Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 23 Analisa Seorang Kenji
Setelah beberapa penjelasan dari Pierre waktu istirahat pertama, aku sudah menguasai penggunan handphone mungilku ini. Tidak salah jika aku sering membanggakan kemampuan otakku ini. Meskipun menunya tidak bisa diatur menggunakan bahasa Indonesia, hal tersebut bukan masalah besar karena kemampuan bahasa Inggrisku juga lumayan. Bisa menggunakan handphone merupakan satu lompatan besar bagiku yang bagai lahir ketika manusia masih menggosokkan dua batang kayu untuk membuat api.
Masalahnya, setelah selesai dengan Pierre, Sarah masuk ke kelas dan melihat handphoneku. Tatapan sinis sangat jelas tergambar dari kedua matanya itu. Ia yang biasanya suka berbicara dengan lantang itu memutuskan untuk mengumbar senyum tipis yang bertujuan untuk menghina. Mungkin ia agak segan dengan diriku yang dirasanya tidak bisa dihina dengan terang-terangan. Aku tidak sempat merespon Sarah karena Sica keburu masuk.
“Le, sudah beli handphone?”
“Eh, iya sudah.”
“Boleh lihat?”
Aku pun menyodorkan handphone ke Sica. Ia mengamati barang tersebut dengan seksama. Aku heran, apa yang menarik dari alat komunikasi bekas yang punya cahaya lemah di sudutnya ini.
“Oke Le, terima kasih, nomerku sudah aku save di kontakmu?”
“Benarkah? Terima kasih Sica.”
Ekspresi Sica sedikit terlihat aneh, antara canggung dan merasa bersalah. Daripada penasaran, aku pun bertanya kepadanya, apa ada yang salah dengan handphoneku ini.
“Maaf ya Le, tadi sekilas aku merasa familier dengan handphone itu. Ternyata benar, itu handphone lamaku yang belum lama aku jual.”
***
Selama sisa jam pelajaran, aku berusaha untuk menebalkan mukaku setebal-tebalnya. Berusaha bersikap normal, padahal dalam hati malu tak karuan. Sesekali aku melihat Sica melirik ke arahku, mungkin karena merasa bersalah karena telah memberitahu fakta tersebut. Seharusnya dia tidak perlu merasa bersalah, toh ia tidak menyebarkan kabar tersebut ke orang lain.
Ketika akhirnya pelajaran telah berakhir, kami semua bergegas keluar dari sekolah. Sepengetahuanku semua anak di kelas aksel ini, selain aku dan Kenji, punya jadwal les yang begitu padat untuk menyeimbangkan ritme pelajaran yang kami terima di sekolah. Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa tahan belajar non-stop seperti itu. Aku yang memiliki otak cerdas ini pun butuh istirahat, yang biasa aku lakukan sepulang sekolah. Barulah ketika malam menjelang aku memulai kegiatan belajarku kembali hingga merasa penat. Entah bagaimana pola Kenji belajar, tetapi aku yakin pola belajar kami tidak terlalu berbeda.
Seperti biasa, aku dan Kenji akan pulang bersama seperti yang sudah kami lakukan akhir-akhir ini. Namun Kenji nampak sedang berbincang dengan teman sekelas kami yang begitu pendiam, Yuri. Bahkan seingatku aku belum pernah berbicara dengannya barang satu kali pun. Penasaran, aku pun menghampiri mereka berdua.
“Kenji, tidak pulang?” tanyaku memecah percakapan mereka.
“Ah sebentar Le, teman kita satu ini membutuhkan bantuanku. Atau lebih tepatnya bantuan kita.” jawab Kenji sambil mengedipkan satu matanya.
“Bantuan?”
“Mungkin lebih baik kamu sendiri yang cerita Yu.” Kenji mengalihkan pandangannya ke Yuri.
Yuri nampak gugup ketika akan berbicara denganku. Masa laluku sebagai pembuat onar mungkin membuatnya agak takut berbicara denganku. Maka, aku berusaha membuka percakapan dengan seramah mungkin.
“Kau butuh bantuan apa?”
“Hahaha, ayolah Le, dia justru akan makin diam kalau kamu tanya macam memalak seperti itu.” kata Kenji sambil tertawa ringan. Heran, padahal aku sudah berusaha untuk seramah mungkin.
“Baiklah biar aku saja ya yang bercerita.” lanjut Kenji sambil membenarkan posisi duduknya.
“Tu…tunggu Ken, aku akan cerita ke Leon ju…juga.” Yuri akhirnya membuka mulutnya untuk bersuara walaupun agak tergagap.
“Nah, itu lebih bagus.”
