Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 27 Anak yang Tidak Diinginkan Orangtuanya
Setelah UAS, tidak ada kejadian yang istimewa di kelas. Semua berjalan seperti biasa, tidak adalah lagi peristiwa yang membuat kami gempar. Tentu aku tidak memberitahukan perihal foto-foto yang aku dan Kenji temukan kepada teman-teman sekelas. Selain karena pada dasarnya aku tidak suka bercerita, aku tidak menemukan alasan mengapa teman-teman akan merasa tertarik dengan foto tersebut.
Hari ini, ketika mata pelajaran agama, kami disuruh menghafalkan beberapa ayat Al-Quran beserta artinya sebagai persiapan ujian kenaikan kelas. Nanti oleh guru kami, pak Gatot, akan disuruh maju satu per satu untuk diuji tingkat kehafalan kami. Hafalan bukan masalah bagiku, namun aku tidak tahu bagaimana pelafalan yang benar. Oleh karena itu, aku memutuskan pindah ke bangku Sica yang ditinggal pemiliknya untuk belajar kepada Rena, anak yang dianggap paling alim di antara kami.
“Hai Ren, aku mau minta bantuan kau.”
“Wih tumben amat Le? Bukannya kamu jago hafalan ya?”
Aku memberitahukan alasanku datang kepadanya.
“Oh gitu, ya udah sini aku kasih tau.”
Ketika Rena mengajariku, satu per satu teman sekelas ikut bergabung dengan kami, mendengarkan pelajaran dari Rena. Pak Gatot merupakan tipe guru yang tidak betah di kelas, sehingga beliau sedang keluar ruangan sampai waktunya kami dipanggil satu per satu.
***
Kelas selesai setelah semua teman satu kelas berhasil menyelesaikan hafalan. Padahal, jam pelajaran belum berakhir, masih kurang 30 menit sebelum pelajaran selanjutnya. Mungkin guru agama kami tersebut memahami beban kami sebagai anak akselerasi, sehingga beliau memberikan waktu untuk kami beristirahat.
Aku masih duduk di tempat Sica. Sekali-kali aku ingin mencoba bagaimana rasanya duduk di depan, bukan di sudut ruangan. Ternyata, sama saja. Tidak ada yang berbeda, kecuali jarak pandang yang lebih dekat. Malah, menurutku, lebih nyaman duduk tersembunyi di belakang sana.
Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundakku. Kutolehkan kepalaku, Rena lah pelakunya.
“Kayaknya betah nih duduk di tempat Sica.”
Untunglah, menguasai ekspresi menjadi salah satu keahlianku, sehingga aku tidak salah tingkah ketika Rena berkata seperti itu.
“Ini mau balik ke bangkuku.” jawabku datar.
“Yeee, gitu aja ngambek. Bercanda Le.”
“Aku memang mau balik Ren.”
“Sini dulu aja, ngobrol sama aku. Kita bahas masa-masa SMP.”
Masa SMP? Sepertinya menarik mengetahui bagaimana diriku di masa kegelapan tersebut dari kacamata orang lain.
“Aku sebenarnya ingin tahu, bagaimana orang lain melihatku ketika SMP.”
“Wah banyak Le sebenarnya, aku sering mendengar kamu dibahas sama teman-teman sekelasku. Kamu yakin enggak akan emosi waktu aku cerita?”
“Yakin.”
“Hmmm, coba aku ingat-ingat,” katanya sambil menengadah ke langit-langit kelas, “rata-rata semua anak membencimu karena arogansimu.”
“Aku sudah tahu.”
“Mereka juga pernah bilang kamu sangat mengerikan kalau sudah berkelahi.”
“Itu juga aku sudah tahu.”
“Mereka kesal banget ke kamu sampai bilang kamu itu…” Rena menutup mulutnya, tidak meneruskan kalimatnya.
“Aku apa?”
“Enggak Le, bukan apa-apa.”
“Aku apa?” kuulangi pertanyaanku dengan nada yang lebih tinggi.
“Enggak Le, beneran.” ia tidak berani memandang mataku.
Aku menggebrak meja Rena dan mengulangi lagi pertanyaanku.
“AKU APA?”
“Leon, tenanglah, kamu membuat Rena ketakutan.” sebuah tangan menyentuh pundakku, seolah memberi energi positif untuk menetralisir emosiku. Siapa lagi kalau bukan Kenji.
Tanpa merespon Kenji, aku bangkit dari meja Sica untuk kembali ke bangkuku, meninggalkan Rena yang sudah setengah menangis.
***
Kejadian tadi membuatku memutuskan untuk keluar kelas setelah kelas sepi, bahkan meminta Kenji untuk pulang terlebih dahulu. Aku ingin sendiri terlebih dahulu, menyesali perbuatan kasarku ke Rena. Mungkin hal yang akan dikatakan Rena hanya akan menyakiti perasaanku, sehingga ia menahan fakta yang ia ketahui. Ia hanya ingin menjaga perasaanku, namun aku justru membentaknya. Besok, aku harus minta maaf ke Rena.
Berangsur-angsur kelas mulai sepi ditinggal penghuninya. Semakin sunyi sekitarku, semakin ramai pikiranku. Keheningan inilah yang kubutuhkan untuk interopeksi diri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada Kenji yang menenangkan diriku. Bukan, Kenji hanya perantara Tuhan untuk mengontrol diriku.
Selang beberapa menit, aku melihat seseorang mengintip kelasku. Orang yang tidak kuharapkan muncul ketika suasana hatiku buruk.
“Lo, Leon, belum pulang?” tanya Malik dengan melangkah masuk menuju arahku.
“Ada urusan apa?” kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan.
“Aku hanya kangen kelas lamaku kok, ternyata masih ada yang belum pulang.”
Aku tidak merespon perkataannya. Aku tidak akan lupa wajah asli yang tersembunyi dari topeng manisnya tersebut.
“Oh ya Le, kamu tau enggak sih kalau kita satu SMP?”
Aku sempat terkejut mendengar pertanyaan ini. Untunglah, seperti kataku tadi pagi, aku pandai menyembunyikan ekspresi.
“Tidak.”
“Wah aku tersinggung lo Le, padahal aku sering memperhatikan dirimu waktu SMP. Anak jenius yang sering dipuji oleh guru, walaupun kamu selalu menyendiri.”
Aku tetap diam tidak merespon dirinya.
“Mungkin jika aku mengalami kejadian seperti yang kamu alami, aku juga akan menjadi penyendiri seperti dirimu.”
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku mendengar pernyataannya. Kutatap kedua matanya, yang tetap berada di balik topeng munafik tersebut.
“Apa maksudmu?”
“Mungkin tidak semua tahu Le tentang tragedi keluargamu tersebut, tapi aku tahu.”
“Aku tidak paham maksudmu.”
Sebenarnya aku tahu ke mana arah pembicaraannya, namun aku tidak percaya ada orang lain yang mengetahui kejadian tersebut.
“Aku ada di sana Le, ketika ambulan datang menuju rumahmu dan membawa tubuh ibumu. Kamu lupa, aku tinggal di depan rumahmu waktu itu sebelum pindah.”
Aku terdiam, sama sekali tidak bisa memberikan reaksi kepada Malik. Ia tetap memasang wajah penuh perhatian, walaupun aku merasa ada tawa di balik itu.
“Aku berusaha untuk menghiburmu Le, menjadi temanmu, namun kamu tidak pernah menghiraukanku.”
Perlahan aku ingat sedikit memori tentang Malik ketika aku kecil. Ya, wajahnya memang nampak familiar jika diperhatikan baik-baik.
“Kau kakak dari Ucup?”
“Nah itu kamu ingat, tapi mungkin kamu belum dengar kabarnya. Ucup meninggal satu tahun yang lalu, aku kehilangan adikku.”
Meskipun tidak pernah akrab dengan teman satu kampung, aku merasa sedih mengetahui fakta bahwa satu dari mereka telah tiada. Meskipun demikian, tidak ada ucapan belasungkawa pun yang keluar dari mulutku.
“Seandainya aku tidak pindah rumah, mungkin kamu sudah kuajak tinggal bersamaku Le.”
“Seandainya begitu, aku akan menolaknya.”
“Begitu ya, hahaha, kalau gitu aku balik dulu ya.”
Ia segera berbalik dan melangkah keluar kelas, mungkin topengnya hampir lepas menghadapiku. Segala kebaikan yang ia ucapkan kepadaku tak lebih dari sekadar omong kosong. Aku tak akan pernah menerima kebaikan yang palsu seperti itu.
“Oh iya, omong-omong,” Malik yang sudah di ambang pintu berbalik, “aku berusaha memberitahu teman-teman yang lain alasan mengapa kamu seperti itu. Harapanku, dengan mengetahui kondisimu, pikiran mereka akan berubah. Sayangnya, aku salah, itu tidak mengubah pikiran mereka tentangmu.”
Kali ini aku langsung berdiri menghampirinya dan menarik kerahnya.
“Maksudmu, kau menyebarkan aib keluargaku?”
“Aib? Itu bukan aib Le, itu kejadian nyata. Mereka berhak tau apa yang terjadi.”
“Kau tidak punya hak untuk menyebarkan kejadian itu, brengsek.”
“Lalu bagaimana? Itu sudah terjadi. Lagipula, itu tidak akan terjadi seandainya kamu tidak mengasingkan diri Le. Aku ulangi lagi, aku hanya berusaha untuk membantu.”
“Kau sama sekali tidak membantu.”
“Kalau gitu, aku minta maaf, okay, aku minta maaf.”
Aku melepas tarikanku dengan sedikit mendorongnya. Ia agak terbatuk setelah kulepaskan. Setelah diperlakukan seperti itu, topengnya tetap tidak mau terlepas di hadapanku.
“Kau juga cerita itu kepada teman sekelasku?”
“Hanya kepada yang membicarakanmu di belakang. Aku rasa tidak perlu menyebutkan siapa. Yang jelas, teman-teman sekelasmu tidak pernah membicarakanmu lagi semenjak perubahanmu.”
Aku meninggalkannya begitu saja, kembali masuk ke dalam kelas. Rahasia yang selama ini berusaha kusembunyikan ternyata disebar begitu saja oleh Malik. Percuma saja selama ini aku diam, ada mulut-mulut orang lain yang menyebarkan aibku. Berawal dari satu orang, menyebar perlahan ke orang lain seperti virus. Aku merasa tahu apa yang akan diucapkan oleh Rena tadi pagi.
“Mereka kesal banget ke kamu sampai bilang kamu itu tidak diinginkan oleh orangtuamu.”
Aku meletakkan kepala di mejaku, dan tanpa bisa kutahan, aku mulai terisak menangis meratapi nasibku sebagai anak yang tidak diinginkan oleh orangtuanya.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login