Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 29 Kisah Seorang Manusia
Dengan tujuan melupakan kejadian kemarin, aku memutuskan untuk membaca cerita pendek tulisan Rika, yang ia minta agar aku memberikan feedback terhadap karyanya. Kenji telah selesai membacanya, sehingga kini giliranku untuk menyelesaikannya. Semoga saja dengan membaca cerita ini pikiranku dapat teralihkan, dapat membuatku masuk ke dalam dunia fantasi Rika.
“Kak?” Gisel memanggilku ketika aku baru selesai setengah membaca.
“Iya Gisel, ada apa?”
“Kakak kemarin kenapa? Gisel sampai takut kakak jadi kayak dulu lagi.”
Aku memandang adikku dengan lembut, berpikir bagaimana caranya mengeluarkan jawaban yang baik.
“Tuh kan, lihat Gisel aja sambil melotot begitu, Gisel jadi takut kak.” kata Gisel sambil mundur dua langkah.
“Benarkah? Padahal kakak kira ini adalah pandangan penuh kasih sayang.”
“Mana ada kak kayak gitu penuh kasih sayang, yang ada pandangan penuh dendam.”
Aku tertawa ringan mendengar penuturannya yang lugu. Kuusap rambutnya, lalu kugendong dia, suatu perbuatan yang mungkin pertama kali kulakukan terhadap Gisel. Meskipun usianya sudah hampir 10 tahun, badannya kecil dan terlihat ringkih, sehingga mudah bagiku untuk mengangkatnya. Penderitaan selama bertahun-tahun memiliki andil membentuk fisik adikku. Untunglah, jiwanya jauh lebih tangguh dari raganya.
“Kok tumben kak gendong Gisel?”
“Gapapa Gisel, rasanya kakak belum pernah menggendongmu sejak kita berdua ditinggal orangtua kita. Kakak merasa bersalah, bahkan hingga detik ini kakak masih merasa bersalah. Entah kakak harus berbuat apa untuk menembus dosa kakak kepadamu…”
Aku tidak kuat meneruskan kalimatku. Aku tidak ingin menangis di hadapan adikku, aku harus menjadi sosok kakak yang kuat. Aku hanya menimang-nimang Gisel dengan selembut mungkin, berharap ia dapat memahami situasi.
“Kakak, enggak perlu merasa begitu. Kakak jadi gitu juga ada penyebabnya. Gisel enggak pernah marah ke kakak kok. Kakak enggak usah merasa bersalah, kakak enggak usah merasa…”
Gisel tidak kuat menahan tangisnya, tersedu-sedu di dalam pelukanku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menenangkannya dengan membelai rambutnya. Cukup lama kami berada dalam situasi tersebut, hingga akhirnya ia tertidur. Kubawa ia kekamarnya, kuselimuti lalu kucium keningnya. Belajar memiliki empati, seperti yang telah diajarkan Kenji di awal sekolah, telah membuat aku bisa memahami perasaan orang lain, setidaknya adikku sendiri.
***
Aku tidak tidur semalaman, meskipun itu bukan hal yang istimewa dalam tidurku. Sudah terlalu sering aku terjaga semalaman, sehingga sama sekali tidak berpengaruh terhadap diriku. Aku menyelesaikan cerpen Rika, dan cukup mengejutkan bahwa ceritanya cukup menggugah hatiku. Kusampaikan pada Rika waktu istirahat, bagaimana pendapatku terhadap cerita yang terinspirasi dariku ini.
“Rika, aku sudah selesai membaca ceritamu.”
“Lama sekali Le, Kenji udah selesai lamaa banget. Situ sibuk banget ya? Hehehe.” tanya Rika riang seperti biasa.
“Tidak, hanya saja baru kemarin aku menyempatkan diri untuk membacanya.”
“Terus terus terus, gimana pendapatmu?”
“Bagus.”
“Hah, cuma gitu doang?”
“Memang mau bagaimana lagi?”
“Ya komentar alurnya, atau komentar penokohannya.”
“Maaf Rika, aku tidak pandai dalam hal cerita.”
“Hmm, iya sih kelihatan. Ya udahlah enggak apa-apa Le, makasi ya udah baca. Bagi seorang penulis, puncak kebahagiaannya adalah ketika tulisannya dibaca orang lain. Apakah orang tersebut senang atau tidak, hanya menjadi bonus semata.”
Aku memandang Rika dengan tersenyum tipis. Kupandang kedua matanya yang senantiasa memancarkan kebahagiaan. Namun, ketika lebih lama memandangnya, masuk ke matanya lebih dalam, aku melihat ada yang tersembunyi di balik keceriaannya tersebut. Bukankah ada yang pernah berkata bahwa orang yang periang biasanya menahan beban yang berat? Hanya saja, rasanya tidak pantas untuk bertanya masalah pribadi kepadanya. Lebih baik aku segera mengalihkan topik pembicaraan
“Kau suka menulis, apa kau juga suka membaca?”
“Tentu saja Le, rasanya akulah yang palng kutu buku di sini.”
“Buku apa yang jadi favoritmu?”
“Tentu novel fantasi seperti Harry Potter atau Percy Jackson. Itu membuat daya imajinasiku berkembang. Selain itu aku juga suka baca kumpulan puisi dan novel detektif.”
“Sherlock Holmes atau Hercule Poirot?”
“Ah, jadi kamu tahu ya Le? Tentu saja Poirot dengan sel abu-abunya.”
“Aku baru baca satu yang berjudul Murder on the Orient Express. Selain itu aku juga membaca And There We Were None yang menegangkan.”
“Wah, itu termasuk masterpiece-nya Agatha Christie Le, nanti aku kasih tahu yang lain. Kamu koleksi?”
“Sebenarnya warisan dari, dari ibuku.”
“Ah begitu ya.”
“Kau, apakah kau tahu cerita keluargaku?” tanyaku spontan, sekedar untuk mengonfirmasi perkataan Malik tempo hari.
“Hanya dari orang ketiga yang belum pernah aku tanyakan kepadamu terkait kebenarannya.” jawab Rika lugas tanpa takut sedikit pun aku marah. Apa adanya, inilah salah satu penyebab aku merasa nyaman ngobrol dengan Rika.
“Mengapa kau tidak bertanya kepadaku? Kita lumayan sering mengobrol seperti ini.”
“Karena bukan gayaku untuk menyampuri urusan orang lain. Toh aku mengetahuinya hanya sepintas dengar, bukan karena aku benar-benar ingin berbicara tentangmu di belakang.”
Aku tersenyum kepadanya, kagum dengan prinsip hidupnya. Rika anak yang baik, hanya saja karena imajinasinya ia sering dianggap aneh oleh teman-temannya. Ia jarang sekali keluar bersama teman-teman yang lain ketika istirahat, lebih memilih menghabiskan waktunya untuk menulis. Meskipun begitu, kekhawatiranku tentang beban yang ia panggul tetap mengganggu pikiranku.
“Rika, jika kau butuh bantuan, panggil saja aku.”
“Aye-aye kapten.” jawabnya sambil berpose hormat kepadaku.
Semoga saja hanya pikiranku yang berlebihan.
***
“Ah kamu sedang tidak menyindir aku kan Le? Aku kan juga selalu ceria, hahaha.” jawab Kenji sewaktu aku mengeluarkan pendapatku mengenai Rika.
“Eh, tidak Kenji, aku tidak ada maksud ke sana.”
“Jika pun dugaanmu benar, Rika berhasil menutupinya dengan baik. Aku rasa lebih bijak jika menganggap Rika tidak terlalu memikirkan bebannya karena ia selalu berpikir positif. Mungkin kamu saja yang terlalu jauh berpikirnya.”
“Ya, aku rasa kau benar.”
“Daripada itu, bagaimana perkembanganmu dengan Sica?”
Aku memandang bingung Kenji, tidak mengerti ke mana arah pembicaraannya.
“Ayolah, kalian pasti sering bertukar pesan kan? Gisel sering cerita kalo kakaknya sekarang sering melihat layar handphonenya ketika sedang nganggur.”
Sebenarnya tidak ada perkembangan apa-apa. Aku tidak suka berbasa-basi, sehingga jika tidak ada urusan yang perlu dibicarakan aku tidak akan mengirim pesan kepadanya. Kalaupun Gisel sering melihatku memandang handphone, mungkin waktu aku membaca ulang pesan-pesan Sica. Entah mengapa, rasanya menyenangkan sehingga menjadi kebiasaan.
“Tidak ada perkembangan apa-apa Kenji, karena memang tidak ada yang perlu dikembangkan.”
“Ah, kamu Le, hehehe. Omong-omong, rekomendasiku yang dulu sudah kamu baca?”
“And there we were none? Sudah Kenji, dan aku sepakat denganmu.”
“Lalu, apa kamu sudah baca yang lain? Nampaknya kamu susah tidur akhir-akhir ini, baca buku bisa menjadi solusi.”
***
Seperti malam-malam sebelumnya, aku merasa susah tidur karena beberapa hal yang aku sendiri tidak tahu apa. Bagaikan tidak mengetahui apa yang tidak diketahui. Maka kuputuskan untuk membaca lagi koleksi ibu di lemari. Aku mengambil sembarang judul lalu membawanya ke kamar.
Tiba-tiba aku teringat dengan nomer-nomer yang ibu tuliskan di halaman depan. Ketika aku cek, tidak ada angka yang tertera di sana. Apa artinya buku yang aku ambil ini bukan termasuk yang bagus? Ah, aku rasa yang ibu anggap bagus belum tentu cocok untukku. Bisa saja kami memiliki selera yang berbeda.
Sebelum kubaca, aku mencium aroma buku tersebut, aroma buku tua. Lalu aku teringat ibu yang sering membacakan buku dongeng ketika aku beranjak tidur, sehingga pengetahuanku tentang dunia dongeng masih terpatri di ingatanku. Tiga Babi Kecil, Anak Itik yang Buruk Rupa, dan berbagai dongeng kerajaan. Favoritku adalah cerita fabel, cerita yang tokoh utamanya hewan. Mungkin suatu saat aku akan mencari buku dongeng tersebut di rumah ini, aku yakin masih tersimpan dengan rapi.
Ah ibu, seandainya engkau masih hidup, apakah hidupku akan menjadi lebih baik? Mengapa engkau tega meninggalkan anak-anakmu ini? Mengapa engkau tega melakukannya setelah ayah menelantarkan kami karena nafsunya? Apa salah anak-anakmu ini sehingga menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda?
Semua ada hikmahnya, begitu kata Kenji. Aku percaya itu, hanya saja hingga saat ini aku belum menemukan apa hikmah di balik ini semua. Membuat mentalku dan Gisel menjadi lebih tangguh? Bisa jadi, namun rasanya belum sebanding dengan penderitaan yang kami alami. Mungkin kami harus sabar beberapa waktu lagi sebelum bisa menemukannya, walaupun sudah hampir empat tahun kami berada di kondisi seperti ini.
Kuletakkan kembali buku yang telah kubawa, mencoba terlelap dengan merenungkan segala kisah yang telah tertulis dalam hidupku. Masing-masing manusia punya kisah sendiri, aku punya sendiri, Kenji punya sendiri, Sica punya sendiri, Rika punya sendiri, bahkan Sarah pun aku yakin memiliki kisahnya sendiri. Untuk sekarang, aku hanya ingin memikirkan kisah hidupku sendiri, kisah seorang manusia yang bertahan hidup sendiri tanpa orang tua.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login