Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 4 Serangan Cat Hitam
Hari pertama masuk SMA adalah hari yang menyenangkan? Aku ingin menghajar orang yang membuat istilah itu. Satu kelas dengan orang-orang bodoh, dibina dengan orang-orang sok kuasa, dipanggil BP dan diancam dikeluarkan dari sekolah bila aku mengulangi perbuatanku kemarin, di mana letak menyenangkannya? Ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupku. Tak pernah kubayangkan hari pertamaku di SMA akan menjadi seperti ini.
Apa aku salah mengambil sekolah? Apa seharusnya aku mengambil sekolah di kota saja? Sayangnya, aku bukan tipe laki-laki yang mudah menyerah hanya karena halangan yang sepele. Berarti mulai besok aku harus sedikit bersandiwara, karena aku tidak ingin dikeluarkan dari sekolah ini.
Setelah mendekam di ruang BP hingga bel pulang berdering, aku segera melangkahkan kakiku keluar dari sekolah ini. Dengan segala kebencian yang aku pendam, aku meninggalkan sekolah ini. Namun ketika keluar dari gerbang, aku merasa ada yang membuntuti diriku. Kutengok sedikit kepalaku ke belakang, ternyata idiot bersaudara.
“Mau apa kalian?” tanyaku ketus.
“Well bung, aku rasa sekarang kita sudah tidak berada di lingkungan sekolah.” kata yang laki-laki dengan mendongak.
“Artinya kita bisa melakukan sesuatu sesuka kami.” kata yang perempuan menimpali saudaranya.
“Terserah kalian.” aku segera berbalik meninggalkan mereka, namun ada tangan yang memegang pundakku. Aku tidak akan memulai penyerangan terlebih dahulu, karena aku takut dikeluarkan dari sekolah.
“Tidak secepat itu bung, kami punya beberapa permasalahan dengan Anda.”
“Jadi kalian menantang berkelahi?” kataku tanpa menoleh kearah mereka.
“Ya, tentu saja.”
Aku memperhatikan sekitar, jalanan sepi dan tidak ada guru maupun murid lainnya. Bisa dimaklumi, karena MOS kami memang lebih awal dibandingkan kelas reguler. Mungkin ini kesempatanku untuk melampiaskan kekesalanku hari ini.
“Baiklah, satu persatu.” kataku sambil membalikkan badan.
“Dea, kamu enggak perlu ikutan, cukup lihat saja bagaimana aku akan menghabisi si tengik ini.”
Sekarang aku sudah berhadapan dengan Andra. Meskipun dia lebih tinggi dari aku, aku yakin aku akan menang melawan orang tidak berguna ini. Aku fokuskan pandanganku ke dia, dan mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Andra maju duluan dan mulai melayangkan pukulan, namun bisa kutangkis dengan mudah. Segera kubalas dengan mendaratkan pukulan tepat di perutnya, lalu kutambahkan dengan hantaman lutut. Andra mundur dengan memegangi perutnya yang kesakitan. Aku segera ingin menendang wajahnya, namun tanpa diduga sebuah lemparan batu mendarat di bibirku. Sialan, Dea datang membantu.
“Sudah kubilangkan, satu per satu. Kau melanggar peraturan.”
“Cerewet.” erang Dea sambil lari ke arahku sambil mengeluarkan sebuah pemukul kasti. Meskipun dia perempuan, aku tidak akan segan menghadapinya. Bagiku tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan jika dia layak untuk dihajar. Cewek tomboy itu lari ke arahku sambil mengayun-ayunkan pemukul kastinya. Secara refleks aku menghindari pukulannya, dan segera kujegal langkahnya yang tidak stabil. Dea jatuh tersungkur dengan tangan duluan, aku yakin itu cukup untuk melukainya. Andra segera bangkit dari tempatnya untuk menolong saudarinya. Aku hanya tersenyum kejam melihat kekalahan mereka. Andra melihat kearahku dengan sorot mata yang tajam.
“Kamu benar-benar seperti setan.”
Tersinggung dengan perkataannya, aku maju menghampiri Andra dan mengangkat kerahnya dan berbisik, “Jika aku setan, maka seluruh manusia di Bumi juga setan. Manusialah yang membuatku menjadi seperti ini.”
Aku melepas kerahnya dan menjatuhkannya ke belakang. Kutatap mereka berdua dengan perasaan jijik, lalu melangkah acuh meninggalkan mereka tergeletak di jalan. Hari ini benar-benar hari yang buruk.
Kenji. Dialah yang telah menyeting hari burukku. Tawanya yang bodoh telah membuat aku sangat membencinya. Dia tertawa dengan polosnya seolah tidak ada beban di hidupnya seperti . . . seperti adikku. Aku sangat membenci adikku. Dia adalah beban hidupku. Dia adalah aibku. Gara-gara dia Ayah pergi dengan wanita lain. Gara-gara dia Ibu memilih untuk bunuh diri. Aku ingin membuangnya, tapi aku tak pernah memiliki peluang untuk melakukan itu.
Aku yang harus memberinya makan, menjaganya, dan lain sebagainya. Dia membuat beban hidupku menjadi lebih berat. Dia selalu dikeluarkan oleh sekolah, mungkin tiga kali, karena mereka mengecap adikku idiot. Dia terlalu banyak bertanya hal diluar konteks pelajaran. Dialah salah satu sumber kebencianku, dialah salah satu yang telah menjadikan diriku seperti ini.
Namun lihat apa yang dilakukannya sekarang, selalu tertawa dan berusaha menghiburku, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti ini kita tertawa atau tersenyum? Apa yang menyenangkan dari nasib ditelantarkan orang tua?
“Kakak sudah pulang?” sambut adikku begitu aku masuk rumah.
“Kalau sudah tahu buat apa tanya?” jawabku ketus.
“Kenapa kakak bibirnya berdarah?”
“Bukan urusanmu.”
“Mau aku sembuhkan lukanya?”
“Sekolah saja kau tak becus, apalagi menyembuhkan lukaku?!” aku berteriak di depannya. Adikku terkejut mendengar ucapanku ini, lalu dengan mata berkaca-kaca ia pergi meninggalkan aku. Itulah yang kuinginkan.
Aku duduk di depan meja belajarku setelah membuat secangkir capucino. Aku bukannya ingin belajar, tapi memikirkan bagaimana bisa balas dendam ke Kenji, ke wanita yang menyentakku, ke idiot bersaudara, ke OSIS, ke semuanya. Mereka telah memulai perang, maka aku akan meladeni mereka. Perang telah kudeklarasikan. Mereka banyak, sedangkan aku hanya sendirian. Tak apa, otakku sendiri sudah cukup untuk mengalahkan mereka semua, tapi bagaimana caranya? Terus aku berpikir, hingga akhirnya aku tertidur di atas meja.
***
Capucino-ku telah dingin. Rupanya tidurku lumayan lama. Kuintip jendela, hari telah gelap. Kulirik jam dinding, jarum pendek menujukkan pukul enam. Rasanya otakku yang super ini penuh sekali isinya, jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan keluar rumah.
Dengan kedua tangan di saku celana, aku berkeliling sekitar daerah rumahku. Tentu dengan isi kepala penuh dengan pemikiran akan rencana melakukan balas dendam. Aku berjalan tanpa arah, terserah kaki mau melangkah kemana, berharap inspirasi datang menghampiri. Terus aku berjalan, hingga pada akhirnya tanpa sengaja aku menendang sebuah kaleng cat. Untung saja kosong, kalau tidak bisa-bisa jalanan ini menjadi berwarna-warni.
Tiba-tiba saja muncul ide di kepalaku sebuah rancangan jebakan yang sangat canggih. Segera aku berlari menuju rumah untuk mengambil sebuah kaleng cat berwarna hitam, sisa dari tugas prakarya sewaktu SMP. Bersama beberapa barang yang aku butuhkan untuk membuat jebakan, kumasukkan cat tersebut ke dalam tas kecil dan segera berlari menuju sekolah. Aku menduga jika malam hari tidak akan ada penjaga sekolah. Ternyata aku salah.
“Mau ngapain le?” tanya satpam yang rambutnya sudah berwarna putih semua itu.
Aku diam sesaat, lalu menjawab, “Mau sholat pak.” Untunglah aku memakai celana panjang.
“Ya wis, sana masuk.”
Aku berharap kelasku tidak dikunci. Untunglah, untung bagiku, karena penjaga sekolah lupa mengunci kelas ini. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, aku segera masuk ke dalam kelas. Dalam keadaan remang-remang, aku memulai merakit sebuah jebakan yang akan terpicu ketika pintu terbuka. Siapapun –aku berharap si dungu– yang masuk ke kelas pertama kali, akan bermandikan cat ini.
Lalu bagaimana caranya aku keluar tanpa terkena jebakan ini? Rancanganku yang kubuat dalam waktu singkat dengan otak jeniusku tentu sudah memikirkan hal ini. Jebakanku baru akan terpasang secara sempurna ketika seseorang menutup pintu. Terkadang aku sangat mencintai bagaimana otakku bisa berjalan sehebat ini.
Setelah selesai, tanpa banyak bicara aku segera meninggalkan kelas dan menutup pintunya seperti sedia kala. Suasana tetap sepi seperti aku masuk tadi. Sekarang ke masjid dulu untuk membasahi beberapa bagian tubuhku agar terlihat seperti orang sholat
Aku berharap jebakanku ini berhasil dan Kenji akan menjadi korban. Semoga saja dia datang pertama dan tidak waspada karena sibuk dengan segala macam tawanya. Ketika ia masuk kelas dan membuka pintu, byur, berubah warnalah kulit putihnya. Hahaha, aku sampai tertawa sendiri. Untunglah tidak ada siapapun di jalanan yang diterangi lampu berbagai macam watt ini.
***
Aku sangat bersemangat untuk bangun pada pagi hari ini, namun tak ingin terlalu terburu-buru. Tunggu beberapa menit lagi hingga kurang sepuluh menit, maka aku akan berangkat. Aku ingin melihat mereka, terutama Kenji, merasa malu karena tubuh dan seragamnya berlumuran dengan cat. Syukur-syukur jika itu membuatnya ingin pindah sekolah. Karena itulah, aku ingin jadi yang terakhir masuk kelas.
“Kakak kenapa kok senyum-senyum sendiri? Ada yang lucu?” kesenanganku dirusak oleh bocah idiot ini.
“Bukan urusanmu, pergi.”
“Ini kak, Gisel buatkan roti isi coklat.” kata adikku sembari meletakkan piring berisikan roti lapis.
Kulirik sedikit roti itu, tanpa banyak bicara aku ambil roti tersebut dan membuangnya ke tempat sampah yang kebetulan tidak jauh dari tempatku duduk. Adikku hanya terdiam melihat apa yang kulakukan, mungkin sudah terbiasa menerima perlakuan yang seperti itu. Ia berusaha menyembunyikan perasaan kecewa dan sedihnya, walaupun aku yakin di dalam hatinya ia ingin menangis. Aku tersenyum sinis menikmati pemandangan favoritku ini.
“Kakak kan butuh energi buat menjalani aktivitas di sekolah. Jangan lupakan sarapan kak karena itu sangat penting untuk menjaga stamina tubuh.” kata adikku sambil terisak kecil-kecil.
“Hei, kau itu tak pernah diterima sekolah manapun, tak usahlah kau sok menasehatiku. Sudahlah, pergi sana, aku muak melihat wajahmu.”
Diiringi turunnya satu tetes air mata, ia berjalan lunglai meninggalkan diriku. Sungguh merepotkan. Kalau saja bukan karena pamanku yang membiayai kehidupan kami berpesan agar aku menjaga Gisel, tentu sudah kutelantarakan di jalan anak itu. Aku sangat membutuhkan uang untuk biaya sekolah dan lain-lain, sehingga dengan amat teramat sangat terpaksa aku harus memeliharanya.
Tanpa sadar ternyata waktu berjalan dengan cepatnya. Kurang sepuluh menit lagi maka aku akan terlambat masuk sekolah. Aku berdiri dari tempat dudukku dan segera melangkah keluar rumah sambil berharap, bahwa serangan cat hitamku di perang ini akan kena tepat sasaran.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik5 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login