Ternyata tanpa kusadari karena kekacauan dalam alam pikirku, kemarin malam setelah pulang sekolah teman-teman sudah mengunjungi Sica. Sayangnya Sica masih belum sadar ketika mereka berkunjung. Mereka, melalui Gita, memberitahuku kalau Kenji tidak bersama mereka, begitupula Sarah. Mereka berdua juga tidak hadir di kelas hari ini, sehingga total yang tidak masuk ada 3 orang, Terasa lengang kelas hari ini.
Ketika jam istirahat, kami semua berkumpul untuk membahas ke mana perginya Kenji. Kami tidak begitu mempedulikan kepergian Sarah, kalau perlu kembali saja sana ke Jakarta.
“Apa jangan-jangan Sarah menculik Kenji untuk dijadikan sandera?” Andra membuka percakapan kami.
“Tidak mungkin Ndra, apa alasannya?” sanggah Bejo dengan mengibas-ngibaskan tangannya. Selain Bejo yang memilih untuk berdiri –seolah ingin menunjukkan dia pemimpin forum–, yang lain sedang dalam posisi duduk melingkar.
“Mungkin saja ia merasa takut karena membuat Sica masuk rumah sakit.” saudara kembar Andra, Andrea, menambahi.
“Lalu ia merasa membutuhkan seorang sandera agar bisa lepas dari ancaman pidana.” tambah Andra lagi.
“Itu terlalu berlebihan, kalian terlalu banyak menonton film.” Gita juga mengeluarkan ketidakpercayaannya.
“Lalu, apa kamu punya teori yang lebih baik nona?” Andra bertanya dengan sedikit menyondongkan badan.
“Mungkin, Kenji ada suatu urusan mendadak.” jawab Gita, sangat kentara ketidakyakinannya.
“Jawabanmu…”
“…sama sekali…”
“…tidak meyakinkan kami.”
Sudah lama tidak kudengar saudara kembar ini bersaut-sautan seperti ini. Aku pun tersenyum mendengar hal tersebut. Namun memang benar, kami sama sekali tidak memiliki petunjuk ke mana dan mengapa Kenji tiba-tiba menghilang. Kenji bukanlah tipe orang yang suka keluyuran, yang berpergian tanpa tujuan, apalagi sampai tidak masuk sekolah. Aku cenderung setuju dengan ide Sudarwono bersaudara, terlebih lagi Kenji bukan termasuk anak yang berbadan kuat, bisa saja ia kalah bertarung dengan Sarah. Namun tetap hal tersebut susah untuk dipercaya.
Ketika aku sibuk dengan pikiranku sendiri, yang lain sedang berdiskusi satu sama lain. Aku melihat sekitar, dan menangkap Juna sedang terdiam. Nampaknya, ia agak kesulitan menangkap diskusi ini yang berlangsung dengan cepatnya. Karena merasa iba, aku mengangkat telapak tanganku dan mencoba memancing opini dari Juna.
“Juna, apakah kau punya teori kemana perginya Kenji?”
Ia memandang ke telapak tanganku, terdiam selama tiga, bukan, empat, lima detik, lalu mulai berbicara.
“Dengan melihat sifat Kenji yang seperti itu, kemungkinan ia melihat Sarah berusaha lari ketika keributan terjadi, lalu memutuskan untuk mengejarnya. Bukan untuk meminta pertanggungjawaban, melainkan untuk membantu Sarah melepas rasa bersalahnya. Menurut analisaku, Kenji memanfaatkan momen ini untuk menyadarkan Sarah.”
Kami semua terdiam selama tiga detik, bukan, tiga menit setelah mendengar pernyataan Juna. Bukan karena hipotesa mendalamnya, melainkan lancarnya jawaban yang dikemukakan. Ve yang pertama kali memberi respon.
“Bagaimana kamu bisa berpendapat seperti itu?”
Tiga detik berlalu.
“Pendapat?”
Aku merasa mendapatkan ilham bagaimana bisa berkomunikasi dengan Juna. Sama seperti sebelumnya, aku mengangkat kelima jariku sebelum bertanya.
“Bagaimana kau bisa berpendapat seperti itu?”
Mungkin karena tersugesti menghitung kelima jariku, maka lima detik kemudian ia menjawab lagi dengan lancar.
“Kalian kenal watak Kenji bukan, ia tipe yang akan mengorbankan dirinya untuk kepentingan bersama. Ia selalu berusaha menyelesaikan permasalahan di kelas ini sendirian hanya karena tidak ingin merepotkan kalian.”
Kami mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Juna yang terdengar sangat logis. Aku merasa malu, bukankah selama ini aku yang sering berinteraksi dengan Kenji? Mengapa justru Juna yang lebih memahami Kenji? Mungkin karena sikap acuh yang kumiliki.
Selain itu tanpa sengaja, aku berhasil menemukan metode untuk berbicara dengan Juna. Aku tidak tau mengapa terdapat perbedaan yang begitu besar dalam dua detik, mungkin ada trauma atau hal lain. Aku bukan seorang psikolog, tapi mungkin Kenji bisa menemukan jawabannya. Hingga bel yang menandakan istirahat berakhir, kami sepakat bahwa hipotesis Juna adalah yang paling mendekati kebenaran terkait keberadaan Kenji.
***
Sepulang sekolah, kami mencari informasi terkait tempat tinggal Sarah. Tidak ada satupun dari kami yang mengetahui di mana ia tinggal, karena memang tidak ada yang peduli dengan iblis betina itu. Kesombongan dan keangkuhannya itulah yang menjadi momoknya, dan itu diperparah dengan ketidakpedulian kami. Bingung tidak menemukan informasi, kami mencoba untuk bertanya kepada wali kelas kami, bu Rima alias guru olahraga kami yang galak itu. Bejo dan Gita, sebagai ketua kelas dan sekretaris 2 (aku baru tahu bahwa Sica adalah sekretaris 1 dan Gita sekretaris 2, sedangkan Sudarwono bersaudara menjadi bendahara), menjadi perwakilan kami. Kebetulan sekali, rumah Bu Rima tepat berada di seberang sekolah kami sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk berkunjung ke rumah beliau. Sekitar 15 menit, mereka berdua kembali dengan membawa hasil.
“Ternyata Sarah tinggal di Singosari, di salah satu perumahan elit yang lumayan jauh.” Gita menjabarkan hasil investigasinya.
“Permasalahannya, tidak ada satu di antara kita yang memiliki SIM, dan tidak ada angkutan umum yang bisa mencapai rumahnya.” Bejo menambahkan.
“Aku tidak keberatan menyetir motorku kesana.” Andra mengangkat tangan memberi usul.
“Tidak Andra, kamu tidak punya SIM, aku tidak ingin mengambil resiko.” Bejo menolak usul Andra tersebut.
“Ayolah bung, ini keadaan darurot.” Andra menyanggah dengan dibumbui humor.
Bejo terdiam sesaat, lalu memutuskan untuk mempersilahkan Andra mengecek rumah Sarah dengan syarat, jika besok mereka berdua masih tidak hadir di kelas ini. Dengan sedikit menggerutu, Andra mematuhi perintah Bejo. Aku menjadi heran, mengapa Bejo begitu terlihat berwibawa diantara teman-teman meskipun aku tidak merasakannya. Aku tidak pernah merasa segan dengannya, mungkin karena watakku yang keras saja.
Rapat ditutup, kami pulang ke rumah masing-masing. Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Kenji terlebih dahulu.
***
Kenji tetap tidak ada di rumahnya. Ketika akan beranjak pulang, aku bertemu lagi dengan nenek tua berambut afro. Aku menanyakan kepada beliau, mungkin ia tahu di mana Kenji berada. Sayangnya, ia juga tidak tahu dimana Kenji. Lalu terbesit di benakku mengenai agen koran di mana Kenji bekerja. Sang nenek memberitahuku dengan begitu detailnya, sehingga aku dapat menemukan agen koran tersebut.
Agen koran Kenji ternyata berada di pinggir jalan raya, dan kita perlu melewati terowongan kecil -karena ada jalur kereta di atasnya- untuk ke sana. Kantor agen ini lumayan besar, mungkin yang terbesar, aku kurang tahu karena aku sangat jarang sekali berkeliling bahkan di kelurahanku sendiri. Yang pasti, Kenji bekerja di sini.
Setelah bertanya kepada sales yang berjualan di tempat, aku dipersilahkan masuk ke dalam kantor dan diminta untuk menunggu sebentar. 5 menit kemudian, keluarlah pak Sholeh, pemilik dari agen koran Miki Mos (kelak aku akan bertanya kepada Kenji apa alasan loper koran sebesar ini memiliki nama selucu itu). Setelah perkenalan dan basa-basi sesaat untuk memberi tahu bahwa aku teman sekelas Kenji, aku mulai mengajukan pertanyaan.
“Wah iya, kebetulan saya juga berencana mengunjungi rumahnya. Tumben sekali hari ini ia tidak datang untuk mengambil korannya. Saya sampai turun sendiri ke lapangan untuk mengantarkan koran-koran karena saya takut jika diserahkan orang lain, koran tersebut tidak sampai ke pemilik. Padahal, ini kan amanah.”
Nampaknya bosnya Kenji ini sangat suka sekali berbicara.
“Lalu apa bapak tidak mendapatkan informasi apapun mengenai dia? Karena dia juga tidak masuk kelas hari ini, bahkan ia mulai menghilang kemarin setelah jam olahraga.”
“Wah bapak tidak tahu dek, bapak tahu aja baru pagi ini. Bulan-bulan sebelumnya belum pernah Kenji melalaikan kewajibannya seperti ini. Ia selalu tepat waktu, bahkan terlalu tepat waktu. Ia bekerja disini semenjak insiden kecelakaan itu kan? Karena itu saya memberinya pekerjaan ini karena saya berharap ia bisa mandiri, toh ini bukan pekerjaan yang susah untuk anak yang baru lulus SMP. Kenji itu ya dek saya kasih tahu, dia itu…”
Aku yang tidak sabaran ini berusaha menahan sabar dengan sangat teramat. Ia bercerita bagaimana gigihnya Kenji, lalu berlanjut ke gigihannya sendiri merintis dari nol usaha ini, lalu bercerita tentang keluarganya hingga bercerita anaknya yang baru masuk sekolah dasar. Sangat sulit mencari celah untuk menyetop pembicaraannya.
Ketika momen itu tiba, aku segera mengajukan permohonan pamit dengan alasan adik saya tidak ada temannya di rumah. Sayangnya, justru ini membuka percakapan yang baru. Ia mulai mengorek kehidupanku, tentang keluargaku. Dengan sopan aku menolak untuk menjawab dengan alasan terburu-buru, karena aku takut ia akan heboh begitu tahu ibuku meninggal gantung diri dengan ayah yang tidak bertanggungjawab. Percobaan kedua, aku berhasil mengeluarkan diri dari kantor tersebut dengan tetap berusaha sesopan mungkin.
Meskipun aku sama sekali tidak mendapatkan informasi mengenai hilangnya Kenji, aku jadi mengetahui tempat Kenji bekerja, dan membayangkan bagaimana keseharian Kenji dalam melaksanakan pekerjaannya. Mungkin suatu saat aku akan menawarkan diri untuk menemaninya. Sekarang aku akan pulang, bersiap-siap, lalu mengunjungi Sica di rumah sakit, walau di dalam hati masih terdengar gema pertanyaan “di mana Kenji berada?”.
You must be logged in to post a comment Login