Connect with us

Leon dan Kenji (Buku 1)

Chapter 3 Pandemonium

Published

on

“Enggak ada yang beri salam!!!” sentak anak yang berkulit hitam dan beralis tebal.

Dengan sedikit terkaget Bejo segera berkata “Beri sa . . . “.

“Kalau beri salam berdiri dek!!!” kali ini anak berkulit hitam dan bertubuh pendek.

Sontak semua anak berdiri –kecuali aku, tapi . . .

“Ketua kelasnya belum nyuruh berdiri kenapa kalian berdiri!!!!” wanita berkulit putih dan berkerudung ini berteriak dengan suara yang sangat keras, telingaku rasanya jadi tuli.

“Berdiri, beri salam.” kata Bejo dengan nada yang sangat bergetar

“Selamat pagi kak.” suara yang terdengar pelan sekali, suara-suara ketakutan. Tentunya aku tidak ikut memberi salam. Buat apa memberi salam kepada orang yang baru datang langsung marah-marah dengan alasan yang dibuat-buat? Ingin aku menghajar mereka semua.

“Keluarkan semua bawaan kalian, cepat!!! Lima, empat, tiga . . .” sekarang anak perempuan gemuk memerintahkan kami dengan seenaknya.

Dengan penuh ketakutan anak-anak yang lain segera mengeluarkan barang bawaannya. Mungkin semua anak merasakan ketakutan yang jauh lebih besar daripada ketakutan padaku. Kulihat semua anak berwajah pucat pasi, diiringi dengan derasnya keringat dingin yang mengalir keluar dari tubuh mereka. Tersenyum sinis aku melihat mereka semua. Anak-anak bodoh yang takut terhadap orang-orang yang sedikit lebih tua dari mereka.

“Kamu yang pojok, ngapain senyum-senyum sendiri! Dan kenapa kamu enggak ikut berdiri!” suara seorang laki-laki yang bertampang bencong menunjuk diriku.

“Terserah saya mau melakukan apa.” jawabku dengan tatapan mengejek ke arahnya, yang agaknya membuat dia agak tersentak dari tempat berdirinya.

“Kamu berani sama kakak pembinamu!” sekarang laki-laki beralis tebal menghampiri diriku dengan gaya ingin mengajak diriku berkelahi. Kutatap dia dengan mengepalkan tanganku, tanda aku siap untuk berkelahi melawannya.

“Aan, sudah mundur!” teriak seorang perempuan, yang nampaknya tidak terlalu jahat, kepada laki-laki yang menghampiriku ini.

“Awas kamu.” ditinggalkannya diriku dengan tunjukan yang mengisyaratkan bahwa aku akan mengalami hal yang buruk sepulang sekolah ini. Apa peduliku? Aku tak takut pada siapapun. Kebencian sudah memberiku kekuatan, aku tak pernah kalah dalam berkelahi.

“Kalian ini masih baru disini, jangan sok ya kalian. Saya dapat laporan kalau disini ada dua anak yang sok di sini, merasa paling hebat disini, yang merasa berdiri!” perintah orang yang berkulit hitam kecil.

Aku bukanlah orang yang takut akan ancaman semacam itu. Laki-laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka aku berdiri dari bangkuku. Semua mata menoleh ke arahku, seakan-akan mereka berkata “kapok, rasakan akibatnya kalau sombong”, tapi aku tidak peduli, bukan urusanku. Terserah mereka mau berpikir apa tentangku, aku sudah kebal.

“Baru satu orang yang berdiri, kurang satu!” sekarang perempuan berkerudung berkulit putih yang berteriak. Tampaknya yang dimaksud mereka adalah Sarah, namun tampaknya ia terlalu takut untuk mengakuinya.

“Kamu ke luar ikut saya.” kata perempuan berkacamata tebal yang tadi kutemui di halaman depan. Karena aku tidak takut pada apapun, aku ikuti saja dia. Bersamanya adalah laki-laki beralis tebal yang tadi dengan lucunya mengancamku. Aku dibawa ke dalam aula yang bersebelahan dengan kelasku.

“Dari tadi pagi kamu sudah cari masalah di sini. Apa sebenarnya maksudmu?” tanya perempuan itu dengan nada marah.

“Saya hanya ingin belajar di sini. Saya ingin menjadi ilmuwan, saya tidak ingin mengikuti rangkaian kegiatan yang tida penting ini.” jawabku datar.

“Kamu enggak punya sopan santun ya, kamu enggak diajari orang tuamu ya?”

“Saya tidak punya orang tua.” jawabku sedikit naik intonasinya. Mendengar jawabanku, perempuan itu langsung memasang wajah bersalah, lalu ia berbisik pada laki-laki beralis tebal itu, dan mereka berdua pergi meninggalkan aku di aula sendirian. Sekitar lima menit kemudian, mereka berdua kembali bersama perempuan berambut ikal yang menurutku tadi tidak terlalu jahat. Sebenarnya apa mau mereka?

“Dek, jadi orang tuamu sudah meninggal?” katanya perempuan itu lembut.

“Bukan urusanmu.”

“Kamu ini…” si alis tebal itu nampaknya mulai kehilangan kesabaran, namun segera ditahan oleh perempuan itu.

“Aan, tahan, sabarlah. Alexander Napoleon Caesar, itu namamu kan? Bagaimana aku harus memanggilmu?”

“Aku tidak butuh dipanggil orang asing.”

“Apa kamu punya masalah? Ceritakan pada kami, supaya kami bisa membantumu.”

“Sudah kubilang kalau itu bukan urusanmu.”

“Kamu itu ditanya baik-baik kenapa jawabannya gitu?” alis tebal langsung mengangkat kerahku dan secara reflek aku langsung meninju perutnya dengan sekuat tenaga. Dia berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya, lalu tangan kanannya berusaha memukulku namun dengan mudah aku menghindarnya karena ia dalam keadaan kesakitan. Aku menambahkan pukulan pada rahangnya untuk melampiaskan amarahku padanya sampai ia jatuh terkapar. Ketika aku ingin memukulnya lagi, aku didorong dan ditarik oleh empat orang dewan sangsi lainnya. Rupanya perempuan lembut itu sudah memberitahu rekannya bahwa ada keributan di aula,

“Kamu ikut kami ke BP, biar guru-guru yang memutuskan hukuman apa yang pantas untukmu. Semoga kamu dikeluarkan.” kata mereka dengan menyeret tubuhku. Meskipun kuat, tentu aku tidak bisa bergerak jika ada empat orang yang memegangiku. Aku benar-benar merasa berada di tempat penyiksaan, di Pandemonium.

***

Mereka sama sekali tidak gentle. Jika mereka berani, seharusnya mereka menantang aku berkelahi satu lawan satu, bukan keroyokan seperti itu. Bagaimana mungkin aku sendirian mengalahkan empat orang secara bersamaan? Jika satu per satu pasti bisa. Selain itu, mereka bahkan menggunakan trik anak SD, melapor kepada guru.

Begitu aku masuk ke dalam ruangan, mereka berkata bahwa aku telah ditunggu oleh seorang guru. Tidak melihat jalan keluar lain, terpaksa aku mematuhi kata-kata mereka. Melawan OSIS jelas bisa kulakukan dengan mudah, tapi melawan guru? Aku harus berpikir dua kali.

Aku menunggu sekitar 5 menit, sebelum seorang guru wanita, mungkin guru BP, datang memasuki ruangan ini.

“Alexander Napoleon Caesar, namamu bagus sekali ya?” tanyanya.

“Ya.”

“Ini hari pertama kamu menjalani Masa Orientasi Siswa?”

“Ya.”

“Kenapa kamu sudah berani membuat masalah?”

“Mereka yang membuat masalah duluan.”

“Tidak anakku, ibu tidak percaya akan hal tersebut. Dari sopan santunmu sudah terlihat bahwa kamu memang senang mencari masalah. Kamu tahu sanksi untuk anak seperti dirimu?”

“Tidak.”

Drop Out.” wajah sabarnya hilang seketika, berganti dengan wajah penuh kemarahan, “kamu bisa saya keluarkan dari sekolah ini. Saya punya wewenang untuk megeluarkan kamu. Apakah itu yang kamu inginkan?”

“Tidak.”

Meskipun dalam ancaman dikeluarkan dari sekolah, aku harus tetap bisa mengontrol ketakutanku. Aku tidak ingin orang lain tahu bahwa aku juga bisa memiliki rasa takut.

“Saya minta orang tuamu besok kemari.”

“Saya sudah mengatakan kepada OSIS-OSIS tersebut kalau saya tidak punya orang tua.” jawabku dingin kepada guru tersebut. Dia tampak terkejut, bahkan dirikupun juga terkejut. Raut wajahnya yang garang berangsur-angsur kembali seperti semula. Dengan menghela nafas panjang, ia mulai berbicara kembali.

“Baiklah nak. Tunggulah disini sampai bel pulang berbunyi lalu pulanglah. Jika kejadian seperti hari ini terulang lagi, mohon maaf ananda harus mencari sekolah di tempat lain.”

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)

Published

on

By

Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Malik

Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.

Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.

Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.

Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!

Para Kakak Pembimbing OSIS

Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.

Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.

Rudi dan Sinta

Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.

Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.

Paman Anton

Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.

Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.

Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.

Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.

Penutup

Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?

Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!

 

 

Kebayoran Lama, 19 November 2018

Continue Reading

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi

Published

on

By

Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.

Andrea Putri Sudarwono

Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.

Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.

Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.

Aqilla Sagita Danastri

Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.

Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.

Taskya Namya (media.iyaa.com)

Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.

Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.

Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.

Elvina Yurina Zefina

Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.

Kwon Yuri (kpop.asiachan.com)

Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.

Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.

Maroon Malvinanita

Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.

Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.

Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.

Verena Nur Izora

Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.

Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.

Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.

Virginia Vanya Valora

Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.

VVV Venlo (youtube.com)

Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.

Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.

 

 

Kebayoran Lama, 10 November 2018

Continue Reading

Leon dan Kenji (Buku 1)

Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi

Published

on

By

Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.

Andra Putra Sudarwono

Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.

Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.

via bookstr.com

Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.

Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.

via indosport.com

Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.

Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.

Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.

Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.

Achmad Khrisna Subejo

Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.

Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.

via http://bokunoheroacademia.wikia.com

Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).

Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.

Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.

Arjuna Wahyunara

Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.

via snsdkorean.com

Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.

Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.

Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.

Jean Xavier Pierre

Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.

Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.

Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.

Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.

 

 

 

Kebayoran Lama, 5 November 2018

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan