Pengalaman
Satu Minggu di Bandung (Bagian 2)

Dibutuhkan satu jam perjalanan dengan menggunakan motor untuk pergi dari Bandung ke Jatinangor menuju kos lama Bayu. Karena tidak ada helm kedua, maka penulis harus melanggar peraturan lalu lintas sepanjang perjalanan. Untunglah, kami berdua selamat sampai tujuan.
Pada malam itu, penulis berhasil menamatkan novel Saman karya Ayu Utami, di mana hal tersebut membuat penulis begadang. Bahkan setelah buku tersebut habis, penulis langsung memulai membaca buku baru tentang Anies Baswedan.
7 September 2018: Bertemu Rekan Seperjuangan di Asian Games dan Berkeliling Unpad
Keesokan harinya, penulis mulai membantu Bayu untuk beres-beres barang kosnya. Setelah selesai sebagian, kami berdua sarapan bubur ayam di dekat sana. Bayu harus meninggalkan penulis setelah sarapan karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikannya.
Seusai Jum’atan, penulis membuat janji untuk bertemu dengan dua orang rekan sesama volunteer yang memang kuliah di Universitas Padjajaran (Unpad). Mereka adalah Brenda dan Evelyne, mahasiswi jurusan Public Relations (PR).
Karena mereka memiliki agenda rapat, penulis memutuskan untuk menunggu mereka berdua di Jatinagor Town Square (Jatos). Setelah makan siang dan reparasi kacamata yang telah miring (gratis), penulis memutuskan untuk menunggu di J.Co sambil menyelesaikan novel Leon dan Kenji.
Sekitar jam tiga, barulah Brenda dan Evelyne menampakkan diri. Setelah perbincangan singkat, kami memutuskan untuk pindah tempat ke Checo Cafe Resto, yang membuat penulis menyesal telah makan siang di KFC.

Dari Kiri: Penulis, Brenda, Evelyne
Kami mendiskusikan banyak hal, terutama tentang seputar dunia PR. Penulis merasa seperti wartawan yang sedang melakukan wawancara kepada narasumber. Diskusi berlangsung hangat dan cair, sehingga tak terasa dua jam kami mengobrol.
Karena mereka akan ada rapat lagi sekitar jam enam, kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan pada pukul lima sore. Penulis sangat berterima kasih kepada mereka yang telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan penulis.
Setelah Bayu pulang, kami berdua mencari makan malam. Setelah beberapa tempat tujuan ternyata tutup, kami berlabuh di sebuah warung Mie Aceh, di mana Bayu harus mengalami pengalaman pahit ketika digoda oleh seorang waria.
Penulis bertanya kepada Bayu, apakah ia berkenan memberikan tur keliling Unpad karena besok kami sudah harus kembali ke Bandung. Bayu mengiyakan permintaan penulis.

Rekotorat Unpad
Maka, setelah makan malam tersebut, Penulis berkesempatan untuk menjelajah Unpad dan mengagumi betapa luasnya kampus tersebut jika dibandingkan dengan almamater penulis.
Sebelum pulang, kami mampir ke ATM untuk menarik uang. Karena selesai duluan, penulis memutuskan untuk duduk di seberang ATM sembari menikmati malam di Jatinangor. Bayu yang sempat kebingungan mencari penulis pada akhirnya ikut bergabung.
Ketika bertemu dengan Bayu, topik yang dibicarakan selalu berat. Sewaktu di Pare, kami pernah berdiskusi tentang hukum gravitasi Newton. Kali ini pun tak kalah berat. Kami berdiskusi tentang filsafat dan posisinya di ilmu eksak.
Karena hawa yang semakin dingin, kami memutuskan untuk melanjutkan diskusi di kos. Selain itu, besok pagi adalah waktunya untuk pindahan.
8 September 2018: Dari Museum Konferensi Asia Hingga Paris Van Java Mall
Dengan menggunakan GrabCar, penulis kembali ke Bandung bersama barang-barang milik Bayu. Yang bersangkutan sendiri menyusul dengan menggunakan sepeda motor. Kami cukup ngos-ngosan memindahkan barang-barang tersebut ke kamar Bayu yang terletak di lantai dua.
Penulis memutuskan untuk tidur karena tadi malam penulis insomnia sampai jam tiga pagi. Setelah Dhuhur sajalah keliling Bandungnya, begitu pikir penulis.
Seusai makan siang di Penyet Goang Bu O’om, penulis berangkat menuju Museum Konferensi Asia Afrika. Sesampainya di sana, penulis tergoda untuk membeli buku karena sedang ada even di sana.
Banyak buku-buku antik yang dijual di sana, termasuk komik Donal Bebek edisi 1 sampai 10 yang dijual dengan harga Rp 450.000. Penulis berusaha menahan keinginan tersebut, dan gagal. Pada akhirnya penulis membeli buku Kita 20 Tahun yang Lalu dan Seni untuk Bersikap Bodo Amat.

