Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 35 Leon dan Sica, Babak Ketiga
Setelah bersiap diri dan mempersiapkan Gisel yang juga sangat antusias untuk mengunjungi “kakak cantik”, kami berdua berjalan menuju rumah sakit yang merawat Sica. Sebelum pulang sekolah tadi, aku sudah bertanya kepada Gita di mana rumah sakitnya dan bagaimana caranya ke sana. Gita berkata kami hanya perlu naik angkutan umum sekitar 5 menit, lalu bilang supirnya berhenti di rumah sakit Lawang. Perlu diketahui, ini adalah pertama kalinya aku, dan mungkin Gisel, naik kendaraan umum yang disingkat angkot ini.
Melalui terowongan kecil tadi, kami sudah berada di pinggir jalan raya. Aku perhatikan orang-orang yang nampaknya juga menunggu kendaraan ini. Setelah dari jarak 100 meter terlihat ada kendaraan butut berwarna hijau, beberapa dari mereka melambai-lambaikan tangan ke depan. Mungkin itu caranya mencegat angkot ini.
Setelah berhenti, kami pun turut masuk ke dalam kendaraan hijau ini. Ternyata, di dalam angkot kami akan duduk dengan saling berhadap-hadapan. Selain itu, terasa sekali sempitnya jika penumpang penuh. Angkot yang kunaiki ini sudah terisi tujuh orang belum termasuk diriku, sehingga aku duduk dengan posisi memangku Gisel dan menghadap belakang.
“Adiknya kelas berapa nak?” salah satu ibu-ibu yang duduk di sebelah kiriku bertanya, dan aku pun bingung bagaimana menjawabnya. Melihat aku tidak segera menjawab, Gisel mengambil inisiatif.
“Gisel belum sekolah bu, Gisel dulu ditolak sama pihak sekolah.”
Seketika, sorot mata itu muncul lagi, sorot mata yang kubenci. Sorot mata yang meremehkan, sorot mata yang menusuk, sorot mata yang menghina. Meskpiun hanya dalam sekejap mereka ganti dengan senyum manis palsu yang mengeluarkan suara-suara penghiburan, aku tidak akan melupakan sorot-sorot memuakkan itu. Aku yakin, ketika kami nanti turun dari angkot, mereka akan membicarakan keburukan ini. Dasar munafik.
Aku terlalu sibuk dengan kebencian terhadap sorot mata itu, hingga aku lupa bilang ke supir di mana akan berhenti.
“Rumah sakit Lawang pak.” kataku dengan menoleh sedikit ke supir.
“Lah, wes lewat le. Berhenti di depan ya, nanti naik angkutan yang ke arah sebaliknya.”
Sial, gara-gara para ibu-ibu ini, aku jadi rugi sekian rupiah.
***
Setelah naik angkot lagi dan tidak lupa menyampaikan tujuan ketika duduk, akhirnya aku sampai ke tujuan. Rumah sakit yang bagus, aku suka dengan desainnya, mungkin mahal jika ingin berobat disini. Kutanya kepada security yang sedang bertugas di pos satpam, di mana jika aku ingin bertanya tentang ruangan pasien. Ia menjawab langsung saja masuk ke dalam, tanya ke resepsionis. Maka masuklah aku ke dalam rumah sakit.
Aku merasa sedikit dejavu ketika berdiri di depan rumah sakit ini, dan dejavu tersebut semakin terasa ketika aku memasuki lobi. Aku merasa sangat yakin, bahwa aku pernah mengunjungi rumah sakit ini, namun aku tidak ingat kapan dan mengapa. Gisel menarik-narik tanganku agar tidak bengong di depan pintu lobi.
Kudapatkan informasi dimana Sica dirawat, di ruang Sakura 2. Nama yang indah untuk sebuah kamar rumah sakit. Setelah tanya kesana kemari, akhirnya kutemukan juga. Dengan mengetuk pintu, aku masuk ke dalam Sakura 2.
Kamar ini ternyata tidak hanya berisikan Sica, karena terdapat 4 ranjang, dimana dua di sisi kananku dan dua di sisi kiriku. Kutengok satu persatu untuk mencari Sica, dan ternyata ia ada di ranjang kedua di sisi kanan.
Sica tidak sendirian, ia ditemani oleh seorang ibu yang seolah-seolah beliau adalah Sica dari masa depan. Ternyata kecantikan Sica menurun dari ibunya. Dan yang lebih membahagiakan lagi, Sica sudah sadar. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia tersenyum lemah memandangku. Entah kelihatan atau tidak, aku merasa bergetar begitu kencangnya seolah-olah sedang berdiri diatas alat pijat refleksi. Aku tidak tahu mengapa aku bergetar demikian kencangnya, antara senang melihat senyumnya atau karena sedih melihat kondisi Sica yang menyedihkan.
Ibunda Sica yang turut sadar akan kehadiranku langsung berdiri mengulurkan tangannya. Sebagai anak yang sedang berusaha untuk sopan, aku meraih tangannya dan melakukan salim, begitu pula Gisel. Setelah perkenalan singkat, kami pun mulai bercakap-cakap.
“Mulai lahir, Sica memang ada sedikit kelainan di paru-parunya. Karena itu pula, ia memiliki asma, dan apabila ia terlalu menguras tenaga, ia bisa batuk berdarah dan kehilangan kesadaran. Ibu langsung panik begitu mendengar kabar dari sekolah, untung saja sekolah bertindak cepat dengan membawanya ke UGD. Dulu sebelum ini Sica juga pernah pingsan sewaktu menjadi panitia di SMPnya dulu.”
“Tapi sekarang Sica sudah tidak apa-apa kan bu?”
“Puji Tuhan sudah baikan, kemarin malam sudah sadar. Sekarang cuma butuh istirahat saja sebelum kembali bersekolah.”
“Tapi kak Sica meskipun sakit tetep cantik kok tante.” Gisel dengan polosnya ikut dalam pembicaraan. Kami pun hanya tertawa kecil mendengar Gisel. Kulirik Sica, ia juga sedang tersenyum. Sayangnya, itu adalah senyum yang mengandung kepedihan.
Tiba-tiba terdengar dering handphone berbunyi, yang ternyata berasal dari handphone milik ibunda Sica. Dengan permisi, ia bangkit untuk mengangkat telepon, meninggalkan kami bertiga. Aku memutuskan duduk di kursi tadi untuk bercakap dengan Sica.
“Hai Sica, gimana keadaanmu?”
Dengan suara lirih, Sica mencoba menjawab sebisanya.
“Baik Le, cuma butuh istirahat aja.”
“Kemarin anak-anak kesini, tapi sayangnya kau masih belum sadarkan diri.”
“Oh iya? Sayang sekali. Apa kamu juga ke sini kemarin Le?”
“Tidak Sica, aku tidak ikut.”
“Mana Kenji? Biasanya kalian selalu berdua.”
Aku terdiam mendengarkan pertanyaan Sica. Apakah aku harus menutup-nutupi hilangnya Kenji, atau jujur apa adanya? Akhirnya, hatiku memilih untuk berkata jujur karena yakin Sica kuat untuk menghadapi kenyataan.
“Sebenarnya, Kenji menghilang sejak kau pingsan Sica. Begitupula Sarah. Kami satu kelas sudah berusaha mengumpulkan informasi, namun hasilnya masih nihil.”
Sica memandangku dengan tatapan paling merana yang pernah kulihat darinya. Aku tidak sanggup untuk menerima tatapan itu, maka kupalingkan mukaku ke Gisel. Gisel membalas tatapanku dengan wajah simpati.
“Sarah pasti merasa bersalah ya Le.” Sica berusaha berbicara agar aku menatap wajahnya kembali.
“Buat apa kau pedulikan perempuan itu. Ia yang menyebabkan dirimu seperti ini.”
“Kamu salah Le. Aku begini karena aku sendiri, karena kesalahanku sendiri. Aku berusaha melindungi harga diri kelas dengan menerima tantangannya, lalu kalah dengan memalukan hanya karena aku kelewat khawatir. Artinya aku kalah karena kekhawatiranku sendiri. Aku minta maaf Le.”
Sica mulai tersedu, air matanya yang bening mengalir melewati pipi indahnya. Gisel yang tersentuh melihat keadaan ini, memegang tangan Sica dan mengusap-ngusapnya.
“Kakak cantik jangan sedih ya, meskipun kakak tetap cantik ketika sedih.” hibur Gisel.
Sica tertawa kecil mendengar Gisel, ganti mengelus tangan Gisel. Aku, laki-laki yang berhati baja ini hampir saja larut terbawa emosi. Sayang, aku gengsi untuk ikut menumpahkan air mata.
“Kau tidak perlu minta maaf Sica. Tidak ada yang salah. Menurut analisa Juna, Kenji sedang mengejar Sarah untuk menyadarkannya.” aku bersuara untuk menghilangkan perasaan sendu di dalam jiwa.
“Juna?” Sica keheranan, tetap dalam keadaan berlinang air mata.
“Iya, aku secara tidak sengaja menemukan cara untuk berkomunikasi dengannya. Dan ternyata, aku sadar bahwa ia anak yang cerdas, pantas saja ia bisa mendapat nilai setinggi itu.”
“Jangan bicara nilai dulu Le, aku masih trauma, hehehe.” Sica sudah mulai kembali ceria.
“Oh maaf Sica.” kataku sembari menoleh ke arah meja disamping ranjang. Di saat itulah aku tersadar ketika melihat berbagai bunga dan roti serta susu yang tersedia di meja. Aku kemari tanpa membawa apa-apa!
