Ah, Jakarta. Apa yang seringkali tercetus di pikiran ketika sedang memikirkan kota yang satu ini? Mungkin banyak yang akan menjawab macet, dan penulis menyetujuinya meskipun tidak terlalu sering terkena dampak macet tersebut karena belum memiliki kendaraan pribadi.
Meskipun demikian, penulis lumayan akrab dengan yang namanya macet karena ketika di kota kecil seperti Malang pun sering terjadi. Oleh karena itu, penulis ingin sedikit berbagi apa yang bisa dilakukan ketika macet agar hati tetap gembira dan tidak menggerutu.
Bersenandung Ria
Bernyanyi Tanpa Beban (Rixbury)
Bagi pembaca yang mengendarai mobil, musik bisa dijadikan senjata ampuh untuk menghilangkan suntuk karena macet. Kalau perlu, iringi dengan menyanyi alias karaoke untuk menghilangkan kebosanan.
Bagaimana dengan yang mengemudikan sepeda motor? Karena menggunakan earphone sangat tidak dianjurkan karena bisa mengganggu konsentrasi, gunakanlah tape imajiner yang ada di dalam kepala, lalu ikut bersenandung sesuka hati.
Kalau yang menggunakan kendaraan umum? Ya cukup mendengarkan saja tanpa perlu bersenandung. Takutnya malah mengganggu penumpang yang lain.
Menonton Film
Khusus Penumpang (Alibaba)
Khusus untuk pengguna mobil bawalah banyak sangu film atau Youtube untuk ditonton ketika perjalanan. Akan tetapi, jika pembaca yang mengemudi, jelas tidak boleh ikut menonton film tersebut. Hanya penumpang saja yang boleh. Minimal, pengemudi mendengarkan dialog film tersebut.
Yang enak ketika menggunakan trasportasi umum. Penulis sering melihat orang-orang sedang menonton Youtube maupun drama Korea ketika berada di dalam TransJakarta ataupun KRL melalui ponselnya. Hal tersebut bisa pembaca tiru.
Mengritik Pemerintah
Diskusi di Kendaraaan (Cinema52)
Kalau yang satu ini jangankan ketika macet, ketika ngopi dengan pak RT pun bisa dilakukan. Bedanya, tentu yang dikritik ketika berada di dalam kemacetan adalah mengapa masih saja ada kemacetan.
Beragam hal bisa kita salahkan, seperti kurangnya akses jalan hingga tidak memadainya transportasi umum. Bahkan jika pembaca memiliki imajinasi yang liar, bisa-bisa kemacetan dihubungkan dengan konspirasi iluminati.
Berfilsafat
Berfilsafat (Drury)
Selain di toilet, kondisi ketika macet pun bisa menjadi tempat yang cocok untuk merenungi kehidupan yang telah dan akan kita alami. Di tengah bisingnya suara kendaraan dan pekatnya polusi udara, berfilsafat akan membuat semua itu seolah-olah tidak terjadi.
Pikiran kita akan menjadi jernih dan mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan kehidupan, seperti untuk apa kita ada.
Membuat Skenario Film
Sutradara Dadakan (Cinearchive)
Kembali ke poin kedua tentang menonton film. Bagaimana pengendara motor yang tidak mungkin memasang LCD pada sepeda motornya? Buatlah skenario film sendiri di dalam kepala.
Misalnya, kita membayangkan sebuah adegan di mana kita sedang membawa dokumen penting yang diincar oleh penjahat. Kita harus berkelok-kelok dengan gesit di antara mobil-mobil dan kendaraan lainnya.
Dijamin (walaupun tidak 100%) rasa bosan akan hilang selama kita masih berada di batas-batas aman berkendara.
Berlagak Menjadi Seorang Sherlock Holmes
Deduksi Ala Sherlock Holmes (Serienoerd)
Tahu kan bagaimana kemampuan Sherlock Holmes ketika mengetahui apa yang dilakukan seseorang hanya dengan melihat, misalnya, kancing lengan bajunya? Kenapa tidak mencobanya ketika kita terjebak macet?
Lihat mobil yang ada di depan kita, lalu coba buat suatu kesimpulan. Misalkan di kaca belakang mobil terdapat stiker tempat rekreasi, artinya mobil tersebut pernah ke tempat tersebut. Lalu misalkan plat nomornya luar kota tapi kondisinya bersih, artinya yang punya peduli kebersihan.
Meskipun deduksi kita ngawur, tidak masalah. Toh kita tidak kenal dengan yang punya mobil. Percayalah, berlagak menjadi seorang Sherlock Holmes lumayan mengusir kebosanan.
Mencari Inspirasi
Mengundang Inspirasi (Huffingtonpost)
Kawan, kalian pikir dari mana penulis memperoleh ide untuk menulis tulisan ini? Dari macet! Macet yang dialami oleh penulis sendiri ketika sedang berada di perjalanan. Poin-poin di atas datang begitu saja satu persatu hingga menjadi sebuah kesatuan.
Tulisan ini adalah bukti nyata, bahwa banyak inspirasi yang akan menghampiri kita di kala macet sedang menjebak.
Penutup
Sebenarnya masih banyak yang bisa dilakukan, terutama ketika berposisi sebagai penumpang. Sebut saja bermain game ataupun membaca buku. Tapi penulis rasa saran-saran di atas sudah cukup mewakili.
Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di oyibanget.com yang sudah almarhum. Penulis menulisnya ulang karena masih hutang dua tulisan di tahun 2018. Karena waktu yang semakin sempit, penulis akhirnya mencari-cari tulisan lama untuk dipublikasi ulang.
Melawai, 1 Januari 2018, setelah mendengar suara kembang api dari kejauhan
Penulis merasa kalau dirinya adalah orang yang pelupa. Bukan tipe yang lupa tanggal ulang tahun seseorang, lebih ke pelupa untuk task apa yang harus diselesaikan. Jika task tersebut tidak dicatat, biasanya akan mudah terlupa begitu saja.
Untuk mengatasi hal ini, Penulis berupaya untuk mengatasinya dengan memanfaatkan aplikasi Microsoft To-Do List yang ter-install di PC maupun ponselnya. Namun, sudah menggunakan ini pun terkadang Penulis lupa untuk mengeceknya!
Penulis berusaha untuk mencari solusi lain. Lantas, Penulis teringat akan isi buku Atomic Habit di mana salah satu cara untuk membuat kebiasaan bisa terbentuk adalah dengan membuatnya mudah terlihat.
Oleh karena itu, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis catatan yang selalu terlihat di depan mata. Bukan di gawai yang Penulis miliki, tapi benar-benar di buku catatan fisik dan ditulis secara manual pula.
Mengapa Masih Perlu Catatan Fisik?
Penulis sudah menyinggung kalau dirinya telah mencoba menggunakan aplikasi Microsoft To-Do List untuk mencatat berbagai task agar tidak lupa dikerjakan. Apalagi, aplikasi tersebut dilengkapi dengan fitur reminder untuk membantu mengingatkan kita.
Untuk pekerjaan-pekerjaan rutin, hal ini memang sangat membantu. Namun, ada yang tidak bisa di-cover oleh aplikasi ini setidaknya untuk Penulis: hal-hal yang muncul secara spontandan tidak terencana.
Contohnya di sini adalah mencatat apa yang perlu dibahas untuk rapat besok. Mungkin task rapat di pagi hari bisa dimasukkan ke dalam aplikasi To-Do List, tapi isinya terkadang muncul secara tiba-tiba saat sedang mengerjakan task lain.
Lalu, mengapa tidak ditambahkan saja catatannya ke dalam aplikasi To-Do List? Jawabannya adalah kembali lagi karena Penulis pelupa, Penulis kemungkinan besar akan lupa untuk mengeceknya! Akibatnya, hal tersebut pun jadi lupa untuk dibahas ketika rapat.
Penulis juga sempat berusaha menggunakan aplikasi Google Keep. Namun, masalahnya tetap sama, aplikasi ini tidak selalu langsung terlihat sehingga Penulis sering lupa untuk mengeceknya, bahkan ketika sudah memasang reminder.
Oleh karena itu, Penulis membutuhkan sebuah media yang akan 24 jam terlihat oleh mata. Buku catatan fisik, yang mungkin sudah terasa old school, akhirnya menjadi pilihan utama. Buku catatan ini akan terus berada di atas meja kerja Penulis dan selalu terbuka saat jam kerja.
Berhubung Penulis punya hobi menulis manual, kegiatan mencatat ini Penulis buat semenarik mungkin dengan menambahkan batas dengan berbagai warna beserta tanggal yang ditulis menggunakan huruf latin. Hobi yang aneh memang untuk seorang laki-laki.
Memang ada kekurangannya mencatat secara manual seperti ini, seperti catatan yang telah dituliskan akan sulit untuk ditelusuri dan diarsipkan. Namun, buku catatan inimemang Penulis gunakan untuk sesuatu yang bersifat spontan dan berjangka pendek.
Setiap pagi, Penulis akan membaca buku catatan ini untuk memastikan tidak ada task atau poin yang harus diselesaikan. Meskipun terkadang masih miss, Penulis merasa metode ini berhasil meminimalisirnya.
Mengapa Tidak Menggunakan Medium Lain?
Sebenarnya, Penulis memiliki tablet yang telah dilengkapi dengan stylus karena pada dasarnya Penulis memang masih suka menulis secara manual, yang juga menjadi salah satu alasan mengapa Penulis membeli tablet tersebut.
Namun, makin ke sini, stylus tersebut makin jarang digunakan. Seandainya menulis di tablet pun, pada akhirnya catatan tersebut akan tenggelam begitu saja dan kerap lupa untuk mengeceknya kembali.
Selain itu, layar tablet akan mengunci secara otomatis jika lama tidak digunakan, sama seperti ponsel. Jika menyalakannya terus seharian dan menonaktifkan mode auto-lock-nya, tentu akan membuat baterainya cepat habis.
Dengan demikian, seandainya Penulis membuat catatan di tablet sebagai pengingat, tentu tidak efektif karena harus berkali-kali menyalakan tablet. Apalagi, tablet ini juga kerap Penulis gunakan sebagai layar kedua
Penulis sempat mengandalkan Sticky Notes sebagai pengingat. Selain bisa ditempel di mana-mana, Sticky Notes kerap berwarna cerah sehingga akan mencuri perhatian kita saat akan bekerja. Tentu ini jadi pengingat yang mudah kita notice, bukan?
Sayangnya, Sticky Notes pun bagi Penulis kurang efektif. Pertama, Sticky Notes harus ditempel di suatu tempat. Kamar Penulis yang sudah penuh dengan barang jelas tidak memiliki tempat kosong untuk hal tersebut.
Kedua, Sticky Notes yang sudah dipasang sulit untuk di-edit. Padahal, Penulis suka menambahkan catatan tambahan menggunakan tinta merah yang biasanya berfungsi sebagai penanda kalau task tersebut sudah diselesaikan atau sudah dibahas dalam rapat.
Ketiga, Sticky Notes bisa berceceran ke mana-mana jika sudah terlalu banyak. Padahal, setiap hari ada cukup banyak hal yang perlu Penulis catat secara manual. Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana rupa kamarnya jika menempel terlalu banyak Sticky Notes.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Penulis memutuskan untuk memanfaatkan buku catatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Penulis menganggap kalau buku catatan ini adalah otak kedua Penulis dalam bentuk fisik.
