Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 22 Mabuk Kepayang
Gara-gara perkataan Jessica di rumahku, aku jadi ingin memiliki handphone agar bisa menghubunginya di luar sekolah. Aku bukan orang yang senang mengeluarkan uang kecuali kondisi darurat. Sayangnya, ini adalah keadaan emergency, sehingga aku memiliki dasar yang kuat untuk mengeluarkan tabunganku. Aku belum tahu handphone seperti apa yang kuinginkan karena dalam hal teknologi, aku memiliki keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itu, aku akan bertanya kepada anak yang sangat paham dengan teknologi, Pierre.
Pulang sekolah, setelah meminta Kenji pulang terlebih dahulu, aku menghampiri Pierre yang belum beranjak dari bangkunya. Ia sedang mengutak-atik handphonenya yang terlihat sangat canggih dan mahal.
“Hai Pierre, sedang apa?” sapaku mengganggu keasyikannya.
“Oh, kamu Le. Aku sedang cari-cari artikel tentang pameran komputer bulan ini di Internet.” jawabnya hanya dengan sedikit menoleh ke diriku.
“Memangnya bisa?” tanyaku polos. Meskipun sering memuji kecemerlangan otakku, harus kuakui bahwa aku sangat buta terhadap teknologi.
“Heh? Apa maksudnya?”
“Eh, bisakah kita mencari informasi melalui handphone?”
“Leon, kamu sedang bercanda kan?”
Sebagai jawaban, aku memasang wajah seriusku, walaupun aku tidak yakin wajah tersebut memiliki perbedaan dengan wajahku sehari-hari. Pierre agak bergidik melihat ekspresi wajahku yang aslinya sudah seram menjadi berlipat keseramannya.
“Bisa dong Le, kan handphone ada browser-nya.” jawabnya dengan diiringi tawa canggng.
“Maaf Pierre, kuakui kalau aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang teknologi.”
“Lalu, ada yang bisa aku bantu? Tidak biasanya kamu menghampiriku.”
“Begini Pierre, aku ingin membeli handphone, tapi aku bingung. Aku ingin meminta pendapatmu, karena kau sangat mengetahui perkembangan teknologi.” kata-kata terakhirku membuat ia mengembangkan senyum kebanggaan karena kecintaannya pada dunia teknologi sudah diakui.
“Itu kan tergantung darimu, kamu menginginkan handphone yang seperti apa.”
“Kalau seperti milikmu bagaimana?” jawabku sambil melihat handphonenya. Jujur, handphone itu bagus sekali, dan aku ingin memilikinya.
“Apa?” akhirnya Pierre memandangku, ”kamu yakin Le?”
“Memangnya kenapa?”
“Pengoperasiannya sangat sulit untuk orang yang sama sekali tidak mengerti tentang teknologi seperti dirimu.”
“Tapi aku bisa belajar Pierre, memang apa sulitnya?”
Pierre tidak langsung menjawab, tapi memutar badannya sehingga ia menghadap ke diriku langsung.
“Leon, dengarkan. Handphone ini adalah . . . .”
Entah apa yang diucapkannya, aku sama sekali tidak mengerti. Sekali-kali aku mendengar kata-kata seperti 3G dan hal-hal lain yang sama sekali tidak pernah aku dengar. Tapi karena aku membutuhkan dirinya, kutahankan diriku untuk mendengar semua kicauannya. Selama lima belas menit dia berbicara sendiri menjelaskan handphonenya. Aku hanya meresponnya dengan menganggukkan kepala.
“Itulah spesifikasi dari iPhone 3G milikku ini, bagaimana?” kata Pierre yang sudah kutunggu-tunggu
“Oh jadi namanya iPhone ya, nama yang bagus untuk barang yang bagus.”
“Oh tentu saja. Ini adalah mahakarya dari Steve Jobs.”
“Siapa dia?”
“Penemunya Le! Pendiri perusahaan teknologi terbesar di dunia. Jangan-jangan kamu tidak tahu perusahaan apa yang memproduksi benda ini?”
Aku menggelengkan kepala
“Kamu tak tahu Apple? Astaga Le, parah sekali.” katanya dengan wajah yang menunjukkan belas kasihan yang dalam.
“Aku tahu apple, buah apel kan? Apa hubungannya buah dengan handphone?” jawabku polos.
“Oh my God Leon, Apple adalah nama perusahaan yang membuat iPhone ini. Yang begini lho lambangnya.”
Dia menggambar bukunya dengan sepotong apel yang tergigit.
“Ini logo dari Apple, masa enggak pernah lihat?” tanyanya dengan kesal.
“Mengapa apelnya tergigit?”
“Karena aku yang menggigit!”
Tampaknya Pierre sudah kehabisan kesabaran menghadapi keterbelakanganku akan teknologi. Kesabaranku pun sudah semakin tipis menghadapi anak berkacamata yang menyebalkan ini. Dengan segera aku mengalihkan pembicaraan.
“Berapa haraga iPhonemu Pierre?”
“Karena ini hanya bermemori delapan giga, jadi harganya cuma lima juta.”
“Cu . . cuma?
“Ya, masih ada yang lebih mahal.”
“Apa tidak ada handphone yang lebih murah?”
“Beli saja telepon mainan, murah kan?” katanya dengan muka meledek
“Ayolah Pierre, aku membutuhkan pertolonganmu.”kataku memelas.
Ia menghela nafas panjang. Mungkin ia merasa sedang mengajari kakeknya bagaimana pengoperasian handphone. Akhirnya, keluarlah saran yang berguna darinya, setelah penantian panjang.
“Kusarankan tidak perlulah secanggih punyaku ini. Carilah handphone yang memiliki papan ketik fisik, toh kamu hanya butuh untuk sms dan telepon kan. Carilah merek-merek Korea atau Jepang, harganya masih realtif terjangkau. Bila setelah beli kamu masih bingung, tanyalah kepadaku.”
***
Setelah mendapat informasi yang kuinginkan (walaupun diiringi dengan rasa kesal) aku bergegas menuju rumah Kenji untuk menemaniku membeli handphone.
“Hei Le, ada apa?” sapanya begitu ia membukakan pintu.
“Hei Kenji, apakah kau mau menemaniku untuk membeli sebuah handphone?”
“Di mana?”
Aku terdiam. Karena terlalu bersemangat, aku melupakan sesuatu yang penting. Dimana aku akan mencarinya? Ah, aku benar-benar merasa menjadi orang yang bodoh.
“Aku tak tahu, dan aku tidak punya handphone untuk menanyakannya ke Pierre, maaf sudah mengganggu Kenji.” jawabku lemas
“Kamu sudah terlanjur kemari, mampirlah dulu sebentar.”
Aku melemaskan diriku di kursi ruang tamu sementara Kenji pergi ke dapur. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Ini seperti bukan diriku yang sebenarnya. Alexander Napoleon Caesar adalah manusia yang berlandaskan rasionalitas dan logika. Pasti ada penyebab hingga aku berbuat sesuatu yang sama sekali tidak terencana dengan baik.
“Ini, minumlah teh hangat ini, mungkin sedikit meringankan pikiranmu.” kata Kenji dengan meletakkan secangkir teh di meja ruang tamu.
“Terima kasih.” jawabku dingin, mungkin bisa mendinginkan teh yang dibuatkan Kenji ini.
“Boleh aku menebak sesuatu Le?”
“Apa?”
“Menurutku kamu sekarang berada di bawah pengaruh cinta.”
Aku menatapnya kosong, tidak memahami perkatannya.
“Itu lo, masa kamu enggak tahu.”
“Tidak.”
“Jatuh cinta Le, kamu jatuh cinta kepada seseorang.”
“Yang kau katakan tempo hari itu? Aku rasa tidak.”
“Ke Jessica?”
Begitu ia mengucap nama itu, lidahku rasanya kelu, jantung bedebar sedikit lebih cepat. Aku tidak bisa berbicara, bagaikan ada yang menempelkan lakban ke mulutku. Mungkin itu bukan analogi yang tepat, tapi intinya aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara.
“Dari ekspresi dan gesturmu, nampaknya kamu enggak perlu jawab deh Le. Wajahmu itu kayak kunci jawaban, hahaha.” Kenji tertawa renyah menertawakan diriku.
Jatuh cinta? Sebuah konsep yang belum pernah aku rasakan sebelumnya karena bertahun-tahun aku tidak merasakan cinta dari siapapun. Jelas tidak ada cinta dari orang tua. Mungkin ada dari Gisel, namun aku sama sekali mengabaikannya. Aku memberikan cinta kepada orang lain? Kepada seorang wanita? Kepada Jessica?
“Kamu tidak punya kewajiban untuk membenarkan pernyataanku kok Le. Tenang aja, aku tidak akan cerita ke siapa-siapa.”
Aku tetap diam mendengar apapun yang Kenji katakan. Entah karena malas merespon atau bingung harus berkata apa. Yang jelas selain masalah teknologi, cinta adalah salah satu bidang yang tidak aku kuasai. Tapi jelas, kenyataan ini menurunkan semangatku untuk membeli handphone. Mungkin karena malu.
“Mungkin sebaiknya aku tidak membeli handphone, masih banyak kebutuhan lain yang memerlukan tabungan lain.”
“Yakin? Aku rasa memiliki handphone memiliki banyak manfaat lo untukmu. Misalnya kamu bisa telepon Gisel jika kamu tidak langsung pulang ke rumah.”
“Iya Kenji, tapi rasanya masih belum terlalu urgent. Aku rasa aku akan menunda untuk sementara waktu keinginanku ini.” jawabku dengan suara yang terdengar mantap.
Dok dok, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Kenji beranjak dari tempat duduknya, dan membukakan pintu.
“Selamat sore mas, saya sales penjual handphone bekas murah. Harga antara seratus ribu hingga lima ratus ribu. Harga handphone termasuk charger dan baterainya, tertarik?”
Tidak boleh, harus tahan, aku sudah janji tidak akan membeli handphone, sales biasa seperti ini mana bisa membujuk diriku yang terkenal dengan kekerasan hatinya, kataku dalam batin.
***
Bahkan sampai pulangpun aku masih tidak percaya bahwa aku bisa dirayu oleh sales itu untuk membeli handphone yang termurah. Entah ini seri apa, namun di layar kacanya yang mungil bertuliskan “Samsung”. Warnanya biru muda dan banyak goresan sana sini. Di pojok kanan ada lampu kecil berkedip-kedip dengan berbagai warna. Harganya cuma seratus ribu, dan membuatku melupakan apapun yang tadi kukatakan dengan berkobar-kobar. Unbelieveble.
Itulah mengapa aku tidak begitu menyukai sales. Mereka pandai memainkan lidah agar orang-orang membeli apa yang mereka jual. Semakin pandai sales, semakin banyak orang-orang yang terbujuk akan rayuan sang sales, termasuk aku. Ingin aku menghina diriku sendiri (bahkan Kenji pun menahan tawa saat melihat aku membeli handphone). Tak kusangka selemah itu tekadku, tapi handphone sudah terlanjur di tanganku, tak boleh disesali.
Kumasukkan tanganku ke dalam saku celana untuk mengambil kartu perdana yang menjadi satu paket dengan handphone ini. Untungnya aku sudah diajari oleh sales sialan itu bagaimana cara aktivasi kartu perdana. Kalau tidak, bisa jadi handphone ini sudah masuk tempat sampah karena aku tipe yang tidak sabaran. Kutekan tombol warna merah bergambarkan telepon, ditahan sesaat, munculnya gambar-gambar berwarna di layar mungil ini. Handphone siap untuk digunakan, tapi pengguna belum siap menggunakan. Sabar, ini memang bukan keahlianku, jadi sebaiknya besok handphone ini kubawa dan minta diajari Pierre untuk menggunakannya.
“Kakak, tadi katanya mau masak buat Gisel? Jadi apa enggak?” permintaan Gisel menyadarkanku bahwa aku belum memasakkan makanan untuk adikku. Segera kusimpan handphone di kamarku, dan menuju dapur untuk segera masak. Bukan hanya adikku yang berteriak, perutku pun demikian. Oh Jessica, kau benar-benar membuatku mabuk kepayang.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
-
Politik & Negara4 bulan ago
Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?
-
Non-Fiksi3 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Ngomongin Uang
-
Olahraga5 bulan ago
Kemenangan Perdana yang Awkward Bagi Oscar Piastri di Formula 1
-
Musik3 bulan ago
Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong
You must be logged in to post a comment Login