Connect with us

Politik & Negara

Jokowi dan Prabowo Sama-Sama Putra Terbaik Bangsa

Published

on

Grup keluarga sering kali dianggap sebagai ladang penyebaran hoaks terbaik. Hal tersebut ada benarnya, namun tak semuanya seperti itu.

Contohnya, adalah salah satu broadcast dari ayah penulis yang berisikan sebuah pesan yang menurut penulis sangat bagus, terutama ketika suasana politik sedang panas-panasnya.

Oleh karena itu, penulis ingin membaginya di sini agar pembaca sekalian bisa membacanya juga. Broadcast ini dibuat oleh Agus Taufiq, entah siapa dia penulis kurang tahu.

Pilpres 2019: Pertarungan Putra Terbaik Bangsa

Kita boleh kecewa pada Jokowi, boleh pula tak percaya pada Prabowo. Tapi kita harus akui, faktanya mereka adalah 2 orang putra terbaik bangsa.

Jokowi

Jokowi adalah kisah nyata seorang rakyat biasa yang bisa menjadi manusia luar biasa. Impian banyak anak desa, doa dari semua orang tua untuk anaknya.

Ini bukan sinetron dan dongeng, ini nyata. Seorang anak pinggir kali, yang harus pindah rumah berkali-kali karena tak mampu bayar sewa juga kena penggusuran dari angkuhnya kehidupan kota.

Beliau lahir dari anak tukang kayu, pembelajar keras yang akhirnya mengantarkan dirinya masuk ke Jurusan Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), salah satu kampus terbaik yang tak semua orang mampu meraihnya.

Beliau bukan aktivis mahasiswa, tak punya nama di zamannya. Jokowi memilih menepi dari politik kampus.

Ia lebih suka naik gunung di akhir pekan, hingga akhirnya secara bertahap merintis bisnis dan menjadi pengusaha mebel di Surakarta.

Ya, doa jutaan orang tua, “bapak kuli, semoga kamu bisa jadi insinyur”. Jokowi adalah kisah nyata perjuangan anak miskin yang mengangkat derajat keluarganya melalui pendidikan dan kerja keras.

Jokowi bukan kader asli yang dibesarkan partai. Ia awalnya diminta menemani F.X. Hadi Rudyatmo (PDIP) yang enggan maju sebagai walikota Solo.

Alasannya, ia khawatir dengan isu agama dan memilih untuk menjadi wakil Jokowi yang diprediksi lebih bisa diterima publik Solo karena seorang muslim.

Jokowi menghadirkan kepemimpinan gaya baru di Solo. Berdialog dengan masyarakat yang akan direlokasi, menggusur dengan sangat manusiawi, bahkan dengan PKL dikirab layaknya festival budaya, dikawal satpol PP layaknya pejabat.

Tak ada kekerasan, pengggusuran itu dibuat menyenangkan. Tak heran, ia menang mutlak dalam periode kedua kepemimpinanannya di Solo.

Kecemerlangannya dalam memimpin mengantarkan beliau menapaki jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012) hingga menjadi Presiden RI (2014).

Prabowo

Prabowo (Sipayo.com)

Prabowo adalah putra mahkota dalam berbagai kisah. Putra terbaik dalam segala aspek.

Kakeknya adalah Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, beliau juga Anggota BPUPKI dan Ketua DPAS pertama.

Ayahnya adalah begawan ekonomi legendaris republik ini, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang namanya diabadikan menjadi nama gedung di Kementerian Keuangan.

Sumitro juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menristek, Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Soekarno dan Soeharto.

Soemitro juga terkenal sebagai kritikus yang berani dengan keras menentang kebijakan-kebijakan ekonomi Soekarno dan Soeharto yang dianggap tidak pro rakyat.

Bahkan pernah menjadi buron ke luar negeri di masa pemerintahan Soekarno karena dianggap terlalu vokal dan berbahaya.

Saat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Sumitro pernah “didiamkan” tak disapa Bu Tien Soeharto selama setahun karena menolak memberikan hak istimewa dalam perdagangan.

