Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 5 Kebaikan Demi Kebaikan
Aku terheran-heran ketika memasuki gerbang sekolah. Bagaimana tidak, para pemarah yang kemarin stand by di sini tidak ada. Aku tengok alrojiku, masih kurang tujuh menit lagi untuk masuk. Ada apa? Apa karena perbuatanku kemarin, sekolah memutuskan untuk meniadakan MOS?
Ternyata dugaanku salah. Mereka tampaknya sedang berkumpul di depan kelasku. Ada apa? Apa ada yang meninggal? Jika iya, aku harap Kenjilah orangnya. Mungkin karena kena penyakit tawa akut, terlalu banyak tertawa. Aku belum pernah mendengar ada kasus kematian karena terlalu banyak tertawa, tapi aku sangat berharap ada penyebab kematian seperti ini.
Ketika aku berjalan ke arah kelas, aku melihat semua teman sekelas dan OSIS MPK sedang berkumpul, tampaknya sedang mendiskusikan sesuatu. Lalu tampaklah si dungu itu yang menyadari kehadiranku. Aku berusaha menganalisa apa yang sedang terjadi. Pintu masih tertutup, tidak ada satu pun orang yang berlumur cat hitam. Sial, serangan balikku gagal! Ada yang menyadari jebakanku dan akibatnya tidak seorang pun terkena seranganku. Sial.
“Hei kawan, baru datang kamu rupanya. Ada orang nganggur yang bersedia repot-repot memasang jebakan di pintu kelas kita. Untung saja tadi aku menyadarinya karena ada beberapa kejanggalan seperti bau cat yang samar-samar. Setelah Bejo datang, aku memintanya untuk memapahku untuk melihat kelas melalui ventilasi. Benar saja, ada sekaleng cat yang dipasang dengan mekanisme sederhana yang akan tumpah ketika kita membuka pintu. Sekarang kita sedang diskusi bagaimana cara terbaik membuang jebakan ini tanpa harus menumpahkan cat tersebut ataupun memecahkan kaca ventilasi.” jelasnya panjang lebar.
Aku hanya terdiam mendengarnya. Brengsek, mekanisme rumitku dibilang sederhana. Ingin aku membungkam mulut busuknya itu, namun aku sedang berada di kerumunan. Yang lain pun sedang menoleh ke arahku, dengan mata sinis dan penuh dengan kebencian seperti kemarin. Tampaknya mereka memiliki kecurigaan bahwa akulah pelakunya.
“Tampaknya pilihan terbaik adalah melepas kaca ventilasi, lalu mengambil kaleng catnya. Ini kami sedang menunggu alat untuk memotong kaca, tampaknya si Andra terjebak macet, haha.” tawanya sampai memamerkan semua giginya yang berjejer rapi dan putih.
Datanglah Andra dengan semacam gergaji kaca atau apalah namanya, dengan beberapa luka lebam masih nampak pada wajahnya. Karena Kenji payah dalam menggunakan alat-alat, maka Bejo memapah Andra agar ia bisa memotong kaca ventilasinya. Cat berhasil diambil, maka kelaspun dibuka. Aku berpura-pura tidak peduli, dan segera berjalan melewati belasan orang yang berkerumun di depan pintu.
Pemandangan di dalam kelas juga tidak jauh berbeda. Banyak mata tertuju padaku dengan tatapan sinis. Untunglah aku sudah terlalu kebal menghadapi situasi seperti ini. Meskipun serangan cat hitamku ini gagal, setidaknya aku berhasil membuat salah dua dari mereka terluka, si Sudarwono bersaudara. Ini merupakan hiburan tersendiri buat diriku.
“Hei cowok enggak punya aturan, setidaknya kamu berterima kasih kepada teman-teman yang sudah membuat kita berhasil masuk kelas tanpa terkena jebakan itu.” tanya suara wanita dari arah depan. Ternyata wanita yang berani menyentakku kemarin.
“Sudah.” jawabku asal. Padahal aku belum berkata satu patahpun kepada mereka. Seperti biasa, aku tidak terlalu peduli.
“Kenji, apa benar cowok itu benar-benar sudah berterima kasih?” tanya wanita cerewet itu kepada Kenji ketika ia berjalan memasuki kelas dengan membenahi lengan bajunya. Kenji melihat ke arahku dengan senyumnya yang memuakkan. Jika ia bilang belum, aku sudah menyiapkan berbagai alternatif jawaban sebagai pembelaku.
“Sudah kok Sica. Ia tadi sempat berterimakasih kepadaku, walaupun mungkin belum berterima kasih ke lainnya.” jawabnya dengan senyum sepuluh senti kepada wanita itu. Wanita yang dipanggil Sica itu mengangguk dengan ragu.
Aku terbengong setelah mendengarnya. Ia berbohong? Untuk apa? Melindungiku? Untuk apa ia melakukan hal tidak berguna seperti itu? Ia berbuat baik kepadaku, meskipun aku sudah berlaku seperti ini? Aku terbayang-bayang oleh kebaikan pertamanya ini. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan perasaanku ini, perasaan bersalah yang sudah lama hilang dalam hidupku. Aku makin membencinya dengan segala kebaikannya. Sangat benci.
***
MOS berjalan dengan membosankan seperti yang kuduga. Karena kemarin aku tak sempat mengikuti acara ini, maka baru hari inilah aku merasakannya. Ternyata memang masih jauh lebih baik berdiam diri di ruang BP berjam-jam daripada mengikuti kegiatan bodoh ini. Petuah-petuah tak penting dari guru, omelan dan teriakan saling bersahutan di kelas yang diproduksi oleh orang utan berbalut seragam, mata-mata sinis yang senantiasa melirik ke arahku. Semoga saja kegiatan tak penting ini segera berakhir.
Ketika bel pulang telah berdering, atau mungkin lebih tepatnya bernyanyi karena bel pulang di sekolah ini adalah lagu Padamu Negeri, aku ingin segera berusaha meninggalkan kelas secepat mungkin. Sayangnya, aku dihalangi oleh anak desa yang menjabat jadi ketua kelas ini. Aku lupa siapa namanya.
“Kamu kemarin menghajar Sudarwono bersaudara ya?” tanyanya dengan sok tegas.
“Mereka yang memulai serangan.”
“Tapi selain bibir, kamu tidak terlihat terluka.”
“Karena aku memang kuat, tidak seperti mereka berdua.”
Salah satu dari Sudarwono langsung berdiri dari bangkunya, namun Sudarwono betina segera menahannya untuk tidak berdiri, dan mulai membisikkan sesuatu. Aku hanya mendengar kata rencana itu. Aku tidak peduli apa maksudnya.
“Kami mencurigaimu bahwa kamulah yang telah memasang jebakan cat itu.” katanya lagi dengan jari telunjuk mengarah lurus ke arahku.
“Bukan aku.” jawabku dengan menepis tangannya yang mengacung tepat ke depan wajahku dengan kasar. Aku sangat benci diperlakukan seperti itu.
“Kamu kira kami akan percaya begitu saja?”
“Kalau kalian punya bukti, tunjukkan di depanku, baru salahkan aku bodoh.”
Tanpa disangka-sangka sebuah air mendarat di kepalaku dari arah samping. Aku terlonjak ke depan dan segera mengepalkan tanganku untuk melakukan pukulan balasan. Namun kepalanku terhenti karena ketua kelas menahan diriku. Berbeda dengan si kembar, orang ini punya tenaga yang lumayan.
Aku melihat penyerangku adalah perempuan yang duduk di serongku. Sungguh aku belum hafal nama anggota kelas ini, dan memang aku tidak ada niatan untuk menghafalnya.
“Walaupun aku cewek, aku enggak punya rasa takut untuk berkelahi dengan cowok brengsek.” katanya dengan kesal, gemetar bibirnya menahan emosi.
“Aku juga tidak akan segan menghajar seorang wanita.”
“Sudah-sudah, jangan bertengkar, enggak baik buat kesehatan.” kata Kenji yang tiba-tiba muncul dari depan.
“Yang membuat suasana kelas keruh dari kemarin dia Kenji, siapa lagi coba?” jawab Andra mulai membalik badannya. Mereka pikir dengan mengelilingiku, aku akan merasa terintimidasi? Maaf saja, itu tidak akan berhasil.
“Tidak mungkin dia yang melakukannya. Buat apa dia susah payah seperti itu?” Kenji menambahkan, seolah berusaha membelaku. Kebaikannya benar-benar membuat muak.
“Alasannya jelas, dia musuh kita bersama.” jawab Jessica, yang sudah bergabung dengan kerumunan untuk mengintimidasiku.
“Tidak, jangan berpikir seperti itu. Kita semua adalah teman. Lagipula kalian tidak punya bukti, janganlah menuduh orang sembarangan, itu namanya fitnah.”
Sebenarnya aku sangat ingin menghajar semua orang disini termasuk si dungu yang telah sok berbaik hati untuk menjadi pengacaraku. Namun ancaman dari BP tampaknya tidak main-main. Maka dengan sangat bersusah payah, aku menahan diri dan berjalan cepat menembus kerumunan dan meninggalkan kelas ini.
Selama perjalanan pulang, kepalaku kembali terngiang-ngiang oleh kebaikan Kenji. Ada apa dengan orang itu? Padahal aku sudah sering berbuat jahat kepadanya, mengapa ia tetap berbuat baik padaku? Apakah dia sinting atau tidak waras? Aku tidak ingin terjebak dengan segala macam pemikiran ini. Aku tidak ingin dijerat rasa bersalah terus. Aku akan segera melupakan kebaikan demi kebaikan yang ia lakukan terhadap diriku.
***
Mungkin karena keangkuhan diriku, aku bisa dengan cepat melupakan kebaikan-kebaikan yang memuakkan itu. Sekarang yang harus kupikirkan adalah serangan apa yang kira-kira akan berhasil membuat mereka marah atau sedih. Mereka, terutama si dungu itu, tidak bisa dianggap remeh. Mereka memiliki otak-otak yang lumayan untuk kelas pecundang. Aku harus bisa memutar otak, dan menemukan sesuatu yang sangat jahat. Hingga aku tertidur, tidak kutemukan satupun rencana jahat yang terlintas di benakku.
Tidurku tidak lama, hanya sekitar lima belas menit, ketika aku mendengar suara mengendap-endap. Mungkin hanya tikus yang sedang mencari makan di tengah malam. Namun setelah alam sadarku telah pulih, aku berpikir lagi, apakah tikus pernah mengendap-endap? Jangan-jangan maling? Aku segera buka mataku dan bangkit dari kasurku.
Gerakanku yang tiba-tiba membuat dia teriak histeris. Tubuhnya gemetar tak karuan seolah ada gempa bumi. Dia memandangku penuh dengan ketakutan. Tikus itu ternyata Gisella Margaret Spencer, adikku.
“Mau apa kau mengendap-endap di kamarku malam-malam?!” tanyaku dengan intonasi yang tinggi dan kasar.
“Aa. . anu kak, Gi . . gisel cu . . cuma mau lihat kakak.” jawabnya tergagap penuh ketakutan.
“Kau kira aku percaya dengan jawaban seperti itu?! Ayo jawab yang jujur, kau mau apa?!” kini suaraku makin mengeras.
“Gi . . gisel cu . . cuma mau pinjam buku – buku bekas kakak SMP, bu . . buat baca-baca kak.” dia kini tak berani memandang ke arah wajahku.
“Tidak boleh!! Buku-buku itu masih kubutuhkan!!”
“Cu . . Cuma sse . . sebentar saja kak, boleh ya?” matanya kini sudah tergenang air mata.
“Sekali tidak tetap tidak!! Lagipula kau itu bodoh, tidak mungkin bisa memahami bukuku!!”
Gisel terdiam, lalu menjatuhkan buku-bukuku yang tadi ia sembunyikan di punggungnya. Lalu tanpa mengucap apapun, ia pergi meninggalkan kamarku, dengan buku berserakan di lantaiku.
“Hei bodoh, kembalikan semua bukuku ke tempatnya!!” sentakku berusaha untuk memanggilnya kembali untuk membersihkan kamarku. Tidak ada tanggapan. Emosi, aku segera keluar dari kamar dan pergi menuju kamar adikku. Dia sedang duduk di sudut kamar dengan memegangi kedua lututnya. Terdengar suara tangis yang sendu. Aku bukanlah orang yang mudah terprovokasi dengan emosi sendu seperti itu. Langsung saja aku mulai amarahku.
“Kau tak dengar, dari tadi aku memanggilmu!! Kau mulai berani melawanku ya??”
Tak ada jawaban.
“Hei bodoh, kau dengar tidak!!”
Dia mengangkat kepala, matanya sangat sembab. Dengan mulai terbata-bata ia mulai berbicara.
“Maaf kak, Gisel mau sendiri dulu, besok pasti Gisel bersihkan. Gisel janji kak.”
“Lalu kau akan membaca buku-bukuku selama aku sekolah kan?! Jadi selama ini kau seperti itu?! Kurang ajar!!” aku maju ke arahnya dan segera ingin menampar wajahnya.
Gerakanku terhenti seketika begitu aku melihat wajahku sendiri di cermin. Aku melihat gambaran bagaimana wajahku sekarang, wajah penuh amarah bagaikan dirasuki setan. Aku terkejut melihat betapa buruknya wajahku ketika sedang emosi. Kutoleh adikku, terlihat wajahnya memohon belas kasihan dariku. Entah kenapa aku menjadi merasa kasihan terhadapnya. Aku mengepalkan tanganku, menghela nafas panjang, dan pergi menghindari tatapan ibanya.
Entah mengapa aku jadi terus termenung di kasurku. Mengapa aku jadi seperti ini? Sejak kapan aku menjadi seperti ini? Apakah aku dari dulu sudah seperti ini? Apa yang terjadi pada diriku? Apa yang terjadi dalam hidupku selama ini? Sejak kapan aku berubah menjadi orang yang tidak memiliki perasaan?
Namun bukan Alexander Napoleon Caesar namanya jika tidak bisa menghilangkan perasaan-perasaan seperti itu. Segera mungkin aku segera menyusupkan pikiran-pikiran jahat tentang adikku, tentang sekolahku, tentang negaraku, tentang duniaku. Maka lenyaplah semua perasaan bersalah tadi.
Aku segera bangun dari tempat tidurku, mengambil buku yang berserakan di lantai, dan menyimpannya di lemari yang memiliki kunci. Kuambil juga beberapa buku yang ada di mejaku. Aku sampai rela membongkar-bongkar rumah untuk memastikan tidak ada satupun buku yang berada di luar lemariku ini.
Mengapa aku begitu pelit terhadap Gisel, padahal dia hanya ingin membaca? Satu-satunya jawaban adalah aku tidak suka melakukan hal-hal yang tidak berguna. Jika sekolah saja tidak mau menerimanya, apakah mungkin dia bisa memahami apa yang ada di dalam buku pelajaran? Hal yang sangat-sangat mustahil.
Karena itulah, aku tidak akan mengijinkannya untuk membaca buku-buku milikku. Jika ingin membaca, beli saja buku sendiri. Toh semua uang kiriman dari paman aku yang memegang. Aku yang memiliki kekuasaan di rumah ini, maka adikku harus tunduk padaku. Aku tersenyum bangga melihat kejahatan diriku.
Begitu hebatnya diriku, bagaikan seorang Adolf Hitler. Ya, aku adalah diktator di rumah ini. Aku akan berusaha menjadikan diriku sebagai diktator kelak, dengan begitu aku bisa membalaskan semua dendamku ke semua manusia tentang pahitnya hidupku. Ilmuwan sekaligus diktaktor nampak keren. Bukankah namaku terdiri dari tiga diktator hebat pula? Meskipun aku benci orangtuaku, aku berterima kasih kepada mereka karena telah memberikan nama yang hebat kepadaku.
Jam menunjukkan pukul dua. Masih ada beberapa waktu untuk tidur. Maka segera kurebahkan diriku tanpa takut akan ada lagi tikus yang berani mengendap-endap pada tengah malam.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik5 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Tokoh & Sejarah5 bulan ago
Bagaimana Amerika Serikat Mendapatkan Wilayahnya (Bagian 1)
-
Olahraga5 bulan ago
Dua Drama di Dua Pertandingan Euro 2024 yang Membosankan
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
You must be logged in to post a comment Login