Connect with us

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Published

on

Sejak terpukau dengan seri Funiculi Funicula, Penulis jadi makin tertarik untuk membaca novel-novel buatan penulis Jepang. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membeli salah satu novel karya Keigo Higashino, yang namanya sering Penulis temukan di toko buku.

Untuk pilihan pertama Penulis jatuhkan kepada novel berjudul Keajaiban Toko Kelontong Namiya. Entah mengapa waktu itu Penulis merasa terdorong untuk memilih judul ini sebagai “perkenalan” dengan karya-karya Keigo. Mungkin karena sinopsisnya yang membuat penasaran.

Untungnya, ternyata pilihan Penulis benar-benar tepat sasaran. Tanpa perlu diragukan, novel ini menjadi salah satu favoritnya. Ada banyak alasan mengapa Penulis menganggap kalau Keajaiban Toko Kelontong Namiya adalah salah satu novel terbaik yang pernah dibaca.

[SPOILER ALERT!!!]

Detail Buku

  • Judul: Keajaiban Toko Kelontong Namiya
  • Penulis: Keigo Higashino
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Keenambelas
  • Tanggal Terbit: Maret 2023
  • Tebal: 400 halaman
  • ISBN: 9786020648293
  • Harga: Rp130.000

Sinopsis Buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Ketika tiga pemuda berandal bersembunyi di toko kelontong tak berpenghuni setelah melakukan pencurian, sepucuk surat misterius mendadak diselipkan ke dalam toko melalui lubang surat.

Surat yang berisi permintaan saran. Sungguh aneh.

Namun, surat aneh itu ternyata membawa mereka dalam petualangan melintasi waktu, menggantikan peran kakek pemilik toko kelontong yang menghabiskan tahun-tahun terakhirnya memberikan nasihat tulus kepada orang-orang yang meminta bantuan.

Hanya untuk satu malam.

Dan saat fajar menjelang, hidup ketiga sahabat itu tidak akan pernah sama lagi..

Isi Buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Sesuai dengan sinopsis yang tertera pada bagian belakang buku, novel ini awalnya mengambil sudut pandang dari tiga pemuda yang baru saja melakukan pencurian. Mereka adalah Atsuya, Shota, dan Kohei. Mereka bersembunyi di sebuah toko kelontong yang sudah tak berpenghuni.

Lantas, tiba-tiba datang sepucuk surat yang masuk ke dalam toko tersebut tanpa ada orang di sekitar. Lebih menegangkannya lagi, toko tersebut ditulis oleh seseorang yang berasal dari masa lalu! Karena penasaran, mereka pun mencoba menulis balasannya.

Atsuya yang tegas dan blak-blakan memiliki gaya menulis surat yang galak seolah sedang memarahi, sedangkan kedua temannya yang lain lebih lembut dan berempati. Ajaibnya, setiap mereka selesai mengirimkan surat balasan, maka balasan selanjutnya akan segera datang.

Kurang lebih seperti itulah ringkasan plot cerita dari bagian pertama yang berjudul “Jawaban Ada di Kotak Susu.” Novel ini masih memiliki empat bagian lagi, yang masing-masing memiliki kisahnya sendiri, walau pada akhirnya akan ada benang merah di bagian akhir.

Tentu saja masing-masing bagian selalu memiliki kaitan dengan toko kelontong Namiya, entah itu sebagai orang yang meminta saran atau sang pemilik toko itu sendiri ketika masih hidup. Keempat bagian yang lain memiliki judul:

2. Alunan Harmonika di Malam Hari

Berpusat pada seorang pemuda yang dilema mengenai kariernya sebagai musisi. Lantas, ia pun berkonsultasi dengan toko kelontong Namiya yang dekat dengan rumahnya. Menariknya, semua surat yang ia kirimkan dibalas oleh ketiga pemuda yang telah disebutkan sebelumnya.

3. Semalam di Civic

Setelah mendapat gambaran bagaimana ketiga pemuda tersebut mengalami “perjalanan waktu” sejak masuk toko kelontong tersebut, kita akan dibawa ke sudut pandang pemilik toko tersebut, yakni Yuji Namiya, dan anaknya, Takayuki.