Prabowo lulus sekolah menengah di usia 16 tahun, lebih muda dari sebayanya. Di usia 17 tahun, Prabowo bersama aktivis legendaris Soe Hok Gie mendirikan LSM Pembangunan, yang fokus pada pembangunan desa dan merupakan LSM Pertama di Indonesia.

Di tengah keluarga intelektual, ia justru memilih jalan berbeda menjadi prajurit bangsa. Prabowo adalah lulusan Akademi Militer tahun 1974.

Meski di militer, Prabowo tetap mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Beliau terkenal sebagai tentara yang paling rajin membaca dangan koleksi buku yang sangat banyak dan menguasai 4 bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman.

Prabowo berkali-kali dikirim mengikuti pelatihan dan kursus di luar negeri tahun 1974, 1975, 1977, 1981.

Beliau juga pernah mengenyam pendidikan Counter Terorist Course Gsg-9 di Jerman dan Special Forces Officer Course di Fort Benning, USA.

Beliau bersama Putra Raja Yordania menjadi lulusan terbaik dari pendidikan militer yang diikutinya di Amerika.

Permainan Buzzer

Percayalah, isu Jokowi akan membangkitkan PKI dan Prabowo akan mendirikan Khilafah hanyalah permainan buzzer untuk menakut-nakuti kita.

Jokowi jelas masih berusia 5 tahun saat PKI dibubarkan, ayahnya pun jelas bukan intelektual PKI, hanya tukang kayu yang tak tahu urusan politik PKI.

Prabowo, meski diidentikkan dengan ABRI Hijau dan sangat dekat dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) milik B.J. Habibie di tahun 1998, nyatanya ibu dan adik Prabowo adalah seorang nasrani.

Prabowo dan ayahnya muslim. Saat natal maupun lebaran, mereka merayakan bersama-sama. Begitulah keberagaman dan toleransi yang hidup di keluarga Prabowo.

Prestasi Jokowi dan Prabowo

Jokowi pernah dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik dunia, pun begitu dengan Prabowo yang mampu meraih banyak prestasi saat memimpin kopassus dan membuat kopassus menjadi salah satu satuan elit terbaik di dunia dan pasukannya memiliki kesejahteraan di atas rata-rata.

Jokowi sukses dengan Asian Games, kita semua dibuat terpesona dengan upacara pembukaan dan penutupan yang luar biasa.

Tapi jangan lupakan bahwa medali terbanyak yang mengatrol peringkat Indonesia adalah cabor Pencak Silat yang dibina oleh Prabowo sebagai ketua IPSI.

Perbedaan Gaya Kepemimpinan

Jokowi dan Prabowo (JARRAK.ID)

Akuilah, mereka berdua ada putra terbaik bangsa. Hanya berbeda gaya bahasa, Jokowi yang orang Solo tulen khas dengan keramahan dan suara lembutnya, gaya yang santai dan banyak bercanda.

Kita semua tentu senang dengan gaya kepemimpinan yang asik dan merakyat. Beliau membawa gaya baru dalam definisi pemimpin di Indonesia.

Prabowo setengah Banyumas (Ayah) dan setengah Minahasa (Ibu). Banyumas memang ibarat Bataknya Jawa. Gaya Banyumasan lebih tinggi nada suaranya, sedikit ceplas ceplos dan terbuka dibanding jawa bagian Joglosemar (Jogja Solo Semarang) dengan tata bahasa krama inggil.

Ditambah ibu yang dari Sulawesi dan latar bekalang militer. Wajar gaya bicaranya tegas dan berapi-api.

Tapi tentu kita semua bangga jika punya pemimpin yang mampu berorasi dengan lantang dengan bahasa Inggris yang fasih dalam memperjuangkan Palestina dan negeri tertindas lainnya di depan rapat PBB dan forum-forum internasional.

Jadi, baik gaya yang santai ataupun berapi-api ini hanya masalah selera pemilih saja, yang terpenting adalah keberpihakannya pada rakyat.

Jika Jokowi bukan orang yang baik tidak mungkin Prabowo memperjuangkannya untuk maju sebagai Gubernur DKI, dimana dulu Megawati hampir tidak merestui, tapi Prabowo yang memperjuangkan.

Sebaliknya, Anda yang meyakini Jokowi adalah orang baik, artinya harus juga meyakini Prabowo adalah orang baik karena munculnya Jokowi ke Jakarta tak lepas dari perjuangan Prabowo dan adiknya yang menyokong dana kampanye Jokowi.

Jadi, stop terbawa arus informasi yang menghayutkan kita menjelek-jelekkan personal capres. Kita harus kritis terhadap kebijakan dan program para Capres, tapi bukan menjatuhkan personalnya.

Kritik kebijakan dan programnya, bukan personalnya atau latar belakang keluarganya. Tugas kita berikutnya adalah mempelajari program yang ditawarkan dan mengenali siapa-siapa saja yang berada dibalik Sang Capres pilihan.

Karena kita telah sepakat keduanya orang baik, tinggal kita menilai orang-orang di sekitar mereka.

Bagi yang tetap ingin menyerang personal Jokowi dan Prabowo, pertanyaan sederhananya: Apakah Anda sudah lebih baik dari Jokowi dan Prabowo?

Penutup

Penulis tidak tahu kebenaran fakta-fakta yang disajikan, tapi inti dari tulisan ini adalah mengajak kepada masyarakat Indonesia untuk berhenti menyerang capres dan menyebarkan hoaks.

Kita sangat mudah percaya informasi-informasi yang kebenarannya patut diragukan. Berbagai kampanye hitam ditebar untuk menjatuhkan elektabilitas calon lainnya.

Siapapun nanti yang terpilih, semoga bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi.

 

 

Kebayoran Lama, 15 April 2019, terinspirasi setelah mendapatkan broadcast di grup keluarga

Foto: Tirto.ID

Politik & Negara

Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?

Published

on

By

Terkuaknya kasus korupsi Pertamina dan “bensin oplosan” akhir-akhir ini seolah menjadi gong dari berbagai isu yang sedang melanda Indonesia. Bayangkan saja, potensi kerugian negara bisa mencapai 1.000 triliun sehingga layak menyandang sebagai “juara” korupsi.

Selain itu, masyarakat juga benar-benar dirugikan karena mereka yang selama ini menggunakan Pertamax ternyata sama saja dengan menggunakan Pertalite. Bayar lebih untuk barang yang lebih murah, kan menjengkelkan, ya?

Entah mengapa rasanya 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar penuh dengan permasalahan. Saking banyaknya, masyarakat pun dibuat pusing olehnya. Narasi “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu pun mencuat.

Pada tulisan kali ini, Penulis ingin mengeluarkan semua unek-uneknya tentang berbagai isu yang sempat dan sedang panas dibicarakan. Siapkan obat sakit kepala, karena tulisan ini berpotensi mendatangkan sakit kepala kepada Pembaca!

Berbagai Isu yang Membuat Sakit Kepala

Isu Kenaikan PPN yang Sempat Membuat Heboh (Media Kampung)

Mari kita bicarakan isu-isu yang relatif lebih “ringan” terlebih dahulu, yang sebenarnya juga kurang pas disebut “ringan” karena efek sakit kepalanya juga tidak main-main. Awal tahun ini, kita dipusingkan dengan masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Meskipun pada akhirnya hanya diterapkan kepada barang-barang tertentu, buruknya komunikasi pemerintah menimbulkan gejolak di masyarakat, seolah pemerintah memang sengaja melakukan tes ombak dulu sebelum membuat keputusan.

Selanjutnya ada kasus situs web Coretax, yang menghabiskan anggaran hingga Rp1,2 triliun dengan hasil yang sangat mengecewakan. Entah sudah berapa kali keluhan yang disematkan kepada situs tersebut karena tidak bisa menjalankan fungsi dasar.

Masalah LPG 3 kg yang sempat dilarang untuk dijual ke agen-agen sempat ramai dan mendapatkan banyak kecaman, sebelum Presiden Prabowo tampil sebagai pahlawan untuk membatalkan kebijakan tersebut.

Kalau Penulis pribadi merasa paling jengkel dengan pernyataan dari Presiden Prabowo yang mengatakan kalau pohon sawit ‘kan sama-sama pohon, sehingga kita tidak perlu takut dengan deforestasi. Penulis tak menyangka ucapan tersebut muncul dari mulut seorang presiden yang Penulis anggap pintar.

Belakangan ini, PHK besar-besaran juga marak terjadi di banyak tempat, termasuk PT Sritex yang tutup. Jangan lupa, saat artikel ini ditulis, rupiah sudah tembus ke angka Rp16.580, lebih buruk dibandingkan saat Krisis Moneter 1998.

Belum lagi masalah yang masih diliputi oleh banyak misteri seperti Pagar Laut. Entah mengapa semua isu-isu ini datang dalam waktu yang berdekatan, seolah tidak memberi kita jeda untuk sekadar bernapas.

Makan Bergizi Gratis dan Efisiensi Anggaran

Program Makan Bergizi Gratis (Indonesia)

Salah satu program kerja Presiden Prabowo yang paling sering disorot belakangan ini tentu saja Makan Bergizi Gratis (MBG), yang memang sejak masa kampanye menjadi program andalan Prabowo-Gibran.

Ada yang melaporkan makanan yang disajikan basi dan kurang bermutu, meski Penulis pribadi mendapatkan testimoni yang positif dari anak-anak Karang Taruna yang duduk di bangku SMP. Penulis juga mendapat laporan ada sekolah yang belum kebagian jatah.

Terlepas dari kualitasnya, sejak awal banyak yang menganggap kalau program ini sangat boros anggaran dan dikhawatirkan tidak tepat sasaran. Bukti nyata borosnya program ini adalah ditetapkannya efisiensi anggaran dari semua lini, termasuk pendidikan itu sendiri.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dihemat hingga Rp22,54 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dihemat hingga Rp8 triliun. Total target dana yang akan didapatkan setelah melakukan efisiensi ini adalah RP750 triliun.

Namun, entah mengapa Penulis merasa efisiensi yang diterapkan ini rasanya kok cuma gimmick semata. Alasannya, kalau memang mau efisiensi yang ketat, kurangi gaji pejabat publik dan cabut fasilitas-fasilitas yang kurang perlu. Penulis yakin, anggaran yang dihemat akan lumayan besar.

Selain itu, RUU Perampasan Aset untuk para koruptor juga tak kunjung disahkan. Jika koruptor berhasil dimiskinkan, tentu itu akan mengembalikan kerugian negara yang telah dicuri.

Sayangnya, tampaknya pemerintah kita belum seberani itu dan lebih memilih untuk mengorbankan banyak hal lewat efisiensi. Korbannya? Tentu masyarakat, di mana tak sedikit pegawai pemerintah yang terancam atau bahkan sudah di-PHK.

Untuk apa efisiensi yang dilakukan ini? Selain untuk membiayai MBG, dana yang ada akan dijadikan modal awal untuk Danantara.

Skeptisme Mengelilingi Danantara

Danantara yang Menimbulkan Kekhawatiran (Katadata)

Dengan semua isu yang terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ini, tentu banyak masyarakat (termasuk Penulis) jadi merasa skeptis dengan Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Danantara, yang akan mengelola dana hingga 14 ribu triliun.

Dana tersebut didapatkan dari aset tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pertamina, PLN, Mind ID, BRI, BNI, Bank Mandiri, dan Telkom Indonesia. Nantinya aset-aset tersebut akan digunakan untuk membiayai banyak proyek strategis, termasuk hilirisasi.

Secara konsep, proyek Danantara memang potensial, tapi kekhawatiran mengenai potensi korupsinya lebih menakutkan. Sentimen publik makin negatif karena diketuai oleh mantan napi koruptor, Burhanuddin Abdullah.

Apalagi, berdasarkan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR membuat Danantara tidak bisa diaudit oleh KPK dan BPK, kecuali atas permintaan dari DPR. Masalah transparasi menjadi isu utama yang membuat masyarakat menjadi skeptis.

Kasus korupsi Pertamina yang baru saja terungkap seolah menegaskan kalau para elite politik kita sulit untuk diberikan amanah dalam mengelola uang dengan nominal yang fantastis. Jangan sampai Danantara akan menjadi mega korupsi selanjutnya mengalahkan kasus Pertamina.

Selain itu, jika Danantara ini memang program kerja yang bagus, mengapa tidak dikampanyekan oleh Presiden Prabowo saat masa kampanye? Ini seolah mengulang Ibu Kota Negara (IKN) yang juga tidak dikampanyekan oleh Joko Widodo di tahun 2019.

Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu

Massa Mulai Turun ke Jalan (Tempo)

Itulah beberapa isu yang cukup membuat masyarakat merasa pusing dengan kondisi negara saat ini. Beberapa isu lain yang tidak Penulis singgung adalah revisi UU Minerba dan kembalinya multifungsi TNI/Polri seperti zaman Orde Baru.

Ini semua pada akhirnya membuat banyak orang menyuarakan Indonesia Gelap (yang dibantah oleh pemerintah) dan memicu gerakan #KaburAjaDulu. Sudah banyak yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.

Parahnya, respons pemerintah cenderung defensif dan justru melakukan serangan balik, mulai dari tidak terima dengan Indonesia Gelap hingga menyematkan status “tidak nasionalis” kepada masyarakat yang memilih kabur ke luar negeri dan “jangan balik lagi”.

Padahal, seharusnya pemerintah intropeksi diri mengapa gerakan ini sampai muncul dan memikirkan solusinya. Kan masalahnya banyak yang timbul dari sisi pemerintah, ya masa solusinya masyarakat yang harus memikirkannya?

Teman Penulis bahkan sampai berpendapat bahwa bisa bertahan hidup hari ini saja sudah luar biasa. Masih bisa napas pun sudah alhamdulillah, walau ia bercelutuk bernapas pun susah di Jakarta karena polusinya yang luar biasa.

Pertanyaan besarnya adalah, mau sampai kapan kita dibuat pusing oleh negara ini? Kita sudah berusaha menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara dengan taat membayar pajak, tapi justru terus dizalimi seperti ini.

Mungkin memang sudah saatnya doa “ampunilah dosa para pemimpin kami” diganti dengan “berikanlah balasan yang setimpal kepada para pemimpin kami”. Yang jelas di bulan puasa yang sedang berlangsung saat ini, rasanya kita perlu banyak beristigfar dalam menghadapi berbagai masalah negara ini.


Lawang, 3 Maret 2025, terinspirasi setelah merasa pusing dengan kondisi negara saat ini

Sumber Featured Image:

Sumber Artikel:

Continue Reading

Politik & Negara

Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Published

on

By

Belakangan ini, berita seputar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara relatif sepi. Tak banyak hal baru yang diulas oleh media, seolah tak ada update menarik. Pengerjaan proyek di sana tetap berlanjut dalam senyap.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat sudah lama digembar-gemborkan kalau ibu kota akan segera pindah dalam waktu dekat. Namun, Joko Widodo (Jokowi) hingga masa akhir jabatannya belum menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) untuk hal tersebut.

Dengan demikian, presiden terpilih Prabowo Subianto-lah yang mendapatkan tanggung jawab untuk membuat Keppres tersebut. Mengingat beliau telah menyatakan akan melanjutkan pembangunan IKN, rasanya hal tersebut tinggal menunggu waktu saja.

Menyorot IKN yang Problematik

Sudah Bermasalah Sejak Awal (Kompas)

Pada dasarnya, Penulis menyetujui ide untuk memindahkan ibu kota Indonesia keluar pulau Jawa, agar negara ini bisa mengurangi Jawasentrisnya. Selain itu, menghindari bencana alam seperti banjir dan pemerataan ekonomi menjadi alasan lainnya.

Namun, pada pelaksanaannya, ada banyak masalah yang disorot oleh berbagai pihak. Sejak hari pertama pengumumannya, menurut Penulis IKN ini sudah cukup bermasalah dan masalah tersebut terus bertambah setiap harinya.

Jokowi “meminta izin” untuk memindahkan ibu kota pada tanggal 16 Agustus 2019, setelah ia memastikan akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Anehnya, agenda pemindahan ibu kota tidak ada dalam agenda kampanyenya.

Mega project ini pun tiba-tiba dimulai begitu saja. Logikanya, jika ini memang hal yang begitu penting dan dibutuhkan oleh masyarakat, mengapa tidak pernah disebutkan sekalipun dalam kampanyenya?

IKN pun mendapat stigma negatif sebagai ambisi Jokowi untuk menorehkan namanya dalam sejarah, sebagai presiden yang berhasil memindahkan ibu kota negara. Dalam kondisi ekonomi yang tidak sepenuhnya sehat, Jokowi seolah memaksakan keinginannya tersebut.

Setelah itu, masalah pun muncul satu demi satu. Yang paling Penulis sorot adalah tingginya konflik agraria dan perusakan lingkungan dalam pembangunan IKN. Entah sudah berapa yang sudah menjadi korban. Bahkan, untuk sekadar mendapatkan air bersih pun kesulitan.

Ironinya, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun untuk menarik investor. Kebijakan ini sempat mendapatkan sorotan karena durasinya yang sangat panjang, bahkan lebih lama dari perjanjian zaman kolonial yang “hanya” mendapatkan jatah 75 tahun.

Sudah mengeluarkan kebijakan seperti itu, investor pun tetap sulit didapatkan. Hingga tulisan ini diterbitkan, masih belum jelas seberapa banyak investor, terutama dari asing, yang benar-benar telah mengeluarkan uang untuk pembangunan di IKN.

Selain itu, alasan pemerataan ekonomi kerap dianggap kurang masuk akal. Apalagi, muncul kesan elitisme karena adanya aturan yang membatasi masyarakat yang bisa tinggal di dalam IKN. Analoginya, masyarakat biasa tidak boleh tinggal di daerah Jakarta Pusat.

Sudah dibuat seperti itu pun, para elit politik yang memegang jabatan di pemerintahan berkali-kali menunjukkan keengganan untuk pindah ke IKN. Jika mereka enggan pindah, lantas buat apa membangun ibu kota baru yang sudah menghabiskan anggaran negara sekitar Rp72,1 triliun?

Penjabaran di atas rasanya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa harus diakui pembangunan IKN ini cukup problematik. Jika Prabowo ingin meneruskan pembangunan IKN, tentu harus ada gebrakan-gebrakan agar bisa terus dilanjutkan.

Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Prabowo Ketika Mengumumkan Kenaikan Gaji Guru (Jawa Pos)

Sejak masa-masa pemilihan presiden (pilpres), Prabowo sudah mengampanyekan berbagai program yang cukup menguras anggaran. Yang paling terlihat tentu saja program makan siang gratis, yang tampaknya sedang serius direalisasikan.

Selain itu, belum lama ini Prabowo juga meneken keputusan untuk menaikkan gaji guru-guru se-Indonesia, yang tentu juga membutuhkan anggaran. Lantas, apakah masih ada anggaran untuk membangun IKN, terlebih jika investor belum ada yang masuk?

Masalahnya, jika negara kekurangan uang, maka yang akan menjadi korban adalah rakyat. Meskipun kenaikan PPN 12% diumumkan akan ditunda sementara waktu, bukan berarti kita akan terbebas dari berbagai jenis tarikan yang jelas merugikan kita.

Dalam tulisan “Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet”, Penulis pernah menjelaskan bahwa ke depannya masyarakat kelas menengah akan terus diperas melalui berbagai jalur. Tentu sulit untuk tidak berpikir hal ini dilakukan karena pemerintah sedang membutuhkan uang.

Sedihnya, ketika masyrakat kelas menengah terus diperas, masyarakat kelas atas justru bisa menikmati Tax Amnesty. Bagi Penulis, hal ini terasa sangat tidak adil. Pemerintah harus hati-hati dengan permainan pajak ini, karena banyak kasus revolusi di suatu negara terjadi karena rakyatnya merasa tertekan dengan pajak yang tak masuk akal.

Semoga saja Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan negara. Jika memang tidak memungkinkan, menunda pembangunan IKN bukanlah hal yang memalukan, apalagi jika memang ada kebutuhan lain yang lebih urgent.

Melanjutkan pembangunan pun silakan saja, asal uangnya ada dan bukan berasal dari hasil memeras rakyat kecil. Kalau mau galak, silakan palak saja orang-orang kaya yang abai dalam membayar pajak, bukannya justru diberi Tax Amnesty.

Penulis yakin jika IKN memang dibangun untuk kemakmuran rakyat, pasti banyak masyarakat yang akan mendukung. Namun, jika dalam proses pembangunannya saja sudah banyak masalah dan ketidakadilan, tentu akan menimbulkan banyak kekhawatiran.


Lawang, 30 November 2024, terinspirasi setelah ingin menyelesaikan draft artikel ini yang tak selesai-selesai

Sumber Featured Image: Jawa Pos

Continue Reading

Politik & Negara

Menatap 5 Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih

Published

on

By

Setelah dinanti-nanti, akhirnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia untuk periode 2024 – 2029 pada hari Minggu (20/10) kemarin, mengakhiri era Joko Widodo yang menjadi presiden periode 2014 – 2024.

Jelang pelantikannya, isu-isu mengenai siapa saja yang ditunjuk untuk menjadi menteri di kabinet Prabowo-Gibran sudah banyak bermunculan. Ada yang terdengar ngawur (seperti Rocky Gerung dan Anies Baswedan yang katanya akan gabung), ada yang akurat.

Pengumuman daftar menteri ini pun datang di hari yang sama dengan pelantikan Prabowo-Gibran. Bernama Kabinet Merah Putih, ini akan menjadi salah satu kabinet paling gemuk dalam sejarah Indonesia.

Kabinet Merah Putih yang Gemuk

Proses Pelantikan Menteri (Sekretariat Negara)

Alasan mengapa Kabinet Merah Putih bisa gemuk adalah karena disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara oleh Joko Widodo hanya beberapa hari sebelum ia lengser.

Sebelum UU ini disahkan, memang telah santer terdengar kalau Prabowo akan memiliki 100 menteri seperti pada era Sukarno dulu. Untungnya, jumlah kementerian yang dibuat oleh Prabowo pada akhirnya tidak mencapai 100, tapi tetap bertambah secara signifikan.

Tentu ada banyak alasan normatif yang melatarbelakangi keputusan tersebut, seperti memang adanya pos-pos kementerian yang terlalu luas scope-nya hingga masalah fleksibilitas yang dimiliki oleh presiden.

Namun, tentu ada suara miring yang mengiringi keputusan ini, seperti agar pembagian “kue” bisa dilakukan lebih merata di antara elit politik. Apalagi, terbukti bahwa jumlah menteri yang dimiliki Prabowo mencapai 48 kementerian, bertambah 14 pos dari era Joko Widodo.

Perlu diingat kalau itu baru jumlah menterinya saja, karena masih ada banyak posisi-posisi yang hampir selevel dengan menteri seperti wakil menteri. Melansir dari Bisnis.com, total ada 136 orang dengan rincian sebagai berikut:

  • 48 menteri (terdiri dari 7 menteri koordinator dan 41 menteri teknis)
  • 5 orang kepala lembaga
  • 56 orang wakil menteri (satu kementerian bisa memiliki lebih dari satu wakil menteri, seperti Kementerian Keuangan dengan tiga wakil menteri)
  • 1 orang kepala dewan
  • 26 orang lainnya, termasuk Staf Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, dan Ketua Mahkamah Agung

Penulis tidak akan merinci siapa saja yang masuk ke dalam daftar tersebut, Pembaca bisa langsung mengaksesnya di situs Sekretariat Negara. Penulis hanya akan sedikit membahas beberapa orang yang ada di dalam kabinet ini.

Berbincang Mengenai Beberapa Menteri di Kabinet Merah Putih

Raffi Ahmad sebagai Utusan Khusus Presiden (Kompas)

Dalam kabinet yang disusun oleh Prabowo dan Gibran, ada beberapa pola yang bisa kita temukan. Ada nama lama yang tetap pada posisinya, ada nama lama yang bergeser posisinya, ada nama yang benar-benar baru.

Melansir dari Kompas, ada 12 menteri Jokowi yang tetap menempati pos yang sama dengan periode sebelumnya. Contohnya adalah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Lalu, ada empat nama menteri lama yang digeser untuk menempati posisi lain. Contoh paling terlihat adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, yang selama menjabat kerap mengundang kontroversi, kini akan menjadi Menteri Koperasi.

Tentu Prabowo-Gibran memiliki pertimbangannya sendiri untuk memilih mereka tetap bertahan di kabinet. Mungkin karena dianggap mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, mungkin karena ingin melanjutkan program-program dari periode sebelumnya, mungkin karena “titipan”, ada banyak kemungkinannya.

Nah, selain 16 nama tersebut, bisa dibilang mereka semua adalah orang baru yang pada periode sebelumnya tidak menjabat sebagai menteri, seperti Fadli Zon (Menteri Kebudayaan) dan Maruarar Sirait (Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman).

Bahkan, ada juga mantan lawan Prabowo-Gibran di pemilu presiden (pilpres) 2024, yakni Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Ini memperpanjang “rekor” Cak Imin (dan PKB) yang selalu berada di pihak pemerintah selama 20 tahun terakhir.

Sebagai catatan, ada juga yang dulu sekali pernah menjadi menteri, dan kini kembali menjadi menteri, seperti Yusril Ihza Mahendra. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hal menarik lainnya adalah banyaknya nama public figure yang berhasil masuk ke dalam lingkaran istana. Contohnya adalah Giring Ganesha (Wakil Menteri Kebudayaan) dan Taufik Hidayat (Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga).

Tak hanya itu, ada juga Raffi Ahmad (Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni), Gus Miftah (Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan), hingga Yovie Widianto (Staf Khusus Presiden).

Menatap Lima Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih

Abdul Mu’ti sebagai Kemendikdasmen (Muhammadiyah)

Tentu terlalu dini untuk menghakimi kinerja para menteri Kabinet Merah Putih. Lha mong mereka saja masih mendapatkan “pembekalan” dari Prabowo dan dikirim ke Magelang. Perlu diakui kalau langkah tersebut cukup menarik karena rasanya belum pernah dilakukan sebelumnya.

Namun, sebagai masyarakat Indonesia, baik yang kemarin waktu pilpres memilih Prabowo-Gibran maupun tidak, tentu kita menaruh harap kepada nama-nama yang masuk ke dalam kabinet Prabowo-Gibran agar bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Penulis pribadi memberikan perhatian khusus kepada pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian, yakni menjadi:

  1. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dipimpin oleh Abdul Mu’ti
  2. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), dipimpin oleh Satryo Soemantri Brojonegoro
  3. Kementerian Kebudayaan, dipimpin oleh Fadli Zon

Seperti yang kita tahu, pendidikan Indonesia selama era Joko Widodo kerap mendapat kritikan, mulai dari masalah zonasi hingga kurikulum Merdeka. Belum lagi masalah viralnya pelajar Indonesia yang tidak bisa menjawab pertanyaan seputar pengetahuan dasar.

Penulis sedikit optimis dengan penunjukkan Abdul Mu’ti sebagai Kemendikdasmen, mengingat latar belakang beliau yang memang dari dunia pendidikan. Semoga saja para menteri yang baru bisa memperbaiki berbagai masalah pendidikan bangsa kita.

Untuk pos-pos kementerian yang lain, Penulis belum mau berkomentar banyak. Memang ada beberapa nama yang cukup bikin was-was, tapi tak sedikit yang bisa menumbuhkan optimisme. Sekali lagi, sekarang masih terlalu dini untuk menilai mereka.

Yang jelas, terlepas dari perbedaan kita di pilpres 2024 kemarin, marilah kita sama-sama berdoa dan berhadap kalau Prabowo-Gibran bersama kabinetnya bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik.


Lawang, 24 Oktober 2024, terinspirasi setelah melihat pengumuman daftar menteri yang bergabung ke dalam Kabinet Merah Putih

Foto Featured Image: Detik

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan