Connect with us

Politik & Negara

Analogi Perpindahan Ibu Kota

Published

on

Alkisah di suatu negeri, hidup seseorang bernama Budi. Ia tinggal di sebuah rumah yang kondisinya sudah mengenaskan. Atap bocor, dinding berlubang, kualitas airnya buruk, barangnya penuh di mana-mana, banyak hewan pengerat, dan lain sebagainya.

Karena kondisinya yang seperti itu, Budi berniat untuk pindah rumah. Ia merasa rumahnya sudah tidak terselamatkan lagi. Mau direnovasi seperti apapun, hasilnya akan tetap sama saja.

Masalahnya, Budi bukan orang kaya. Ia adalah orang miskin yang hutangnya tersebar hingga menumpuk tidak karuan. Tak jarang ia melakukan gali lubang tutup lubang.

Walaupun begitu, ada tetangganya yang tajir melintir bersedia meminjam uang ke Budi dengan syarat mudah. Namanya adalah Tomingsek, terkenal sebagai pengusaha yang sukses karena bisnisnya yang telah mendunia.

Tomingsek pun meminjami uang kepada Budi agar bisa memiliki rumah baru yang lebih layak huni. Budi, yang sudah terbayang-bayang akan memiliki rumah baru, langsung saja menandatangani surat perjanjian yang tidak dibacanya dengan cermat.

Maka setelah pembangunan yang dilakukan cukup cepat, Budi pindah ke rumah baru yang lebih bagus. Awalnya, ia merasa nyaman sekali di rumah tersebut.

Sayang, Budi tidak bisa menjaga rumahnya dengan baik. Satu per satu permasalahan yang muncul di rumah lamanya kini muncul di rumah barunya. Beberapa tetangganya mulai mengajukan protes akibat terkena imbas dari kebiasaan buruk Budi.

Belum lagi Tomingsek yang mulai menagih Budi untuk membayar hutangnya dengan bunga berlipat ganda. Di dalam surat perjanjian, apabila Budi tak mampu melunasi hutangnya dalam kurun waktu tertentu, maka rumah tersebut akan menjadi milik Tomingsek

Karena tak sanggup membayar, maka Budi harus merelakan rumahnya diambil alih oleh Tomingsek. Budi masih diiziinkan untuk tinggal di rumah tersebut, namun menjadi seorang jongos yang harus menjaga dan merawat rumah tersebut.

***

Berawal dari pertanyaan Ayu di pagi hari, penulis mendapatkan inspirasi untuk membuat analogi di atas. Ayu bertanya, apa alasan yang mengharuskan Indonesia harus memiliki ibu kota baru di Kalimantan sana.

Karena tidak ingin mengecewakan, penulis pun melakukan riset kecil-kecilan. Dirangkum dari berbagai sumber, inilah alasan-alasan mengapa Indonesia harus memiliki ibu kota baru:

  1. Beban Jakarta sebagai ibu kota dan pusat bisnis terlalu berat
  2. Jakarta mempunyai segudang permasalahan klasik seperti polusi, macet, dan lain-lain
  3. Jakarta rawan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi
  4. Jumlah penduduk Jakarta sudah terlampau padat
  5. Mengurangi jawasentris (56% penduduk Indonesia tinggal di Jawa, Produk Domestik Bruto (PDB) juga sangat dominan di mana 20.85% di Jabodetabek)
  6. Tanah yang semakin sempit karena konversi lahan menjadi hunian penduduk
  7. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Masalah yang dimiliki oleh Jakarta, ibu kota Indonesia yang sekarang, memang ada banyak sekali. Mau gubernurnya 10 orang pun belum tentu masalah tersebut dapat diselesaikan.

Benarkah Sudah Mendesak?

Jika kondisi ekonomi negara kita sedang baik-baik saja, tentu penulis sama sekali tidak merasa keberatan karena pada dasarnya penulis menyetujui permasalahan-permasalahan yang diajukan sebagai dasar perpindahan ibu kota.

Masalahnya, menurut penulis ekonomi negara kita tidak sedang baik-baik saja. Tidak perlu membayangkan hutang negara yang jumlahnya ribuan triliun, di berita banyak judul tulisan yang menunjukkan tunggakan negara di berbagai sektor.

Contohnya adalah BPJS. Banyaknya tunggakan di sektor ini pada akhirnya membuat pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebanyak 100 persen, walaupun katanya belum keputusan final.

Kabar ini penulis dengar dari teman kantor penulis, dan jujur membuat terkejut. Tentu muncul pertanyaan, mengapa anggaran untuk memindahkan ibu kota tidak digunakan untuk melunasi tunggakan-tunggakan semacam ini?

Uangnya Darimana?

Dilansir dari CNBC Indonesia, dibutuhkan kurang lebih 466 triliun rupiah untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Dari mana kita bisa mendapatkan dana tersebut?

Sebanyak 19,2% atau Rp89,472 triliun diambil dari APBN, 26,2% atau Rp122,092 triliun dari swasta, dan 54,6% atau Rp254,436 triliun dari KPBU atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.

Tidak ada secara eksplisit menyatakan bahwa negara akan menggunakan hutang untuk membangun ibu kota baru. Tapi, secara implisit?

Dana tersebut digunakan untuk berbagai hal, seperti membangun infrastuktur gedung, jalan, pembukaan lahan baru, jalur transportasi umum, penyediaan listrik dan air bersih, dan masih banyak lainnya.

Jika rencana ini benar-benar akan direalisasikan dalam waktu dekat, semoga kita bisa banyak belajar dari negara-negara lain yang sukses memindahkan ibu kotanya.

Penutup

Ayu, yang memang cukup menyoroti permasalahan lingkungan, melihat sisi lain dari rencana ini. Gadis tersebut mengkhawatirkan tentang ancaman terulangnya “kerusakan” Jakarta di Kalimantan.

Menurutnya, masyarakat kita belum memiliki kesadaran lingkungan terlalu tinggi. Hal remeh seperti buang sampah pada tempatnya saja susahnya minta ampun. Jika sampai Kalimantan menjadi rusak karena itu, tentu akan menjadi pukulan bagi kita semua.

Kami berdua menutup diskusi dengan mengatakan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah pemerintah memindahkan ibu kota ini. Sebagai warga negara yang baik, kami hanya bisa mengeluarkan aspirasi seperti ini.

Yang jelas, penulis berharap perpindahan ibu kota yang telah diteken ini akan membawa kebaikan sebesar-besarnya bagi masyarakat kita, bukan menguntungkan pihak lain yang dari dulu selalu berebut kue lezat bernama Indonesia.

Semoga saja, kejadian yang menimpa Budi pada cerita di atas tidak akan sampai terjadi pada bangsa kita.

 

Kebayoran Lama, 31 Agustus 2019, terinspirasi dari diskusi dengan Ayu terkait masalah perpindahan ibu kota

Photo by Ghani Noorputrawan on Unsplash

Politik & Negara

Berusaha Memahami Situasi Politik yang Sedang Terjadi Saat Ini

Published

on

By

Selama beberapa minggu terakhir, drama perpolitikan di Indonesia benar-benar dinamis sekaligus panas. Penyebab utamanya tentu saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang entah mengapa penuh dengan drama.

Tidak hanya drama di Jakarta, banyak peristiwa politik lain yang juga terjadi bersamaan. Salah satu yang mencuri perhatian Penulis adalah banyaknya calon kepala daerah yang hanya berhadapan dengan kotak kosong karena terlalu gemuknya koalisi.

Oleh karena itu, ada banyak hal yang terbesit di pikiran Penulis setelah mengamati dunia politik pada masa-masa ini, sehingga merasa perlu untuk menuangkan pikiran dan opininya melalui tulisan ini.

Gagal Paham Netizen (atau Buzzer?) Menyikapi Peringatan Darurat

Reza Rahadian Sampai Turun ke Jalan (VOI)

Penulis sudah merangkum kejadian Peringatan Darurat pada tulisan sebelumnya. Intinya, pada akhirnya keinginan DPR untuk membuat RUU Pilkada demi membatalkan putusan MK dibatalkan karena desakan dari masyarakat.

Seperti yang kita tahu, menjelang rapat untuk membahas RUU Pilkada tersebut, masyarakat berkumpul di beberapa kota besar Indonesia untuk melakukan aksi protes. Bahkan, banyak public figure yang turun seperti Reza Rahadian, Andovi, serta banyak komika.

Nah, dengan dikabulkannya permintaan tersebut, tentu kita sebagai masyarakat merasa senang karena berhasil menahan pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengubah peraturan demi kepentingan tertentu. Iya, kan?

Ternyata, tidak semua berpikiran seperti itu. Ada pihak (kemungkinan buzzer) yang menuduh kalau gerakan Peringatan Darurat tersebut merupakan gerakan terstruktur yang dikomandoi oleh pihak tertentu untuk tujuan lain. Siapa? Mereka tidak menyebutkannya.

Lantas, tujuan lainnya itu apa? Nah, di sini Penulis tidak paham. Mayoritas pos yang kontra dengan Peringatan Darurat tidak menjelaskan secara spesifik apa maksud lain dari gerakan tersebut. Kalau yang pro kan jelas, kami tidak ingin peraturan diubah seenak udel-nya.

Anehnya, mereka justru melempar isu lain untuk memperkeruh keadaan. Contoh, mereka menyinggung masalah politik dinasti di Banten. “Kenapa kalian diam ketika ada dinasti di Banten,” kurang lebih begitu narasi dari mereka.

Bagi Penulis, mereka yang bernarasi seperti itu tidak paham substansi. Peringatan Darurat bukan muncul semata-mata untuk menolak dinasti, tapi (sekali lagi) mencegah agar jangan sampai peraturan bisa diubah semena-mena demi kepentingan tertentu.

Politik dinasti sudah banyak terjadi selama ini, bukan dipelopori oleh keluarga Joko Widodo selaku presiden kita. Tidak ada perarturan yang melarang kalau kita kerabat dari pejabat publik, kita dilarang untuk menjadi pejabat publik juga.

Yang dipermasalahkan adalah kalau dinasti itu dibangun dengan mengubah peraturan yang sudah ada. Kedua anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, sama-sama terganjal umur. Gibran berhasil diloloskan pamannya, tapi Kaesang tidak.

Nah, waktu meloloskan Gibran, tidak ada yang berdaya untuk mengubah keputusan MK tersebut, bukan? Lantas, mengapa saat MK memutuskan yang terakhir kemarin, tiba-tiba DPR bergerak cepat untuk menganulir keputusan tersebut? Ini kan anomali yang sangat aneh.

Isu lain yang dilempar ke publik adalah mempertanyakan mengapa para orang pro Peringatan Darurat tidak sevokal ini saat membahas RUU Perampasan Aset. Ini kesalahan logika lainnya karena sudah berbeda substansi. Buzzer memang selalu punya caranya sendiri, walau sering tak masuk akal.

Negara Tanpa Oposisi, tapi Lebih Parah

Diusung oleh Belasan Partai (Antara)

Salah satu poin yang diputuskan oleh MK adalah menurunkan batas threshold partai politik untuk bisa mencalonkan orang, dari 20% menjadi 7.5% saja. Tentu ini keputusan yang bagus sekali, karena threshold yang terlalu tinggi menimbulkan sedikitnya calon yang bisa dipilih.

Penulis pernah membahas mengenai bagaimana Jokowi berhasil mengalahkan lawan-lawannya tanpa berperang, yakni dengan cara mengajak koalisi lawan-lawannya. Hal ini tampaknya akan dilanjutkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

Dalam satu pernyataan, Prabowo pernah mengatakan kalau oposisi bukanlah budaya Indonesia, karena budaya Indonesia adalah gotong royong. Bagi Penulis, dalam negara yang mengusung demokrasi, ini adalah hal yang cukup berbahaya.

Hal ini bisa dilihat dari peta Pilkada saat ini, di mana ada begitu banyak satu calon diusung oleh hampir semua partai yang ada untuk melawan kotak kosong, atau minimal melawan calon independen. Ada puluhan kasus seperti ini di seluruh Indonesia.

Penulis ambil contoh di Jakarta, di mana Ridwan Kamil diusung oleh 15 partai. Partai Nasdem, PKB, dan PKS, yang awalnya ingin mengusung Anies Baswedan, berbalik arah dan ikut mendukung Ridwan Kamil karena gagal mencapai threshold.

Setelah keputusan MK, PDIP akhirnya maju sendirian dengan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Ada pasangan ketiga dari jalur independen, yang juga kontroversial karena mencatut banyak KTP orang dan tetap diloloskan untuk berlaga di Pilkada.

Di Jawa Timur pun begitu, di mana partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Khofifah. Yang berbeda adalah PDIP yang mengusuk Risma dan PKB yang mengusung Luluk.

Bayangkan, satu orang diusung oleh belasan partai. Jika pun mereka kalah, suara mereka di dewan akan sangat dominan. Lantas, bagaimana pihak Eksekutif dan Legislatif bisa bekerja dengan baik jika tidak seimbang seperti ini?

Negara butuh kontrol, karena itulah kita menganut trias politika. Tidak boleh ada satu pihak yang terlalu dominan. Kalau Eksekutif dan Legislatif-nya sejalan terus, lantas siapa yang bisa menjamin kalau semua keputusan yang dibuat akan menguntungkan untuk rakyat?

Kita seolah semakin bertransformasi menjadi negara tanpa oposisi yang makin parah. Siapa yang tidak mau ikut, entah baik atau buruk, akan ditinggal. Memang benar kalau tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi dan berada di luar kekuasaan.

Penutup

Situasi politik di Indonesia saat ini, setidaknya bagi Penulis, sudah berada di tahap yang membuat geleng-geleng kepala. Konsep bernegara yang kita kenal selama ini perlahan digeser, sehingga tak terasa kita akan dibawa kembali ke era otoriter seperti dulu.

Mungkin kita masih bisa bersuara, mungkin kita masih bisa melempar kritik. Akan tetapi, negara ini seolah sedang diatur oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing alias oligarki. Negara ini mau maju mau mundur, suka-suka mereka.

Kalau mau sarkas, sudah tidak perlu adakan Pemilu saja sekalian. Silakan pilih suka-suka kalian. Apakah namanya masih bebas, jika pilihan yang ada diatur-atur oleh pemilik kekuasaan, baik dengan cara halus maupun kasar?

Penulis yang ilmunya rendah ini berusaha memahami situasi politik saat ini, dan kesimpulannya, ini hanya tentang bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Nasib kita sebagai rakyat tak menjadi pertimbangan sama sekali.


Lawang, 4 September, terinspirasi setelah melihat komentar-komentar netizen (atau buzzer?) terkait peringatan darurat yang ramai beberapa minggu lalu

Foto Featured Image: Merdeka

Continue Reading

Politik & Negara

Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?

Published

on

By

Media sosial berhasil dibirugelapkan oleh netizen. Bukan karena sedang mendukung Chelsea, melainkan karena mereka semua sedang memberikan Peringatan Darurat beserta lambang Garuda dengan latar belakang biru gelap.

Melansir dari CNN, foto itu sendiri sebenarnya diambil dari video EAS Indonesia Concept di YouTube. Entah siapa yang pertama kali memiliki ide menggunakan footage dari video tersebut, yang jelas hal tersebut berhasil menjadi viral di media sosial.

Berhubung sudah lama tidak menulis tentang politik dan kebetukan sedang memperhatikan “drama” yang terjadi menjelang Pilkada Jakarta, Penulis memutuskan untuk menuangkan opininya terkait hal ini, mumpung ada momentum yang tepat dengan adanya Peringatan Darurat.

Latar Belakang Terjadinya Peringatan Darurat

Mungkin para Pembaca sudah banyak membaca kronologinya di media sosial. Oleh karena itu, Penulis hanya akan merangkumnya untuk memahami mengapa Peringatan Darurat ini bisa menjadi viral, bahkan memicu aksi demo oleh pihak-pihak tertentu.

Kita tarik dari kejadian pada tanggal 4 Juni 2024, ketika Mahkamah Agung mengubah peraturan KPU dari calon gubernur minimal berusia 30 tahun saat pemilihan menjadi berusia 30 tahun saat pelantikan. Ini ditenggarai untuk memuluskan anak dari Jokowi, Kaesang Pengarep, untuk melanggeng ke pemilihan.

Lalu di Jakarta, awalnya Koalisi Perubahan di pilpres sepakat ingin mengusung Anies Baswedan sebagai Cagub. Bahkan, PKS sudah menyodorkan nama Sohibul Iman sebagai wakilnya. Masalahnya, ketiga suara partai ini belum menyentuh angka 20% sebagai ambang batas.

Alhasil, satu per satu partai meninggalkan Anies dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan menjadi KIM Plus yang mengusung Ridwan Kamil. Anies, yang secara survei elektabilitas sebenarnya masih yang tertinggi, ditinggal begitu saja.

Di tengah drama partai politik ini, tiba-tiba ada calon independen yang berhasil mendapatkan ratusan ribu KTP: Dharma Pongrekun – Kun Wardana. Ternyata, banyak orang yang merasa KTP-nya dicatut begitu saja, padahal mereka merasa tidak pernah memberikan dukungan, termasuk anak dari Anies.

Kasus ini pun sempat ramai karena pihak kepolisian menghentikan penyelidikan dengan alasan itu adalah wewenagn Bawaslu. Padahal, pencurian data tersebut bisa dimasukkan ke dalam tindak pidana umum. Lebih parahnya lagi, KPU tetap menetapkan calon independen ini.

Pada tanggal 19 Agustus 2024, dengan sisa hanya dua bulan lagi, Jokowi melakukan reshuffle kabinet, termasuk Menter Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang berasal dari PDIP dengan Supratman Andi Agtas.

Keputusan dadakan ini banyak dianggap, selain membersihkan kabinet dari orang PDIP, juga menempatkan orangnya Jokowi di posisi penting tersebut. Ada yang menyebutkan kalau Jokowi sedang menyiapkan “sesuatu” hingga perlu melakukan reshuffle.

Keesokan harinya, pada tanggal 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan dari Partai Gelora dan Partai Buruh yang telah diajukan sejak tanggal 20 Mei 2024 untuk mengubah peraturan Pilkada. Keputusan tersebut adalah:

  1. Penurunan ambang batas atas dari 20% di DPRD atau 25% suara sah menjadi 7,5% suara sah
  2. Batas usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon, bukan saat pelantikan

Putusan pertama dianggap menguntungkan PDIP, yang saat ini solo player dan hanya memiliki 14% suara. Dengan peraturan ini, maka mereka memiliki tiket untuk maju ke Pilkada. Sedangkan putusan yang kedua akan menjegal Kaesang untuk maju ke Pilkada.

Namun, keesokan harinya pada 21 Agustus 2024, DPR melakukan rapat dan membahas RUU Pilkada. Singkat cerita, semua keputusan MK berusaha dibatalkan oleh mereka! Yang lebih bikin geram lagi, RUU untuk merespons putusan tersebut dibuat dengan sangat kilat.

Seperti yang kita tahu, selama ini DPR kerap bergerak lambat kalau menyangkut masalah rakyat, seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Perampasan Aset. Akan tetapi, kalau kebijakannya berkaitan dengan kepentingan kelompok tertentu, buset, cepatnya mengalahkan The Flash sekalipun.

Keputusan ini akan dibahas di rapat paripurna DPR yang kemungkinan diadakan pada hari Kamis, 22 Agustus 2024. Mengingat hampir semua partai berada di satu kubu, kemungkinan RUU tersebut akan disahkan dan akan membuat putusan MK tidak berlaku.

Menurut Hasan Nasbi selaku Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, pemerintah bakal mengikuti revisi UU Pilkada yang baru dibahas di DPR. Artinya, seandainya DPR tetap mengesahkan RUU ini, maka putusan MK seolah tidak dianggap.

Masyarakat yang sudah geram dengan kebobrokan ini pun memutuskan untuk turun ke jalan dan menggelar aksi demo. Semoga saja tidak terjadi kerusuhan, apalagi sampai menimbukan korban jiwa.

Apakah Memang Sedarurat Itu?

Menurut Penulis, drama yang tersaji jelang Pilkada Jakarta ini lebih parah dibandingkan waktu Pilpres kemarin. Banyak kejadian “kebetulan” yang terjadi, seolah menyudutkan salah satu bakal calon agar tidak sampai maju ke pemilu.

Awalnya, terlihat ada upaya kalau calon dari KIM Plus harus dihadapkan dengan calon independen. Jika melawan Anies yang elektabilitasnya masih tinggi, mereka akan sulit menang Kalau melawan kotak kosong, bisa jadi kemungkinan kotak kosong yang akan menang dan Pilkada harus diulang.

Lantas, apakah memang sedarurat itu? Menurut Penulis, iya, sedarurat itu. Mengapa demikian? Karena hukum dalam beberapa waktu terakhir seolah bisa terus diubah oleh penguasa, menyesuaikan kebutuhan dan kepentingan mereka.

Dulu menghujat MK, kok sekarang malah bela MK? Karena keputusan yang sekarang menguntungkan Anies, ya?

Karena kasusnya berbeda. Saat pencalonan Gibran kemarin, hakim MK sekaligus pamannya terbukti melakukan pelanggaran etik. Anehnya, keputusan pencalonan Gibran tetap sah hingga akhirnya terpilih.

Pada kasus MK yang sekarang, putusan mereka memang terlihat menguntungkan Anies dan PDIP. Namun, keputusan tersebut langsung dibegal oleh DPR dan upaya untuk membatalkannya sangat masif.

Pertanyaannya Penulis balik: mengapa dulu DPR diam saja melihat putusan MK yang kontroversial tersebut? Mengapa baru sekarang, dengan kecepatan cahaya, mereka bisa membatalkan keputusan MK?

Para Influencer Telah Bersuara

Kedaruratan ini, salah satu parameter kecil lainnya, juga bisa dilihat dari banyaknya tokoh atau influencer yang menunjukkan dukungannya terhadap gerakan ini. Jika di Pilpres kemarin banyak yang tidak menunjukkan keberpihakannya, maka kali ini banyak sekali tokoh maupun influencer yang bersuara.

Di Instagram pun begitu, mulai Najwa Shihab melalui Narasi-nya hingga para komikus favorit Penulis. Juki dan Mice Cartoon membuat ilustrasi Darurat, sedangkan komikus lain seperti Komikkamvret membuat pesan implisit melalui komiknya.

Di linimasa X (Twitter) lebih ramai lagi, di antaranya ada Andovi da Lopez, Panji Pragiwaksono, dan Ernest Prakasa. Bahkan, akun parfum HMNS, Habis Nonton Film, hingga F1 Speed Indonesia pun ikut bersuara. Banyak yang merangkum kronologi kejadiannya untuk memudahkan orang yang tidak terlalu mengikuti.

Menariknya (atau mirisnya), ada beberapa akun yang mengaku mendapatkan tawaran bombastis. Akun Neo Historia Indonesia mengaku kalau mereka diminta untuk mengadu domba pendukung Anies dan PDIP atas kasus penistaan agama yang pernah dilakukan oleh Ahok pada tahun 2017.

Penulis merasa, banyak pihak yang sudah kehabisan kesabaran dengan kelakuan elit politik kita yang bisa dengan seenak udelnya bisa memainkan hukum sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, tak heran pada akhirnya banyak public figure, yang sebelumnya terkesan diam, mulai bersuara.

***

Ini sudah bukan masalah siapa yang akan menang pemilu, tapi ini sudah menyangkut masalah keadilan. Seperti yang dikatakan oleh Andovi, yang masyarakat inginkan adalah proses pemilu yang fair dan adil. Hanya itu.

Deadline pendaftaran akan ditutup pada tanggal 27 Agustus 2024 atau sekitar tujuh hari kerja lagi. PDIP telah menyatakan mereka akan tetap mengusung Anies pada tanggal tersebut, terlepas dari hasil rapat paripurna DPR yang sangat instan.

Bagaimana akhirnya? Mari kita nantikan bersama, dan semoga apa yang telah terjadi di Bangladesh tidak terjadi di sini.


Lawang, 21 Agustus 2024, terinspirasi setelah ramainya Peringatan Darurat di media sosial

Continue Reading

Politik & Negara

Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…

Published

on

By

Dalam beberapa hari terakhir, di berita heboh dengan kebocoran data yang dialami oleh Pusat Data Nasional Siber (PDNS) 2 di Surabaya gara-gara terkena ransomware. Adanya penyanderaan data ini membuat banyak sektor menjadi lumpuh, termasuk keiimigrasian.

Tak main-main, biaya tebus yang diminta oleh sang pembobol mencapai 8 juta dolar atau setara Rp131 miliar. Dari berita terakhir yang Penulis baca, pihak pemerintah memutuskan untuk menyerah dan merelakan data yang dibobol hilang begitu saja.

Kejadian ini tentu saja membuat geram banyak netizen dan menganggap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang menaungi PDNS tidak becus dalam menjaga data masyarakatnya. Kita yang cuma masyarakat biasa ini khawatir karena data yang kita serahkan ke pemerintah tidak bisa dijaga dengan baik.

Apa Itu Ransomware?

Memahami Apa Itu Ransomware (PC World)

Sebelum membahas tentang bobolnya PSNS, ada baiknya kita memahami dulu apa itu ransomware. Melansir dari Oxford Dictionary, ransomware adalah jenis perangkat lunak berbahaya yang dirancang untuk memblokir akses ke sistem komputer sampai sejumlah uang dibayarkan.

Dengan kata lain, ransomware akan menyandera data kita dengan memblokir aksesnya. Biasanya, persebarannya melalui virus yang akan masuk ke dalam komputer kita. Begitu virusnya hinggap, maka akses akan dikuasai oleh pihak hacker.

Biasanya, hacker akan meminta sejumlah uang tebusan jika user komputer mau data yang telah ia sandera dikembalikan. Masalahnya, belum tentu data kita akan kembali setelah kita mengirim sejumlah uang ke mereka.

Melansir dari Trellix, ransomware biasanya ditargetkan untuk menyerang ke seluruh jaringan dan menargetkan basis data serta server file dengan tujuan untuk melumpuhkan yang diserang, seperti yang bisa kita lihat pada kasus PDNS.

Untuk mencegah ransomware, salah satu kunci utamanya selain memperkuat keamanan siber, ya rajin melakukan back up data agar seandainya terkena serangan, masih ada data cadangannya. Dalam kasus PDNS, ternyata banyak yang belum melakukan backup.

Dari sekitar 282 tenant yang terdampak dari serangan ini, diketahui hanya ada 44 tenant yang memiliki cadangan data. Penulis sampai heran, kok bisa data-data sepenting itu tidak di-backup.

Kronologi Bobolnya PDNS

Kok, Bisa Bobol, ya? (BSSN)

Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR dengan Kominfo serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada hari ini, sempat terungkap bahwa kebobolan PDNS bermula adanya upaya menonaktifkan Windows Defender sejak 17 Juni, hingga akhirnya benar-benar lumpuh pada tanggal 20 Juni.

Hal itu terbukti berdasarkan hasil forensik, di mana tahap pertama serangan terjadi pada tanggal 18 hingga 19 Juni 2024. Setelah itu, Directory Backup tiba-tiba dinonaktifkan pada tanggal 20 Juni dan sejak tanggal tersebutlah ransomware bernama Brain Cipher Ransomware berhasil dieksekusi.

Sejak datanya disandera, pihak pemerintah mengatakan bahwa mereka tidak akan membayar uang tebusan sebesar Rp131 miliar. Dari berita terbaru, pihak pemerintah mengatakan bahwa mereka malah sudah pasrah kehilangan data-data yang disandera karena servernya sudah tidak terselamatkan lagi.

Direktur Network dan IT Solution Telkom, Herlan Wijanarko, mengatakan walaupun data di PDNS 2 tersandera, kebocoran data bisa dibilang aman karena hanya terenkripsi di dalam sistem PDN. Apalagi, sistem PDNS 2 juga sudah diisolasi dan diputus aksesnya dengan luar.

Menurut Usman Kansong selaku Dirjen IKKP Kementerian Kominfo, hingga hari ini sudah ada beberapa tenant pemerintah yang terdampak telah pulih, yakni Imigrasi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kemenkomarves, Kota Kediri, dan Kemenag.

Masalahnya, masih ada banyak tenant yang terdampak dan tampaknya akan butuh waktu lama untuk pulih total. Setidaknya hingga akhir bulan Juni ini, pemerintah menargetkan setidaknya ada 18 tenant yang berhasil dipulihkan. Padahal, ada 200 lebih tenant yang terdampak.

Selama PDNS di Surabaya lumpuh, untuk sementara PDNS dipindahkan ke Batam dan Serpong, Tangerang. Proses isolasi juga telah dilakukan untuk mencegah ransomware menyebar ke jaringan lain. Tentu langkah-langkah untuk memperkuat pertahanan siber juga telah dilakukan.

Budi Arie Setiadi selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) berusaha membela diri kalau serangan ransomware menyerang berbagai negara. Ya memang, tapi dari banyaknya serangan ke negara-negera tersebut, berapa banyak yang bisa bobol dengan mudah seperti kita?

Penutup

Dalam debat pilpres kemarin, masalah pertahanan siber menjadi salah satu yang sempat dibahas dan dianggap rawan oleh salah satu pasangan calon. Waktu itu, banyak yang tidak percaya, hingga akhirnya terbukti dengan kejadian bobolnya PDSN ini.

Apalagi, masalah kebocoran data di negara kita ini seolah sudah menjadi hal yang biasa. Kita seolah tidak pernah belajar dari kasus yang sudah-sudah. Pertahanan siber kita jelas butuh banyak dibenahi untuk menghindari kasus serupa terulang di masa depan.

Seharusnya, kita itu melakukan yang namanya antisipasi, jangan menunggu diretas baru melakukan tindakan. Kalau datanya sudah sampai dibobol, yang rugi jelas kita sebagai masyarakat yang mempercayakan datanya untuk diberikan kepada pemerintah.


Lawang, 27 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca banyak berita tentang bobolnya Pusat Data Nasional (PDN)

Foto Featured Image: Markus Spiske

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan