Connect with us

Buku

[REVIEW] Setelah Membaca The 5 AM Club

Published

on

Menyadari dirinya kesulitan untuk bisa bangun pagi secara konsisten, Penulis pun mencari motivasi untuk bisa melakukannya. Salah satunya adalah dengan membaca buku berjudul The 5 AM Club karya Robin Sharma.

Salah satu alasan lain Penulis memutuskan untuk membeli buku ini adalah karena Maudy Ayunda merekomendasikannya di kanal YouTube-nya. Bahkan, Penulis tidak mengintip isinya ketika di toko buku karena merasa percaya saja dengan rekomendasinya.

Alhasil, Penulis pun terkejut ketika membuka buku ini untuk pertama kalinya karena ternyata buku self-improvement ini dibalut dalam bentuk novel. Sempat tergeletak lama karena terasa membosankan, akhirnya Penulis berhasil menamatkan buku ini.

Detail Buku

  • Judul: The 5 AM Club
  • Penulis: Robin Sharma
  • Penerbit: Penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP)
  • Cetakan: Ke-2
  • Tanggal Terbit: Agustus 2019
  • Tebal: 450 halaman
  • ISBN: 9786232161368

Apa Isi Buku Ini?

Secara garis besar, hanya ada empat karakter yang ada di buku ini, yaitu Sang Pemikat, Miliuner, Pengusaha, dan Seniman. Sepanjang novel, hanya sang Miliuner yang memiliki nama, yakni Mr. Riley.

Di awal buku, diceritakan kalau Sang Pemikat sedang mengadakan sebuah “seminar motivasi”, di mana Pengusaha dan Seniman menjadi salah satu pesertanya. Miliuner juga hadir, walaupun ia menyamar menjadi seorang gelandangan nyentrik.

Ketika sedang mengisi seminar tersebut, tiba-tiba Sang Pemikat jatuh sakit dan acara pun berhanti. Lantas, terjadi pembicaraan tiga arah antara Pengusaha, Seniman, dan Miliuner. Singkat cerita, Pengusaha dan Seniman pun diundang oleh Miliuner ke Mauritania.

Selama di pulau tersebut, Miliuner dan Sang Pemikat (yang ternyata merupakan guru dari Miliuner) pun membagikan ilmu-ilmu terkait bagaimana bangun pagi pukul 5 pagi sangat berpengaruh dalam hidup yang sukses. Beberapa di antaranya adalah:

  • Prinsip 20/20/20, di mana satu jam pertama setelah bangun jam 5 pagi adalah 20 menit aktivitas fisik seperti olahraga, 20 menit refleksi diri dan ibadah, dan 20 menit belajar
  • Prinsip 90/90/1, di mana selama 90 hari ke depan, fokuskan 90 menit untuk mengerjakan 1 hal yang paling penting
  • Prinsip 60/10, di mana setiap bekerja/belajar selama 60 menit, ambil istirahat selama 10 menit

Di sela-sela penjabaran tersebut, terselip cerita dari para karakternya, termasuk kisah cinta antara Pengusaha dan Seniman, perjalanan keliling dunia mereka, bagaimana masalah perusahaan si Pengusaha akhirnya dibantu oleh Miliuner, dan lain sebagainya.

Setelah Membaca The 5 AM Club

Penulis memiliki ekspektasi yang cukup tinggi terhadap buku ini, mengingat Maudy Ayunda merekomendasikannya. Kenyataannya, bisa dibilang buku ini cukup mengecewakan di berbagai aspeknya.

Pertama dari segi penceritaan, bisa dibilang jalan ceritanya cukup buruk dan sama sekali tidak realistis. Coba bayangkan, seberapa besar kemungkinan kita diajak oleh seorang Miliuner “berlibur” ke pulau eksotis sembari mendapatkan ilmunya? Near zero.

Selain itu, permasalahan kantor yang dialami oleh Pengusaha juga terasa cuma “tempelan”. Ending dari permasalahan tersebut juga klise, di mana si Miliuner membantu penyelesaian tersebut dengan sangat mudahnya.

Pengembangan karakter Pengusaha dan Seniman pun terasa tidak smooth dan berubah secara drastis hanya dengan mendengar beberapa nasihat dari orang yang baru dikenal. Kisah cinta mereka juga sama sekali tidak berkesan.

Untuk segi self-improvement-nya, bisa dibilang buku ini terlalu bertele-tele. Poin-poin yang ingin disampaikan sebenarnya tidak terlalu banyak, sehingga ada banyak bagian yang seolah hanya untuk mempertebal buku saja.

Bagian 20/20/20 bisa dibilang menjadi bagian yang paling “berguna”, meskipun tentu untuk penerapannya bisa berbeda-beda. Penulis sendiri biasanya memiliki rutinitas pagi yang dibagi menjadi 30 menit ibadah, 45 menit olahraga, dan 30 menit baca buku.

Oleh karena itu, rasanya Penulis susah untuk merekomendasikan buku ini. Apalagi, buku ini cukup tebal dengan isi yang tidak seberapa. Jika ingin bangun pagi, yang paling penting adalah NIAT.


Lawang, 16 Juli 2023, terinspirasi setelah membaca buku The 5 AM Club karya Robin Sharma

Non-Fiksi

Setelah Membaca Buku Building a Second Brain

Published

on

By

Penulis merasa dirinya cukup terobsesi dengan produktivitas karena merasa dirinya selama ini masih jauh dari kata tersebut. Salah satu alasan Penulis membuat rubrik Produktivitas di blog ini adalah untuk memotivasi dirinya sendiri.

Tidak hanya itu, Penulis pun banyak membeli buku-buku seputar topik produktivitas. Salah satu yang baru saja Penulis selesaikan adalah Building a Second Brain karya Tiago Forte. Buku ini langsung menarik perhatian Penulis begitu membaca sinopsisnya.

Apalagi, di atas sinopsisnya, ada testimoni dari seorang content creator terkenal, Kevin Anggara. Ia mengatakan kalau buku ini telah memberikan pelajaran untuknya yang bisa diaplikasikan dalam keseharian untuk hidup yang lebih produktif.

Detail Buku Building a Second Brain

  • Judul: Building a Second Brain
  • Penulis: Tiago Forte
  • Penerbit: Renebook
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Februari 2024
  • Tebal: 302 halaman
  • ISBN: 9786236083772
  • Harga: Rp115.000

Sinopsis Buku Building a Second Brain

Sudah saatnya kita memaksimalkan kemampuan otak kedua. Setiap hari, kita menyerap berbagai informasi melalui media sosial, siniar, media massa, dan kanal video digital. Namun, jarang sekali kita mampu mengingat seluruh informasi itu.

Pada akhirnya, banyak hal yang telah kita dapatkan hilang begitu saja. Bahkan, sering kali kita kesulitan untuk menemukan kembali informasi tersebut saat dibutuhkan.

Oleh karena itu, melalui buku Building a Second Brain, Tiago Forte mengajak kita untuk membangun otak kedua. Sebuah kemampuan memanfaatkan perangkat digital yang terbukti ampuh untuk menyortir, mengelola, dan menyimpan semua ide kita.

Akhirnya, kita tidak akan lagi kesulitan dalam mengingat hal-hal yang diperlukan. Bersiaplah menjadi pribadi yang produktif dan kreatif ketika otak kedua telah aktif.

Isi Buku Building a Second Brain

Buku ini menekankan mengenai betapa butuhnya kita sebuah “otak kedua” karena otak yang berada di dalam kepala kita tidak akan mampu menampung semua informasi dan data yang masuk. Sering kan merasa lupa akan suatu informasi ketika dibutuhkan?

Tiago Forte hadir untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut melalui buku ini. Pertama, kita tentu membutuhkan sebuah platform digital yang akan dipilih untuk menjadi otak kedua kita.

Platform tersebut tentu harus mudah diakses dan bisa digunakan kapan saja dan di mana saja, jadi harus tersedia di gawai yang kita gunakan sehari-hari. Ada banyak sekali aplikasi catatan yang bisa digunakan, tapi Penulis pribadi memilih untuk menggunakan Notion.

Dalam buku ini, ada banyak tips-tips yang bisa diaplikasikan ke dalam sehari-hari, tapi poin utama dari buku ini adalah sebuah metode bernama CODE, yakni Capture (Menangkap Ide), Organize (Mengorganisir), Distrill (Menemukan Inti Sari), Express (Mengekspresikan)

Dengan adanya metode ini, ide-ide yang muncul di benak kita pun akan tersimpan dengan lebih rapi. Peluang untuk terlupakan pun menjadi lebih kecil. Namun perlu diingat, ide yang disimpan pun akan menjadi percuma jika tidak ada realisasinya.

Tidak hanya CODE, Forte juga memberikan tips menyimpan informasi dengan sistem PARA, yakni Projects, Areas, Resources, Archives. Intinya, semua data dan informasi yang kita miliki dibagi menjadi ke dalam empat folder tersebut.

Projects berisi apapun seputar proyek yang sedang kita kerjakan dalam waktu dekat. Areas berisi apapun seputar proyak yang sifatnya jangka panjang. Resources berisi apapun yang menarik bagi kita dan tidak memiliki tenggat waktu. Archives berisi apapun yang tidak masuk ke dalam kategori di atas.

Setelah Membaca Building a Second Brain

Building a Second Brain ditulis dengan tujuan membantu pembacanya untuk menciptakan sebuah otak kedua agar semua ide, informasi, data, dan sebagainya bisa terkumpul dalam satu platform yang mudah diakses. Tujuan tersebut menurut Penulis berhasil dicapai.

Meskipun belum menerapkan semua isi buku ini, Penulis sudah mulai “mencicil” untuk membuat otak kedua melalui Notion. Meskipun baru sebatas untuk kebutuhan blog, ke depannya Penulis akan mengembangkan otak keduanya tersebut untuk hal lain.

Dalam menjabarkan poin-poinnya, Forte memberikan contoh berdasarkan apa yang telah ia lakukan. Jadi, contoh-contoh yang ada benar-benar konkrit dan jelas karena sudah dilakukan oleh si penulis buku ini.

Sayangnya, bagi Penulis buku ini cukup teknis dan ribet. Forte seolah ingin mengatakan bahwa proses membuat otak kedua tidak mudah dan memiliki banyak tahapan, sehingga orang-orang malas seperti Penulis pun tak akan mengikuti semua tipsnya.

Selain itu, Penulis juga merasa setiap bab yang membahas CODE terlampau panjang, sehingga esensi poinnya jadi kurang bisa tertangkap. Jika disuruh menjelaskan dengan detail apa itu CODE, jujur Penulis tidak sanggup.

Namun, secara garis besar, buku ini berhasil memberikan insight mengenai betapa butuhnya kita akan otak kedua di era yang keberlimpahan informasi seperti sekarang ini. Meskipun beberapa isinya terlalu teknis, tetap ada banyak hal-hal yang bisa kita terapkan dalam keseharian.

Penulis merekomendasikan buku ini untuk Pembaca yang merasa selama ini sering melupakan banyak hal karena otak utamanya tidak sanggup menyimpan semuanya. Membangun otak kedua secara efektif menjadi salah satu solusi terbaiknya.

Skor: 7/10


Lawang, 7 September 2024, terinspirasi setelah membaca buku Building a Second Brain karya Tiago Forte

Continue Reading

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Published

on

By

Sudah cukup lama sejak Penulis terakhir kali membaca novel karya Tere Liye. Setelah meninggalkan seri Bumi karena sudah tidak sanggup mengikuti semestanya yang seolah meluas tanpa batas, buku terakhir yang Penulis baca adalah Bedebah di Ujung Tanduk.

Setelah di novel Janji Penulis sudah sedikit memuji Tere Liye, Penulis kembali ngomel-ngomel setelah membaca Bedebah di Ujung Tanduk karena beberapa hal. Alhasil, Penulis (sekali lagi) memutuskan untuk berhenti membaca novel karya Tere Liye.

Namun, keputusan tersebut goyah ketika Penulis membaca twit dari Ernest Prakasa pada bulan Februari lalu. Ia mengatakan kalau novel berjudul Teruslah Bodoh Jangan Pintar ini “terlalu berani” sehingga menimbulkan rasa penasaran bagi Penulis.

Novel bertema politik ini rilis berdekatan dengan pemilihan presiden, sehingga banyak yang mengaitkan novel ini dengan kejadian di dunia nyata. Apakah itu benar? Hanya Tere Liye yang bisa menjawabnya.

Yang jelas, setelah membaca buku ini, mata kita seolah dibuka untuk minimal mengetahui realita yang selama ini tidak tersorot.

Detail Buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar

  • Judul: Teruslah Bodoh Jangan Pintar
  • Penulis: Tere Liye
  • Penerbit: PT Sabak Grip Nusantara
  • Cetakan: Kedua
  • Tanggal Terbit: Februari 2024
  • Tebal: 371 halaman
  • ISBN: 9786238882205
  • Harga: Rp99.000

Sinopsis Buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Saat hukum dan kekuasaan dipegang oleh serigala-serigala buas berbulu domba.
Saat seluruh negeri dikangkangi orang-orang jualan sok sederhana tapi sejatinya serakah.
Apakah kalian akan tutup mata, tutup mulut, tidak peduli dengan apa yang terjadi?
Atau kalian akan mengepalkan tangan ke udara, LAWAN!

Isi Buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Kebanyakan sinopsis buku-buku Tere Liye tidak terlalu menjelaskan apa isi bukunya, seolah ingin menyimpan suatu rahasia yang baru terungkap setelah kita membaca bukunya. Buku ini salah satunya, yang bisa dilihat pada satu paragraf di atas.

Setelah dibuka, ternyata novel ini bercerita tentang persidangan tertutup yang dilakukan oleh para aktivis melawan korporat milik Tuan Liem (PT Semesta Minerals & Minings) yang dituduh melakukan berbagai hal ilegal dan pencemaran lingkungan. Ini merupakan scene yang tak asing, bukan?

Alur ceritanya sendiri maju-mundur, di mana ketika saksi memberikan kesaksian, maka kita akan dibawa flashback ke masa lalu. Format ini selalu berulang di setiap saksi agar memberi kita gambaran mengenai kasus atau masalah yang sedang disidangkan.

Ada banyak sekali saksi yang dihadirkan oleh kedua belah pihak, di mana biasanya pihak tergugat seolah bisa membaca strategi pihak penuntut. Akibatnya, pihak penutut lebih sering kalah daripada menang, karena tim pembela tergugat dipimpin oleh pengacara paling top.

Pada akhirnya, sesuai dugaan, pihak tergugat berhasil memenangkan pengadilan dan berhak untuk melanjutkan proyek yang sedang dikerjakan. Sengaja Penulis menulis bagian akhirnya karena di realita, hal tersebut terlalu sering terjadi, sehingga rasanya tak layak menjadi spoiler. Namun, itu bukan akhir dari cerita di novel ini.

Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Tidak ada kisah manusia biasa dengan kemampuan super. Tidak ada adegan aksi yang menegangkan. Novel ini terasa begitu dekat dengan kehidupan kita. Menurut Penulis, Tere Liye berhasil menjahit beberapa kejadian nyata seolah menjadi sebuah fiksi pada novel ini, bukan sebaliknya.

Dengan mudah kita akan mengaitkan nama toko di buku ini dengan tokoh di dunia nyata. Penulis yakin, ada nama yang langsung terbesit di pikiran Pembaca begitu mengetahui karakter seperti Bacok dan Hotma Cornelius. Penulis tidak akan menyebutkan nama mereka di sini.

Dalam realita, uang dan kekuasaan selalu menjadi poin penting untuk bisa menjadi pemenang. Hal ini terlihat dari kemenangan PT Semesta yang dilakukan dengan menyogok para juri, selain mengumpulkan berbagai dokumen untuk membantah semua tuduhan yang diarahkan ke mereka.

Bagi yang kerap mengikuti berita-berita seputar konflik agraria, hilirisasi, atau kerusakan lingkungan, mungkin hal yang disajikan bukan hal baru. Namun, novel ini bisa membuka mata bagi mereka yang selama ini belum terlalu mengikutinya.

Konflik-konflik yang dihadirkan sebenarnya cukup berat, tapi Tere Liye mampu menghadirkannya dengan bahasa mudah sehingga kita yang awam dan tidak related mampu memahami situasinya. Di setiap kasus, kita akan dibuat geram dengan kejadian yang ada.

Penulis sempat mengkritik Tere Liye di novel Bedebah di Ujung Tanduk karena risetnya terlalu dangkal. Namun, di novel ini bisa dibilang ia melakukan riset yang cukup detail. Penulis akan percaya jika ia telah mewawancarai korban-korban konflik agraria dan lingkungan yang dalam 10 tahun terakhir kerap terjadi.

Bagi Penulis sendiri, konflik agraria dan kerusakan memang menjadi topik yang Penulis perhatikan. Walau tak ada kontribusi yang bisa Penulis lakukan untuk membantu para korban, setidaknya Penulis merasa perlu untuk tahu dan menyebarkan awareness kepada masyarakat yang lebih luas.

Oleh karena itu, Penulis merasa kalau novel ini mampu membuka mata kita mengenai konflik-konflik yang sedang dihadapi oleh saudara-saudara kita yang ada jauh di sana. Masalah yang mereka hadapi sama sekali tidak ringan, mereka tertindas di tempat tinggal mereka sendiri.

Sayangnya, novel ini bak anime shounen yang hitam-putih karakternya terlalu jelas. Pihak yang baik selalu benar dan pihak yang jahat selalu salah. Hal ini mengurangi elemen realistis yang disajikan pada novel ini.

Selain itu, Penulis juga kurang menikmati bagian ending yang terasa terburu-buru dan kurang realistis. Penulis tidak akan membocorkannya di sini, tapi Penulis merasa bagian akhirnya yang agak menggantung kurang memuaskan.

Namun, secara umum, setidaknya novel ini tidak membuat Penulis ngomel-ngomel. Sejak dulu, Penulis memang lebih suka cerita-cerita Tere Liye yang terasa dekat. Novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar justru terasa terlalu dekat, hingga terasa menyeramkan.

Skor: 7/10


Lawang, 19 Agustus 2024, terinspirasi setelah membaca buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar karya Tere Liye

Continue Reading

Non-Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang

Published

on

By

Jika disuruh menyebutkan salah satu penulis favoritnya, maka Penulis akan menyebutkan nama Seno Gumira Ajidarma. Tidak hanya karya sastranya yang ada banyak, Penulis juga membaca beberapa kumpulan tulisan esainya.

Beberapa buku non-fiksi dari Seno yang sudah Penulis baca adalah Jokowi, Sengkuni, Machiaveli, Obrolan Sukab, Tiada Ojek di Paris, dan Affair (yang sebenarnya belum selesai dibaca). Nah, buku terbaru dari Seno yang baru Penulis tamatkan adalah Orang Makan Orang.

Sebagaimana yang tertulis di bagian Catatan Penulis, buku ini bersifat “sekuel” dari buku Jokowi, Sengkuni, Machiavelii. Oleh karena itu, buku ini menjadi kumpulan tulisannya dari berbagai media yang tayang dari tahun 2017 hingga 2023.

Detail Buku Orang Makan Orang

  • Judul: Orang Makan Orang
  • Penulis: Seno Gumira Ajidarma
  • Penerbit: Penerbit Mizan
  • Cetakan: Pertama
  • Tanggal Terbit: Januari 2024
  • Tebal: 277 halaman
  • ISBN: 9786024413347
  • Harga: Rp89.000

Sinopsis Buku Orang Makan Orang

“Tiada apa pun yang dengan sendirinya benar—perjuangan makna, dengan segala kibulnyalah, yang meng-ada-kannya.”

Karena selalu dimaknai secara sempit sebagai pertarungan antarpartai politik demi memperebutkan kekuasaan, politik sering kali dianggap sebagai dunia kibul-kibul. Bahkan, dianggap sebagai tempat yang buruk untuk hidup.

Padahal, perebutan untuk menang dan berkuasa, dalam segala arti dan dengan segala cara, juga berlangsung di luar dunia politik. Dari sidang pengadilan sampai bencana pandemi, dari sinema sampai agama, dari wayang sampai sejarah, dari ekonomi sampai susastra, dari dunia militer sampai kriminal, dari humor sampai sepak bola, dari panggung politik itu sendiri sampai di dalam rumah tangga.

Dalam buku Orang Makan Orang ini, Seno Gumira Ajidarma mencoba menunjukkan siasat, konsep, dan ideologi dari berbagai manuver dalam kehidupan politik sehari-hari—sekadar agar manipulasi itu terbongkar. Manipulasi demi tujuan politik mana pun perlu diketahui, sebab manipulasi itu tentu tersembunyi—sehingga tiada kesetaraan antara yang tahu dan tidak tahu.

Isi Buku Orang Makan Orang

Sebagai kumpulan esai, buku ini terdiri dari 57 tulisan yang tayang dalam rentang tahun 2017 hingga 2023. Sesuai dengan subjudulnya (Kibul-Kibul Budaya Politik), mayoritas isinya membahas tentang isu politik yang sedang hangat ketika esai tersebut dibuat.

Salah satu yang paling Penulis ingat (dan menjadi bahan tulisan Bagaimana Jokowi Mengalahkan Lawan-Lawannya Tanpa Berperang) adalah “Arogansi (Politik) Jawa” di halaman yang dimuat pada Koran Tempo tahun 2019.

Dalam tulisan tersebu, Seno menyorot bagaimana Jokowi sebagai orang Jawa berusaha menerapkan filsafat Jawa yang ingin merangkul lawan-lawannya demi menjaga kekuasaannya. Hal tersebut bisa kita lihat pada peta politik Indonesia saat ini.

Namun, bisa dibilang kalau buku ini tak sepenuhnya membahas politik. Bahkan, bisa dibilang kalau 2/5 isinya justru menyorot sosial budaya dan tak memiliki keterkaitan dengan dunia politik.

Contohnya adalah beberapa kali Seno membahas mengenai karya-karya sastra klasik, yang mungkin tidak diketahui banyak orang. Di bagian akhir, Seno bahkan membahas banyak tentang sebuah karya berjudul Domba-Domba Revolusi.

Salah satu topik sosial budaya yang menarik perhatian Penulis adalah “Wayang, Agama, dan Paimo.” Pada tulisan yang di KumparanPlus tahun 2022 tersebut, Seno menjelaskan kalau goresan yang terdapat pada wayang merupakan yang kaligrafi Islam.

Hal ini masuk akal, mengingat wayang merupakan salah satu media yang digunakan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Namun, Penulis tak menyangka kalau para wali sampai sedetail itu.

Setelah Membaca Orang Makan Orang

Jika boleh jujur, sebenarnya tak semua penulisannya Seno bisa Penulis pahami. Terkadang, struktur bahasa atau kalimatnya sulit untuk dimengerti seolah menggunakan bahasa sastra. Anehnya, Penulis tetap menyukai tulisan-tulisannya.

Begitu juga dengan buku Orang Makan Orang yang satu ini. Tidak semua tulisan esainya Penulis paham, terutama yang membahas tentang karya sastra klasik. Sudah tidak mengerti buku apa yang dibahas, poin yang ingin disampaikan pun sulit Penulis cerna.

Namun, Penulis tidak menyalahkan Seno sebagai penulis buku ini. Penulis saja yang kemampuan memahaminya tidak cukup tinggi untuk mencapai levelnya Seno. Apalagi, pengetahuan Penulis tentang sastra klasik juga sangat cetek.

Dari 57 topik yang dibahas di buku ini, mungkin yang bisa Penulis pahami hanya setengahnya. Namun, tetap saja Penulis bisa menikmati buku ini yang dibuktikan dengan tamatnya buku ini dan rilisnya artikel ini.

Salah satu hal yang membuat tulisan Seno menarik adalah banyaknya fakta menarik yang ia sajikan dalam tulisannya. Jadi, meskipun tidak benar-benar memahami keseluruhan tulisannya, setidaknya ada insight menarik yang berhasil Penulis dapatkan.

Fakta yang disajikan bukan fakta sembarangan yang bisa ditemukan di Google. Kalau masalah riset, Seno memang tak perlu diragukan lagi. Penulis pernah membahas mengenai hal ini pada artikel ulasan novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang ditulis oleh Seno.

Namun, sebenarnya Penulis berharap isinya berisi tulisan politik semua, tanpa ada campuran tulisan sosial budaya. Apalagi, di subjudulnya tertulis “Kibul-Kibul Budaya Politik” yang membuat Penulis berpikir kalau buku ini benar-benar akan total membahs politik.

Terlepas dari hal tersebut, buku ini Penulis rekomendasikan untuk Pembaca yang gemar membaca tulisan-tulisan esai yang tayang di surat kabar. Buku ini akan terasa berat bagi Pembaca yang tidak terbiasa membaca buku.

Skor: 7/10


Lawang, 8 Juli 2024, terinspirasi setelah membaca Orang Makan Orang karya Seno Gumira Ajidarma

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan