Matahari sudah menyembunyikan diri ketika aku pulang. Aku membawa segudang pelajaran dari sana. Bahkan aku meminjam buku “Kiat Menahan Marah” miliknya. Anak ini, nampaknya akan membawaku ke luar dari kebobrokan hatiku. Nampaknya Tuhan sudah merencanakan ini semua. Perjalanan pulangku yang gelap ini serasa disinari oleh cahaya bulan. Aku tak pernah menyangka tiga hari di SMA akan mengubah tiga tahunku di SMP.
Aku masih tidak percaya apa yang terjadi pada diriku ini. Ini benar-benar suatu keajaiban. Keajaiban? Aku tidak pernah percaya pada keajaiban. Segala sesuatu berawal dari kerja keras, bukan dari keajaiban. Setidaknya, kerja keras Kenji yang dapat meluluhkan kerasnya hatiku.
Aku membuka pintu rumahku perlahan. Tampaknya adikku telah tertidur lelap di kursi ruang tamu. Kalau aku yang dulu, pasti membiarkannya tetap tertidur disana. Namun pelajaran dari rumah Kenji telah membuatku berkeinginan untuk berubah. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, aku memakai hati nuraniku sebagai kakak.
“Gisel, bangun, pindah ke kamar.” aku membangunkannya dengan menepuk-nepuk kaki adikku. Adikku membuka matanya sedikit, dan begitu melihatku dia membelalakan matanya lebar-lebar.
“Ka . . kakak?”
“Pindah ke kamar, nanti kamu sakit.”
“Ka . . kakak dari mana?”
“Dari rumahnya Kenji, yang tadi kesini.”
“Ka. . kakak tidak melakukan sesuatu yang . . .” dia tidak meneruskan kata-katanya.
“Tidak. Sudahlah, cepatlah pindah ke kamar.”
Dengan wajah terbengong-bengong adikku pindah ke kamarnya. Mungkin dia belum siap menerima perubahanku.
Aku sangat lelah hari ini, lelah secara mental. Seusai aku mandi aku segera merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku tanpa menghiraukan protes dari perutku yang minta diisi oleh makanan. Aku berusaha tidur secepat mungkin, namun pikiranku terbayang kejadian di rumah Kenji terus. Meskipun kami sama-sama hidup tanpa orang tua, aku masih lebih beruntung. Setiap bulan aku dikirimi uang oleh pamanku, sedangkan dia harus mengayuh sepeda tuanya di saat semua orang masih terlelap. Aku bisa tidur di atas kasur yang empuk, sedangkan dia tidur beralaskan tikar. Terus aku memikirkan perbedaan antara aku dan dia, sampai akhirnya mataku terpejam dengan sendirinya.
***
Suara adzan membangunkanku dari mimpi-mimpiku. Adzan apa yang berkumandang ketika matahari saja belum terbit? Kesal tak bisa tertidur lagi, aku beranjak dari tempat tidurku. Aku melangkah keluar dari kamar, dan menengok ke kamar adikku. Dia masih tertidur pulas dan memasang wajah polos tanpa dosa. Aku memandanginya tanpa ekspresi, tanpa berpikir apapun. Yang kulakukan hanya melihatnya. Gisel, nama panjangnya Gisella Margaret Spencer. Ibuku pernah bercerita, ia yang memberi nama tersebut, sedang namaku diberikan oleh ayah. Gisella memiliki arti janji. Margaret diambil dari mantan perdana menteri Inggris Margaret Theacher yang terkenal dengan julukan iron lady. Sedangkan Spencer diambil dari nama keluarga mantan istri pangeran Charles, putri Diana. Mungkin harapannya, Gisel adalah sebuah janji ibuku untuk mendidik Gisel mejadi seorang yang kuat, namun tetap baik hatinya bagaikan putri Diana.
Aku jadi teringat bagaimana perlakuan ayah kami yang tidak mempedulikan kami. Aku teringat ibuku yang hanya bisa menangis dan tak bisa melakukan apapun, sampai akhirnya ibuku memilih gantung diri dan membiarkan anak-anaknya dalam keadaan terlantar. Setelah kejadian itu, ayahku dengan acuhnya meninggalkan kami, dan memilih pergi dengan wanita lain. Aku ditinggal di dunia ini hanya dengan seorang saudara perempuan yang ditolak segala sekolah.
Karena kurang mendapat kasih sayang dari orang tua inilah yang menjadikan aku memiliki watak buruk seperti ini. Semula yang bisa kulakukan hanyalah menangis, meratapi nasib dan memegangi lutut di sudut ruangan. Namun aku sadar, hal itu tidak berguna. Semakin aku keras menangis, semakin banyak yang tidak peduli terhadapku. Aku bertekad, aku harus bangkit dari kesuraman ini. Aku akan melakukan balas dendam kepada semua orang yang telah membuatku menderita selama ini. Semua orang kuanggap sebagai musuh, karena mereka tak ada yang benar-benar peduli terhadap diriku. Aku tidak punya tujuan hidup, tapi kalau bisa, aku ingin melenyapkan semua jasad selain diriku. Akan tetapi, untuk menghabisi adikku saja aku tak mampu, bagaimana dengan orang lain?
Karena itu, sudah kuputuskan aku akan mengalahkan mereka dengan otakku. Selama di SMP tak ada yang bisa menyamai kepintaranku. Bahkan para gurupun kewalahan mengajari aku karena pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan melampaui batas pemikiran mereka. Oleh karenanya, aku dianggap sombong, dan aku pun dijauhi oleh semua temanku. Menjauhi? Tidak, aku yang menjauhi mereka. Aku tidak membutuhkan bantuan orang lain, aku bisa melakukan semua sendiri.
Adikku menggeliat di atas tempat tidur. Dia sudah terbangun dari tidurnya. Dia tersentak kaget melihatku berdiri di ambang pintu. Aku hanya diam melihat keterkagetan adikku, karena tidak tahu harus berbuat apa. Untunglah, adikku segera menguasai diri.
“Pagi kak.”
“Pagi.”
“Kakak enggak marah kan sama Gisel?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kakak berdiri disana?”
“Tidak apa-apa.”
Adikku terdiam mendengar jawabanku. Kami hanya saling tatap beberapa saat, hingga ia menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan bangun dari tempat tidurnya.
“Aku sayang kakak.” dia berlari menuju aku dan mendekap diriku dengan pelukannya.
Sekali lagi aku dibuat sangat merasa bersalah oleh orang-orang yang kuanggap idiot. Lihatlah, selama tiga tahun terakhir ini aku selalu memperlakukannya dengan buruk, namun Gisel tidak pernah balik marah kepadaku. Ia selalu berusaha menghiburku, merawatku, dan tetap menyayangiku. Kebencian dan dendam telah menghitamkan hatiku, membutakan mataku. Setelah pertemuan dengan Kenji, sedikit demi sedikit aku mulai bisa melihat kebaikan-kebaikan yang ada di sekitarku.
Dengan canggung, aku mengelus rambut adikku yang panjang terurai. Pada hari itu, untuk pertama kalinya aku merasakan bahwa aku menyayangi adikku. Aku adalah kakakmu, aku bertanggung jawab atas dirimu, dan aku janji akan berusaha merawatmu sebaik mungkin. Itu yang terucap dalam hatiku, dan aku bersungguh-sungguh melaksanakan hal tersebut. Aku akan berusaha menebus kesalahan-kesalahanku di masa lampau. Aku merasa, inilah awal dari kehidupan baruku. Dan aku yakin, aku bisa menjalani hidup di kehidupan baruku ini.
***
“Kakak enggak berangkat sekolah?” tanya adikku ketika matahari sudah mulai meninggi, aku masih diam di meja belajarku.
“Diskors.”
“Kenapa?” tanya adikku terkejut.
“Tidak apa-apa.”
Ternyata pembawaanku sebagai orang yang dingin belum bisa hilang. Tetap saja aku menjawab pertanyaan dengan singkat, padat dan jelas. Mungkin perubahan membutuhkan waktu untuk beradaptasi.
“Ini kak, Gisel buatkan roti.” katanya dengan menyodorkan sepiring roti tanpa kulit.
Mungkin karena kebiasaan membuang roti yang ia buatkan, aku segera saja mengambil piring itu. Namun untunglah aku segera teringat akan keinginanku untuk berubah. Kuletakkan kembali piringku, mengambilnya, melihatnya, lalu memakannya. Adikku tersenyum manis melihatku untuk pertama kali memakan roti buatannya.
“Enak kak?” tanya adikku dengan menopangkan dagu dengan kedua tangannya di depan wajahku.
“Ya.”
“Kak Kenji bicara apa saja kok kakak bisa sampai berubah?”
Aku hanya diam. Aku belum siap untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Aku hanya menunduk ke bawah sambil memakan rotiku.
“Kok diam kak?”
Bingung berbuat apa, aku meninggalkan adikku, menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat. Memang benar karena Kenji aku sampai bisa berubah seperti ini, walaupun setan dalam hatiku masih memberontak, protes atas perubahan yang kualami. Tidak mungkin seorang Leon berubah hanya karena kata-kata anak kecil, kata setan tersebut. Kujawab, tidak bisa kupungkiri kata-katanya sungguh mampu menggungah hati seekor singa sekalipun.
“Jika kau berubah, maka kau akan menjadi lemah.” lanjut setan dalam hatiku, atau mungkin juga yang berbisik ini diriku yang satu lagi.
“Apa hubungannya?”jawabku sengit.
“Kau akan memiliki perasaan, memiliki rasa kasihan. Itulah yang membuatmu menjadi lemah.”
“Aku tidak melihat adanya kesinambungan antara kedua hal ini.”
“Bodoh! Sekarang bayangkan jika adikmu membuatmu emosi, biasanya kau akan langsung menggamparnya kan? Sekarang jika kau memiliki rasa belas kasihan, kau pasti akan memberinya ampunan.”
“Memang itu yang benar.”
“Dasar setan! Kenapa kau menjadi begini.”
“Hei, bukannya kau yang setan? Aku manusia!”
“Ah sudahlah, kita buktikan nanti. Manusia terlemah, Leon.”
“Pergilah kau setan, jangan ganggu hidupku lagi. Jika aku sudah bertekad, harus kulaksanakan!” kataku bersungguh-sungguh.
Setelah perdebatan antara diriku dan setan dalam diriku, aku mulai merenungi kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat selama ini. Mungkin saja dengan mengingat segala kesalahanku, aku bisa mempercepat langkah perubahan ini. Hanya saja aku tidak tahu cara bagaimana memulai perubahan ini. Aku bingung.
***
Matahari sudah tepat diatas kepala. Dan sampai sekarang pula lah aku masih berada di dalam kamar. Tidak ada yang kulakukan, hanya berdiam diri. Lalu kemudian terdengar suara ketukan pintu. Mungkin Gisel. Aku melangkah malas menuju pintu dan membuka kuncinya.
“Kak, sekarang Gisel boleh pinjam buku kakak kan? Gisel pasti bisa buktikan kalau Gisel juga bisa belajar. Meskipun dulu Gisel sering ditolak sekolah, Gisel yakin bisa mempelajari semuanya kalau Gisel mau belajar.” diplomasi adikku bersungguh-sungguh. Aku belum pernah melihat wajahnya yang seperti ini.
“Tid.. iya boleh, tapi kakak mau tanya dulu sebentar.”
“Tanya apa kak?”
“Setiap kamu dikeluarkan dari sekolah, keluhan tiap guru selalu sama. Gisel selalu melamun ketika pelajaran, Gisel selalu bertanya di luar konteks pelajaran, Gisel selalu bertanya setiap lima belas menit setelah melamun. Mengapa kau melakukan itu?”
Entah dari mana pikiranku ini terlintas begitu saja di dalam benakku. Mungkin aku butuh alasan agar rela meminjamkan adikku buku.
Gisel memandangku dengan tatapan keheranan. Setelah beberapa saat ia baru bisa mengendalikan keheranannya dan mulai menimang-nimang jawaban yang akan ia berikan.
“Pelajaran di sekolah membosankan. Masa cuma hitung-menghitung, baca-membaca, tulis-menulis. Gisel kan sudah bisa itu semua dari TK. Untuk apa mempelajari sesuatu yang sudah kita kuasai? Padahal masih banyak yang belum Gisel ketahui seperti mengapa matahari menjadi pusat alam semesta, mengapa gravitasi bisa menarik semuanya ke bawah, bagaimana pohon mendapatkan energinya, dan masih banyak yang lain.” jawabnya dengan gestur yang menunjukkan bahwa ia masih kesal dengan sekolah-sekolah yang mengeluarkannya.
Jawaban yang sederhana tapi jujur, aku sangat kaget dengan jawaban adikku ini. Mengapa pikirannya sudah melampaui umurnya?
“Umurmu sekarang berapa?”
“Sembilan tahun.”
Berarti sekarang harusnya dia masih kelas empat SD, namun mengapa pertanyaan yang ia ajukan sudah sangat ilmiah, dan sepertinya mustahil anak sekecil dia sudah memikirkan hal seperti itu.
“Selain itu, dulu kan Gisel kan sering diajari sama ibu kak.” tambahnya.
Begitu mengatakan kata Ibu, mata Gisel langsung berkaca-kaca. Mungkin dia kangen dengan ibunya.
“Gisel kangen ibu kak.”dia berkata begitu sembari menubruk tubuhku dan memelukku.
Terdengar tangisan yang sangat kencang. Mungkin selama ini dia merasakan perasaaan kangen tersebut, tapi tidak tahu harus disampaikan kepada siapa. Kini ia melihat bahwa aku sebagai kakaknya, telah siap untuk menampung segala yang ia pendam selama ini. Kuusap rambutnya perlahan-lahan, mencoba menyabarkannya, dan menyuruhnya untuk duduk agar ia lebih tenang. Kuambilkan dia segelas air putih agar suaranya bisa kembali normal.
“Te . . terima kasih kak.” katanya terisak kecil.
“Sudahlah lupakan. Kita harus bisa hidup mandiri.”
“Iya kak.”
“Ini kunci lemari kakak. Silahkan ambil saja apa yang ingin kau baca.”
“Te . . terima kasih banyak kak.” dia memelukku lagi.
Siang hari ini mataku telah dibuka. Gisel yang selama ini kuanggap idiot, ternyata luar biasa cerdas. Daya pikirnya telah melampaui anak seusianya. Dia sudah jauh meninggalkan pelajaran-pelajaran yang semestinya baru ia pelajari. Dia tidak idiot, dia tidak bodoh. Dia sudah jauh dan lama meninggalkan teman-temannya. Dialah adikku, Gisella Margaret Spencer.
You must be logged in to post a comment Login