Aku hampir saja memutuskan untuk membolos hari ini jika teringat dengan kejadian kemarin. Betapa bisanya aku mengatakan hal tersebut dengan tenangnya. Sica pun hanya bisa diam membeku, seolah ada yang menembakkan pistol pembeku. Untung saja mama Sica sudah selesai dengan teleponnya dan kembali ke dalam ruangan, menyelematkan mukaku dari tatapan Sica. Dengan alasan Gisel ada jadwal les, aku berpamitan dengan mama Sica, dan agak canggung mengucapkan selamat tinggal ke Sica. Sica masih berada dalam posisi membeku, hanya bisa mengangguk-angguk pelan. Dengan memegang tangan Gisel, aku melangkah keluar rumah sakit.
Selama perjalanan hingga masuk ke dalam rumah, Gisel menghujaniku dengan pertanyaan “kakak suka kakak cantik ya?” hingga akhirnya aku memutuskan untuk masuk kamarku dan menguncinya dari dalam. Tidak kuhiraukan ketukan Gisel, bahkan untuk menawarkan makan malam. Aku memutuskan untuk tidur, melupakan apa yang telah terjadi, dan gagal total, karena aku tetap terpikirkan perkataanku kemarin.
Lalu aku ingat, tidak ada satupun di kelas yang tahu kejadian kemarin. Tentu tidak mungkin Sica sudah kembali masuk ke sekolah, mengingat kemarin kondisinya masih payah. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk bersiap ke sekolah. Sebelum berangkat, aku melihat ada makanan kemarin malam. Karena kemarin aku tidak makan seharian, aku memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu.
***
Begitu aku memasuki kelas, terlihat semua temanku memancarkan aura sendu karena bangku Kenji masih terlihat kosong. Padahal, biasanya Kenji selalu menjadi yang pertama datang. Kenji memang berharga buat kami. Bagi kami dia adalah dinamo kelas kami, penggerak mesin berpikir kelas kami. Kata-katanya selalu menyihir kami agar terus dan terus berjuang meraih nilai dan prestasi tertinggi. Karena itu tidaklah salah jika kami mengalami kehilangan yang sangat besar.
“Hai Le, sudah kamu temukan petunjuk tentang Kenji?” kata Pierre tiba-tiba. Padahal selama ini dia terkenal tidak mempedulikan hal lain selain gawainya. Ternyata dia bisa juga peduli dengan kawannya.
“Belum Pierre, aku sudah berusaha mencari informasi ke agen koran tempat Kenji bekerja. Mereka juga tidak tahu dimana ia sekarang.”
“Padahal baru satu hari tak berjumpa, namun rasanya seperti satu tahun.”gumam Andra dan Andrea bersamaan. Seperti biasa, mereka selalu berkata dengan menggunakan majas hiperbola.
Kuperhatikan wajah seluruh kelas, semua memasang raut muka yang sama, raut muka kebingungan, raut muka kehilangan. Aku memutuskan untuk duduk di tempatku agar tidak dapat melihat pemandangan tersebut.
“Bung, berarti aku harus ke rumah Sarah siang nanti.” Andra memohon restu ke kepala suku.
“Silahkan Andra, kita sudah membuat kesepakatan.”
Lalu hening kembali datang kembali.
“Wah wah, baru sehari aku tidak masuk, kenapa satu kelas menjadi begitu murung?” terdengar sebuah suara dari arah pintu. Suara yang sangat kukenal, tak salah lagi, ini suara Kenji! Secara spontan kami langsung menghampiri Kenji dan berebutan untuk memeluknya (maksudku hanya anak laki-laki, perempuan hanya berani melihat, tak berani memeluk). Dia terlihat senang sekali menerima perlakuan seperti itu dari teman-temannya. Namun ia segera meminta untuk dilepaskan dari pelukan-pelukan itu.
“Maaf maaf, bukannya aku menolak untuk di peluk kalian, tapi lihatlah, badanku penuh dengan luka.” Kata Kenji memohon.
Aku baru menyadari hal tersebut, begitu pula dengan teman-teman lain. Mukanya memar, bekas terkena pukulan. Di tangan kanannya terdapat perban yang mengelilinginya. Raut ceria kami berangsur-angsur menjadi kecemasan. Semua terdiam karena telat menyadari hal ini. Melihat semua terdiam, Kenji mulai membuka mulut.
“Waktu kejadian Sica pingsan, aku keluar sekolah sebentar untuk mencari bantuan, namun sayang aku ditabrak sepeda motor dari arah belakang. Begitu menabrak diriku, pengemudinya langsung kabur dan memacu kendaraannya cepat sekali, meninggalkan aku begitu saja dengan luka-luka ini. Untung waktu itu ada Sarah, dan dia langsung membawaku ke rumah sakit.”
“SARAH??!!”teriak kami semua tak percaya akan omongan Kenji barusan. Mungkin kami salah dengar.
“Iya, Sarah teman kita. Itu anaknya.” kata Kenji sambil menunjuk ke arah pintu. Dengan wajah dinaungi ketakutan, ia memberanikan diri untuk memasuki kelas.
“Aaa . . assalamualaikum.”gumamnya tergagap. Tak ada satupun dari kami yang menjawab salamnya, entah karena masih merasa kesal akan sikapnya atau karena kaget melihat dia mengucap salam kepada kami semua. Hanya Kenji yang bisa menjawab salamnya. Lalu dengan cepat Kenji merespon keheranan kami dengan berkata, “Hei kalian ini kenapa semua? Ada orang memberi salam kok tidak dijawab, cepat dijawab.”
“Wa . . wa`alaikum salam.”jawab kami tak kalah gagap dari Sarah.
***
Suasana kelas hari ini begitu aneh, kaku dan dingin. Awkward. Meskipun Kenji berusaha mencairkan suasana kelas, namun tetap saja kami semua tetap merasa ada yang aneh di kelas ini. Apa lagi kalau bukan karena Sarah. Kelakuannya tadi pagi dibandingkan kemarin berbeda lima ratus delapan puluh derajat, karena jauh jauh jauh berbeda. Mulai dari ucapannya, meskipun hanya satu kata, kemudian sikapnya yang tiba-tiba menjadi santun, sampai acara berdiam diri di kelas. Padahal biasanya dia sering bersuara keras untuk mendapatkan perhatian. Tipe orang seperti ini adalah tipe orang yang paling kubenci. Itulah salah satu alasanku, bahkan kami, tidak menyukainya.
Kejutan Sarah belum berakhir. Setelah Pak Atmaji, guru kesenian keluar kelas, dengan segera ia berdiri di depan kelas dan mulai mengatakan sesuatu.
“Maaf teman-teman, saya minta waktunya sebentar.” telingaku berdiri mendengarkan Sarah mengatakan ‘saya’ bukan ‘gue’.
“Ada apa?” tanya Andra dan Andrea bersamaan dengan nada agak tinggi.
“Sa . . saya mau meminta maaf untuk perilaku saya selama ini. Saya sadar kalau saya salah, dan saya berjanji akan mengubah sikap saya ini. Sekali lagi saya minta maaf.” Sarah mengakhiri diplomasinya dengan menundukkan badannya hingga sembilan peluh derajat.
Semua anak terperangah melihat kejadian yang langka ini. Tidak ada satu pun anak yang menanggapi permintaan maafnya, apalagi Sica masih dirawat dirumah sakit. Sarah masih belum bangkit dari posisi menduduknya, tapi entah mengapa hati kami tidak tergerak sama sekali. Melihat situasi seperti ini, Kenji mengambil inisiatif untuk berdiri dan menemani Sarah.
“Teman-teman, aku percaya bahwa semua agama mengajarkan untuk saling memaafkan apabila kita melakukan kesalahan. Sarah telah menyadari apa yang dilakukannya selama ini salah, dan ia berjanji akan berubah. Aku mohon teman-teman bisa memaafkan Sarah.”
Kami tetap terdiam, walaupun Kenji yang bersuara. Mungkin beberapa dari kami mulai merasa kasihan melihat Sarah yang menunduk terus menerus. Aku yang begitu benci dengan perempuan satu ini pun merasa iba, karena aku bisa merasakan aura bersalah yang sangat besar dari dirinya. Tetap saja, aku belum bisa memaafkannya secepat ini.
“Sarah juga akan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi dengan Sica. Ia berjanji akan menanggung semua biaya rumah sakit. Karena itu, aku mohon maafkan lah Sarah.”
Kali ini Kenji turut menundukkan tubuhnya. Beberapa terlihat sudah akan bersuara, namun tidak ada satupun yang mulai mengeluarkan suara. Biasanya Sica lah yang mengusai keadaan seperti ini, namun karena ia tidak ada di kelas, tidak ada yang berinisiatif untuk bersuara terlebih dahulu.
“Kalau kalian tidak memaafkan aku tidak apa-apa,” Sarah melanjutkan permintaan maafnya, ”tapi aku mohon biarkan aku tetap berada di kelas ini, biarkan aku membayar semua kesalahanku selama ini. Aku tidak mempersalahkan kalian tidak menganggap aku ada, tapi aku mohon diberi kesempatan.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Sarah terduduk di lantai dan menangis dengan terisak. Akhirnya, Ve yang duduknya di belakang Kenji, berdiri dan menghampiri Sarah, lalu memeluknya. Satu per satu, teman-teman perempuan ikut maju menghampiri Sarah. Semua saling berpelukan dalam suasana haru. Sekilas aku bisa melihat untuk pertama kali Sarah tersenyum.
Sayangnya, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang ganjil. Aku merasa cerita Kenji tadi terlalu dibuat-buat, seperti ada yang ditutup-tutupi. Aku melirik kearahnya, aneh, ia tersenyum penuh kemenangan. Kemenangan apa yang telah diraihnya? Tampaknya aku harus menginterogasi Kenji untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.
***
“Sudah kubilang tadi pagi kan Le? Aku habis kecelakaan, dan Sarah monolongku. Apa ada yang kurang jelas?” jawab Kenji begitu aku menginterogasinya di rumahnya sendiri.
“Aku merasa ada yang aneh Kenji, tak bisa kupercaya sepenuhnya omonganmu. Pasti kau dianiaya Sarah, iya kan?” kataku terus menginterogasi Kenji.
“Astaga, kamu ini memang luar biasa keras kepala. Beri aku satu bukti bahwa aku telah mendapat siksaan dari Kenji.” jawabnya tenang.
Aku memang tidak memiliki bukti apa-apa tentang pendapatku ini. Hanya perasaan, dan perasaan itu dengan keras menolak jawaban Kenji. Aku berusaha berpikir keras untuk mendapatkan bukti. Kupejamkan mata, dan mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang ada sangkut pautnya dengan ini. Sayangnya, tidak ketemukan satupun kejadian yang bisa membuktikan Kenji berbohong.
“Aku tidak bohong Le.” kini justru matanya berputar-putar. Dari reaksinya sudah jelas, dia telah berbohong. Aku kecewa berat, dan segera berdiri dari tempat dudukku.
“Sudahlah jika kau memang tak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya. Aku paling benci dengan seorang pembohong. Selamat sore.” aku segera berjalan mendekati pintu, namun tangan Kenji menahan tanganku agar aku tak pergi.
“Baiklah Le, aku akan bercerita yang sebenarnya. Aku memang tak pandai berbohong, jadi wajar kamu menyadari kebohonganku. Duduklah dan aku akan ceritakan semua dengan sejujur-jujurnya, asalkan kamu tidak menceritakannya kepada yang lain.”
“Aku janji.”
You must be logged in to post a comment Login