Hari demi hari berlalu, tak terasa kenaikan kelas sebentar lagi. Tentu hanya kami yang naik kelas, sedangkan kelas reguler masih membutuhkan setengah tahun lagi. Ritme belajar kami makin lama makin tinggi, ditambah kelas tambahan yang kami gagas sendiri sepulang sekolah.
Yuri yang menjadi inspirasi kegiatan ini mengalami kemajuan yang pesat. Daya tangkapnya tidak terlalu tinggi jika dibandingkan denganku, namun daya juangnya menutup kekurangan tersebut. Selama tidak ada pesanan makanan, ia akan selalu hadir dalam kegiatan yang tak bernama ini. Jika peserta hanya aku dan Kenji, maka kami memutuskan untuk pulang ke rumah dan mengajar Gisel lebih awal.
Mengapa aku dan Kenji terlihat begitu santai jika dibandingkan dengan teman-teman lain yang mengambil kursus sore sampai malam? Pertama, kami tipe orang yang lebih dapat menangkap pelajaran jika belajar sendiri. Kedua, kami merasa lebih enak berdiskusi dengan teman sebaya dibandingkan kepada guru yang lebih tua. Ketiga, belajar sendiri jauh lebih hemat.
Sudarwono bersaudara pernah meledek kami ‘kalau begitu ngapain kalian sekolah?’. Tentu kalimat tersebut diutarakan dengan konotasi bercanda, meskipun terselip kekesalan akan kepandaian kami. Tentu saja kami masih butuh sekolah, karena lingkungan sekolah tidak akan kami dapatkan di rumah. Selain itu, kami tidak bisa mencetak ijazah sendiri.
Dengan kepandaian seperti inilah, wajarlah jika aku menjadi sosok yang arogan akan kemampuan otakku. Arogansi yang akan semakin menjadi-jadi jika saja aku tidak bertemu dengan Kenji di kelas akselerasi ini. Ia bisa mengerem sifat buruk tersebut dengan cara menjadi lebih pandai dibandingkan denganku. Bedanya, ia tak pernah menyombongkan kepandaiannya. Selalu rendah hati dan tidak pernah merasa rugi membagi ilmu yang ia miliki. Ia memiliki bakat alami untuk menjadi seorang guru.
Tinggal beberapa pekan sebelum ujian kenaikan kelas. Seperti biasa, guru-guru akan memberikan ulangan harian sebagai pemanasan. Hampir semua pelajaran, termasuk matematika yang diumumkan oleh guru kami setelah materi terakhir selesai disampaikan.
“Ulangannya semua bab ya anak-anak, ibu kasih soal yang lebih susah dari biasanya, supaya kalian tidak kaget waktu mengerjakan soal ujian kenaikan.”
“Mungkin tidak kaget…”
“…tapi bikin kami kena serangan jantung!”
Sudarwono bersaudara bercoleteh demikian setelah bu Ratna keluar kelas. Yang lain pun tertawa gugup mendengar lelucon mereka. Selain aku dan Kenji, mereka berdua bisa dibilang paling santai. Sayangnya, santai mereka cenderung santainya pemalas. Mereka memiliki otak yang cerdas, yang terbukti dengan saling bertautnya kalimat mereka. Hanya saja, mereka belum bisa mengoptimalkan kecerdasan mereka.
Kenji tiba-tiba berdiri dari bangkunya dan berdiri di depan kelas. Nampaknya ia mempunyai suatu rencana untuk sesuatu yang belum aku ketahui.
“Teman-teman, kenaikan kelas sebentar lagi, artinya ada peluang beberapa di antara kita bisa turun ke kelas reguler.”
Begitu Kenji mengucapkan hal tersebut, beberapa teman langsung menundukkan kepala, seolah beban satu ton ditimpakan di atas kepala mereka. Mungkin saja, mereka merasa takut keluar dari kelas akselerasi ini. Padahal, menurutku, seandainya mereka turun pun bukan masalah, toh mereka masih bisa berprestasi di kelas reguler sana.
“Akan tetapi, sudah kewajiban kita bersama untuk saling membantu agar hal tersebut tidak terjadi. Sudah hampir delapan bulan kita bersama, kita telah menjadi keluarga. Aku yakin, dengan berjuang bersama-sama, kita akan bisa tetap bertahan di kelas akselerasi ini.”
Tepuk tangan bahagia langsung membanjiri kelas setelah Kenji menutup pidatonya. Sayang, kebahagiaan tersebut rusak ketika Sarah bangkit dari mejanya dengan sedikit gebrakan dan berdiri sambil mengacungkan jarinya.
“Hei cebol, gak usah sok jadi motivator! Gue bisa belajar sendiri, gak butuh bantuan kalian semua. Gue muak lama-lama, elu selalu ngomong hal-hal gak penting, tentang keluarga lah, tentang kebersamaan lah, cuih. Gue gak butuh itu dan gue minta loe tutup mulut!.”
Aku sudah bangkit dari bangkuku ketika sebuah tangan melayang, mendaratkan tamparan yang cukup untuk meninggalkan bekas. Sica bangkit dari bangkunya dengan air mata yang sudah menggenang, merasa tersakiti dengan ucapan Sarah barusan.
“Kamu boleh hina aku Sar, tapi kalau kamu hina temenku, aku enggak akan terima.”
“Emang loe sapanya dia heh? Sok sok belain. Loe nampar gue lagi, sini gue bales loe.”
Hampir saja terjadi perkelahian jika teman-teman yang lain tidak berusaha melerai mereka. Aku pun harus ditahan Juna dan Andra agar tidak mengamuk, ditambah Gita yang menutup mulutku agar suaraku tidak muncul dan memancing kecurigaan ke luar. Dengan kondisi seperti itu, aku masih bisa melihat Rena dan beberapa teman yang duduk di sisi kiri menahan Sica, sedangkan Sarah ditahan oleh Bejo dan Dea. Kenji hanya diam di depan kelas, nampak kebingungan mencari jalan keluar.
“Semuanya harap duduk ke kursinya masing-masing, aku belum selesai bicara.” kata Kenji sedikit lebih lantang dari biasanya. Senyum masih terukir di wajahnya, dan aku tau itu bukan senyum palsu. Setelah situasi mulai kondusif, termasuk Sica dan Sarah yang seolah tersihir dengan kata-katanya, Kenji mulai melanjutkan pidatonya.
“Ya, namanya juga keluarga, kadang ada perselisihan seperti tadi. Yang penting, pada akhirnya, kita akan saling memaafkan dan kembali menjadi satu keluarga lagi.”
“Lo budek ya, gue gak pernah nganggap kalian keluarga. Najis amat punya keluarga kere kayak kalian. Mau lo apa sih ceramah gak jelas kayak gini?” Sarah kembali melontarkan kalimat yang tak kalah menyayat hati.
“Sar! Kamu itu enggak punya hati ya, Kenji baik-baik ngomong kamu bales kayak gitu. Maumu apa Sar, diperhatiin temen satu kelas?”
Sarah sempat terdiam sejenak mendengar kalimat Sica yang terakhir, baru membalas kalimat Sarah.
“Diem loe cewek sok cantik, gak usah sok belain temen lo sekelas. Gue gak akan maafin loe seumur hidup gue karena udah nampar gue. Awas loe, gue bales lebih sakit dari ini.”
“Mau main fisik? Gimana kalau pakai otak, aku yakin kamu enggak akan berani Sar.” Sica balik meledek Sarah, aku yakin Sica mulai menyerah psikis Sarah.
“Ngehina loe ya, lihat aja ulangan matematika minggu depan, gue bakal dapet nilai lebih tinggi dari loe.”
“Oke, kalau kamu kalah, kamu harus minta maaf di depan kelas atas semua perbuatan dan perkataan yang kamu lakukan.”
“Dan kalau loe yang kalah, loe harus lari keliling lapangan sepuluh kali!”
Sica sempat terlihat shock sejenak waktu mendengarkan tantangan Sarah, namun ia segera menganggukkan kepala. Selama percakapan ini, tubuhku tetap di tahan Juna dan Andra. Mereka bagaikan penjaga yang harus menahan seekor monster agar tidak mengamuk dan menghancurkan kota.
“Tenanglah bung, aku tahu kamu sangat marah mendengar nenek lampir itu bicara. Tapi tenanglah, amarahmu enggak akan mengubah apapun, malah bikin masalah lebih runyam.” Andra berbisik kepadaku, berusaha meredakan amarahku. Dengan hembusan nafas dalam-dalam dan mengingat beberapa trik dari buku yang aku pinjam dari Kenji, aku bisa mengusai diriku kembali.
Lengang sejenak, hingga guru berikutnya tiba tanpa mengetahui apa yang barusan terjadi. Kenji yang masih berdiri di depan kelas, memberi salam dan kembali ke tempat duduknya. Kegaduhan kelas telah berakhir.
***
Sarah langsung pergi begitu saja ketika jam tambahan di sore hari telah selesai. Ia tak pernah dan tak akan tertarik untuk ikut belajar bersama kami, bersama teman-teman sekelasnya. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai teman, ia hanya kuanggap sebagai parasit yang hinggap untuk merusak induk semangnya.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak Le.” kata Kenji ketika hanya tinggal kami bertiga di kelas, aku, Kenji dan Yuri. Yang lain sudah sibuk dengan jadwal lesnya masing-masing.
“Tidak seperti biasanya, kau nampak bingung harus berbuat apa waktu pertengkaran tadi. Apa yang kau pikirkan?”
“Sebenarnya aku sedang mempertimbangkan berbagai kemungkinan apa saja yang harus kulakukan untuk menghentikan pertengkaran. Aku juga sedang menimbang bagaimana hasil dari upayaku tersebut. Ketika waktunya tepat aku langsung bertindak sesuai dengan pertimbanganku.”
“Maksudmu beberapa patah kata tersebut?” tanyaku dengan nada yang masih ngotot.
“Ya, kata-kata yang keluar sudah melalui banyak pertimbangan dalam hitungan yang cepat di pikiranku. Itu adalah kalimat yang paling bijaksana dari semua kalimat yang mungkin muncul.”
“Dan hasilnya?”
“Hasilnya aku mengetahui bahwa penyebab Sarah menjadi demikian adalah kata keluarga, sama sepertimu dulu.”
“Itu membuat ia makin marah, di mana letak kebijaksanaannya?”
“Makna bijaksana bukan berarti harus menghanyutkan segala amarah. Bijaksana digunakan untuk beberapa langkah ke depan, bukan hanya sekedar langkah yang akan kita ayunkan sekarang. Kamu sudah cukup lama mengetahuiku pola pikirku Le, apa kamu masih bingung ke mana aku akan mengarah?”
Aku merenungkan perkataan Kenji. Jika dirunut dari belakang, mungkin ia akan memperlakukan Sarah seperti ia memperlakukan diriku dulu. Mencari tahu akar penyebabnya, barulah dipikirkan solusi terbaik untuk menyabut akar tersebut. Artinya, ia harus siap babak belur, meskpun aku tidak yakin Sarah dapat menghajar Kenji seperti aku dulu.
“Apa kalian sudah selesai diskusinya? Kapan kita akan mulai belajar? Aku tahu ini masalah kelas, namun fokus kita sekarang adalah berhasil di ujian dan naik kelas.” Yuri menyela pembicaraan kami, melakukan protes karena proses belajar menjadi terganggu. Dengan tertawa, Kenji memulai pelajaran tambahannya sore ini.
***
Selain Kenji, Sica juga telah banyak beradu mulut dengan Sarah tadi siang. Bahkan, Sica menawarkan diri menjadi tameng kelas untuk menjaga harga diri kelas. Nilai taruhannya tidak seimbang, Sarah hanya perlu minta maaf, tanpa perlu kami tahu maaf tersebut tulus atau tidak. Sedangkan Sica, harus lari keliling lapangan sepuluh kali, meskipun itu hal yang kecil untukku. Mental versus fisik, terlalu tidak adil.
Daripada gelisah sendirian, kuputuskan untuk mengirimkan pesan singkat kepadanya.
- Sica, kau yakin dengan tawaran tantangan yang kau berikan kepada Sarah?
Setelah menunggu lima belas menit, barulah masuk pesan darinya.
- Yakin Le, tenang aja, aku pasti menang dari wanita sombong itu 😊
- Tapi taruhannya tidak seimbang lo Sic, yang satu cuma minta maaf, sedangkan kamu harus lari
- Ya, berarti aku hanya perlu menang kan? Kalau aku menang aku tidak perlu lari
Aku membaca pesannya dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi merasa khawatir, di sisi lain merasa bangga memiliki kawan sepemberani dan seoptimis Sica. Aku harap dapat meniru sikap optimis Sica.
Belum sempat membalas, Sica kembali mengirimiku pesan.
- Lagipula, meminta maaf bagi seorang yang angkuh itu sangat berat loh, kamu juga pasti merasa berat untuk minta maaf kan 😊 wkwkwk bercanda
- Baiklah Sica, semangat!
Ia membalasnya dengan icon smiley lagi. Sempat bimbang, akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan sesuatu kepada Sica. Pertanyaan yang selama ini sudah lama hingga di kepalaku, semenjak kami sering bertukar pesan singkat. Aku tidak ingin lagi dihantui oleh rasa penasaran tersebut, kuputuskan hari inilah akan kuketahui jawaban dari pertanyaan tersebut.
You must be logged in to post a comment Login