terucap kata iya dari bibirku.
Kejadian ini berlangsung di kafe dekat rumah, tempat favoritku untuk mengerjakan tugas kuliah yang selalu menumpuk seolah tak ada habisnya. Selain karena kenal dengan pemilik tempat ini, aku juga terbiasa memanfaatkan Wi-Fi gratis yang ada di sini.
“Kamu kok tahu aku?” tanyaku padanya, tetap berusaha memasang pagar pembatas karena aku tak pernah merasa nyaman dengan orang asing.
“Aku pernah ke rumah mas buat kenalan sama orangtuanya mas. Di sana, aku lihat foto keluarga besar dan mamanya mas ngasih tahu aku nama mas. Pas ke sini aku lihat ada orang yang mirip dengan foto itu, jadi sambil mastiin aku sekalian mau kenalan sama mas. Apalagi, mas kan gampang dikenalin dengan rambut gondrongnya itu.”
Jawabannya logis, sehingga aku tidak meragukan kejadian tersebut. Kuteguk segelas kopi hitam yang ada di sebelah laptopku dan mengambil sebatang rokok dari saku kemejaku.
“Keberatan kalau aku merokok?”
“Silakan mas, asal jangan disemburkan ke mukaku, ya!”
Perempuan ini nampaknya kerap mengeluarkan hawa dan energi positif. Jawabannya yang mempersilakan justru membuatku mengurungkan niat dan kembali melirik laptop. Tugas telah menanti di sana untuk diselesaikan, tapi obyek di depanku jauh lebih menarik. Akhirnya kami pun berdiskusi banyak hal, mulai dari yang remeh-temeh hingga permasalahan serius.
Ketika kami akan pulang ke rumah masing-masing, pagar pembatas yang kupasang telah terlepas dengan sempurna.
***
Selain tetangga depan rumah, ternyata kami juga melanjutkan studi di kampus yang sama walaupun berbeda fakultas. Aku mengambil jurusan Hubungan Internasional, sedangkan ia mengambil jurusan Akuntansi di Fakultas Ilmu Administrasi. Ia satu angkatan di bawahku.
Rumah kami yang berdekatan membuat aku sering menawarkan tumpangan kepadanya, baik ketika berangkat maupun pulang. Awalnya ia merasa tidak enak karena takut merepotkan, walau pada akhirnya ia selalu menerima tawaranku. Kami pun menjadi dekat hingga diisukan berpacaran oleh para tetangga yang selalu nyinyir.
Sebagai laki-laki normal, tentu saja aku tertarik dengan Cleo. Ia cantik, ramah, terbuka, open-minded, berwawasan luas, dan memiliki banyak kesamaan denganku. Kami sama-sama suka baca buku, terutama karya-karya penulis seperti George Orwell dan Ernest Hemingway. Kami juga tidak terlalu suka menonton film karena merasa tidak ingin imajinasi kami diatur oleh sutradara.
Sekitar tiga tahun kami menjalin hubungan yang dekat seperti ini tanpa status apapun. Aku, yang belum pernah jatuh cinta seumur hidup, merasakan dorongan untuk mengungkapkan perasaan hingga ke taraf yang tak tertahankan. Aku pun mencoba untuk masuk ke topik ini ketika kami sedang berada di kafe dekat rumah untuk mengerjakan tugas masing-masing.
“Kamu percaya cinta?” tanyaku secara tiba-tiba, membuatnya tersedak karena aku bertanya ketika ia sedang menenggak minumannya.
“Apa sih mas kok tiba-tiba banget, aku kan jadi kaget.”
“Maaf, aku cuma penasaran.”
“Enggak apa-apa kok, aku cuma kaget aja. Cinta, ya? Hmmm, percaya kok. Cinta dari orangtua, dari sahabat, banyak cinta yang udah aku dapatkan hingga sekarang.”
“Termasuk dari tetangga ya,” kataku memberi sedikit kode.
“Hahaha, bisa aja mas.”
“Aku sayang sama kamu Cleo.”
Cleo terdiam beberapa saat, sebelum menjawab pernyataanku.
“Aku juga sayang sama mas . . . sebagai kakak.”
***
Setelah kejadian di kafe itu, kami berusaha menjalin hubungan seperti biasa. Masalahnya, aku jadi kesusahan mengontrol diriku. Aku menjadi perhatian berlebihan, posesif, sering mempertengkarkan hal sepele, cemburu buta, dan lain sebagainya.
Hal ini membuat Cleo secara perlahan mulai menjauhi diriku. Kami sudah jarang berangkat bersama karena ia menolak untuk pergi denganku. Kamu juga jarang menghabiskan waktu bersama di kafe seperti biasa. Pesanku pun mulai sering diabaikan olehnya.
Mungkin karena belum pernah jatuh cinta, aku menjadi terobsesi berlebihan kepadanya. Merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan terkadang membuat seseorang menjadi tolol tak terkira.
Aku menjadi bukti nyatanya. Aku jadi merasa tidak bisa hidup tanpanya, merasa hampa, merasa Cleo adalah satu-satunya perempuan yang cocok untukku. Kesalahanku adalah karena aku terlalu mencintainya, terlalu sayang kepadanya, terlalu peduli kepadanya.
Ingin mengakhiri semua penderitaan ini, aku memutuskan untuk mengajak bicara Cleo untuk yang terakhir kalinya. Aku mengajaknya untuk bertemu di sebuah taman dekat kompleks perumahan yang terkenal sepi. Ia pun menyanggupi permintaan tersebut.
“Kamu tahu, aku merasa hubungan kita akhir-akhir ini memburuk,” kataku membuka percakapan. Cleo hanya menganggukkan kepalanya tanpa melirik sedikitpun ke arahku.
“Aku tahu ini salahku. Seharusnya aku tidak mengungkapkan perasaanku waktu itu. Dengan demikian, hubungan kita akan baik-baik saja seperti dulu, seperti tiga tahun terakhir ini.”
Cleo masih tidak memberikan respon apa-apa.
“Kamu tahu, tiga tahun terakhir ini bisa dibilang masa-masa terindah dalam hidupku. Aku membuat banyak kenangan sama kamu. Aku membuat banyak cerita indah sama kamu. Seharusnya aku sudah puas dengan itu, tapi aku malah meminta lebih.”
Aku menatap Cleo yang pandangan matanya entah mengarah ke mana.
“Aku ingin diberikan kesempatan kedua, aku ingin memperbaiki semuanya. Kalau kamu sayang aku sebagai kakak, aku akan berusaha menjadi kakak yang baik buat kamu.”
“Maaf mas, tapi aku enggak bisa.”
Jawaban tersebut sungguh di luar dugaan dan membuatku tersentak. Cleo, perempuan yang selama ini kukenal karena kebaikannya yang luar biasa, bisa memberi penolakan yang sangat menusuk hati.
“Kenapa?”
“Aku udah punya pacar.”
Tanpa sadar, aku mengarahkan tanganku ke lehernya dan memberikan tekanan yang kuat. Benar kata orang, kemarahan bisa menambah kekuatan seseorang berkali-kali lipat. Tubuh Cleo yang meronta-ronta bisa kutahan dengan sedemikian rupa. Pada dasarnya, laki-laki memang ditakdirkan lebih kuat dari wanita kebanyakan, sehingga ia tak akan bisa melepaskan diri dariku.
Beberapa menit aku mencekik lehernya, tubuhnya menjadi lunglai. Tak ada lagi perlawanan darinya. Ia sudah mati, mati di tangan orang yang begitu mencintainya.
***
Hilang ingatan. Aku ingin hilang ingatan. Begitu yang terpikirkan di kepalaku setelah aku membunuh Cleo, satu-satunya perempuan di dunia ini yang begitu aku cintai. Aku terlalu mencintainya hingga aku telah membunuhnya. Aku harus membunuhnya agar ia hanya menjadi milikku seorang. Tidak boleh ada laki-laki lain yang boleh memilikinya.
Tapi aku tetap ingin hilang ingatan. Ingatan pernah bertemu dengan Cleo, kenangan yang pernah kubuat dengan Cleo, hingga fakta bahwa aku baru saja melakukan tindakan kriminal dengan membunuh seorang perempuan. Aku ingin semua itu hilang dari ingatanku dan kembali menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa yang normal.
Ternyata Tuhan tidak mengabulkan keinginanku. Ingatan tersebut tetap tersimpan di kepalaku dan tak mau lepas. Aku masih terbayang-bayang wajah Cleo, mulai dari awal pertama kali bertemu dengan senyum dan lesung pipitnya, hingga wajah sesaknya ketika aku mencengkeram lehernya.
Aku tidak bisa menghilangkan ingatan tersebut. Ingatan tersebut kini justru menghantuiku dan membuatku takut. Cleo seolah tak rela ia mati sendirian. Ia ingin aku ikut bersamanya, menemaninya di alam baka.
Itulah mengapa sekarang aku berada di pinggir jembatan, ketika pihak kepolisian mulai mencari keberadaanku. Pasti mereka sudah menemukan mayat Cleo yang aku tinggalkan begitu saja di taman sepi itu.
Aku memandangi air sungai dangkal yang mengalir tenang di bawah sana. Aku melihat wajah Cleo memantul di permukaan sungai. Ia tersenyum kepadaku seolah menyambut kedatanganku. Senyum itu sama dengan yang ia berikan ketika kami bertemu pertama kali. Siapa yang menyangka, senyum itu pula yang aku lihat terakhir darinya.
Aku membalas senyum itu dan melangkahkan kaki ke arahnya. Aku datang Cleo.
Kebayoran Lama, 24 November 2019, terinspirasi setelah menamatkan anime Golden Time
Foto: Michael Heuser
Cerpen
Seorang Wanita di Antara Kawan Pria dan Kekasihnya
Seorang pria terhadap kawan wanitanya…
Dia tak pernah percaya dengan yang namanya cinta. Katanya, cinta adalah sesuatu paling omong kosong di semesta ini. Tawa sinis selalu ia keluarkan ketika melihat pasangan sedang memadu kasih. Bahkan seandainya memungkinkan, mungkin ia akan meludah.
Dari berbagai cerita yang ia bertahukan kepadaku, tak pernah secara gamblang ia memberikan alasan mengapa tidak percaya cinta. Apakah mungkin karena ia tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya? Bisa jadi.
Pernah pada suatu malam kami berdiskusi secara sengit. Waktu itu, aku sedang membahas suatu adegan romantis dari sebuah film. Ketika aku menyatakan pendapatku mengenai adegan itu, ia justru menunjukkan ekspresi ingin muntah.
“Boy, itu cuma film yang penuh dengan kemunafikan. Bisa-bisanya kamu baper dengan yang kayak gitu.” katanya sambil memegang pundakku, seolah aku adalah orang yang patut dikasihani. Dia memang sering memanggil aku dengan sebutan boy.
“Tapi film itu diangkat dari kisah nyata, dan aku yakin hal tersebut lumrah bagi orang yang sedang jatuh cinta.”
“Dari mana kamu tahu itu dari kisah nyata? Percaya sama aku, adegan itu pasti didramatisir. Hidup ini sudah penuh dengan drama boy, tak perlulah kau menambahinya dengan film-film picisan seperti itu.”
Aku tak menyangkalnya lagi karena tahu bagaimana keras kepalanya kawan wanitaku yang satu ini. Hingga muntah darah pun ia tak akan mengendurkan pendapatnya. Mungkin sifatnya yang satu ini juga membuat ia belum menemukan cintanya,
Suatu hari, saat kami berdua sedang duduk di sebuah taman setelah berolahraga, lagi-lagi aku mengusik pandangannya terhadap cinta. Benar-benar dibuat penasaran aku olehnya.
“Orang tuamu bertemu dan akhirnya menikah karena cinta bukan?” tanyaku padanya sambil mengusap keringat di dahi menggunakan handuk yang menggantung di leher.
“Huh, aku tidak percaya mereka menikah karena cinta. Pasti ada motif lain yang memaksa mereka untuk menikah.”
“Apa semua pasangan di seluruh dunia seperti itu?”
“Kalaupun ada, pasti hanya sekadar cinta-cintaan. Tidak ada yang namanya cinta sejati.”
“Jadi, kamu enggak akan nikah seumur hidup nih?”
“Kalau sendiri lebih enak, ngapain harus menjalani hubungan rumit dengan orang lain.”
Aku mengurungkan niatku untuk mendesaknya lebih jauh lagi. Raut mukanya menunjukkan ketidaksukaan terhadap topik yang aku angkat. Rahangnya mengeras seperti menahan amarah yang bergejolak di dalam hatinya.
Aku hanya ingin menolongnya dan menyadarkan bahwa cinta itu memiliki sisi yang membahagiakan. Aku buktinya. Semenjak bertemu dengan Chelsea dan menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, kami berdua merasa dunia jauh lebih cerah.
Bertemu tanpa sengaja ketika ada sebuah even pameran lukisan salah satu maestro dalam dunia seni lukis, kami langsung cocok satu sama lain. Walaupun aku menyukai karya Monet dan ia lebih menyukai goresan Andy Warhol, kami bisa menghargai perbedaan satu sama lain.
Aku tidak mengetahui kapan kawan wanitaku ini mulai memandang rendah cinta. Memang sudah lama ia sering berkata bahwa ia tidak peduli dengan yang namanya cinta, tapi akhir-akhir ini ia semakin menunjukkan kebencian terhadap anugerah dari Tuhan tersebut.
Chelsea tahu kedekatanku dengan kawan wanitaku ini, dan ia sama sekali tidak mempermasalahkan. Toh, aku kenal dengan kawanku terlebih dahulu sebelum bertemu Chelsea, jadi ia tidak ingin hubungan kami rusak hanya karena kehadirannya.
Aku selalu meminta ijin ke Chelsea apabila ingin bertemu dengan kawanku dan ia sama sekali tak keberatan karena percaya denganku. Aku benar-benar mencintai Chelsea karena kebaikannya, dan aku berharap kawan wanitaku akan menemui seorang pria sebaik Chelsea.
Aku ingin kawan wanitaku percaya dengan cinta, seperti aku mempercayainya…
Seorang wanita terhadap kekasih dan kawan wanitanya…
Namaku Chelsea, dan aku memiliki seorang kekasih yang sangat baik hatinya. Kami bertemu tanpa sengaja di sebuah acara pameran lukisan, ketika kami sama-sama sedang memandangi sebuah lukisan abstrak yang menggambarkan pertarungan antara dua ekor elang.
“Lukisan ini memang layak untuk dijadikan masterpiece.” ujarnya yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri, hanya saja aku tertarik untuk menyahutinya.
“Kenapa mas berpendapat seperti itu? Menurut saya lebih pantas lukisannya yang berjudul Kereta di Ufuk.”
Ia nampak terkejut gumamannya direspon oleh orang lain. Butuh beberapa detik agar ia bisa menjawab pertanyaanku. Kami berdiskusi ringan mengenai lukisan yang ada di hadapan kami, lantas memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan kami di sebuah kafe.
Kami langsung cocok satu sama lain. Sebelum berpisah, ia meminta nomor teleponku yang dengan senang hati kuberikan. Walaupun ia berkata bahwa tujuannya meminta nomor untuk berdiskusi tentang lukisan lagi, aku yakin ia punya maksud lain.
Setelah itu, semua mengalir begitu saja. Hingga suatu hari, ia menyatakan perasaannya dan aku menyambutnya dengan senang hati. Kami resmi menjadi sepasang kekasih.
Ia pernah bercerita bahwa dirinya memiliki kawan sejak kecil yang tak pernah percaya dengan yang namanya cinta. Meskipun kami berstatus sebagai pasangan, aku tak pernah menyuruhnya menjauhi kawannya tersebut.
Bukannya karena aku tidak peduli dengan kekasihku. Aku menyadari bahwa aku hadir sebagai orang baru, dan aku tidak ingin merusak hubungan perkawanan yang sudah lama terjalin tersebut.
Suatu hari, aku dikenalkan oleh kawan wanitanya tersebut. Dilihat sekilas, ia terlihat jutek dan sering memasang wajah cemberut. Ia tak pernah ramah kepadaku meskipun aku sudah berusaha baik kepadanya.
Bisa jadi, ia merasa cemburu terhadap hubunganku dengan kawan prianya…
Seorang wanita terhadap kawan pria dan kekasihnya…
Dia yang terlalu percaya dengan cinta, terlihat begitu menjijikkan bagiku. Semenjak bertemu dengan wanita sok baik bernama Chelsea, kawan priaku itu seolah-olah hidup di alam lain yang tak memiliki kepahitan hidup.
Kawan priaku itu selalu berusaha memberiku pertanyaan-pertanyaan seputar cinta, dan kami akan berdebat panjang mengenai hal tersebut. Kami tidak akan menemukan kesepakatan apapun pada debat tersebut.
Bertahun-tahun aku hidup dalam zona nyaman kesendirianku dengan membawa teman-teman yang aku percaya ke dalam lingkaran, termasuk kawan priaku tersebut. Harus kuakui, dia adalah pria yang baik.
Ia adalah tipe orang yang tidak bisa membiarkan orang lain kesusahan. Tangannya selalu ia ulurkan untuk menolong orang lain. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain terlebih dahulu daripada dirinya sendiri.
Di luar pembahasan cinta, banyak hal yang sering kami diskusikan hingga larut. Agama, filsafat, semesta, sebut sama semua bidang yang diajarkan di bangku kuliah, aku berani bertaruh semua sudah pernah kami bahas.
Pernah ketika kami sedang ngobrol di beranda rumahku, tiba-tiba ia diam memandangku. Merasa tak nyaman, aku segera mendorong dirinya.
“Apaan sih ngelihatin kayak gitu.”
“Heran aja, kamu itu sebenarnya manis, tapi sama sekali enggak tertarik punya hubungan sama cowok lain.”
“It’s not your business.”
“Of course it’s my business because you’re my best friend. Siapa sih yang enggak khawatir kalau kawan baiknya seapatis itu sama cinta.”
Entah apa yang kulakukan waktu itu, aku tak bisa mengingatnya. Yang jelas, tak lama setelah itu kami mendiskusikan hal lain mengenai alasan eksistensi kita di alam semesta yang luas ini.
Kami sudah berkawan sejak kecil, bahkan berangkat sekolah bersama. Ia tak pernah berubah dari dulu: polos, murah senyum, pintar, walaupun agak penakut dan sering gugup.
Bisa dibilang, aku memiliki sifat yang berlainan dengannya. Aku dikenal sebagai pribadi yang jutek, pemarah, tak peduli dengan orang lain, dan lain sebagainya. Mereka yang berpendapat seperti itu adalah mereka belum mengenalku terlalu dalam.
Buktinya, aku memiliki banyak teman yang sering berbagi cerita kepadaku. Di antara cerita-cerita tersebut, sering terselip luka yang diakibatkan oleh cinta. Bahkan, temanku pernah hampir bunuh diri karena merasa depresi ditingal oleh kekasihnya.
Melihat kawan-kawanku sering tersakiti oleh cinta, aku memutuskan untuk tidak akan pernah percaya dengan cinta. Aku menjauhkan diri dari segala tetek bengek yang absurd itu.
Hanya saja, semakin lama aku merasa bahwa aku memiliki perasaan yang berbeda kepada kawan priaku ini. Aku berusaha menjauhkan segala pikiran tersebut. Namun semakin dijauhkan, perasaan tersebut justru semakin dekat.
Aku memendam semua perasaan ini dalam-dalam, karena tidak ingin meruntuhkan ideologiku terhadap cinta. Keras kepala memang sudah menjadi salah satu sifatku yang nampaknya tidak akan pernah hilang.
Tidak mungkin aku yang sudah banyak mencaci cinta tiba-tiba menyatakan cinta kepada orang yang sudah mendengar cacianku. Apalagi, ada kekhawatiran bahwa kawan priaku tersebut akan berubah jika aku mengungkapkan perasaanku.
Sewaktu kawan priaku mengajak pergi ke sebuah acara pameran lukisan, aku tidak bisa menemaninya karena sedang demam parah. Keputusan yang kusesali karena sepulang acara tersebut, ia telah menambatkan hatinya untuk wanita lain. Ya, si Chelsea itu.
Semenjak itu, ia semakin jarang menemuiku. Setiap ingin bertemu denganku, ia akan minta ijin kepada kekasihnya walaupun tak pernah diminta. Ketidakpercayaanku kepada cinta yang mulai runtuh kembali berdiri tegak.
Aku kembali menegaskan diriku untuk tidak percaya dengan yang namanya cinta. Cinta hanya akan membawa sengsara dan derita. Ia akan melukai kita tanpa menunggu kita siap untuk dilukai.
Dan pria yang sudah membuatku tak percaya cinta lagi selalu bertanya kenapa aku tak percaya cinta. Pria memang terkadang tolol tak terkira.
Kebayoran Lama, 31 Januari 2019, terinspirasi dari seorang wanita yang katanya tak percaya dengan cinta
Foto: Tom Sodoge
Cerpen
Perempuan yang Membaca Buku di Peron Stasiun
Peluh membasahi diriku pagi ini. Maklum saja, aku baru saja jalan kaki sekitar 10 kilometer di acara Car Free Day yang diadakan sepanjang jalan Sudirman hingga M. Thamrin ini. Oleh karena itu, setelah puas mengeluarkan keringat, aku mengeringkan diri dulu sebelum pulang.
Sekitar 45 menit aku beristirahat, duduk di lantai seperti peserta CFD lainnya yang kelelahan, aku berdiri untuk ikut mengantri membeli tiket di vending machine. Selain ingin istirahat, aku menunggu jumlah orang yang mengantri berkurang dulu. Aku tidak sedang terburu-buru, buat apa berdesak-desakan. Lebih baik bersabar sedikit agar mendapatkan kereta yang lenggang.
Setelah mendapatkan tiket, aku membeli minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokanku. Air mineral yang aku bawa dari rumah telah tandas sejak tadi. Aku yang tak pernah berjalan sejauh itu jelas butuh banyak mineral untuk menghindarkan diriku dari dehidrasi.
Aku naik KRL dari stasiun Sudirman, karena stasiun inilah yang terdekat dari lokasi CFD. Stasiun ini sejajar dengan jalan Sudirman, sehingga untuk bisa sampai ke peron perlu menggunakan eskalator. Saat menuruni eskalator inilah, aku melihat seorang perempuan yang sedang membaca buku di peron stasiun.
Entah karena naluri, aku pun berdiri di dekatnya. Bagi seorang kutu buku seperti diriku, bisa menemukan orang lain membaca di ruang publik sudah senang, apalagi jika orang tersebut seorang perempuan cantik. Aku mencuri pandang ke arahnya, mengamati lebih seksama.
Aku tidak pernah melihat kover buku yang ia baca, bahkan tampaknya buku tersebut ia beri sampul sendiri. Kuamati lagi ia dari belakang, karena aku tak berani berdiri di sampingnya persis. Ia berkacamata, aku suka perempuan berkacamata, dan berambut panjang. Wajahnya ia tutupi dengan masker. Ia mengenakan baju berwarna merah, sama dengan warna rambutnya.
Dalam hati aku sangat ingin menyapanya. Entah mana yang lebih menarik, buku yang ia baca atau pemiliknya. Selama ini aku selalu menganggap buku dan perempuan sama menariknya, hingga kawanku meledekku agar aku menikah saja dengan buku. Walaupun aku pecinta buku, tentu aku masih waras untuk tidak menikahi benda mati.
Kami sama-sama berada di peron 2, menunggu KRL yang melaju ke utara hingga pemberhentian akhir di stasiun Angke. Rumahku terletak di dekat stasiun Grogol, sehingga aku butuh transit di stasiun Duri. Aku penasaran, kemana kah perempuan ini hendak pergi? Atau, sebenarnya ia hendak pulang ke rumahnya? Semoga saja pemberhentian kami sama.
Kereta yang kami tunggu pun tiba. Sayang, kereta tersebut sangat penuh seolah tak ada lagi sisa ruang untuk kami masuk. Aku menunggu respon perempuan tersebut, dan ia hanya diam di tempatnya sembari meletakkan pembatas bukunya. Ia memutuskan untuk menunggu kereta selanjutnya. Aku pun memutuskan hal yang sama, toh aku sedang tidak terburu-buru.
Setelah kereta tersebut berlalu, aku berusaha untuk mencari aktivitas yang berguna. Bbiasanya aku selalu membawa buku untuk kubaca ketika menunggu. Sayangnya pagi tadi aku memutuskan untuk tidak membawa buku karena niatku ke CFD adalah untuk berolahraga. Selain itu, bukankah KRL sepi ketika hari libur? Tidak, aku salah besar.
Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mengambil handphoneku dan membaca novel yang aku tulis sendiri di blogku. Setidaknya, jika perempuan tersebut menoleh ke arahku, ia tahu aku pun sedang membaca, walaupun dalam format digital. Mungkin aku terlalu banyak berharap, karena sejak tadi perempuan tersebut seolah tidak menyadari ada laki-laki yang memperhatikan dirinya sejak tadi.
Kereta kedua akhirnya tiba juga, dan sesuai dengan dugaanku, lebih lenggang dibandingkan kereta pertama tadi. Kami berdua pun masuk ke gerbong di depan kami melalui pintu yang berbeda. Berjarak satu deret kursi antara diriku dengannya. Lagi-lagi posisinya membelakangiku. Mungkin instingnya yang mengatakan bahwa ada mata liar yang sedang mengawasinya, walaupun sama sekali tidak ada keliaran pada pandanganku.
Ketika sampai di stasiun Tanah Abang, penumpang yang masuk bertambah cukup banyak, membuatku susah untuk bergerak. Di antara lautan manusia tersebut, ada sekelompok remaja, kira-kira masih SMA, masuk dengan tawa cekikikan. Mereka terdiri dari empat perempuan dan satu laki-laki. Karena mereka tidak mendapatkan pegangan untuk berdiri, aku bergeser sedikit agar mereka dapat memegang peganganku.
Melihat komposisi penumpang ini, aku langung menduga, bahwa laki-laki yang hanya seorang itu pasti pacar dari salah satu perempuan-perempuan ini. Benar saja, sesaat setelah kereta berjalan, mereka mulai menunjukkan gelagat-gelagat pemuda yang dimabuk asmara. Semakin lama, gerakan mereka semakin mesra, hingga pada akhirnya mereka berpelukan di antara penumpang lainnya.
Ingin rasanya aku mengambil kantong plastik di tasku untuk muntah. Aku merasa mual karena melihat aksi mereka. Jika di tempat umum saja sudah begitu intim, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan di tempat sepi. Menjijikkan.
Aku memutuskan untuk berpaling dari pasangan yang tak tahu diri itu. Perempuan berambut panjang dan berkacamata itu masih berdiri sempurna seperti pertama kali masuk ke dalam kereta. Ia tak melanjutkan buku yang sedang ia baca, mungkin karena sesaknya isi kereta.
Pada akhirnya, kereta sampai di stasiun Duri peron 2. Untunglah, aku tak harus dekat-dekat dengan pasangan yang tak punya malu ini lama-lama. Dengan sengaja aku maju sambil memberikan tatapan sinis kepada mereka, yang nampaknya tidak mereka sadari karena terlalu asyik berpelukan. Aku begitu geram melihat mereka hingga lupa menegecek apakah perempuan tersebut ikut turun di sini.
Ketika menjejakkan kaki di stasiun, nampaklah ia juga keluar dari kereta. Aku memutuskan untuk melangkah duluan untuk berpindah ke peron 4, peron dengan tujuan hingga Tangerang. Ia kutinggal di belakang karena takut ia menyadari bahwa dari tadi ada seorang laki-laki yang mengaguminya. Terjadi dilema di dalam diriku, apakah aku akan memberanikan diri untuk bicara dengannya atau berdiam diri saja agar menyesal nanti.
Di peron 4, aku menunggu datangnya kereta. Perempuan itu menyusul dan berdiri tepat di sampingku. Ternyata, kami memang satu tujuan, walaupun aku belum tahu di mana stasiun tujuannya. Akhirnya, dengan mengumpulkan keberanian, aku memulai percakapan, tak peduli apapun hasilnya.
“Maaf mbak, saya mau buat pengakuan, dari tadi saya memperhatikan mbak, karena sangat jarang seorang perempuan membaca buku di saat menantikan sesuatu. Saya sangat mengagumi mbak karena itu.”
Ia mengenakan masker, tapi entah bagaimana, aku tahu perempuan yang membaca buku di peron stasiun tersebut sedang tersenyum.
Jelambar, 14 Mei 2018, terinspirasi dari kejadian nyata (kecuali endingnya karena penulis pada akhirnya sama sekali tidak berusaha untuk mengajaknya berbicara)
-
Anime & Komik5 bulan ago
Karakter Paling Sial di Dragon Ball adalah Future Trunks
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #17: Unstable Unicorns
-
Buku5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Devotion of Suspect X
-
Anime & Komik5 bulan ago
Vegeta adalah Karakter Dragon Ball dengan Pengembangan Terbaik
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #18: King of the Dice
-
Musik4 bulan ago
I AM: IVE
You must be logged in to post a comment Login