“Ah Sica, aku lupa tidak membelikan apapun untukmu. Aku minta maaf.” kataku sambil menundukkan kepala karena malu.
“Tidak apa-apa kok Le, ini juga sudah terlampau banyak, nanti justru tidak termakan. Mama cerita kalau yang besar itu dari teman-teman sekelas, jadi anggap aja kamu termasuk di bingkisan itu.”
Itulah Sica yang kukenal, Sica yang sangat baik, yang sangat mempedulikan perasaan temannya. Aku jadi semakin heran, mengapa ia tidak memiliki teman perempuan yang dekat dengannya di kelas.
“Sica, siapa teman terdekatmu di kelas?”
“Kenapa kamu tanya itu Le?”
“Karena…karena aku jarang melihatmu berkumpul dengan teman-teman wanita yang lain.”
“Ternyata kamu diam-diam memperhatikan diriku ya Le.”
Pasti, aku yakin, pipiku berubah menjadi semerah bunga mawar yang sedang mekar-mekarnya. Pernyataan blak-blakan dari Sica benar-benar tepat sasaran. Aku sampai tidak bisa menjawab apa-apa.
“Bisa dibilang, mungkin kamu Le teman terdekatku di kelas. Entah mengapa, aku sangat susah untuk bergaul dengan teman-teman perempuan. Bukan berarti kami saling membenci, aku pun sampai sekarang belum bisa menemukan alasannya.”
Bisa jadi mukaku meledak karena tingkat kemerahan yang berlebihan. Hanya saja karena dalam ilmu biologi tidak ada hal yang bisa menjelaskan mengapa wajah bisa meledak karena malu, hal itu tidak akan terjadi. Aku tidak boleh terlihat seperti orang yang tersipu, aku harus berbicara.
“Merupakan sebuah kehormatan bila aku kamu anggap sebagai teman terdekatmu.”
“Tumben Le kamu memanggil orang lain dengan kamu?”
Sekali lagi Sica membuatku terdiam. Aku yang selalu menggunakan kau untuk memanggil orang lain, entah mengapa tiba-tiba terselip menjadi kamu. Salah tingkahlah aku dibuatnya.
“Aku juga sering memperhatikanmu kok Le.”
Setelah Sica berkata demikian, ia membuang muka ke sisi lainnya. Mungkin aku salah, tapi aku yakin ia merasa malu setelah berkata demikian. Aku diperhatikan Sica? Rasanya ingin aku lompat dari jendela rumah sakit ini untuk melampiaskan kesenangan yang kurasakan. Untuk aku ingat, kamar Sica ini berada di lantai satu, percuma saja melopat. Aku hanya akan berakhir diantara semak-semak berduri.
“Ini imajinasinya Gisel aja, atau memang di ruangan ini sedang ada banyak sekali bentuk hati yang melayang diantara kakak sama kakak cantik?”
Responku adalah langsung menutup Gisel dengan tanganku, sementara Sica tertawa dengan terkikik hingga terbatuk-batuk. Aku segera mengambilkan segelas air yang ada di dalam meja, dan membantunya untuk meminum air tersebut.
“Terima kasih Le, adikmu benar-benar menggemaskan.”
“Gisel kalau ngomong memang sering tidak dipikir terlebih dahulu.”
“Ih kakak, Gisel kan cuma ngomong apa adanya.”
Aku tatap Gisel dengan tatapan yang mengisyaratkan “diamlah”. Gisel membalas dengan tatapan “emang takut”. Kubalas lagi dengan tatapan “lihat saja nanti di rumah”. Berhasil, Gisel berhenti menatap diriku dan menjadi lebih tenang.
“Kalian berdua lucu ya, sayang aku anak tunggal, jadi tidak tahu rasanya memiliki saudara.” Sica memberi komentarnya setelah melihat adu tatap kami.
“Gisel mau kok jadi adiknya kakak cantik.”
“Kakak juga mau jadi kakaknya adik cantik.” Sica membalas pernyataan Gisel.
“Kalau kakak mau enggak jadi, emmm, apanya kak Sica ya.” Gisel bertanya kepada dirinya sendiri.
Namun kalimat polos itu berhasil membuatku dan Sica kembali bertatap mata, kali ini tatapan yang, apa ya, yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Mata hitamnya begitu jernih, menunjukkan kecerdasan di baliknya, garis senyumnya menunjukkan kebaikan di dalam hatinya. Aku merasa berada di dalam ruang waktu yang berjalan dengan lambatnya, seolah jauh dari gravitasi. Kami saling berpandangan, hingga aku mengeluarkan kata-kata yang cukup membuatku bunuh diri karena malu.
“Kakak ingin menjadi orang yang selalu berada di samping Sica untuk selamanya.”
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login