Aula Museum KAA
Bicara tentang Museum KAA-nya sendiri, ya namanya museum ya begitu. Banyak informasi sejarah yang dapat kita serap melalui pameran visual yang ada di dalamnya. Penulis juga beruntung dapat masuk ke dalam aula yang digunakan konferensi.
Museum ini ternyata tidak seluas yang ada di bayangan penulis, sehingga penulis memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke museum yang lain. Ketika menelusuri Maps, penulis menemukan Museum Inggit Ganarsih, istri kedua bung Karno setelah Oetari dan sebelum Fatmawati.
Meskipun cukup jauh, penulis memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat tersebut. Hitung-hitung sebagai “jalan-jalan” yang sebenarnya sembari menikmati panorama kota Bandung bagian selatan.
Museum Inggit Ganarsih ternyata merupakan rumah beliau yang dijadikan sebagai museum. Tidak begitu luas, dan isinya hanya berupa foto-foto beliau dan sedikit barang peninggalannya.

Museum Inggit Ganarsih
Setelah selesai, penulis memutuskan untuk melanjutkan berjalan kaki ke Monumen Bandung Lautan Api, yang sialnya ternyata sedang direnovasi sehingga tutup. Akhirnya, penulis memesan Grab dan meluncur menuju destinasi berikutnya, Paris Van Java Mall.
Sebagai sebuah mal, penulis memilih PVJ sebagai mal terbaik yang pernah penulis kunjungi seumur hidup. Dengan konsepnya yang memadukan indoor dan outdoor, penulis dibuat betah untuk berlama-lama di sana.
Belum pernah penulis mengunjungi mal seperti ini, bahkan Grand Indonesia dan Plaza Indonesia pun kalah dalam persepsi penulis. Bahkan parkirannya saja terlihat indah dengan lampion-lampion yang bergelantungan.

Parkiran PVJ Mall
Setelah puas keliling PVJ selama kurang lebih satu setengah jam, penulis ingin karaoke sendirian. Namun setelah ditinjau ulang, penulis mengurungkan niat tersebut dan menundanya besok. Sekarang, waktuya pulang untuk berisitirahat.
9 September 2018: Karaoke dan Tur Keliling Bandung
Hari ini adalah hari terakhir penulis di Bandung sebelum besok kembali ke Jakarta. Penulis mengajak Bayu untuk karaoke di Diva milik Rossa. Kami berdua pun saling gila-gilaan selama satu jam hingga suara habis.
Setelah itu, Bayu mengajak penulis untuk berkeliling Bandung dengan menggunakan motornya, mulai Braga hingga Dago. Setelah itu, penulis menemani Bayu untuk membeli beberapa perkakas kamar di Ace Hardware dan Pasar Dago.
Malamnya, kami makan di tempat rekomendasi Brenda, yakni Se’i Sapi. Ternyata benar rekomendasinya. Daging asapnya begitu lezat dengan harga yang tidak terlalu mencekik. Jika pembaca ke Bandung, mampirlah ke tempat ini di Jl. Bagusrangin No.24A, Lebakgede, Coblong, Kota Bandung.
10 September 2018: Kembali ke Jakarta
Pada akhirnya petualangan di Bandung harus diakhiri karena sungkan jika harus terus-menerus merepotkan Bayu. Sebenarnya masih banyak destinasi wisata yang belum penulis kunjungi, seperti Museum Pendidikan UPI dan Museum Geologi. Tak apa, biar penulis ada alasan untuk kembali ke Bandung.
Sepanjang hari penulis hanya di kos untuk menulis beberapa artikel untuk blog ini. Alasan lainnya adalah penulis sedikit flu, jadi butuh sedikit istirahat.
Penulis di antar Bayu menuju stasiun. Sebelum itu, kami berdua makan siang terakhir di Bandung di Ayam Goreng SPG yang tidak memiliki satu orang SPG pun. Kata Bayu, tempat itu merupakan salah satu favoritnya.
Maka begitulah satu minggu penulis di Bandung. Menjelajahi berbagai tempat baru yang menarik, bertemu dengan kawan, menikmati nuansa kota yang asing. Semua itu membentuk sebuah kenangan yang susah untuk dilupakan.
Bandung terasa sebagai kota yang romantis, meskipun penulis tidak memiliki kisah percintaan di sana. Kota tersebut seolah membuka tangannya lebar-lebar untuk menerima tamu dari jauh seperti penulis.
Suatu saat, penulis pasti akan kembali ke Bandung, menjelajah lebih banyak tempat baru.
Kebayoran Lama, 9 November 2018, terinspirasi dari petualangan ke Bandung selama satu minggu di bulan September
Pengalaman
Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan

Dalam empat bulan terakhir, atau sejak masuk tahun 2025, Penulis mengakui kalau sedang banyak masalah, yang kebanyakan hanya ada di pikiran. Hal tersebut membuat produktivitas menulis blog ini terasa mandek, dengan jumlah produksi artikel berkurang drastis.
Pada bulan Desember, masih lumayan ada tujuh tulisan yang terbit, sebelum di bulan Januari benar-benar tidak ada tulisan yang tayang. Februari ada satu tulisan, yang mirisnya merupakan tulisan pertama di tahun 2025. Di Maret setidaknya ada empat tulisan.
Blog ini, yang harusnya menjadi tempat menyalurkan hobi, justru belakangan terasa menjadi beban. Ada puluhan ide artikel yang tertumpuk begitu saja tanpa pernah dieksekusi. Ada belasan buku yang menanti untuk diulas, hingga lupa apa yang harus diulas.

Berhenti Menulis karena Rasa Malas?
Setiap merasa harus memutus lingkaran ini dan mulai kembali rutin menulis, keinginan tersebut terputus hanya setelah maksimal dua tulisan. Setelah itu kembali menghilang hingga waktu yang tidak ditentukan.
Apakah permasalahan yang Penulis sebutkan di atas hanya merupakan alibi untuk menutupi alasan sebenarnya dari berhentinya Penulis menulis, yaitu rasa malas? Bisa jadi. Namun, rasa malas bisa muncul dengan sebab, seperti kepala yang rasanya penuh sekali.
Ketika pikiran suntuk dan dengan “liarnya” mengembara ke sana kemari, itu sangat memengaruhi mood. Sekali lagi, menulis yang harusnya jadi aktivitas menyenangkan justru menjadi momok yang menakutkan.
Apakah rasa malas ini muncul karena di tempat kerja Penulis juga menulis? Bisa jadi, karena tentu itu memunculkan rasa jenuh. Mau sebagus apapun idenya, butuh tekad yang kuat untuk bisa mengeksekusinya, dan tekad itu bisa luntur karena rasa jenuh.
Apakah rasa malas ini muncul karena Penulis kesulitan mengatur waktunya? Bisa jadi, karena waktu yang dimiliki dalam 24 jam digunakan untuk aktivitas lainnya. Jujur, kebanyakan bukan aktivitas produktif sebagai pelarian dari masalah yang ada di kepala.
Lantas, apakah rasa malas ini bisa jadi pembenaran untuk berhentinya produksi blog ini? Entahlah, Penulis merasa dirinya terbagi menjadi dua. Satu menjustifikasi rasa malas tersebut karena memang sedang banyak pikiran, yang satu merutuk diri karena kontrol diri yang lemah.
Apakah produksi artikel di blog ini bisa kembali normal jika masalah-masalah yang ada di pikiran itu terselesaikan? Sekali lagi, entahlah. Bisa jadi berhentinya produksi artikel tersebut memang murni karena rasa malas saja, lalu mencari-cari justifikasi yang paling terlihat elegan.
Menyadari Kita Harus Tetap Berjalan
Saat menulis artikel ini, justru masalah-masalah di kepala tengah berada di klimaksnya. Tentu aneh, mengapa ketika berada di puncak permasalahannya Penulis justru akhirnya memutuskan untuk menulis lagi setelah sekian lama.
Mungkin, karena sudah berada di klimaksnya, Penulis menyadari bahwa setelah ini jalannya akan melandai, menurun. Permasalahan, apapun bentuknya, pasti akan selesai. Semua itu hanya sementara, tidak akan terjadi selamanya.
Mungkin, karena pada akhirnya Penulis menyadari bahwa hidup harus tetap berjalan. Yang namanya berjalan, tentu tak pernah selalu mulus. Pasti beberapa kali kita akan menemukan jalan yang rusak, gronjalan, kubangan lumpur, dan masih banyak lagi lainnya.
Namun, pada akhirnya kita tetap melanjutkan perjalanan. Memang kita jadi kotor, mungkin ada luka juga, tapi itu adalah “harga” yang harus dibayar untuk mencapai tujuan. Demi tujuan itulah kita terus berjalan.
Lantas, apa tujuan yang sedang Penulis tuju sekarang? Penulis tidak akan menuliskannya di sini, tapi yang jelas, untuk mencapai tujuan tersebut, bisa mendisiplinkan diri untuk konsisten menulis artikel di blog ini adalah salah satu jalan yang harus Penulis tempuh.
Untuk itulah, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis artikel ini, yang mungkin secara bobot tidak ada bobotnya, lebih sekadar gerutuan karena insomnia datang menyerang. Setidaknya, ini adalah upaya nyata Penulis untuk kembali ke jalan yang benar.
Entah cara apa yang akan Penulis lakukan agar aktivitas menulis blog ini menjadi kembali menyenangkan dan membuat Penulis bersemangat, bahkan ketika isi pikirannya penuh dengan masalah. Sambil berjalan, Penulis akan berusaha menemukan jawabannya.
Lawang, 8 April 2025, terinspirasi karena insomnia karena berbagai masalah yang ada di pikirannya
Foto Featured Image: Tobi via Pexels
Pengalaman
Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025

Memulai tulisan pertama tahun 2025 di bulan Februari memang sangat terlambat. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir Penulis bisa dibilang cukup rajin dalam menulis di hari pertama pergantian tahun, walau setelah itu juga kurang bisa konsisten.
Ada beberapa alasan yang membuat Penulis “menghilang” hampir dua bulan di blog ini, tapi pada tulisan kali ini Penulis hanya akan menyebutkan satu alasan: kehilangan gairah untuk menulis, atau singkatnya bisa dibilang malas.
Tentu rasa malas itu tidak datang begitu saja, ada banyak alasan yang menyertainya. Namun, rasanya alasan-alasan tersebut tidak perlu diungkapkan. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin melakukan beberapa refleksi saja mengenai apa yang sudah terjadi di tahun 2024 ini.
Dompet Menangis karena Membeli Banyak Perangkat

Tahun 2024 adalah tahun yang berat untuk dompet Penulis. Ada banyak sekali pengeluaran, entah itu untuk kebutuhan maupun keinginan. Saking banyaknya, arus kas Penulis sepanjang 2024 jadi minus, pertama sejak terakhir kali minus pada tahun 2020.
Kalau tahun 2020 minus wajar, karena Penulis resign pada bulan September 2020, sehingga ada beberapa bulan Penulis tidak mendapatkan gaji rutin. Pemasukan dari pekerjaan sebagai freelancer tentu tidak menutup kebutuhan sehari-hari.
Nah, kalau di 2024 kemarin, minus yang terjadi murni terjadi karena banyaknya pengeluaran. Mungkin ini akan terdengar sebagai flexing, tapi Penulis di tahun yang sama membeli smartphone dan laptop baru, serta build PC dengan alasan awal “untuk bantu skripsi adik.”
Penulis memang sudah berencana untuk membeli smartphone baru di awal tahun karena merasa tidak nyaman dengan Xiaomi POCO F4, yang akhirnya Penulis berikan kepada ibu. Awalnya mengincar Samsung S24, tapi karena pakai Exynos, Penulis beralih ke iPhone 13.
Lalu ketika bulan puasa, di kala uang THR sudah masuk ke rekening, adik Penulis mengatakan bahwa dirinya butuh PC untuk menunjang skripsinya. Sebagai kakak, tentu Penulis berusaha memenuhi hal tersebut, hitung-hitung mewujudkan cita-cita untuk punya PC.
Kampretnya, setelah selesai build PC, PC tersebut justru jarang dipakai adik Penulis untuk skripsian! Pada akhirnya PC tersebut jadi perangkat utama Penulis untuk bekerja dan bermain game. Yah, setidaknya dengan demikian tidak ada penyesalan.
Menjelang akhir tahun, tepatnya di bulan Oktober, Penulis sempat iseng mampir ke Digimap. Sialnya, sedang ada promo pelajar yang memberikan potongan 500 ribu. Ditambah voucher MAP 300 ribu, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli laptop MacBook Air M1.
Setelah membeli laptop tersebut, laptop lama Penulis akhirnya dibeli adik Penulis (yang tadi minta di-build-kan PC!) dengan harga miring karena memang butuh laptop dengak spek yang lumayan tinggi untuk menunjang kerjaan dan skripsinya.
Memang nyesek rasanya jika mengingat berapa uang yang dikeluarkan untuk perangkat-perangkat tersebut. Memang Penulis memanfaatkan cicilan 0% dari kartu kredit, tapi tetap saja pembelian-pembelian tersebut membuat dompet Penulis menangis.
Namun, jika melihat dari sisi lain, memiliki kombo PC + MacBook merupakan cita-cita Penulis sejak zaman kuliah. Jadi, anggap saja kalau ini memang sudah saatnya untuk menuntaskan impian tersebut.
Ke Jakarta dan Semarang Dua Kali, ke Solo Satu Kali

Pengeluaran lain yang membuat arus kas Penulis minus adalah seringnya Penulis berpergian. Dalam satu tahun, Penulis dua kali pergi ke Jakarta dan Semarang, serta satu kali pergi ke Solo karena berbagai urusan.
Penulis ke Jakarta pertama kali di awal tahun 2024, karena kebetulan kantor Penulis mengadakan staycation. Setelah itu, Penulis tinggal di Jakarta kurang lebih satu bulan karena ada banyak teman yang ingin Penulis temui.
Sepulang dari Jakarta, Penulis berlibur satu keluarga ke Solo dan Semarang. Sebagai anak pertama, tentu Penulis berusaha untuk menjadi “sponsor” untuk acara liburan ini, walau tentu tidak semua pengeluaran Penulis yang menanggung.
Lantas di pertengahan tahun, Penulis harus kembali ke Jakarta. Kali ini sekeluarga, karena adik Penulis (bukan yang minta di-build-kan PC) lamaran. Karena satu keluarga, kunjungan ke Jakarta kali ini hanya sebentar.
Sepulang dari Jakarta (kami menggunakan mobil pribadi, pulang-pergi Malang-Jakarta), kami sempat mampir ke Semarang satu malam untuk istirahat sekaligus curi-curi liburan. Bisa dibilang, tahun 2024 kemarin merupakan tahun di mana Penulis keluar kota terbanyak.
Produksi Artikel Whathefan yang Meningkat
Salah satu achievement yang Penulis dapatkan di tahun 2024 adalah naiknya jumlah produksi artikel Whathefan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Sejak pertama kali menulis di tahun 2018, jumlah artikel di blog ini memang cenderung menurun terus.
Tahun 2022 adalah penulisan blog paling sedikit sepanjang sejarah dengan 91 artikel, yang lalu meningkat sedikit menjadi 98 artikel di tahun 2023. Nah, di tahun 2024 jumlah tersebut melonjak menjadi 127 artikel.
Salah satu penyebab peningkatan ini adalah Penulis yang cukup rutin menulis, terutama di bulan Juni ketika Penulis berhasil menulis penuh satu bulan tanpa putus. Walau setelah itu kembali fluktuatif, setidaknya raihan tersebut bisa membuktikan kalau Penulis sebenarnya bisa konsisten menulis.
Biasanya, di awal tahun Penulis punya target untuk memproduksi artikel hingga 200 dalam satu tahun. Namun, mengingat artikel pertama blog ini saja baru ditulis bulan Februari, rasanya target yang realistis adalah jangan sampai produksi tahun ini lebih kecil dari tahun kemarin.
Untuk itu, mungkin akan ada penyesuaian juga agar Penulis tidak malas-malas amat dalam Penulis. Contohnya adalah penyesuaian Notion, yang entah sudah berapa bulan terbengkalai dan berisi schedule yang tak pernah dituntaskan.
Penutup
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, tahun 2024 memang lebih dinamis (dan lebih banyak pengeluaran tentunya!). Setidaknya, satu impian Penulis akhirnya bisa dicapai, walau efeknya ke dompet juga lumayan terasa.
Di awal tahun 2025 ini, tentu Penulis berharap bisa melakukan pengetatan pengeluaran. Namun, dengan adik Penulis yang akan segera menikah pada bulan Februari, rasanya pengetatan pengeluaran ini baru bisa dilakukan ketika bulan puasa nanti.
Selain itu, sekali lagi Penulis berharap untuk bisa menjaga konsistensi dalam menulis artikel untuk blog ini. Semoga tahun ini Penulis lebih bisa mengendalikan emosi dan mood-nya, sehingga bisa sebanyak mungkin memproduksi artikel di blog ini.
Saat menulis artikel ini, Penulis sudah berada di Jakarta, menginap di kos adik yang juga merupakan kos lama Penulis. Rencananya, Penulis akan di Jakarta sekitar tiga minggu hingga acara pernikahan selesai. Semoga saja tabungan Penulis yang sudah menipis ini cukup.
Kebayoran Lama, 10 Februari 2025, terinspirasi setelah ingin mulai lebih rutin menulis di blog ini di tahun 2025
Pengalaman
Ini Pengalaman Saya Menonton Video Klip “The Catalyst”

Sensasi menantikan sebuah album musik akan rilis sudah lama tidak Penulis rasakan. Terakhir kali itu terjadi adalah tujuh tahun yang lalu, ketika album One More Light mengumumkan akan rilis pada 19 Mei 2017.
Setelah itu, meskipun musisi lain akan mengumumkan akan merilis album (katakanlah, One Ok Rock), Penulis tidak akan terlalu antusias menunggunya. Ketika rilis memang langsung mendengarkan, tapi tak memberikan sensasi yang sama dengan Linkin Park.
Nah, pada tanggal 15 November mendatang, Linkin Park dengan formasi baru akan merilis album pertamanya yang berjudul From Zero. Sensasi ini pun datang lagi dan membuat Penulis merasa tidak sabar ingin segera mendengarkan semua lagu dalam albumnya.

Jelang rilisnya album tersebut, Linkin Park secara bertahap telah merilis tiga single di waktu yang berbeda: “The Emptiness Machine”, “Heavy Is The Crown”, dan “Over Each Other”. Penulis berharap lagu-lagu lainnya di album ini akan mirip dengan dua single pertama.
Berbicara tentang sensasi menunggu tanggal rilis album Linkin Park, Penulis mau tidak mau jadi teringat bagaimana dulu dirinya menantikan single pertama dari album A Thousand Suns, “The Catalyst”. Itulah yang ingin Penulis bagikan pada tulisan kali ini.
Menonton Video Klip “The Catalyst” dari Televisi
Ketika Penulis menjadi penggemar Linkin Park saat SMP, band ini telah memiliki tiga album: Hybrid Theory, Meteora, dan Minutes to Midnight. Oleh karena itu, begitu mengetahui Linkin Park akan merilis album baru pada tanggal 13 September 2010, Penulis begitu bersemangat.
Waktu itu, internet belum semudah sekarang. Minimal, kita harus pergi ke warnet untuk bisa terkoneksi dengan internet, termasuk YouTube. Bahkan, untuk berita terbaru seputar musik, Penulis masih mengandalkan televisi.
Nah, melalui acara Breakout di NET TV yang dipandu oleh Boy William, Penulis jadi mengetahui kalau Linkin Park akan merilis single terbaru mereka berjudul “The Catalyst” dan mereka akan menayangkan video klipnya secara perdana.
Penulis masih ingat betul acara tersebut mulai jam tiga sore. Boy bercerita sedikit tentang perjalanan Linkin Park sebagai band sebagai selingan video-video klip lama Linkin Park. Barulah menjelang akhir acara, video klip “The Catalyst” ditayangkan.
Kesan pertama ketika menonton video klip, keren, baik dari sisi lagu maupun sinematografinya. Memang lagu ini sekarang tidak lagi masuk tier atas bagi Penulis, tapi pada waktu itu, Penulis sangat menyukainya.
Penulis juga ingat ketika itu langsung mengirim SMS ke sohibnya yang juga menonton acara tersebut, dan ia mengatakan sentuhan dari Mr. Han sebagai sutradaralah yang membuat video klip “The Catalyst” menjadi begitu keren.
Bagaimana Pengalaman Tersebut akan Sulit Terulang
Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman menantikan album atau lagu dari musisi favoritnya masih bisa dirasakan sekarang. Namun, pengalaman menonton video klip dari single terbaru di televisi rasanya tidak akan pernah dirasakan lagi.
Dengan adanya platform YouTube dan media sosial, semua bisa menontonnya tanpa kesulitan di detik ketika video klipnya rilis. Tak perlu lagi mendengarkan Boy William menjelaskan perjalanan musisi yang sedang merilis single terbaru.
Bahkan, kita tak perlu takut lagi ketinggalan karena kita bisa mengaktifkan notifikasi apabila video klip tersebut telah rilis. Apalagi, di YouTube biasanya para musisi akan memasang countdown untuk meningkatkan hype.
Sensasi ini rasanya tidak akan pernah terjadi di era instan seperti sekarang. Lantas, apakah hal tersebut buruk? Penulis tidak tahu. Namun, karena pernah mengalami era yang tidak serba instan, Penulis jadi belajar tentang kesabaran dan menikmati proses.
Semoga generasi kini bisa mempelajari itu di era yang serba instan seperti sekarang
Lawang, 31 Oktober 2024, terinspirasi setelah teringat bagaimana dulu dirinya menonton video klip “The Catalyst”
Foto Featured Image:
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #28: Point City
-
Olahraga4 bulan ago
Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Sosial Budaya5 bulan ago
Laki-Laki Tidak Bercerita, Laki-Laki Curhat ke ChatGPT
-
Olahraga2 bulan ago
Saya Memutuskan Puasa Nonton MU di Bulan Puasa
-
Politik & Negara2 bulan ago
Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?
-
Olahraga2 bulan ago
Tergelincirnya Para Rookie F1 di Balapan Debut Mereka
-
Pengalaman3 bulan ago
Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025
You must be logged in to post a comment Login