“Ja…jadi begini Leon, aku merasa kesulitan di kelas ini, terutama menjelang UAS ini. Materi yang harusnya dibagi untuk tiga tahun dimampatkan menjadi dua tahun. Walaupun kelas kita datang lebih pagi dan pulang lebih sore dari kelas reguler, aku tetap merasa kurang dan butuh kelas tambahan. Namun…” Yuri tidak melanjutkan kata-katanya, namun aku bisa menebak kelanjutannya.
Waktu dan faktor ekonomi menjadi penghalangnya untuk mengambil kursus seperti teman-teman lainnya. Sedikit-sedikit aku mengetahui tentang Yuri, mayoritas berasal dari Kenji. Ia adalah anak yang secara ekonomi kurang mampu meskipun lumayan cerdas. Ayahnya telah meninggal, dan ia hidup bersama ibu dan dua adiknya. Selama ini ibu Yuri memenuhi kebutuhan keluarga dengan membuka usaha cathering kecil-kecilan. Karena tidak memiliki uang untuk merekrut orang, maka Yuri sebagai anak tertua pun harus membantu ibunya, termasuk bangun dini hari, sesuatu yang membuat ia sering mencuri-curi waktu untuk tidur di dalam kelas.
“Nah, Le, mungkin kamu bisa menangkap arah pembicaraan ini.” Kenji memotong lamunanku.
“Belajar bersama? Kita bertiga?” jawabku menebak.
“Seperti yang kuharapkan darimu Le. Kita bertiga sama-sama tidak mengambil les di luar jam sekolah. Nah, kenapa kita tidak belajar bersama sepulang sekolah? Bisa di salah satu rumah kita atau bisa juga di kelas.”
Sebenarnya aku kurang setuju dengan usul ini, dengan alasan sore adalah waktuku untuk mengistirahatkan otakku. Namun melihat kondisi Yuri yang membutuhkan pertolongan, nampaknya aku bisa menurunkan egoku.
“Se..sebenarnya bukan belajar bersama Ken, a…aku minta diajari beberapa materi yang aku kurang paham. Aku tidak akan bisa mengajari kalian berdua, kepintaran kalian di atasku.” jawab Yuri dengan kepala yang tetap menunduk dari tadi.
“Ah sama saja, hanya beda istilah, iya enggak Le? Hahaha.”
Dengan anggukan pelan, aku menyetujui usulan ini.
***
“Jadi, sebenarnya siapa yang punya ide? Kau atau Yuri?” tanyaku sewaktu Kenji mampir rumahku setelah kami bertiga setuju dan akan memulainya besok.
“Tentu saja aku Le, tidak mungkin anak sediam Yuri akan memintaku secara langsung. Kamu tahu aku suka sekali mengamati orang, apalagi teman sekelas. Aku sering bertukar pikiran dengan mereka, sehingga banyak informasi yang aku dapatkan tentang mereka.”
“Ya, ketika aku bertanya tentang teman kelas, kau selalu tahu.”
“Jika kita mengingat banyak detail tentang seseorang, maka orang tersebut akan merasa dihargai. Bukan berarti aku hobi mengorek aib orang lo ya, hahaha.”
“Bagaimana kau bisa menebak Yuri butuh belajar bersama kita?”
“Bukan itu sebenarnya yang kutebak, melainkan apa yang Yuri butuhkan. Aku hampir mengetahui semua tempat les teman-teman, kecuali Yuri karena dia memang tidak les dimanapun. Dengan latar belakang Yuri yang seperti itu, aku bisa menarik kesimpulan bahwa ia hampir tidak memiliki waktu untuk mengambil les. Yang namanya pesanan makanan tidak bisa ditebak kapan datangnya bukan? Oleh karena itu, ia tidak mengambil les dengan jadwal yang tetap. Tidak ada tempat les yang jadwalnya tidak tetap bukan, kecuali guru privat seperti yang dilakuan oleh Sarah, dan itu mahal.”
“Jadi, kau usul untuk belajar bersama dengan kita, karena kita bisa membuat jadwal yang fleksibel?”
“Tepat sekali Le.”
Aku memandang langit-langit rumahku untuk mencerna apa yang Kenji katakan kepadaku. Memang bijaksana sekali keputusannya untuk mengajak Yuri belajar bersama kami, apalagi kami berdua sering dianggap duo terpintar di kelas karena sering mendapatkan nilai tertinggi ketika ulangan. Semenjak aku bertemu Kenji, aku menyadari betapa pentingnya berbagi ilmu yang dimilki.
“Apakah kamu setuju dengan ide ini? Maaf aku tidak memberitahukan ide ini sebelumnya.” tanya Kenji setelah kami cukup lama berdiam diri.
“Tentu, tidak ada masalah.”
Tiba-tiba terbesit satu pertanyaan di kepalaku, pertanyaan yang sebenarnya dari tadi mengusik rasa penasaranku.
“Kenji, aku paham bagaimana kau bisa memperoleh informasi tentang teman-teman, tapi bagaimana kau bisa memperoleh informasi tentang Sarah?
“Hahaha, pertanyaan bagus Le. Aku heran kenapa kamu baru menanyakannya sekarang.”
“Karena baru kepikiran.” jawabku enteng.
“Agak susah mengumpulkan informasi tentang Sarah karena ia berasal dari Jakarta. Tidak ada satu orang pun yang mengenalnya. Lagipula, mendapatkan informasi dari orang ketiga bukanlah tipeku.”
“Tidak mungkin kan kau bertanya kepadanya secara langsung?”
“Justru itu yang aku lakukan.”
“Bagaimana caranya?”
“Pertama, buat prediksi jawaban terlebih dahulu. Kumpulkan sebanyak mungkin data yang tersedia, seperti barang bawaannya, tingkah laku, dan lain sebagainya. Lalu, ajukan pertanyaan yang berkebalikan dari prediksi jawaban tersebut.”
“Bisa kau beri contoh?”
“Ambil saja contoh tentang guru privat Sarah. Aku sudah memprediksi bahwa anak seperti Sarah tidak akan mau les bersama orang lain yang dianggapnya, maaf, lebih rendah dari dirinya. Apa solusinya? Tentu saja guru privat. Maka aku bertanya kepadanya ‘Sarah les di mana?’. Kamu bisa tebak seperti apa jawabannya?
Seolah ada film yang diputar di kepalaku, aku bisa menerka apa jawaban Sarah.
“Les? Enak aja, gue gak bakal mau les satu tempat sama kalian. Gue kan kaya, jelaslah gue panggil guru privat yang profesional.” jawabku meniru gaya bicara Sarah.
“Kurang lebih seperti itu jawabannya Le. Dengan cara seperti itulah aku bisa mendapatkan informasi tentang Sarah.”
Sungguh luar biasa analisa kawanku yang satu ini.
***
Menjelang tidur, setelah belajar berjam-jam ditambah melayani berbagai pertanyaan Gisel, aku memutuskan untuk mencoba mengirimkan sms ke Sica. Sempat aku bingung ketika aku mencari namanya di daftar kontak, yang ternyata ia ketik sebagai ‘Kakak Cantik’. Mungkin adikku sempat memangilnya seperti itu ketika ia berkunjung ke rumahku. Tidak mungkin salah nomor, karena memang baru nomer Sica yang aku simpan, selain nomer operator yang tersimpan otomatis.
Aku bingung bagaimana memulai percakapan, sehingga aku kirimkan saja pesan standar.
- Selamat malam kakak cantik
Setelah terkirim, barulah terpikirkan olehku, bagaimana jika Sica marah karena aku memanggilnya seperti itu. Kami belum terlalu dekat, bagaimana jika ternyata ia sudah memiliki seorang pacar, atau setidaknya bagaimana jika orangtuanya menemukan anaknya digoda oleh teman sekelasnya. Banyak sekali bagaimana-bagaimana lainnya yang terus mengambang di pikiranku.
Lama aku menunggu balasannya hingga hampir tertidur, mungkin Sica benar-benar merasa tersinggung dengan panggilan tersebut. Ketika kesadaranku tinggal dua persen, akhirnya bunyi notifikasi yang disertai kerlap-kerlip lampu di ujung handphoneku ini menarikku kembali ke alam sadar. Bukan dari operator, melainkan dari Sica.
- Malam Le, ternyata kamu genit juga ya 😉
Merasa bersalah, aku pun membalas dengan permintaan maaf.
- Maaf Sica, aku memanggil seperti itu karena kau menyimpan namamu seperti itu
Aku belum tahu bagaimana cara menampilan ekspresi pada sms ini seperti yang Sica lakukan. Jika saja aku tahu, akan akan mencari ekspresi bersalah yang paling bersalah.
- Ah, tidak apa-apa kok Le, aku cuma bercanda saja 😊
Belum sempat membalas, masuklah sms keduanya.
- Gisel apa kabar? Pernah nanyain aku enggak? Hihihi
Setelah itu, kami saling membalas sms kami hingga larut. Topik yang dibicarakan pun banyak, mulai Gisel hingga masalah sekolah. Tidak butuh analisa seorang Kenji untuk mengetahui betapa bahagianya diriku sekarang.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login