Pada bagian ini, kita jadi bisa memahami mengapa Yuji di penghujung hidupnya membuka layanan konsultasi gratis. Meskipun banyak yang iseng, Yuji selalu berusaha membalas semuanya dengan serius dan bijak.

4. Mengheningkan Cipta Bersama The Beatles

Pada bagian empat, kita akan dibawa ke cerita baru yang berpusat pada mantan penggemar band The Beatles. Namun, di satu titik ia menjadi membenci band tersebut dan memutuskan untuk menjual semua koleksinya.

Hal tersebut terjadi menjelang kaburnya ia bersama orang tuanya, yang sedang terlilit masalah dan hutang. Bahkan, ia pada akhirnya memutuskan untuk kabur dan meninggalkan orang tuanya karena suatu alasan.

5. Doa dari Langit

Penutup dari novel ini berpusat pada seorang wanita muda yang berkarier sebagai seorang hostess. Karena dilema, ia pun meminta nasehat dari Toko Kelontong Namiya (di mana yang membalasnya adalah ketiga pemuda yang telah disebutkan di atas).

Meskipun terkadang merasa tidak cocok dengan gaya bahasa balasan surat tersebut, ia memutuskan untuk menuruti semua nasehatnya dan akhirnya berhasil menjadi seorang wanita yang sukses.

Yang menarik dari bab ini adalah kita menjadi mendapatkan penjelasan mengenai keajaiban yang terjadi di Toko Kelontong Namiya. Selain itu, seluruh cerita dari bab pertama hingga terakhir pun jadi jelas benang merahnya.

Setelah Membaca Buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Dari ratusan novel yang pernah dibaca oleh Penulis, rasanya baru kali ini ada yang berhasil membuat Penulis merasa merinding tak karuan. Tidak hanya karena nuansa supranaturalnya, tapi juga karena plot ceritanya yang kadang terasa getir.

Banyak Kesamaan dengan Funiculi Funicula

Meskipun ditulis oleh orang yang berbeda, entah mengapa Keajaiban Toko Kelontong Namiya memiliki kesan yang mirip dengan seri Funiculi Funicula. Selain ada unsur supranatural, cerita-cerita yang dihadirkan pun cukup heartwarming walau tidak sampai bikin mewek.

Selain itu, ada juga unsur time travel di novel ini, walau yang pergi ke masa lalu hanya surat-surat, bukannya orangnya seperti yang terjadi di kafe Funiculi Funicula. Itu pun sudah cukup karena surat tersebut menjadi salah satu kekuatan utama dari novel ini.

Penokohannya pun juga sama-sama PR karena Penulis kesulitan mengingat nama dalam bahasa Jepang. Apalagi, novel ini juga memiliki banyak karakter. Bayangkan, setiap cerita selalu menghadirkan karakter baru.

Benang Merah dari Kisah-Kisah yang Seolah Tak Berhubungan

Formula yang dimiliki oleh novel ini mengandung salah satu unsur yang Penulis sukai, yakni bagaimana beberapa kisah yang seolah tidak memiliki keterkaitan ternyata memiliki benang merah yang tak terduga. Padahal, cerita yang dimiliki seolah bisa berdiri sendiri-sendiri.

Begitu menyelesaikan novel ini, rasanya cerita yang terjalin berhasil menjadi full circle, di mana cerita berakhir di mana ia bermula. Novel ini juga memiliki alur waktu yang tidak linier, mirip dengan film-film buatan Christopher Nolan.

Walaupun begitu, alurnya bisa dibilang mengalir dengan mulus tanpa ada plot hole. Cerita dengan latar waktu yang rumit bisa dibuat mudah dipahami. Apalagi, tidak ada adegan yang terasa percuma. Semua memiliki alasan mengapa harus diceritakan.

Mungkin bagi yang mendalami konsep time travel akan mempertanyakan beberapa paradoks yang terjadi karena semua kejadian yang ada berada dalam satu lingkaran yang sama. Ini terutama akan sangat terasa di bab terakhir.

Karakter Favorit: Yuji Namiya

Tanpa memberikan spoiler, karakter favorit Penulis di sini tentu saja adalah Yuji Namiya sang pemilik toko kelontong yang memberikan layanan konsultasi gratis. Di penghujung hidupnya, ia mengabdikan dirinya untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Luar biasa.

Meskipun adegannya lebih banyak flashback karena ia diceritakan telah meninggal di masa kini, kita bisa merasakan kehadirannya sepanjang cerita, terutama setelah membaca bab ketiga.

Salah satu hal yang paling membuat Penulis merasa terharu adalah bagaimana ia bahkan menyempatkan diri untuk membalas sebuah kertas kosong tanpa isi. Balasannya pun tidak main-main, benar-benar membuat merinding!

***

Penulis tidak ingin membocorkan banyak cerita atau plot dari novel ini, karena berharap Pembaca akan menemukan keseruannya sendiri ketika membaca novel ini. Tak berlebihan rasanya jika Penulis menyebut ini adalah salah satu novel terbaik yang pernah dibaca.

Yang jelas, rasanya tidak ada pertanyaan yang menggantung setelah menamatkannya, semua tuntas terjawab, termasuk mengapa bisa surat yang dikirimkan puluhan tahun lalu bisa baru sampai hari ini. Sangat direkomendasikan untuk semua kalangan!

Skor: 11/10


Lawang, 31 Maret 2024, terinspirasi setelah membaca buku Keajaiban Toko Kelontong Namiya

Buku

[REVIEW] Setelah Membaca The Devotion of Suspect X

Published

on

By

Setelah menamatkan novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya yang begitu berkesan, Penulis pun ingin kembali membeli novel karya Keigo Higashino. Sayangnya, dari riset yang Penulis lakukan, ternyata kebanyakan novel Keigo adalah novel detektif, bukan slice of life.

Hal tersebut sebenarnya bukan masalah, mengingat Penulis merupakan penggemar novel-novel detektif dan telah membaca semua seri Sherlock Holmes dan Agatha Christie. Yang jadi pertanyaan adalah judul mana yang sebaiknya Penulis baca dulu.

Setelah melihat rating di Goodreads, Penulis memutuskan untuk memilih novel berjudul The Devotion of Suspect X atau Kesetiaan Mr. X yang mendapatkan rating 4.2/5. Alhasil, novel ini berhasil membuat Penulis membeli novel Keigo lainnya.

Detail Buku The Devotion of Suspect X

  • Judul: The Devotion of Suspect X: Kesetiaan Mr. X
  • Penulis: Keigo Higashino
  • Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Kedua Belas
  • Tanggal Terbit: Januari 2024
  • Tebal: 320 halaman
  • ISBN: 9786020330525
  • Harga: Rp99.000

Sinopsis The Devotion of Suspect X

Ketika si mantan suami muncul lagi untuk memeras Yasuko Hanaoka dan putrinya, keadaan menjadi tak terkendali, hingga si mantan suami terbujur kaku di lantai apartemen. Yasuko berniat menghubungi polisi, tetapi mengurungkan niatnya ketika Ishigami, tetangganya, menawarkan bantuan untuk menyembunyikan mayat itu.

Saat mayat tersebut ditemukan, penyidikan Detektif Kusanagi mengarah kepada Yasuko. Namun sekuat apa pun insting detektifnya, alibi wanita itu sulit sekali dipatahkan. Kusanagi berkonsultasi dengan sahabatnya, Dr. Manabu Yukawa sang Profesor Galileo, yang ternyata teman kuliah Ishigami.

Diselingi nostalgia masa-masa kuliah, Yukawa sang pakar fisika beradu kecerdasan dengan Ishigami, sang genius matematika. Ishigami berjuang melindungi Yasuko dengan berusaha mengakali dan memperdaya Yukawa, yang baru kali ini menemukan lawan paling cerdas dan bertekad baja.

Isi Buku The Devotion of Suspect X

Seringnya, novel detektif akan membawa kita ke sebuah misteri di mana sosok pelaku masih belum diketahui. Sepanjang cerita, kita akan mengikuti penyelidikan yang dilakukan oleh detektif hingga akhirnya bisa menyimpulkan siapa pelaku pada kasus tersebut.

Nah, formula yang berbeda Penulis temukan pada novel ini. Dari sinopsisnya saja, kita sudah tahu siapa yang menjadi pelaku dalam kasus pembunuhan dan bagaimana ia mendapatkan bantuan dari tetangganya agar tidak perlu sampai ditangkap oleh polisi.

Dari sana, alur yang dimiliki oleh novel ini sama seperti novel detektif kebanyakan, di mana pihak kepolisian yang buntuk akhirnya akan meminta bantuan orang di luar kepolisian. Di sini, sosok detektifnya adalah Dr. Manabu Yukawa yang merupakan seorang asisten dosen fisika.

Sama seperti Hercule Poirot ataupun Sherlock Holmes, Yukawa juga memiliki metodenya sendiri untuk bisa memecahkan sebuah kasus. Apalagi, kali ini teman kuliahnya yang bernama Ishigami terlibat, sehingga ia memiliki cara pendekatannya sendiri.

Duel antara Yukawa yang merupakan jenius fisika dan Ishigawa yang merupakan jenius matematika menjadi bagian yang cukup menarik. Pertarungan mereka seperti pertanyaan: mana yang lebih sulit, menulis jawaban sendiri atau mengoreksi jawaban orang lain?

Kejeniusan Ishigawa berhasil membuat Yasuko Hanaoka dan putrinya, yang menjadi pelaku pembunuhan mantan suaminya, memiliki alibi sempurna. Semua skenario seolah sudah ia perhitungkan, dan selama Yasuko dan anaknya yang bernama Misato bisa melakukan apa yang perintah, harusnya semua aman.

Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh Ishigawa adalah keterlibatan Yukawa di kasus ini. Jika saja Yukawa tidak terlibat, kemungkinan besar semua rencana yang telah ia susun akan berhasil hingga akhir dan pihak kepolisian akan mengalami kebuntuan.

Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya tidak akan ikut olimpiade jatuh juga.

Penulis tidak akan terlalu banyak membocorkan cerita dari novel ini, karena nilai plusnya justru di bagian plot twist-nya. Yang jelas, Penulis yang sudah sering membaca novel detektif pun terkecoh hingga bagian akhir.

Setelah Membaca The Devotion of Suspect X

Belajar dari kesalahan tak bisa menghafal nama-nama Jepang di novel-novel Jepang, Penulis memutuskan untuk memberi otaknya waktu sejenak untuk menghafalkan ini siapa dan perannya apa. Hal tersebut cukup membantu Penulis membedakan karakter-karakter yang ada di novel ini.

Sebenarnya Penulis tidak ingin terlalu memberikan bocoran mengenai alur cerita novel ini. Hanya saja, ada beberapa poin yang ingin Penulis ulas yang mengharuskan Penulis sedikit memberikan bocoran. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan spoiler alert di sini.

Awalnya Kurang Mengesankan, Akhirnya Bikin Terkejut

Saat membaca bagian awal novel ini, Penulis merasa kalau alurnya cukup tertebak karena kedalaman ceritanya memang cukup dangkal jika dibandingkan dengan karya Agatha Christie. Apalagi, di pembatas buku tertulis Asianlit, sehingga Penulis merasa wajar jika cerita misterinya dibuat agak ringan.

Sejak awal, Penulis sudah menebak kalau Ishigami pada akhirnya akan menyerahkan diri ke polisi apabila situasinya sudah semakin gawat. Dari awal hingga menjelang akhir, inilah aksi paling bucin dari Ishigami kepada Yukawa.

Untuk apa sampai berbuat segitunya demi orang yang tidak terlalu dekat? Bukankah membantu menutupi pembunuhan saja sudah tidak normal? Di bagian akhir nanti akan dijelaskan mengapa Ishigami sampai sebucin dan senekat itu.

Lantas jika tertebak, di mana letak plot twist-nya? Jawabannya ada di dua bab terakhir, di mana plot twist-nya adalah tentang sampai sejauh mana Ishigami rela berbuat demi melindungi Yukawa. Penulis benar-benar terkejut ketika membacanya.

