Pengalaman
Apa yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Merantau ke Jakarta
Mungkin jika dibandingkan dengan orang lain, pengalaman merantau Penulis tidak terlalu banyak. Setelah 4 bulan merantau di Kampung Inggris, Kediri, Penulis sempat merantau ke Jakarta selama kurang lebih 2 tahun.
Jakarta memang telah lama menjadi destinasi Penulis yang sejak kecil bercita-cita untuk bekerja di kota besar. Oleh karena itu, Penulis “nekad” untuk merantau ke sana ketika sedang mencari pekerjaan dan alhamdulillah datang.
Walaupun hanya sebentar, tentu ada pengalaman pribadi Penulis yang bisa dibagikan untuk para Pembaca yang mungkin baru akan merantau ke Jakarta. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin sedikit berbagai mengenai apa yang perlu dipersiapkan sebelum merantau ke Jakarta.
Mempersiapkan Barang yang akan Dibawa ke Jakarta

Berdasarkan pengalaman Penulis, pastikan hanya membawa barang yang penting-penting saja ketika merantau. Hal ini untuk memudahkan mobilitas kita di Jakarta, terutama jika kita akan berpindah tempat tinggal.
Kalau Penulis sendiri, dulu membawa satu tas ransel untuk laptop dan barang-barang penting lainnya, serta satu koper untuk pakaian-pakaian. Barang yang sekiranya bisa dibeli di Jakarta, sebaiknya ditinggal di rumah.
Barang yang menurut Penulis wajib dibawa adalah pakaian, alat mandi, alat sholat, obat-obatan, ponsel beserta aksesorisnya, dan laptop jika ada. Tentu saja dompet beserta kartu-kartunya juga wajib dibawa.
Sewaktu di Jakarta, Penulis membeli cukup banyak barang seperti rak, hanger, toples, setrika, magic jar, dan lain-lain. Alhasil, sewaktu meninggalkan Jakarta, Penulis harus dijemput menggunakan mobil karena barangnya menjadi sangat banyak.
Menentukan di Mana Kita akan Tinggal di Jakarta

Awal dari Penulis merantau ke Jakarta adalah karena menjadi volunteer Asian Games 2018. Karena ditempatkan di Bekasi, Penulis pun ngekos di sana selama satu bulan. Setelah itu, Penulis tinggal sementara di rumah tante di daerah Grogol, sebelum akhirnya kos sendiri.
Nah, penentuan tempat tinggal ini menjadi salah satu hal yang perlu disiapkan sebelum merantau. Pilih tempat yang dekat dengan tujuan kita merantau untuk menghemat biaya akomodasi selama merantau.
Selain itu, kita juga harus memastikan kalau tempat tersebut dekat dengan berbagai tempat seperti tempat makan, laundry, apotek, sarana transportasi umum, tempat ibadah, dan lain sebagainya.
Sewaktu kos di daerah Kebayoran Lama, Penulis sangat bersyukur karena mendapatkan tempat yang dekat dengan segala macam, bahkan termasuk mal. Jika butuh apa-apa, Penulis tinggal berjalan kaki dan tidak perlu mengeluarkan uang untuk transportasi.
Memahami Alur Transportasi di Jakarta

Sebagai anak rantau, transportasi umum jelas menjadi senjata utama ketika akan berpergian mengelilingi Jakarta. Apalagi, Jakarta juga memiliki banyak pilihan transportasi umum yang relatif terjangkau dan bisa menjangkau hampir semua lokasi strategis.
Masalahnya, alur transportasi Jakarta bisa terlihat “mengerikan” bagi pendatang, baik itu TransJakarta (TJ) maupun Kereta Rel Listrik (KRL). Untuk memahami peta rutenya, kita perlu memahami nama-nama daerah di Jakarta yang ada di peta rutenya.
Sederhananya, satu rute pasti memiliki warna yang sama. Jika tempat tujuan kita tidak dilewati oleh warna tersebut, artinya kita perlu transit dan berpindah rute. Tempat transit biasanya memiliki lambang khusus atau dilewati oleh beberapa warna.
Jangan segan bertanya ke petugas untuk memastikan halte/lajur yang kita ambil benar, mereka pasti dengan senang hati akan membantu kita. Selain itu, pastikan untuk memiliki e-money karena semua transportasi Jakarta menggunakan kartu ini.
Kalau mau cara yang praktis, memang bisa naik ojek atau taksi online. Namun, biaya yang dikeluarkan akan membengkak dan kita pun jadi harus merasakan bagaimana macet dan panasnya Jakarta.
Mengetahui Bagaimana Mengelola Keuangan di Jakarta

Biaya hidup di Jakarta jelas lebih tinggi dibandingkan di daerah. Oleh karena itu, kita harus benar-benar bijak dalam mengelola keuangan kita. Gaji pertama Penulis di Jakarta hanyalah 4 juta, dan itu cukup untuk sebulan, bahkan masih bisa disisihkan.
Salah satu “sumber” utama yang menguras uang adalah makanan. Jangan terlalu sering membeli makanan yang mahal, termasuk ngopi di kafe elit. Penulis merasa tertolong dengan adanya warteg di mana-mana, karena dengan 7 ribu saja sudah bisa kenyang.
Jika punya waktu (dan tidak malas), lebih baik mencuci baju sendiri dibandingkan laundry yang biayanya sekitar 8 ribu per kg. Penulis sendiri selama di Jakarta benar-benar tergantung laundry karena pada dasarnya malas mencuci.
Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, murah dan lengkapnya transportasi umum di Jakarta juga sangat memudahkan Penulis untuk menghemat uang. Sebisa mungkin, hindari naik ojek/taksi karena biayanya lebih mahal.
Untuk barang-barang komplementer, sebisa mungkin jangan beli jika tidak kepepet. Jakarta memiliki banyak mal, sehingga godaan untuk belanja jelas sangat tinggi. Untuk itu, kita harus pandai menahan godaan belanja tersebut.
Merencanakan Eksplorasi Jakarta Sejauh Mungkin

Ketika sudah berhemat dan masih ada sisa uang, Penulis sarankan digunakan untuk eksplorasi Jakarta! Ada banyak tempat menarik yang wajib dikunjungi di Jakarta, seperti kawasan Kota Tua, berbagai museum, mal untuk cuci mata, dan lain sebagainya.
Penulis bahkan pernah dengan sengaja naik TJ untuk literally keliling Jakarta. Selama perjalanan, Penulis mengamati apa saja yang terlintas. Melakukan eksplorasi seperti ini juga membantu kita bisa nyambung ketika ngobrol dengan teman-teman Jakarta.
Bahkan setelah 2 tahun di sana, masih ada banyak tempat menarik yang belum sempat Penulis kunjungi. Salah satu cita-citanya yang belum tercapai adalah mengunjungi Sea World untuk melihat ikan-ikan.
Mencari Kawan Baru, Tetap Terkoneksi dengan Kawan Lama

Agar kerasan di Jakarta, tentu kita membutuhkan kawan-kawan baru. Penulis sangat merasa bersyukur karena selama di Jakarta, Penulis menemukan banyak teman yang satu frekuensi di kantor dan masih tetap terhubung hingga sekarang.
Selama masih positif, kita juga perlu untuk ikut segala kegiatan bersama kawan-kawan baru tersebut. Ini juga bisa menjadi kesempatan untuk bisa eksplor Jakarta lebih luas dan jauh lagi. Kita juga jadi bisa belajar culture Jakarta lebih baik lagi.
Selain itu, kita juga harus tetap terkoneksi dengan kawan-kawan lama dan keluarga melalui berbagai aplikasi yang ada di ponsel. Jujur, ini menjadi hal yang sangat membantu Penulis ketika merasa kangen rumah dan kesepian.
EKSTRA: Menjaga Prinsip Selama Hidup di Jakarta

Sebagai orang yang baru merantau, jelas ada banyak culture shock ketika Penulis di Jakarta. Botol anggur merah (amer) dan vodka di meja kerja seolah menjadi hal yang biasa. Jam makan siang digunakan untuk wik-wik di kos pacar juga dianggap lumrah.
Tanpa bermaksud judgemental, hal-hal semacam itu bertentangan dengan prinsip hidup Penulis. Untuk itu, menjaga prinsip hidup selama di Jakarta juga menjadi hal yang sangat penting agar kita bisa bertahan hidup di Jakarta.
Jika tidak bisa menjaga prinsipnya, mungkin Penulis akan dengan mudahnya “terjerumus”. Mong, tempat pijat++ tinggal menyeberang dari tempat kos Penulis. Mong, tempat jualan berbagai minuman keras Penulis lewati setiap pulang kantor.
Penulis juga merasa bersyukur karena tidak dijerumuskan oleh teman-temannya, malah dirinya merasa “dilindungi” karena mereka mampu menghargai prinsip hidup Penulis. Kami saling menghargai keputusan satu sama lain.
***
Kurang lebih seperti itulah yang butuh dipersiapkan sebelum merantau ke Jakarta. Penulis sendiri masih menyimpan harap kalau suatu saat bisa kembali merantau ke ibu kota, walaupun tidak dalam waktu dekat.
Semoga tulisan ini bisa membantu para Pembaca sekalian yang memang berencana atau sudah merantau ke Jakarta. Jika ada yang ingin didiskusikan lebih lanjut, feel free untuk menghubungi Penulis.
Lawang, 22 Agustus 2023, terinspirasi untukmu
Foto Featured Image: Dids
Pengalaman
Ketika Hobi Menulis Blog Justru Terasa Menjadi Beban
Melalui tulisan “Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan”, Penulis telah mengungkapkan beberapa alasan mengapa dirinya makin ke sini makin jarang menulis. Saat itu, Penulis masih bertanya-tanya apa alasan di balik hal tersebut.
Karena merasa tidak ada perkembangan sejak tulisan itu diterbitkan, Penulis pun memutuskan untuk melakukan kontemplasi demi menemukan akar permasalahannya. Blog ini berharga bagi Penulis, sehingga membiarkannya terbengkalai meninggalkan perasaan bersalah.
Setelah direnungkan, Penulis merasa menemukan beberapa jawaban yang paling masuk akal, sehingga bisa menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil agar rutinitas menulis blog bisa kembali menjadi hobi yang menyenangkan.
Alasan Mengapa Menulis Blog Malah Menjadi Beban

Harusnya Menjadi Aktivitas yang Menyenangkan (George Milton)
Dalam tulisan sebelumnya, Penulis setidaknya menuliskan ada tiga alasan mengapa produksi artikel blog menjadi seret selama lima bulan terakhir: sedang ada banyak masalah, rasa malas, hingga merasa jenuh. Mari kita berangkat dari sana.
Namanya hidup, tentu saja kita akan selalu menjumpai permasalahan. Terkadang bisa diselesaikan dengan cepat, terkadang membutuhkan waktu lebih panjang. Yang paling penting adalah bagaimana respons kita terhadap masalah tersebut.
Dalam kasus ini, Penulis sering merasa kalau rasa malas di dalam diri ini menggunakan permasalahan tersebut sebagai justifikasi untuk tidak menulis blog. Padahal aslinya memang malas saja, tapi mencari berbagai pembenaran agar tidak merasa bersalah.
Oke, rasa malas memang bisa dilawan, tapi bagaimana dengan perasaan jenuh menulis? Sebagai seorang editor, membaca dan menulis telah menjadi rutinitas harian. Ribuan kata harus dicek dan diolah setiap harinya, sehingga wajar jika menimbulkan rasa jenuh.
Namun, apa yang Penulis bahas di blog ini dan apa yang dibahas di tempat kerja memiliki niche yang berbeda. Memang ada beberapa kategori yang bersinggungan, tapi angle yang digunakan jelas berbeda.
Justru, menulis di blog ini menjadi tempat agar gaya menulis Penulis tetap terasah dan tidak terpaku pada gaya penulisan industri. Apalagi, menulis adalah salah satu cara untuk menuangkan apa yang ada di pikirannya untuk mengurangi gejala overthinking.
Setelah menganalisis tiga alasan tersebut, apakah masih ada alasan lain yang membuat menulis blog menjadi memberatkan? Ada beberapa yang berhasil Penulis temukan setelah melakukan kontemplasi.
Alasan pertama, Penulis jadi terbebani dengan banyaknya ide artikel yang belum ditulis. Di Notion Penulis, ada puluhan ide artikel yang sampai saat ini belum dieksekusi hingga akhirnya Penulis sudah mulai lupa apa yang ingin dibahas dari ide tersebut.
Idealnya, sesuai tagline blog ini, sebuah ide harus segera dikerjakan begitu terpikirkan. Kenyataannya, karena sering menunda, ide tersebut malah menjadi usang. Mood untuk menulis ide tersebut pun menjadi hilang dan akhirnya malah jadi terbengkalai.
Alasan kedua, Penulis merasa terbebani dengan artikel-artikel yang membutuhkan riset lebih. Belakangan ini, Penulis merasa berkewajiban membuat artikel yang mendalam. Padahal, blog ini harusnya menjadi wadah bagi Penulis untuk menuangkan isi kepalanya.
Bisa jadi, Penulis terlalu berfokus bagaimana tulisan di blog ini bisa sampai ke Pembaca. Penulis sampai lupa kalau seharusnya blog ini menjadi alatnya untuk menuangkan apa yang sedang ada di pikirannya.
Alasan ketiga, pembuatan konten media sosial yang terkadang menimbulkan rasa malas untuk menulis. Meskipun pembuatannya hanya membutuhkan beberapa menit, entah mengapa membuat konten media sosial untuk artikel di blog ini memicu rasa mager.
Padahal, konten media sosial yang Penulis buat hanyalah sebuah Story dengan beberapa kalimat caption. Penulis tidak membuat video ataupun long carousel. Mungkin memang pada dasarnya malas saja.
Langkah Apa yang Diambil Setelah Memahami Akar Permasalahannya

Mencoba Lebih Spontan (Andrea Piacquadio)
Setelah menemukan beberapa akar permasalahan dari seretnya produksi blog ini, saatnya fokus ke solusi. Ada beberapa langkah yang akan Penulis ambil, dengan harapan menulis artikel bisa kembali menjadi hobi yang refreshing dan menyenangkan.
Pertama, menghilangkan penjadwalan artikel. Penulis ingin kembali seperti dulu, di mana setiap harinya murni spontan (uhuy!) mengenai artikel apa yang ingin ditulis. Bank ide di Notion tetap ada, untuk jaga-jaga jika hari itu blank tidak tahu ingin menulis apa.
Pencatatan progres yang dilakukan Notion mungkin tetap ada, tapi sifatnya lebih ke dokumentasi saja. Bagi Penulis, melihat berapa banyak artikel yang telah ditulis atau berapa panjang streak yang berhasil dilakukan berhasil menimbulkan dopamin.
Mungkin ada beberapa artikel yang harus tetap dijadwal, seperti artikel-artikel review buku dan board game yang telah menjadi rubrik mingguan. Bedanya, Penulis tidak akan menulis urut sesuai dengan buku mana yang telah selesai dibaca duluan.
Kedua, segera menulis ide tulisan yang terlintas di pikiran. Penulis harus membuang konsep “First In First Out” di mana ide yang lebih lama harus ditulis terlebih dahulu. Penulis harus mendahulukan apa yang ingin ditulis, bukan apa yang harus ditulis.
Ketiga, menghindari artikel-artikel berat yang butuh riset lebih panjang. Ada banyak artikel di daftar ide yang butuh riset lebih mendalam, dan jujur saja itu menimbulkan rasa malas. Blog ini harus kembali ke akarnya, tempat menuangkan isi kepala.
Memang secara kualitas mungkin akan berkurang, tapi salah satu resolusi Penulis di tahun 2025 adalah mendahulukan diri sendiri dulu. Buat apa menulis jika hanya membebani diri sendiri? Lagipula, ini adalah blog milik Penulis.
Keempat, melakukan reset. Saat ini, sudah banyak artikel yang Penulis jadwalkan untuk ditulis. Semuanya akan Penulis reset dari awal, kembali ke bank ide. Penulis ingin bertanya “mau nulis apa hari ini?” setiap membuka laptopnya.
Kelima, memperbaiki pola hidup yang sedang berantakan. Alasan lain yang belum disebutkan di atas adalah pola hidup Penulis yang sedang berantakan. Akibatnya, waktu untuk menulis blog juga menjadi tidak teratur.
Idealnya, Penulis berharap bisa menulis blog di pagi hari sebelum jam kerja. Menulis blog memakan waktu antara 1-2 jam, jadi bisa dimulai pukul 7 pagi setelah melakukan rutinitas pagi. Untuk itu, Penulis harus memperbaiki jam tidurnya dan menghilangkan insomnianya.
Menulis di malam hari hanya menjadi opsi apabila dalam kondisi darurat, karena biasanya tubuh dan pikiran ini sudah merasa lelah. Lagipula, malam hari harusnya digunakan untuk bersantai dan menyiapkan diri untuk beraktivitas keesokan harinya.
Keenam, membuat konten media sosial terlebih dahulu sebelum menulis artikelnya. Penulis adalah tipe orang yang mengerjakan task tersulit terlebih dahulu. Karena membuat konten media sosial terasa yang paling berat, maka Penulis akan mendahulukannya.
Enam langkah itulah yang akan Penulis terapkan mulai hari ini, dimulai dari artikel ini. Semoga setelah menulis artikel ini, Penulis bisa kembali rutin menulis blog dengan perasaan senang, bukan terbebani.
Jika setelah artikel ini terbit Penulis masih jarang menulis lagi, entah apa lagi yang harus dilakukan…
Lawang, 20 Mei 2025, terinspirasi setelah merasa perlu ada perubahan agar aktivitas menulis blog tidak terasa menjadi beban
Foto Featured Image: Ivan Samkov
Pengalaman
Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan
Dalam empat bulan terakhir, atau sejak masuk tahun 2025, Penulis mengakui kalau sedang banyak masalah, yang kebanyakan hanya ada di pikiran. Hal tersebut membuat produktivitas menulis blog ini terasa mandek, dengan jumlah produksi artikel berkurang drastis.
Pada bulan Desember, masih lumayan ada tujuh tulisan yang terbit, sebelum di bulan Januari benar-benar tidak ada tulisan yang tayang. Februari ada satu tulisan, yang mirisnya merupakan tulisan pertama di tahun 2025. Di Maret setidaknya ada empat tulisan.
Blog ini, yang harusnya menjadi tempat menyalurkan hobi, justru belakangan terasa menjadi beban. Ada puluhan ide artikel yang tertumpuk begitu saja tanpa pernah dieksekusi. Ada belasan buku yang menanti untuk diulas, hingga lupa apa yang harus diulas.
Berhenti Menulis karena Rasa Malas?
Setiap merasa harus memutus lingkaran ini dan mulai kembali rutin menulis, keinginan tersebut terputus hanya setelah maksimal dua tulisan. Setelah itu kembali menghilang hingga waktu yang tidak ditentukan.
Apakah permasalahan yang Penulis sebutkan di atas hanya merupakan alibi untuk menutupi alasan sebenarnya dari berhentinya Penulis menulis, yaitu rasa malas? Bisa jadi. Namun, rasa malas bisa muncul dengan sebab, seperti kepala yang rasanya penuh sekali.
Ketika pikiran suntuk dan dengan “liarnya” mengembara ke sana kemari, itu sangat memengaruhi mood. Sekali lagi, menulis yang harusnya jadi aktivitas menyenangkan justru menjadi momok yang menakutkan.
Apakah rasa malas ini muncul karena di tempat kerja Penulis juga menulis? Bisa jadi, karena tentu itu memunculkan rasa jenuh. Mau sebagus apapun idenya, butuh tekad yang kuat untuk bisa mengeksekusinya, dan tekad itu bisa luntur karena rasa jenuh.
Apakah rasa malas ini muncul karena Penulis kesulitan mengatur waktunya? Bisa jadi, karena waktu yang dimiliki dalam 24 jam digunakan untuk aktivitas lainnya. Jujur, kebanyakan bukan aktivitas produktif sebagai pelarian dari masalah yang ada di kepala.
Lantas, apakah rasa malas ini bisa jadi pembenaran untuk berhentinya produksi blog ini? Entahlah, Penulis merasa dirinya terbagi menjadi dua. Satu menjustifikasi rasa malas tersebut karena memang sedang banyak pikiran, yang satu merutuk diri karena kontrol diri yang lemah.
Apakah produksi artikel di blog ini bisa kembali normal jika masalah-masalah yang ada di pikiran itu terselesaikan? Sekali lagi, entahlah. Bisa jadi berhentinya produksi artikel tersebut memang murni karena rasa malas saja, lalu mencari-cari justifikasi yang paling terlihat elegan.
Menyadari Kita Harus Tetap Berjalan
Saat menulis artikel ini, justru masalah-masalah di kepala tengah berada di klimaksnya. Tentu aneh, mengapa ketika berada di puncak permasalahannya Penulis justru akhirnya memutuskan untuk menulis lagi setelah sekian lama.
Mungkin, karena sudah berada di klimaksnya, Penulis menyadari bahwa setelah ini jalannya akan melandai, menurun. Permasalahan, apapun bentuknya, pasti akan selesai. Semua itu hanya sementara, tidak akan terjadi selamanya.
Mungkin, karena pada akhirnya Penulis menyadari bahwa hidup harus tetap berjalan. Yang namanya berjalan, tentu tak pernah selalu mulus. Pasti beberapa kali kita akan menemukan jalan yang rusak, gronjalan, kubangan lumpur, dan masih banyak lagi lainnya.
Namun, pada akhirnya kita tetap melanjutkan perjalanan. Memang kita jadi kotor, mungkin ada luka juga, tapi itu adalah “harga” yang harus dibayar untuk mencapai tujuan. Demi tujuan itulah kita terus berjalan.
Lantas, apa tujuan yang sedang Penulis tuju sekarang? Penulis tidak akan menuliskannya di sini, tapi yang jelas, untuk mencapai tujuan tersebut, bisa mendisiplinkan diri untuk konsisten menulis artikel di blog ini adalah salah satu jalan yang harus Penulis tempuh.
Untuk itulah, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis artikel ini, yang mungkin secara bobot tidak ada bobotnya, lebih sekadar gerutuan karena insomnia datang menyerang. Setidaknya, ini adalah upaya nyata Penulis untuk kembali ke jalan yang benar.
Entah cara apa yang akan Penulis lakukan agar aktivitas menulis blog ini menjadi kembali menyenangkan dan membuat Penulis bersemangat, bahkan ketika isi pikirannya penuh dengan masalah. Sambil berjalan, Penulis akan berusaha menemukan jawabannya.
Lawang, 8 April 2025, terinspirasi karena insomnia karena berbagai masalah yang ada di pikirannya
Foto Featured Image: Tobi via Pexels
Pengalaman
Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025
Memulai tulisan pertama tahun 2025 di bulan Februari memang sangat terlambat. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir Penulis bisa dibilang cukup rajin dalam menulis di hari pertama pergantian tahun, walau setelah itu juga kurang bisa konsisten.
Ada beberapa alasan yang membuat Penulis “menghilang” hampir dua bulan di blog ini, tapi pada tulisan kali ini Penulis hanya akan menyebutkan satu alasan: kehilangan gairah untuk menulis, atau singkatnya bisa dibilang malas.
Tentu rasa malas itu tidak datang begitu saja, ada banyak alasan yang menyertainya. Namun, rasanya alasan-alasan tersebut tidak perlu diungkapkan. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin melakukan beberapa refleksi saja mengenai apa yang sudah terjadi di tahun 2024 ini.
Dompet Menangis karena Membeli Banyak Perangkat

Tahun 2024 adalah tahun yang berat untuk dompet Penulis. Ada banyak sekali pengeluaran, entah itu untuk kebutuhan maupun keinginan. Saking banyaknya, arus kas Penulis sepanjang 2024 jadi minus, pertama sejak terakhir kali minus pada tahun 2020.
Kalau tahun 2020 minus wajar, karena Penulis resign pada bulan September 2020, sehingga ada beberapa bulan Penulis tidak mendapatkan gaji rutin. Pemasukan dari pekerjaan sebagai freelancer tentu tidak menutup kebutuhan sehari-hari.
Nah, kalau di 2024 kemarin, minus yang terjadi murni terjadi karena banyaknya pengeluaran. Mungkin ini akan terdengar sebagai flexing, tapi Penulis di tahun yang sama membeli smartphone dan laptop baru, serta build PC dengan alasan awal “untuk bantu skripsi adik.”
Penulis memang sudah berencana untuk membeli smartphone baru di awal tahun karena merasa tidak nyaman dengan Xiaomi POCO F4, yang akhirnya Penulis berikan kepada ibu. Awalnya mengincar Samsung S24, tapi karena pakai Exynos, Penulis beralih ke iPhone 13.
Lalu ketika bulan puasa, di kala uang THR sudah masuk ke rekening, adik Penulis mengatakan bahwa dirinya butuh PC untuk menunjang skripsinya. Sebagai kakak, tentu Penulis berusaha memenuhi hal tersebut, hitung-hitung mewujudkan cita-cita untuk punya PC.
Kampretnya, setelah selesai build PC, PC tersebut justru jarang dipakai adik Penulis untuk skripsian! Pada akhirnya PC tersebut jadi perangkat utama Penulis untuk bekerja dan bermain game. Yah, setidaknya dengan demikian tidak ada penyesalan.
Menjelang akhir tahun, tepatnya di bulan Oktober, Penulis sempat iseng mampir ke Digimap. Sialnya, sedang ada promo pelajar yang memberikan potongan 500 ribu. Ditambah voucher MAP 300 ribu, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli laptop MacBook Air M1.
Setelah membeli laptop tersebut, laptop lama Penulis akhirnya dibeli adik Penulis (yang tadi minta di-build-kan PC!) dengan harga miring karena memang butuh laptop dengak spek yang lumayan tinggi untuk menunjang kerjaan dan skripsinya.
Memang nyesek rasanya jika mengingat berapa uang yang dikeluarkan untuk perangkat-perangkat tersebut. Memang Penulis memanfaatkan cicilan 0% dari kartu kredit, tapi tetap saja pembelian-pembelian tersebut membuat dompet Penulis menangis.
Namun, jika melihat dari sisi lain, memiliki kombo PC + MacBook merupakan cita-cita Penulis sejak zaman kuliah. Jadi, anggap saja kalau ini memang sudah saatnya untuk menuntaskan impian tersebut.
Ke Jakarta dan Semarang Dua Kali, ke Solo Satu Kali

Pengeluaran lain yang membuat arus kas Penulis minus adalah seringnya Penulis berpergian. Dalam satu tahun, Penulis dua kali pergi ke Jakarta dan Semarang, serta satu kali pergi ke Solo karena berbagai urusan.
Penulis ke Jakarta pertama kali di awal tahun 2024, karena kebetulan kantor Penulis mengadakan staycation. Setelah itu, Penulis tinggal di Jakarta kurang lebih satu bulan karena ada banyak teman yang ingin Penulis temui.
Sepulang dari Jakarta, Penulis berlibur satu keluarga ke Solo dan Semarang. Sebagai anak pertama, tentu Penulis berusaha untuk menjadi “sponsor” untuk acara liburan ini, walau tentu tidak semua pengeluaran Penulis yang menanggung.
Lantas di pertengahan tahun, Penulis harus kembali ke Jakarta. Kali ini sekeluarga, karena adik Penulis (bukan yang minta di-build-kan PC) lamaran. Karena satu keluarga, kunjungan ke Jakarta kali ini hanya sebentar.
Sepulang dari Jakarta (kami menggunakan mobil pribadi, pulang-pergi Malang-Jakarta), kami sempat mampir ke Semarang satu malam untuk istirahat sekaligus curi-curi liburan. Bisa dibilang, tahun 2024 kemarin merupakan tahun di mana Penulis keluar kota terbanyak.
Produksi Artikel Whathefan yang Meningkat
Salah satu achievement yang Penulis dapatkan di tahun 2024 adalah naiknya jumlah produksi artikel Whathefan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Sejak pertama kali menulis di tahun 2018, jumlah artikel di blog ini memang cenderung menurun terus.
Tahun 2022 adalah penulisan blog paling sedikit sepanjang sejarah dengan 91 artikel, yang lalu meningkat sedikit menjadi 98 artikel di tahun 2023. Nah, di tahun 2024 jumlah tersebut melonjak menjadi 127 artikel.
Salah satu penyebab peningkatan ini adalah Penulis yang cukup rutin menulis, terutama di bulan Juni ketika Penulis berhasil menulis penuh satu bulan tanpa putus. Walau setelah itu kembali fluktuatif, setidaknya raihan tersebut bisa membuktikan kalau Penulis sebenarnya bisa konsisten menulis.
Biasanya, di awal tahun Penulis punya target untuk memproduksi artikel hingga 200 dalam satu tahun. Namun, mengingat artikel pertama blog ini saja baru ditulis bulan Februari, rasanya target yang realistis adalah jangan sampai produksi tahun ini lebih kecil dari tahun kemarin.
Untuk itu, mungkin akan ada penyesuaian juga agar Penulis tidak malas-malas amat dalam Penulis. Contohnya adalah penyesuaian Notion, yang entah sudah berapa bulan terbengkalai dan berisi schedule yang tak pernah dituntaskan.
Penutup
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, tahun 2024 memang lebih dinamis (dan lebih banyak pengeluaran tentunya!). Setidaknya, satu impian Penulis akhirnya bisa dicapai, walau efeknya ke dompet juga lumayan terasa.
Di awal tahun 2025 ini, tentu Penulis berharap bisa melakukan pengetatan pengeluaran. Namun, dengan adik Penulis yang akan segera menikah pada bulan Februari, rasanya pengetatan pengeluaran ini baru bisa dilakukan ketika bulan puasa nanti.
Selain itu, sekali lagi Penulis berharap untuk bisa menjaga konsistensi dalam menulis artikel untuk blog ini. Semoga tahun ini Penulis lebih bisa mengendalikan emosi dan mood-nya, sehingga bisa sebanyak mungkin memproduksi artikel di blog ini.
Saat menulis artikel ini, Penulis sudah berada di Jakarta, menginap di kos adik yang juga merupakan kos lama Penulis. Rencananya, Penulis akan di Jakarta sekitar tiga minggu hingga acara pernikahan selesai. Semoga saja tabungan Penulis yang sudah menipis ini cukup.
Kebayoran Lama, 10 Februari 2025, terinspirasi setelah ingin mulai lebih rutin menulis di blog ini di tahun 2025
-
Non-Fiksi12 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan12 bulan agoBagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Non-Fiksi12 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Olahraga12 bulan agoKok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
-
Permainan12 bulan agoKoleksi Board Game #27: Here to Slay
-
Permainan12 bulan agoKoleksi Board Game #28: Point City
-
Sosial Budaya12 bulan agoMengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
-
Olahraga11 bulan agoApakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?



You must be logged in to post a comment Login