Lawang, 26 Agustus 2024, terinspirasi setelah menyadari betapa pentingnya catatan yang harus selalu terlihat
Ketika sedang suwung atau menganggur, apa yang akan Pembaca lakukan pertama kali? Kalau Penulis, satu hal yang sangat mungkin dilakukan adalah mengecek ponselnya, entah untuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk ataupun scrolling media sosial.
Parahnya lagi, Penulis kerap berganti-ganti platform ketika sudah cek HP. Bosan buka Instagram, pindah ke X. Bosan di X, pindah ke YouTube. Bosan di YouTube, pindah ke Pinterest. Begitu terus hingga screentime ponsel Penulis menjadi berjam-jam.
Penulis sebenarnya menyadari kalau sedikit-sedikit mengecek ponsel merupakan kebiasaan yang buruk karena seolah-olah otak ini tidak boleh diberi jeda sedikit pun dari konsumsi-konsumsi konten. Otak (dan organ tubuh lainnya) ini seolah tidak boleh istirahat.
Padahal, jeda sejenak dari segala kegiatan dan konsumsi konten bagus untuk otak. Membiarkan pikiran mengembara atau merenung terkadang menjadi sesuatu yang kita butuhkan di tengah berbagai tuntutan hidup.
Oleh karena itu, Penulis pun berusaha mengurangi ketergantungan dirinya yang sedikit-sedikit mengecek ponsel. Awalnya memang sangat sulit karena sudah menjadi kebiasaan, tapi lama-kelamaan Penulis mulai terbiasa untuk menjauhinya dan menggantinya dengan aktivitas lain.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin berbagi pengalaman dirinya berusaha mengurangi kebiasaan buruk ini untuk bisa meningkatkan produktivitas dirinya. Penulis tidak membuat daftarnya berdasarkan riset mendalam, hanya dari pengalaman pribadinya saja.
1. Memberikan Batasan ke Aplikasi
Hampir semua media sosial menghadirkan konten tak terbatas yang bertujuan untuk membuat kita betah berlama-lama di platform mereka. Akibatnya, kita suka lupa waktu jika sudah bermain media sosial, terutama jika sedang mengonsumsi konten-konten video pendek.
Penulis termasuk yang kesulitan untuk mengerem kebiasaan buruk ini, sehingga membutuhkan bantuanaplikasi. Untungnya, hampir di semua ponsel pintar saat ini telah memiliki fitur untuk membatasi penggunaan aplikasi dalam jangka waktu panjang.
Namun, Penulis merasa aplikasi bawaan tersebut kurang ketat karena bisa kita ubah dengan mudah. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk menggunakan aplikasi yang lebih ketat seperti AppBlock dan Opal. Jika batas durasinya sudah lewat, maka Oval tersebut akan otomatis memblokir aplikasi tersebut.
Di ponsel, Penulis memberi batasan penggunaan semua media sosial 1,5 jam per hari, mulai dari YouTube, Instagram, X, TikTok, hingga Threads. Durasi 1,5 jam bukan untuk per aplikasi, tapi kombinasi dari semuanya.
2. Menjauhkan Ponsel dari Jangkauan
Cara pertama yang sering Penulis lakukan adalah menjauhkan ponsel sejauh mungkin dari jangkauannya. Biasanya ini Penulis terapkan ketika kerja, di mana Penulis meletakkan ponselnya di tempat yang tidak kelihatan hingga lupa di mana menaruhnya.
Cara ini cukup efektif jika Penulis ingin mengurangi distraksi ketika jam kerja, apalagi Penulis work from home. Penulis harus bisa mendisiplinkan diri sendiri karena tidak ada orang lain yang mengawasi. Alhasil, screentime Penulis terutama di jam kerja (9-6) bisa berkurang drastis.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mematikan notifikasi ponsel dengan mengubahnya ke Mode Hening atau mengaktifkan fitur Do Not Disturb. Dengan begitu, suara-suara notifikasi yang seolah tak ada habisnya itu bisa diredam dan tidak membuat kita merasa penasaran lagi.
3. Install WhatsApp atau Aplikasi Chat di PC/Laptop
Salah satu alasan mengapa Penulis suka mengecek ponselnya adalah karena ingin memeriksa apakah ada pesan WhatsApp yang masuk. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk meng-install aplikasi WhatsApp versiPC, sehingga dirinya tak perlu lagi mengecek ponsel.
Kebetulan, di tempat kerja Penulis WhatsApp menjadi media utama untuk berkomunikasi, sehingga tidak mungkin Penulis tidak memeriksa WhatsApp. Bahkan, Penulis menggunakan layar kedua menggunakan tablet untuk selalu menampilkan WhatsApp, karena Penulis juga punya kebiasaan buruk sedikit-sedikit cek WhatsApp.
Tidak hanya WhatsApp, semua aplikasi chat yang Penulis gunakan juga Penulis install di PC, mulai dari Skype hingga Discord. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan urgent untuk mengecek ponsel di jam kerja.
4. Jangan Gunakan Ponsel Sebagai Alarm Pagi
Selain godaan di kala menganggur dan di jam kerja, salah satu godaan terbesar untuk mengecek ponsel adalah di pagi hari. Penulis punya kebiasaan buruk setelah mematikan alarm, Penulis akan membuka aplikasi media sosial sebentar.
Oleh karena itu, Penulis menyarankan untuk menggunakan alarm konvensional di pagi hari, bukan alarm yang ada di ponsel. Kalau perlu, jauhkan juga ponsel dari jangkauan sebelum tidur.
Selain itu, tentukan jam berapa ponsel boleh mulai dicek, misalnya pukul tujuh pagi setelah rutinitas pagi telah selesai dituntaskan. Namun, jika boleh jujur, di antara semua poin yang ada di artikel ini, poin inilah yang sampai sekarang masih Penulis sulit terapkan.
5. Sibukkan Diri dengan Kegiatan Bermanfaat
Salah satu pemicu kita kerap mengecek ponsel adalah karena suwung atau sedang menganggur, seperti yang sudah Penulis singgung di atas. Oleh karena itu, kita harus kreatif mengisi waktu kosong kita dengan aktivitas lain.
Melakukan hobi adalah salah satu cara yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang. Kalau Penulis, biasanya akan membaca buku atau menulis artikel. Kedua aktivitas ini lumayan ampuh bagi Penulis untuk tidak mengecek ponsel.
Di malam hari setelah jam kerja, biasanya Penulis menyempatkan diri untuk menemani ibu menonton televisi. Meskipun bukan kegiatan yang produktif, setidaknya menemani ibu menjadi aktivitas yang bermanfaat sekaligus melepas penat setelah seharian bekerja.
***
Berselancar di media sosial untuk mencari hiburan bukan hal yang salah. Yang salah adalah jika dilakukan secara berlebihan hingga lupa waktu. Waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Penulis merasa bahwa dirinya sudah terlalu attach dengan ponsel, sehingga muncul kebiasaan sedikit-sedikit ingin mengecek ponsel. Menyadari kekurangan ini, Penulis pun berusaha untuk melakukan tips-tips yang telah disebutkan di atas.
Semoga saja tulisan ini bisa membantu Pembaca yang juga mengalami kesulitan seperti Penulis.
Lawang, 22 Juli 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau dirinya kerap kali mengecek HP-nya setiap tidak ada aktivitas
Entah saja kapan Penulis membuat persona dirinya sebagai seorang pembaca buku. Mungkin sejak kuliah, ketika dirinya mulai membeli buku-buku sendiri. Ketika sekolah, Penulis memang sudah membaca buku, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak.
Hingga hari ini, persona kutu buku masih melekat pada diri Penulis. Selain karena sering membuat artikel ulasan buku yang sudah selesai dibaca, Penulis memang sering terlihat bersemangat jika topik obrolan bersama teman-teman sudah membahas tentang buku.
Salah satu pertanyaan yang sering diberikan kepada Penulis adalah bagaimana caranya agar suka membaca? Tentu ini pertanyaan yang cukup tricky, karena kebiasaan membaca Penulis sudah dari kecil. Pengaruh ayah yang juga suka membaca bisa menjadi privilige untuk Penulis.
Namun, jika dipikir-pikir lagi, sebenarnya ada beberapa cara yang berhasil setidaknya pada diri Penulis. Meskipun suka membaca, ada kalanya Penulis merasa sangat malas untuk membuka buku. Entah ada berapa buku yang akhirnya menumpuk dan tidak pernah dibaca.
Tips #1: Pilih Topik Buku yang Digemari
Tips pertama dan yang paling basic adalah memilih buku sesuai dengan topik yang digemari. Kalau sukanya fiksi, ya jangan memaksakan diri untuk membaca buku ekonomi. Yang ada malah merasa mual karena tidak paham sama sekali apa isinya.
Penulis sendiri biasanya punya stok untuk beberapa genre yang diminati, karena kebetulan dirinya punya banyak topik bacaan yang digemari. Jadi, Penulis bisa memilih genre bacaannya sesuai dengan mood-nya saat itu.
Saat ini saja, ada sekitar 12 buku yang Penulis baca bersamaan dari berbagai genre, mulai dari fiksi, sejarah, pengembangan diri, dan lain sebagainya. Penulis tinggal memilih mana yang mau dibaca hari ini, benar-benar tergantung mood-nya.
Tips #2: Pilih Buku yang Ringan-Ringan Dulu Saja
Selain topik, pemilihan bobot buku juga bisa menentukan semangat kita dalam membaca. Kalau belum terbiasa membaca, tips kedua, usahakan untuk memilih buku yang ringan-ringan dulu saja, baik dari segi ketebalan halaman maupun bahasa yang dimiliki.
Kalau mau memulai baca novel, bisa coba baca novel-novel ringan seperti karya Tere Liye atau Andrea Hirata. Jangan langsung baca novelnya Leila S. Chudori, nanti shock karena ceritanya yang berat dan dark.
Kalau misal mau membaca buku non-fiksi seperti sejarah, bisa mulai baca buku yang kecil atau tipis dulu. Misal mau baca tentang Perang Dunia II, ya jangan langsung baca buku Perang Eropa-nya P. K. Ojong yang tebal-tebal dan ada sampai tiga jilid.
Tips #3: Mulai dari Sedikit Dulu Saja
Tips ketiga, mulai dari sedikit dulu saja. Satu hari satu halaman pun tidak masalah, asal konsisten setiap hari. Nanti setelah semakin terbiasa, jumlah halaman atau durasi membaca dalam sehari bisa bertambah secara bertahap.
Agar bisa lebih konsisten, ada baiknya kalau kita memiliki time blockuntuk menentukan kapan kita membaca. Bisa setelah bangun, istirahat makan siang, atau menjelang tidur. Pilih waktu terbaik dari rutinitas harian kita.
Kebiasaan mikro seperti ini dibahas dalam buku Atomic Habitskarya James Clear. Tidak apa-apa sedikit, yang penting rutin. Agar bisa dirutinkan, letakkan buku yang ingin dibaca di tempat yang mudah terlihat, jangan ditaruh di rak buku atau tempat tak terlihat lainnya.
Tips #4: Jangan Paksakan Diri untuk Menghabiskan Buku
Terkadang, ada saja buku yang memang seolah ditakdirkan untuk tidak ditamatkan, dan hal itu sama sekali tidak masalah. Tips keempat, jangan pernah memaksakan diri untuk menghabiskan buku.
Mungkin setelah membaca seperempat atau setengah buku, ternyata isinya kurang cocok dengan kita. Tidak menamatkan buku yang sudah dimulai bukanlah sebuah dosa. Daripada dipaksa menyelesaikan tapi isinya tidak masuk, ya untuk apa.
Penulis mungkin punya puluhan buku yang bernasib seperti itu, ditutup sebelum halaman terakhir selesai dibaca. Mungkin suatu saat akan coba dibaca lagi, tapi tidak sekarang. Apalagi, masih ada banyak buku lain yang lebih menarik untuk ditamatkan.
Tips #5: Pinjam, Jangan Beli
Tips keempat yang bisa digunakan untuk berhemat adalah jangan membeli buku. Lho, kok gitu? Karena dengan perasaan memiliki buku tersebut, kita jadi cenderung berpikir, “Halah, dibaca nanti saja kalau sudah senggang.” Akhirnya, malah tidak tersentuh sama sekali.
Kalau belum terbiasa membaca, Penulis menyarankan lebih baik meminjam saja, entah ke teman ataupun perpustakaan. Penulis sendiri sering meminjamkan buku-bukunya ke siapapun yang ingin membaca.
Dengan meminjam, kita jadi memiliki semacam deadline kapan buku tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan adanya deadline, kita pun jadi lebih termotivasi untuk segera memulai membaca dan menghabiskannya (opsional)
Tips #6: Baca dengan Suasana Nyaman
Tips kelima yang sering Penulis lakukan kepada dirinya sendiri adalah membuat suasana membaca menjadi senyaman mungkin. Kalau membacanya pewe, maka kita pun akan betah melakukannya dalam jangka waktu yang panjang, asal jangan malah ketiduran!
Kalau Penulis, seringnya membaca di atas kasur dengan lampu baca dan aroma terapi yang menyala. Alternatif tempat lain untuk membaca adalah duduk di teras, mengingat di teras rumah Penulis ada banyak tanaman sehingga suasananya menjadi sejuk.
Selain itu, mendengarkan lagu ketika membaca juga bisa menambah kenyamanan dalam membaca. Playlist lagu-lagu klasik atau lo-fi sangat cocok sebagai teman membaca. Sebaiknya jangan mendengarkan lagu yang memiliki lirik, khawatirnya jadi susah fokus.
Tips #7: Jauhkan Smartphone
Seperti yang sudah pada tulisan sebelumnya, Penulis memanfaatkan buku untuk menjauhkan dirinya dari media sosial. Percayalah, salah satu faktor yang membuat Penulis malas membaca buku adalah karena adanya distraksi dari smartphone-nya.
Oleh karena itu, tips terakhir, jauhkan smartphone ketika ingin membaca. Ketika membaca di kamar, Penulis biasanya menyalakan mode senyapnya dan meletakkannya di meja kerja. Kalau membaca di teras, ya smartphone-nya ditinggal saja di kamar.
Buku bisa menjadi subtitusi yang menarik dari smartphone ketika kita butuh mengisi waktu luang. Bahkan, belakangan Penulis lebih sering membawa buku ke kamar mandi ketika ada panggilan alam dibandingkan membawa smartphone.
Lantas, bagaimana jika kita membaca buku lewat aplikasi di smartphone. Nah, kebetulan Penulis merupakan pembaca konvensional yang tidak suka membaca buku digital. Kalau lebih suka membaca di smartphone, ya yang kuat saja menahan godaan untuk membuka apliaksi lain.
Penutup
Kurang lebih seperti itulah tips agar semangat membaca yang telah Penulis terapkan sendiri dalam kehidupannya. Mungkin tidak semua tips cocok untuk Pembaca sekalian, tidak apa- Pilih saja tips yang cocok dengan gaya hidup Pembaca.
Yang jelas, membaca buku hingga saat ini tetap menjadi media favorit Penulis entah untuk hiburan maupun mendapatkan ilmu, meskipun sekarang ada banyak konten di media sosial maupun YouTube yang bisa menghadirkan hal tersebut.
Semoga tips di atas bisa menjadi penyemangat kita untuk bisa lebih banyak membaca buku, ya!
You must be logged in to post a comment Login