Membandingkan Yukawa dengan Poirot dan Holmes

Berbicara tentang sosok Yukawa yang menjadi main detective di novel ini, kesan pertama yang Penulis dapatkan adalah kemampuan deduksi dan analisisnya masih di bawah Poirot dan Holmes. Cara-cara yang ia lakukan dalam menyelesaikan kasus ini bisa dibilang biasa saja, tidak ada yang istimewa.

Yukawa memang bisa menghubungkan satu fakta dengan fakta lainnya seperti yang dilakukan Poirot dengan sel-sel kelabu di otaknya, tetapi entah mengapa terasa cukup lamban. Kalau kemampuan deduksi, Holmes jelas masih di atasnya.

Yukawa seolah digambarnya sebagai seorang akademisi yang kebetulan kelewat jenius saja, sehingga bisa melihat apa yang dilewatkan oleh pihak kepolisian. Namun, kemampuan detektifknya bisa dibilang tidak terlalu menonjol.

Duelnya dengan Ishigawa sendiri bukan duel ala Holmes vs. Moriaty di mana mereka berusaha saling mengalahkan. Duel mereka “hanya” bagaimana Yukawa berusaha membongkar trik yang dilakukan oleh Ishigawa untuk menutupi kejahatan yang dilakukan oleh Yasuko.

Memang terlalu dini untuk menilai Yukawa karena Penulis baru membaca satu serinya. Penulis jadi tidak sabar untuk membaca seri Detektif Galileo selanjutnya, mungkin penilaian Penulis terhadapnya akan berubah.

Sedikit Kekurangan

Jika disuruh menuliskan kekurangan dari novel ini, mungkin bagian penyelidikan yang dilakukan oleh Detektif Kusanagi dan lainnya cukup berputar-putar di tempat tanpa ada progres yang berarti, sehingga di beberapa bagian alurnya akan terasa lambat.

Sejak awal, Yasuko menjadi target utama kepolisian karena hubugannya sebagai mantan istri Togashi. Namun, alibi Yasuko dan Misato nyaris sempurna dan pihak kepolisian tidak bisa membuktikan alibi mereka palsu. Inilah yang membuat penyelidikan menjadi berputar-putar.

Apalagi, Yasuko dan Misato berhasil menjalankan semua perintah Ishigawa dengan sempurna, sehingga kepolisian pun jadi yakin atas kesaksian mereka. Sedikit saja kesalahan yang mereka lakukan, rencana Ishigawa bisa buyar.

***

Kesimpulannya, The Devotion of Suspect X merupakan sebuah novel detektif dengan pendekatan yang berbeda. Alih-alih menebak-nebak siapa pelakunya, kita justru diberikan suguhan duel antara dua jenius: yang ingin menutupi kejahatan dan yang ingin membongkarnya.

Dengan pendekatan yang fresh ini, Penulis jadi merasa membaca sebuah novel yang unik dan cukup berkesan. Konklusi kisahnya pun memuaskan, meskipun terasa getir. Mungkin Keigo memang doyang membuat kisah yang membuat hati pilu.

Skor: 8/10

Saat hampir menamatkan novel ini pada hari Kamis (6/6/24) kemarin, Penulis memutuskan untuk membeli novel Keigo lainnya yang berjudul A Midsummer’s Equation. Semoga saja keseruan ceritanya minimal setara dengan yang baru Penulis tamatkan ini.


Lawang, 8 Juni 2024, teinspirasi setelah membaca buku The Devotion of Suspect X karya Keigo Higashino

Continue Reading

Fiksi

[REVIEW] Setelah Membaca Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Published

on

By

Pada tulisan ulasan novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya, Penulis sudah menyebutkan kalau dirinya membeli buku tersebut karena tertarik membaca novel-novel karya penulis Jepang setelah membaca seri Funiculi Funicula.

Sebenarnya sebelum membaca buku tersebut, Penulis sudah membaca novel Jepang lain berjudul Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi. Hanya saja, novel tersebut kurang berkesan, sehingga Penulis jadi malas membuat ulasannya.

Namun, karena sesuai jadwal harusnya novel ini dibuat ulasannya dan kemalasan menuliskannya membuat tulisan yang lain jadi ikut tertunda, Penulis pun meniatkan diri untuk menyelesaikan artikel ini.

Detail Buku

  • Judul: Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata
  • Penulis: Sakae Tsuboi
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Keduabelas
  • Tanggal Terbit: Maret 2023
  • Tebal: 248 halaman
  • ISBN: 9786020651729
  • Harga: Rp70.000

Sinopsis Buku Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Sebagai guru baru, Bu Guru Oishi ditugaskan mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Di sana dia belajar memahami kehidupan sederhana dan kasih sayang yang ditunjukkan murid-muridnya. Sementara waktu berlalu, tahun-tahun yang bagai impian itu disapu oleh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Perang memorak-porandakan semuanya, dan anak-anak ini beserta guru mereka mesti belajar menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Isi Buku Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Berhubung novelnya tipis (hanya sekitar 200 halaman), sebenarnya cerita yang disajikan sederhana saja. Apa yang tertuang di bagian sinopsis sudah menjelaskan garis besar cerita novel ini, sehingga rasanya Penulis tidak perlu menceritakan lagi apa isi buku ini.

Setelah Membaca Buku Twenty-Four Eyes: Dua Belas Pasang Mata

Ketika melihat novel ini di toko buku, Penulis tertarik dengan latar pendidikan yang diangkat di antara dua era Perang Dunia ini. Dengan jumlah murid yang sedikit di tempat terpencil, Penulis juga jadi berharap kalau isinya akan mirip dengan Laskar Pelangi.

Sayangnya, harapan tersebut pupus begitu saja ketika Penulis sudah mulai membaca novel yang tergolong klasik ini. Penulis sama sekali kesulitan untuk bisa menikmati gaya bahasanya dan alur ceritanya.

Bahkan, Penulis tidak bisa banyak ingat apa saja kisah yang ada di dalamnya. Ceritanya berkutat di antara bagaimana bu guru yang bergaya modern harus beradaptasi dengan lingkungan desa judgemental dan berbagai konflik yang dihadapi oleh para muridnya.

Selain itu, berbeda dengan Laskar Pelangi, Penulis sangat kesulitan untuk membedakan murid-muridnya. Apalagi, novel ini juga tidak memiliki satu figur tokoh utama yang bisa membantu kita menavigasi arah cerita.

Sudah namanya sulit-sulit, masing-masing pun rasanya tidak terlalu memiliki ciri khas yang menonjol untuk diingat. Alhasil, sepanjang cerita, Penulis kesulitan untuk membayang tiap adegan yang terpampang karena merasa kesulitan untuk mengasosiasikan ini siapa itu siapa.

Saat mengecek di Goodreads, sebenarnya ada banyak pembaca novel ini yang jatuh cinta dan menganggap ceritanya yang bittersweet menyentuh hati. Sayangnya, Penulis bukan salah satunya karena sungguh tidak bisa menikmatinya.

Bahkan ketika habis membacanya, sama sekali tidak muncul perasaan haru. Yang ada justru rasa syukur karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini yang walaupun pendek, rasanya sangat berat untuk menamatkannya.

Tidak hanya itu, Penulis juga bersyukur karena akhirnya bisa mengurangi “tanggungannya” dengan menuliskan ulasan singkat tentang novel ini. Setidaknya satu beban tulisan telah selesai.

Rating: 3/10


Lawang, 12 Mei 2024, terinspirasi setelah membaca buku Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi

Continue Reading

Buku

[REVIEW] Setelah Membaca Dona Dona

Published

on

By

Setelah membaca dua buku Funiculi Funicula yang sudah pernah Penulis ulas sebelumnya, tak pernah terbesit di pikiran kalau buku ini akan memiliki buku ketiganya. Maka dari itu, ketika pertama kali melihat buku berjudul Dona Dona di rak toko buku, Penulis benar-benar terkejut.

Awalnya, Penulis tak mengira kalau buku ini merupakan sekuel dari Funiculi Funicula karena judulnya yang benar-benar berbeda. Yang membuat Penulis sadar kalau buku ini merupakan buku ketiga dari seri tersebut adalah desain cover-nya, yang masih “gaya” yang sama dengan dua buku sebelumnya.

Ternyata, siapa sangka, kalau kafe Funiculi Funicula di Tokyo memiliki cabang di Hokaido, dengan keluarga pemilik yang sama pula. Kafe ini pun sama ajaibnya, karena mampu membawa pengunjungnya untuk pergi ke masa lalu maupun masa depan, dengan segudang peraturan.

Detail Buku

  • Judul: Dona Dona
  • Penulis: Toshikazu Kawaguchi
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: Agustus 2023
  • Tebal: 264 halaman
  • ISBN: 9786020671710

Sinopsis Buku Dona Dona

Di sebuah lereng indah tak bernama di Hakodate, Hokkaido, berdiri Kafe Dona Dona yang menawarkan layanan istimewa kepada pengunjungnya: perjalananan melintasi waktu. Seperti di Funiculi Funicula yang ada di Tokyo, hal tersebut hanya dapat dilakukan jika berbagai peraturan yang merepotkan dipenuhi dan dengan secangkir kopi yang dituangkan oleh perempuan di keluarga Tokita.

Mereka yang ingin memutar waktu adalah seorang wanita muda yang menyimpan dendam kepada orangtua yang menjadikannya yatim piatu kesepian, seorang komedian yang kehilangan tujuan hidup setelah berhasil mewujudkan impian mendiang istrinya, seorang adik yang khawatir kakaknya takkan bisa tersenyum lagi setelah kepergiannya, dan seorang pemuda yang tak mampu mengungkapkan cinta terpendam kepada sahabatnya.

Mungkin perjalanan mereka hanya akan menyisakan kenangan. Namun, kehangatannya akan membekas dan barangkali, pada akhirnya, menumbuhkan tekad baru untuk menjalani hidup…

Isi Buku Dona Dona

Nagare Tokita, pemilik kafe Funiculi Funicula, harus pergi ke Hakodate, Hokaido, untuk menjaga kafe Dona Dona yang selama ini dikelola oleh ibunya, Yukita. Alasannya, Yukita tiba-tiba pergi ke Amerika untuk menolong seseorang.

Untuk sementara waktu, Funiculi Funicula di-handle oleh anak Nagare, Miki, karena Kazu Tokita juga ikut ke Hokaido. Menariknya, kita akan berkenalan dengan Sachi, anak dari Kazu yang secara resmi menjadi penuang kopi yang akan membawa peminumnya pergi ke masa lalu atau masa depan.

Karakter Sachi bisa dibilang sebagai pencuri perhatian terbesar di buku ini. Kemampuannya membaca buku-buku berat (mulai karya Shakespears hingga fisika kuantum) di usianya yang baru 7 tahun menandakan kecerdasan ibunya menurun padanya.

Di antara banyaknya buku yang ia baca, Seratus Pertanyaan: Bagaimana Jika Hari Esok Kiamat menjadi fokus utama dari buku ini karena hampir selalu disebutkan di masing-masing bab, dan releven untuk masing-masing kisah yang diceritakan.

Tidak hanya Yukita (yang belum terlihat sosoknya) dan Sachi, ada beberapa karakter baru yang dihadirkan oleh novel ini, seperti Reiji (pekerja paruh waktu di Dona Dona), Nanako (teman masa kecil Reiji), hingga Saki (pengunjung tetap Dona Dona, seorang psikiater).

Sama seperti dua pendahulunya, buku ini juga memiliki empat cerita dengan keunikannya masing-masing. Keempat cerita tersebut adalah:

  1. Kisah Anak Perempuan yang Tidak Bisa Mengatakan “Dasar Menyebalkan”: Tentang seorang wanita muda yang menyimpan dendam kepada orangtua yang menjadikannya yatim piatu kesepian
  2. Kisah Komedian yang Tidak Bisa Bertanya “Apa Kau Bahagia?”: Tentang seorang komedian yang kehilangan tujuan hidup setelah berhasil mewujudkan impian mendiang istrinya
  3. Kisah Seorang Adik yang Tidak Bisa Mengatakan “Maaf”: Tentang seorang adik yang khawatir kakaknya takkan bisa tersenyum lagi setelah kepergiannya
  4. Kisah Pemuda yang Tidak Bisa Mengatakan “Aku Suka Padamu”: Tentang seorang pemuda yang tak mampu mengungkapkan cinta terpendam kepada sahabatnya

Tidak hanya lokasi kafe yang berubah, sosok hantu yang menduduki kursi ajaib di kafe Dona Dona juga berbeda. Jika di Funiculi Funicula sosoknya adalah ibu Kazu, maka di Dona Dona ada sosok pria tua yang masih misterius.

Meskipun hanya sekilas, buku ini juga menjadi penjelas mengapa ketika Rei Nagare melakukan time traveling di buku pertama, Nagare dan Kazu justru berada di Hokaido. Untungnya, Miki masih ada di Tokyo dan akhirnya bisa bertemu dengan ibu kandungnya.

Setelah Membaca Buku Dona Dona

Secara formula, sebenarnya Dona Dona memiliki formula yang mirip-mirip dengan Funiculi Funicula, di mana pengunjung yang memiliki “masalah” di masa lalu (maupun masa depan) ingin melakukan perjalanan waktu.

Walaupun menggunakan formula yang sama, Penulis sama sekali tidak mempermasalahkannya karena menganggap hal tersebut sebagai konsistensi. Apalagi, cerita-cerita yang disajikan juga sangat heartwarming dan menyentuh hati.

Dengan lokasinya yang berpindah ke Hokaido juga berhasil memberikan efek penyegaran, yang ditambah dengan adanya beberapa karakter baru (yang tentu juga membutuhkan waktu untuk mengingatnya, mengingat betapa sulitnya nama-nama Jepang).

Jika dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, Dona Dona lebih sering membahas tema tentang kematian dan perasaan kehilangan. Bahkan, ada cerita yang di mana tokohnya ingin stay di masa lalu (untuk mati), seperti yang pernah terjadi di buku pertama.

Menurut Penulis (dan rasanya akan ada banyak pembaca buku ini yang setuju), salah satu quote kunci dari buku ini adalah ucapan dari Yukita di akhir buku yang berbunyi:

“Menurutku, kematian tidak seharusnya menjadi alasan seseorang untuk tidak bahagia. Sebab, tak ada orang yang tak akan mati. Jika kematian adalah penyebab ketidakbahagiaan, berarti semua orang dilahirkan untuk tidak bahagia. Hal itu tidak benar. Setiap orang tentu dilahirkan demi kebahagiaan.”

Hal. 263

Salah satu alasan unik yang membuat buku ini akan membuat penasaran para pembacanya adalah adanya halaman yang berwarna hitam pekat. Ternyata, alasan halaman tersebut dibuat berwarna hitam adalah karena mati lampu! Tentu alasan lainnya adalah menimbulkan efek dramatisir yang menarik.

Meskipun ada banyak karakter baru, Kazu tetap menjadi karakter favorit Penulis di sini berkat pembawaannya yang dewasa dan tenang. Kemampuan analisis dan kecerdikannya juga cukup terlihat di sini, walau mungkin ada yang berpendapat hal tersebut kalah jika dibandingkan buku keduanya.

Masih banyak misteri yang belum terungkap di buku ketiga ini, seperti sosok Yukita yang masih keluar negeri maupun cerita di balik sosok pria tua yang menjadi hantu penunggu kursi di Dona Dona.

Setelah melakukan riset kecil-kecilan, ternyata buku ini juga akan memiliki buku keempat dan kelimanya, sehingga tinggal menunggu waktu saja untuk membeli buku-buku tersebut ketika sudah dirilis di Indonesia untuk menjawab misteri yang tersisa.

Skor: 9/10


Lawang, 17 Maret 2024, terinspirasi setelah membaca buku Dona Dona

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan