Connect with us

Renungan

Merasa Lebih Hebat dari Tuhan

Published

on

Seperti yang sudah pernah tertulis pada tulisan-tulisan sebelumnya, penulis gemar merenungi tentang alam semesta yang luasnya tak terkira ini.

Salah satu alasannya adalah karena meyakinkan penulis bahwa keberadaan Tuhan benar-benar ada. Segala keteraturan yang ada tidak mungkin hanya karena kebetulan semata.

Karena memercayai keberadaan Tuhan, tentu penulis tidak akan pernah berani merasa lebih hebat dari-Nya. Tapi, benarkah seperti itu?

Menjalankan Perintah, Menjauhi Larangan

Jika memang benar penulis tidak pernah merasa lebih hebat dari Tuhan, seharusnya penulis bisa menjalan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan baik sesuai yang tertuang di kitab suci ataupun sumber-sumber lain.

Kenyataannya, penulis masih sering melalaikan perintah-Nya dan melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Padahal setiap perbuatan tersebut pasti ada ganjarannya, entah di dunia ataupun di akhirat nanti.

Kenapa bisa seperti itu? Ketika melakukan interopeksi, mungkin karena penulis kurang mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagai muslim, penulis termasuk jarang mendengarkan pengajian, baik secara langsung ataupun melalui YouTube.

Ibadah yang wajib pun terkadang masih ada yang tidak dilaksanakan. Dosa dan maksiat yang jelas-jelas dilarang pun masih sering dilakukan. Jika penulis benar-benar menjadi hamba-Nya yang taat, seharusnya hal tersebut tidak terjadi.

Belajar Kepada yang Lebih Berilmu

Jika mau sedikit lunak, sebenarnya apa yang penulis lakukan tersebut sangat manusiawi. Toh, manusia tidak bisa luput dari dosa. Yang bisa kita lakukan adalah belajar kepada yang lebih berilmu agar kita bisa semakin taat kepada-Nya.

Untuk urusan agama, yang lebih berilmu tentu saja ulama atau ustaz. Banyak sekali hal yang bisa kita pelajari dari ceramah-ceramah mereka. Apalagi, dengan adanya YouTube dan media sosial membuat kita bisa mengaksesnya lebih mudah.

Ketika menyampaikan suatu hukum dan lain sebagainya, mereka tentu merujuk kepada Alquran, Hadis, hingga pendapat-pendapat imam yang telah disepakati.

Karena Islam ada berbagai mazhab, perbedaan pandangan itu adalah hal yang lumrah. Kita bisa memilih mana yang paling membuat kita merasa yakin.

Nah, yang jadi masalah adalah ketika ada orang yang membantah perkataan ulama hanya dengan menggunakan logika ataupun dalil kemanusiaan. Bagi penulis, ini salah besar.

Mungkin ada ustaz-ustaz yang kurang cocok dengan kita. Akan tetapi, jangan sampai kita membuat hukum sendiri karena keterbatasan ilmu kita. Jika kurang merasa sreg, coba cari perbandingan dengan ustaz lain.

Kalau penulis amati akhir-akhir ini, banyak orang yang langsung menghujat ustaz karena ceramahnya dianggap kontroversi. Mereka terlihat benci kepada ustaz yang apa-apa diharamkan.

Padahal, beliau mengutip dari sumber yang jelas. Kita pun kemungkinan jarang mendengarkan ceramah-ceramahnya yang lain. Lantas, mengapa kita bisa menjadi sangat judgemental?

Jika sudah demikian, bukankah kita seperti menentang ayat Tuhan? Kita ini siapa kok berani-beraninya meragukan ayat Tuhan.

Agama Sebagai Bahan Bercanda

Satu hal lain yang sering membuat penulis mengelus dada adalah ketika agama dijadikan sebagai bahan bercanda. Fenomena ini sering penulis temukan di Twitter.

Penulis sama sekali tidak pernah tertawa ketika mendengar atau membaca sebuah candaan yang berkaitan dengan agama. Dalilnya di Alquran jelas.

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66]

Tidak hanya agama yang penulis yakini, penulis juga sama sekali tidak senang ketika ada agama lain dijadikan bahan olok-olokan meskipun yang punya agama pun tertawa karenanya.

Penulis sendiri tidak habis pikir, mengapa fenomena ini seolah dianggap biasa saja. Apakah penulis yang terlalu kaku? Atau kita benar-benar telah merasa lebih hebat dari Tuhan?

Penutup

Teman penulis pernah memberi teguran bahwa iman lebih diutamakan dibandingkan akal. Kita tidak bisa melihat atau mendengar Tuhan secara langsung, sehingga dibutuhkan keimanan untuk memercayai keberadaan-Nya.

Penulis bukannya mau sok suci atau merasa yang paling benar. Justru, penulis menulis ini sebagai pengingat diri agar tidak merasa lebih hebat dari Tuhan yang diyakini ada sejak kecil.

Semoga saja tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama untuk diri penulis sendiri.

 

 

Kebayoran Lama, 8 Desember 2019, terinspirasi oleh banyak hal yang membuat penulis banyak merenung

Foto: Mindaugas Vitkus

Renungan

Bagaimana Jika Perang Nuklir Benar-Benar Terjadi?

Published

on

By

Meskipun tidak ditampilkan di dalam film Oppenheimer, Penulis bisa membayangkan betapa dahsyatnya ledakan bom atom yang dijatuhkan di dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Selain hancurnya kota, banyaknya korban jiwa juga menjadi bukti nyata.

Penulis pun jadi berpikir, ledakan sedahsyat tersebut terjadi hampir 80 tahun yang lalu. Pasca-Perang Dunia 2, banyak negara yang tetap mengembangkan bom mereka yang jauh lebih dahsyat. Beberapa yang pernah terdengar adalah Hydrogen Bomb dan Tsar Bomba.

Itu yang ketahuan dan diketahui oleh publik. Bagaimana dengan senjata-senjata rahasia yang lebih mematikan? Bagaimana dengan bom yang daya ledaknya jauh lebih eksplosif? Bagaimana dengan penggunaan senjata nuklir dan biologis?

Sama seperti kekhawatiran banyak pihak, Penulis pun jadi merasa was-was seandainya dunia kembali saling melempar senjata nuklir ke lawan mereka. Jika hal buruk tersebut benar-benar terjadi, akan seperti apa dampaknya ke kita?

Linkin Park dan Peringatannya akan Perang Nuklir

Peringatan akan potensi terjadinya perang nuklir (ataupun jenis perang lainnya yang juga destruktif) bukan Penulis temukan pertama kali setelah menonton Oppenheimer. Jauh sebelumnya, Penulis telah mengetahuinya dari album-album Linkin Park.

Sebagai informasi, nama album Minutes to Midnight yang dirilis pada tahun 2007 tersebut diambil dari sebuah istilah metafora, yang merujuk kepada betapa dekatnya kita akan kehancuran gara-gara apa yang kita buat sendiri.

Beberapa track yang ada di dalamnya pun penuh dengan pesan perdamaian sekaligus pengingat betapa besar kerusakan yang telah kita buat. Tengok saja video klip dari lagu “What I’ve Done” yang terkenal.

Selang tiga tahun kemudian, Linkin Park merilis album A Thousand Suns. Nama album ini diambil dari kutipan Bhagavad Gita yang diucapkan oleh J. Robert Oppenheimer, yang menggambarkan ledakan nuklir akan seterang seribu matahari.

Linkin Park juga menyisipkan pidato Oppenheimer yang paling terkenal, di mana ia sekali lagi mengutip Bhagavad Gita dan mengatakan, “Now I am death, destroyer of the world.” Banyak yang mengintepretasikan kalau ini menjadi penyesalannya karena telah membuat bom atom.

Perang Dunia Berakhir, Pengembangan Senjata Terus Berlangsung

Bom atom yang dibuat melalui Manhattan Project awalnya ditujukan ke Jerman. Namun, berhubung Jerman sudah menyerah duluan, alhasil bom atom tersebut dialihkan ke Jepang dengan tujuan membuat mereka menyerah dan mengakhiri perang.

Beberapa ilmuwan yang terlibat dalam Manhattan Project mengajukan petisi agar bom atom tidak perlu dijatuhkan. Namun, pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Harry Truman bersikeras dengan alasan Jepang tidak menghiraukan ultimatum mereka.

Alhasil, dengan dalih agar jumlah korban yang jatuh tidak lebih banyak lagi, bom atom pun dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Perang Dunia 2 pun resmi berakhir. Namun, pengembangan senjata nuklir tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti.

Oppenheimer selaku kepala Manhattan Project mendesak agar pemerintah AS berhenti mengembangkan senjata nuklir, yang kini hendak membuat Hydrogen Bomb dengan daya hancur yang berkali-kali lipat. Sayang, pendapatnya tidak digubris dan ia pun “dikucilkan”.

Pada masa-masa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, banyak kekhawatiran kalau perang nuklir akan benar-benar terjadi, mengingat kedua kubu memang sama-sama gencar dalam mengembangkan arsenal tempur mereka.

Untungnya hingga Uni Soviet bubar, hal tersebut tidak pernah terjadi. Memang masih ada banyak perang di mana-mana, termasuk akibat perang ideologi antara kapitalisme melawan komunisme. Setidaknya, tidak ada kejadian seperti Hiroshima dan Nagasaki lagi.

Senjata Tak akan Pernah Menghentikan Perang

Perlombaan Senjata Tak Pernah Usai (SIPRI)

Terus berlangsungnya perang di berbagai belahan dunia seolah mematahkan harapan Oppenheimer dan ilmuwan lainnya. Mereka sebenarnya berharap kalau senjata yang mereka buat akan menghentikan perang, karena lawan terlalu takut untuk menyerang.

Kenyataannya, justru lawan jadi terdorong untuk menciptakan senjata yang jauh lebih hebat. Alhasil, masing-masing negara justru saling berlomba untuk membuat senjata terhebat yang akan membuat mereka ditakuti oleh lawan.

Contoh nyata bisa kita lihat di era Perang Dingin. Jika Amerika Serikat ditanya mengapa mereka membuat senjata nuklir, mereka akan menjawab karena Uni Soviet. Sebaliknya pun begitu, Uni Soviet membuat senjata nuklir karena Amerika Serikat.

Ketegangan dunia pun seolah berada di titik yang konstan. Seolah-olah ada bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Ketika Rusia tiba-tiba menginvasi Ukraina, siapa yang menyangka? Mungkin segelintir orang, tapi orang pada umumnya tidak akan mengira.

Kekhawatiran akan diluncurkannya senjata nuklir pun kembali mencuat. Sama seperti ketika Amerika Serikat menjatuhkan Fat Man dan Little Boy, bukan tidak mungkin ada negara lain yang ingin show off kepada dunia kalau mereka memiliki senjata yang pantas untuk ditakuti.

Pada akhirnya, pembuatan senjata tidak akan pernah menghentikan perang. Yang ada, justru akan melanggengkan perang. Saling curiga antarnegara akan terus terjadi, karena selalu ada kemungkinan kalau negara lain menyimpan senjata yang sangat berbahaya.

Bagaimana Jika Perang Nuklir Benar-Benar Terjadi?

Ilustrasi Ledakan Bom Nuklir (University of Colorado Boulder)

Lantas, bagaimana jika (amit-amit) perang nuklir benar-benar terjadi? Bagaimana jika para negara adidaya memutuskan untuk meluncurkan senjata pemusnah massal yang sama sekali tidak berperikemanusiaan tersebut?

Ya sudah, terima takdir apa adanya. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan orang biasa seperti kita. Tidak mungkin juga kita tiba-tiba terjun ke medan perang dan menghentikan semua aktivitas perang atau membatalkan peluncuran senjata nuklir.

Jika perang nuklir benar-benar terjadi, maka artinya tengah malam (midnight) telah tiba. Apa yang diperingatkan oleh Linkin Park melalui albumnya benar-benar terjadi, dan kita harus menerima kenyataan kalau tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya.

Paling banter, yang bisa kita lakukan adalah menjadi aktivis dan kerap menyerukan perdamaian. Namun, seberapa lantang suara kita hingga akan didengar oleh para pemangku kekuasaan di dunia? Memang ada peluangnya, tapi sangat kecil.

Untuk sekarang, yang bisa kita lakukan hanyalah berharap perang nuklir tidak pernah terjadi. Sampai detik ini, terhitung baru Amerika Serikat saja yang pernah menjatuhkan senjata nuklir berupa bom atom ke negara lain. Semoga saja itu juga menjadi yang terakhir kalinya.

Kita hanya bisa berharap (dan berdoa) negara-negara besar yang membuat senjata-senjata berbahaya tersebut punya kesadaran untuk tidak memusnahkan kehidupan manusia sebelum hari kiamat tiba.


Lawang, 25 Juli 2023, terinspirasi setelah menonton film Oppenheimer

Foto Featured Image: NJ.com

Sumber Artikel:

Continue Reading

Renungan

Sungguh, Berharap ke Manusia Itu Benar-Benar Mengecewakan

Published

on

By

“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.”

-Ali bin Abi Thalib-

Sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan, berharap kepada sesama manusia menjadi sesuatu yang sangat lumrah. Dalam keseharian kita, tak pernah luput dari aktivitas tersebut.

Hanya saja, terkadang kita tidak sadar ketika sedang menaruh harapan kita kepada orang lain. Setidaknya, Penulis merasa seperti itu hingga pada akhirnya tersadar dalam satu titik dan membuat dirinya melakukan refleksi diri tentang apa itu berharap kepada manusia.

Mari kita renungkan. Ketika kita menolong seseorang, apakah kita berharap ia membalas kebaikan kita atau apa yang kita lakukan tanpa pamrih? Apakah kita sebenarnya berharap setidaknya yang ditolong memberikan respons yang baik?

Ketika kita berhasil mengerjakan pekerjaan di tempat kerja dengan baik, apakah kita berharap mendapatkan pujian dan bonus dari atasan? Apakah kita sebenarnya berharap kalau derajat kita di mata kolega kantor menjadi lebih tinggi?

Ketika kita merasa membutuhkan pertolongan dari orang lain, apakah kita benar-benar menggantungkan diri kepada orang tersebut? Apakah kita sebenarnya lupa kalau yang bisa menolong kita hanyalah Tuhan, yang bisa menolong lewat perantara apapun?

Ketika kita berbuat baik di lingkungan, apakah kita berharap akan disanjung oleh para warga yang melihatnya? Apakah kita sebenarnya melakukannya hanya demi terlihat baik di mata orang lain dan melupakan esensi dari perbuatan baik yang dilakukan.

Ketika kita menyayangi seseorang, apakah kita berharap ia akan menyayangi kita juga? Apakah kita ingin diperlakukan oleh dia sebagaimana kita memperlakukan mereka? Apakah kita sebenarnya hanya menuruti hawa nafsu semata yang berkedok cinta?

***

Itu adalah beberapa contoh bentuk “berharap kepada manusia” yang setidaknya Penulis sadari pernah (dan mungkin masih) dilakukan. Memang kesannya semua hal tersebut manusiawi dan wajar saja jika terjadi. Namanya juga manusia.

Namun, Penulis menyadari bahwa berharap kepada manusia dalam bentuk apapun kerap kali menimbulkan perasaan kecewa, jika harapan tersebut tidak terwujud. Bahkan, tak jarang jika hal tersebut justru berbalik menjadi hal yang buruk ke kita.

Contohnya, kita berharap kepada kawan kita untuk menolong kita. Ternyata, kita justru dimanfaatkan demi kepentingannya sendiri. Orang yang kita percayai sebegitu tingginya, ternyata menusuk kita dari belakang. Ia menghancurkan harapan kita begitu saja.

Kita berharap ke sesama manusia begitu tinggi, sehingga seolah melupakan adanya peran Tuhan dalam kehidupan kita. Memang, pada prakteknya rasanya hampir mustahil kita tidak berharap kepada manusia.

Rasanya sulit untuk tidak berharap mendapatkan bonus jika target di tempat kerja berhasil dicapai sebelum tenggat dan kita selalu bekerja melebihi workload yang diberikan. Rasanya sulit untuk berbuat baik tanpa mendapatkan apresiasi yang cukup.

Hampir mustahil rasanya kita tidak berharap dicintai oleh orang yang kita cintai. Perasaan kompleks yang dimiliki oleh manusia ini sangat “haus” akan balasan, sehingga rasanya sulit untuk bisa mencapai level “menyayangi dengan ikhlas” dan tidak mengharapkan balasan.

Yang ingin Penulis ingatkan untuk dirinya sendiri di tulisan ini adalah, setidaknya, mampu mengurangi kadar berharap ke manusia. Penulis ingat kalau sebagai sesama manusia, kita ini sama-sama makhluk yang lemah dan penuh dengan kekurangan.

Mengapa tidak berharap ke entitas yang Maha Kuat dan Maha Kuasa, yakni Tuhan? Secara logika, tentu kita seharusnya berharap kepada sesuatu yang lebih kuat dari kita, bukan kepada yang satu level atau bahkan lebih rendah levelnya dari kita.

Ketika kita menolong orang atau berbuat baik, lebih baik kita niatkan untuk mendapatkan rida dari Tuhan. Ketika kita melakukan pekerjaan dengan baik, niatkan untuk mendapatkan rida dari Tuhan. Ketika mencintai seseorang, niatkan untuk mendapatkan rida Tuhan.

Penulis bukan tipe orang yang super religius yang keimanan dan ketakwaannya sudah selangit sehingga sudah tidak pernah berharap ke manusia. Justru, Penulis menulis artikel ini karena merasa dirinya masih sangat sering berharap kepada sesama manusia.

Semoga saja setelah menulis artikel ini, Penulis (dan Pembaca sekalian) bisa mulai mengurangi harapannya kepada sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, tentu kita tetap saling membutuhkan dan melakukan interaksi seperti pada umumnya.

Namun, sebisa mungkin kita tidak menggantungkan harapan apapun kepada sesama manusia. Selain karena lebih banyak membuat kecewanya, ada Tuhan yang lebih layak kita gantungkan harapan kepada-Nya.


Lawang, 11 April 2023, terinspirasi setelah menyadari (lagi) kalau berharap ke sesama manusia itu mengecewakan

Foto: cottonbro studio

Continue Reading

Renungan

1/365

Published

on

By

Tahun 2023 telah tiba. Setelah melalui 365 hari, kita berjumpa kembali dengan tanggal 1 Januari. Hari pertama dari tahun yang baru, bagi kebanyakan orang, akan memberikan semangat baru dalam mengarungi kerasnya kehidupan.

Yang berbeda dari pergantian tahun ini bagi Penulis adalah, selama bulan Desember 2022 kemarin, Penulis (yang sejujurnya sedang banyak pikiran) kerap beberapa kali melakukan refleksi diri atas apa yang telah terjadi di sepanjang tahun 2022.

Pada tulisan pertama di tahun ini, Penulis ingin sedikit berbagi mengenai apa saja yang telah dipelajari dalam hidupnya selama tahun 2022 kemarin. Selain itu, Penulis juga ingin menyampaikan harapannya di tahun 2023 ini.

Apa yang Dipelajari di Tahun 2022

Penulis merasa di tahun 2022, ada banyak sekali pelajaran kehidupan yang didapatkan. Penulis merasa itu semua menjadi “modal” bagi dirinya untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik di tahun-tahun berikutnya, diawali di tahun 2023 ini.

Salah satu yang baru berusaha Penulis pahami adalah tentang bagaimana tentang berbuat baik dengan ikhlas tanpa berharap timbal balik apapun. Ternyata, tanpa disadari, Penulis beberapa kali masih berharap adanya feedback dari orang yang telah dibantunya.

Sebagai contoh, ketika Penulis ada ketika seseorang membutuhkannya, Penulis juga berharap kalau orang tersebut ada ketika Penulis yang membutuhkannya. Walaupun terdengar manusiawi, Penulis ingin ke depannya tidak mengharapkan hal tersebut lagi.

Penulis juga belajar banyak mengenai menjadi dewasa. Ternyata ada beberapa hal kekanakan di diri Penulis yang belum hilang, seperti kontrol emosi yang (terkadang) masih buruk dan egonya yang (terkadang) masih tinggi.

Apalagi, menjelang usianya yang akan segera mencapai kepala tiga, Penulis masih harus terus belajar mengenai bagaimana menjadi orang yang dewasa yang proper. Tidak perlu muluk-muluk menjadi panutan orang lain, cukup menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya.

Sebagai orang yang kerap overthinking, Penulis mulai belajar mengenai berusaha menerima keadaan dalam hidupnya tanpa perlu memikirkannya secara berlebihan. Menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak bisa kontrol benar-benar membantu Penulis.

Sebelumnya, Penulis kerap berusaha mengendalikan banyak hal, termasuk bagaimana sikap dan respons orang lain ke kita, bahkan meminta untuk diprioritaskan. Selain hanya menimbulkan pertengkaran, hal tersebut juga membebani orang lain dengan ekspekstasi kita.

Selain poin-poin di atas, tentu masih ada banyak pelajaran kehidupan lain yang Penulsi dapatkan di tahun 2022. Namun, Penulis merasa bahwa ketiga hal tersebut adalah yang paling esensial dan banyak membantu Penulis untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Apa yang Diharapkan di Tahun 2023

Dengan semangat pergantian tahun, tentu ada beberapa hal yang diharapkan akan bisa dilakukan di tahun 2023 ini. Anggap saja ada beberapa resolusi yang ingin dicapai tahun ini, terlepas dari adanya beberapa resolusi yang gagal dicapai di tahun lalu.

Penulis merasa agak “berantakan” di tahun 2022 kemarin karena rutinitas mencatat jurnal harian dan keuangannya tidak teratur dan banyak bolongnya. Penulis berharap di tahun 2023 ini, Penulis bisa lebih konsisten melakukan rutinitas yang telah dilakukan sejak kuliah itu.

Berbicara tentang rutinitas, Penulis juga ingin bisa kembali rutin olahraga pagi yang sudah lama ditinggalkannya. Ini jelas butuh niat dan motivasi yang sangat kuat, apalagi jika tidak ada orang lain yang mendorong kita untuk melakukannya.

Penulis juga ingin lebih rutin menulis blog, karena tahun 2022 kemarin menjadi rekor penulisan paling sedikit, yaitu 91 artikel. Ini adalah pertama kalinya sejak blog ini tayang, jumlah artikel yang diproduksi dalam setahun kurang dari 100 artikel.

Besok, tanggal 2 Januari 2023, adalah ulang tahun yang ke-5 dari blog ini. Penulis harapkan ke depannya bisa lebih rutin dalam menulis di blog yang sudah berperan besar dalam kehidupan Penulis ini.

Untuk bisa mencapai hal tersebut, tentu Penulis harus bisa lebih baik lagi dalam mengatur manajemen waktunya. Selama 2022 kemarin, Penulis merasa sering membuang-buang waktunya untuk hal yang kurang berfaedah. Semoga saja itu bisa berubah di tahun 2023.

Tentunya di atas itu semua, Penulis berharap bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Penulis akan terus berusaha menebar kebaikan dan menjadi manfaat bagi sekitarnya.

***

Semoga saja di tahun 2023 ini, Penulis bisa benar-benar memperbaiki kekurangannya berdasarkan apa yang dirinya pelajari di 2022, serta bisa melakukan hal-hal apa yang telah ditargetkan, dimulai dari hari pertama dari 365 hari yang akan dilalui di tahun 2023.

NB: Gambar Jihyo di banner hanya sebagai ilustrasi optimisme dalam menyambut tahun 2023


Lawang, 1 Januari 2023, terinspirasi setelah belakangan ini kerap melakukan refleksi diri menjelang pergantian tahun

Foto: Pinterest

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan