Politik & Negara
Setelah Menonton Debat Capres Pertama
Seperti yang sudah penulis duga, debat capres pertama terasa begitu membosankan. Penulis serasa mengalami dejavu, karena jawaban yang dilontarkan para capres sama seperti debat 5 tahun yang lalu.
Jawaban 01 seringkali dijawab dengan “saya akan”. Padahal, sebagai seorang petahana, harusnya beliau bisa dengan tegas mengatakan “saya telah”. Ini tentu menjadi kerugian sendiri bagi pihak 01.
Pun dengan capres 02. Cara penanganan korupsi dari beliau juga sama persis dengan apa yang disampaikan dulu, yakni meningkatkan gaji para aparat negara. Dari dulu, penulis tidak setuju dengan cara ini karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tamak.
Hilangnya Esensi Debat
Selain itu, penulis tidak melihat esensi debat pada acara ini karena kedua belah pihak sama-sama sering membaca teks. Parahnya, pendukung mereka saling menuding tanpa melihat dirinya sendiri.
Kekhawatiran publik terkait diberikannya kisi-kisi oleh KPU terbukti. Ucapan moderator tentang “pertanyaan masih disegel” hanya retorika belaka yang tak bermakna. Pertanyaan tersegel kok jawabannya ada di kedua calon.
Bahkan untuk tingkat Karang Taruna, penulis berusaha untuk benar-benar menjaga kerahasiaan pertanyaan debat demi menguji kapabilitas para calon ketua. Untuk sekadar kisi-kisi pun tidak ada.
Sedangkan ini debat calon presiden yang akan memimpin kita untuk lima tahun ke depan lo. Bagi penulis, mungkin juga orang lain, justru ingin melihat siapa yang terlihat memalukan ketika debat.
Kita ingin melihat kemampuan para calon dalam menjawab pertanyaan dan mengomentari jawaban lawannya. Jika ada yang tidak bisa menjawab, ya bagus. Kita jadi tahu siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu.
Yang Disorot dari Paslon 01
Penulis juga gemas melihat kubu 01 yang seringkali melontarkan serangan yang tidak ada hubungannya dengan topik debat. Melakukan sindiran terkait dia yang telah berbohong tentu tidak diperlukan dalam berdebat.
Kubu 02 terlihat tidak terlalu sering melontarkan serangan yang bersifat personal alias cenderung defensif. Bahkan tidak terselesaikannya kasus Novel Baswedan pun tidak digunakan sebagai amunisi untuk menyerang. Padahal topik yang sedang dibahas adalah HAM.
Cawapres dari kubu 01 juga membuat penulis heran dengan berkali-kali mengatakan cukup. Memang, dalam debat capres peran presiden harus lebih dominan, akan tetapi terlalu pasif juga kurang baik.
Selain itu, banyak pertanyaan dari capres 02 tentang penyelesaian hukum dijawab oleh capres 01 dengan jawaban “kalau ada bukti, laporkan”. Kita semua tahu ada berapa kasus yang tak terselesaikan meskipun ada bukti-bukti yang cukup kuat.
Kok kubu 01 mulu yang dikritik? Oh tenang, penulis juga memiliki kritik untuk kubu 02, terutama jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh capresnya terkait penanganan korupsi.
Yang Disorot dari Paslon 02
Capres 01 menanyakan keputusan capres 02 yang mengijinkan kadernya yang mantan napi korupsi untuk kembali mencalonkan diri (walaupun capres 01 sendiri yang mengijinkan mantan napi korupsi untuk kembali mencalonkan diri).
Capres 02 menjawab kurang lebih seperti “mungkin korupsinya sedikit, tidak seberapa, tapi masih diinginkan rakyat”. Jawaban yang meremehkan nominal korupsi ini penulis anggap sebagai blunder.
Mau berapapun yang dientit, korupsi tetaplah korupsi. Ia adalah salah satu pelanggaran hak asasi terbesar yang ada di kehidupan kita. Hukuman seberat-beratnya sudah sangat pantas diberikan kepada para koruptor.
Untuk cawapresnya sendiri, bagi penulis bisa memosisikan diri dengan baik. Tidak terlalu dominan, tapi juga tidak terlalu pasif.
Penulis tidak mempermasalahkan pernyataan capres 02 yang mengatakan “Jawa Tengah lebih besar dari Malaysia”. Bukan itu poin yang ingin disampaikan, melainkan besarnya tanggung jawab pemimpin daerah tidak sebanding dengan gaji yang didapatkan.
Akan tetapi, pendukung 01 ramai-ramai menyudutkan pernyataan ini, meskipun telah diklarifikasi yang dimaksud besar adalah jumlah penduduk (ya, penulis tahu betapa sering kubu 02 melakukan klarifikasi).
Bahkan gubernur Jawa Tengah sendiri menyatakan sudah clear, sehingga masalah “besar” ini tidak perlu lagi diperdebatkan.
Penutup
Pendukung kedua kubu sama-sama mengklaim kemenangan. Mereka merasa bahwa calon mereka menampilkan performa yang lebih bagus. Seperti biasa, mereka hanya menyebutkan kelebihan paslon yang didukung dan kekurangan lawannya. Tidak ada yang berimbang.
Semoga KPU mau mendengar masukan dari masyarakat yang menghendaki debat yang lebih bermutu, sehingga kita mendapatkan edukasi politik yang lebih baik lagi.
Bagi penulis sendiri, tidak ada pemenang dalam debat tersebut.
Kebayoran Lama, 20 Januari 2019, terinspirasi setelah menonton debat capres pertama
Foto: Finroll.com
Politik & Negara
Menatap 5 Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih
Setelah dinanti-nanti, akhirnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia untuk periode 2024 – 2029 pada hari Minggu (20/10) kemarin, mengakhiri era Joko Widodo yang menjadi presiden periode 2014 – 2024.
Jelang pelantikannya, isu-isu mengenai siapa saja yang ditunjuk untuk menjadi menteri di kabinet Prabowo-Gibran sudah banyak bermunculan. Ada yang terdengar ngawur (seperti Rocky Gerung dan Anies Baswedan yang katanya akan gabung), ada yang akurat.
Pengumuman daftar menteri ini pun datang di hari yang sama dengan pelantikan Prabowo-Gibran. Bernama Kabinet Merah Putih, ini akan menjadi salah satu kabinet paling gemuk dalam sejarah Indonesia.
Kabinet Merah Putih yang Gemuk
Alasan mengapa Kabinet Merah Putih bisa gemuk adalah karena disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara oleh Joko Widodo hanya beberapa hari sebelum ia lengser.
Sebelum UU ini disahkan, memang telah santer terdengar kalau Prabowo akan memiliki 100 menteri seperti pada era Sukarno dulu. Untungnya, jumlah kementerian yang dibuat oleh Prabowo pada akhirnya tidak mencapai 100, tapi tetap bertambah secara signifikan.
Tentu ada banyak alasan normatif yang melatarbelakangi keputusan tersebut, seperti memang adanya pos-pos kementerian yang terlalu luas scope-nya hingga masalah fleksibilitas yang dimiliki oleh presiden.
Namun, tentu ada suara miring yang mengiringi keputusan ini, seperti agar pembagian “kue” bisa dilakukan lebih merata di antara elit politik. Apalagi, terbukti bahwa jumlah menteri yang dimiliki Prabowo mencapai 48 kementerian, bertambah 14 pos dari era Joko Widodo.
Perlu diingat kalau itu baru jumlah menterinya saja, karena masih ada banyak posisi-posisi yang hampir selevel dengan menteri seperti wakil menteri. Melansir dari Bisnis.com, total ada 136 orang dengan rincian sebagai berikut:
- 48 menteri (terdiri dari 7 menteri koordinator dan 41 menteri teknis)
- 5 orang kepala lembaga
- 56 orang wakil menteri (satu kementerian bisa memiliki lebih dari satu wakil menteri, seperti Kementerian Keuangan dengan tiga wakil menteri)
- 1 orang kepala dewan
- 26 orang lainnya, termasuk Staf Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, dan Ketua Mahkamah Agung
Penulis tidak akan merinci siapa saja yang masuk ke dalam daftar tersebut, Pembaca bisa langsung mengaksesnya di situs Sekretariat Negara. Penulis hanya akan sedikit membahas beberapa orang yang ada di dalam kabinet ini.
Berbincang Mengenai Beberapa Menteri di Kabinet Merah Putih
Dalam kabinet yang disusun oleh Prabowo dan Gibran, ada beberapa pola yang bisa kita temukan. Ada nama lama yang tetap pada posisinya, ada nama lama yang bergeser posisinya, ada nama yang benar-benar baru.
Melansir dari Kompas, ada 12 menteri Jokowi yang tetap menempati pos yang sama dengan periode sebelumnya. Contohnya adalah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lalu, ada empat nama menteri lama yang digeser untuk menempati posisi lain. Contoh paling terlihat adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, yang selama menjabat kerap mengundang kontroversi, kini akan menjadi Menteri Koperasi.
Tentu Prabowo-Gibran memiliki pertimbangannya sendiri untuk memilih mereka tetap bertahan di kabinet. Mungkin karena dianggap mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, mungkin karena ingin melanjutkan program-program dari periode sebelumnya, mungkin karena “titipan”, ada banyak kemungkinannya.
Nah, selain 16 nama tersebut, bisa dibilang mereka semua adalah orang baru yang pada periode sebelumnya tidak menjabat sebagai menteri, seperti Fadli Zon (Menteri Kebudayaan) dan Maruarar Sirait (Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman).
Bahkan, ada juga mantan lawan Prabowo-Gibran di pemilu presiden (pilpres) 2024, yakni Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Ini memperpanjang “rekor” Cak Imin (dan PKB) yang selalu berada di pihak pemerintah selama 20 tahun terakhir.
Sebagai catatan, ada juga yang dulu sekali pernah menjadi menteri, dan kini kembali menjadi menteri, seperti Yusril Ihza Mahendra. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal menarik lainnya adalah banyaknya nama public figure yang berhasil masuk ke dalam lingkaran istana. Contohnya adalah Giring Ganesha (Wakil Menteri Kebudayaan) dan Taufik Hidayat (Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga).
Tak hanya itu, ada juga Raffi Ahmad (Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni), Gus Miftah (Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan), hingga Yovie Widianto (Staf Khusus Presiden).
Menatap Lima Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih
Tentu terlalu dini untuk menghakimi kinerja para menteri Kabinet Merah Putih. Lha mong mereka saja masih mendapatkan “pembekalan” dari Prabowo dan dikirim ke Magelang. Perlu diakui kalau langkah tersebut cukup menarik karena rasanya belum pernah dilakukan sebelumnya.
Namun, sebagai masyarakat Indonesia, baik yang kemarin waktu pilpres memilih Prabowo-Gibran maupun tidak, tentu kita menaruh harap kepada nama-nama yang masuk ke dalam kabinet Prabowo-Gibran agar bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Penulis pribadi memberikan perhatian khusus kepada pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian, yakni menjadi:
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dipimpin oleh Abdul Mu’ti
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), dipimpin oleh Satryo Soemantri Brojonegoro
- Kementerian Kebudayaan, dipimpin oleh Fadli Zon
Seperti yang kita tahu, pendidikan Indonesia selama era Joko Widodo kerap mendapat kritikan, mulai dari masalah zonasi hingga kurikulum Merdeka. Belum lagi masalah viralnya pelajar Indonesia yang tidak bisa menjawab pertanyaan seputar pengetahuan dasar.
Penulis sedikit optimis dengan penunjukkan Abdul Mu’ti sebagai Kemendikdasmen, mengingat latar belakang beliau yang memang dari dunia pendidikan. Semoga saja para menteri yang baru bisa memperbaiki berbagai masalah pendidikan bangsa kita.
Untuk pos-pos kementerian yang lain, Penulis belum mau berkomentar banyak. Memang ada beberapa nama yang cukup bikin was-was, tapi tak sedikit yang bisa menumbuhkan optimisme. Sekali lagi, sekarang masih terlalu dini untuk menilai mereka.
Yang jelas, terlepas dari perbedaan kita di pilpres 2024 kemarin, marilah kita sama-sama berdoa dan berhadap kalau Prabowo-Gibran bersama kabinetnya bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Lawang, 24 Oktober 2024, terinspirasi setelah melihat pengumuman daftar menteri yang bergabung ke dalam Kabinet Merah Putih
Foto Featured Image: Detik
Sumber Artikel:
- Presiden Joko Widodo Sahkan UU 61/2024 tentang Perubahan UU 39/2008 tentang Kementerian Negara – setkab.co.id
- Terlengkap! Daftar 136 Menteri hingga Utusan Khusus Kabinet Prabowo: Sri Mulyani, AHY, Raffi Ahmad – bisnis.com
- Daftar Menteri era Jokowi yang Masuk Kabinet Merah Putih Prabowo – Kompas
- Kemendikbudristek Dipecah Jadi 3, Para Menteri Baru Akan Berkantor Di Mana? – Detik
Politik & Negara
Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet
Dalam pemilihan presiden (pilpres) yang telah berlangsung beberapa waktu lalu, ada salah satu tim dari pasangan calon (paslon) yang mengatakan ingin memperhatikan nasib kelas menengah, yang selama ini terkesan selalu berjuang sendirian.
Penulis menyukai gagasan tersebut karena merasa dirinya termasuk ke dalam kelas tersebut, setidaknya menurut definisi Penulis sendiri. Versi Penulis, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang tidak cukup miskin untuk dapat bantuan, tapi tidak cukup kaya hingga mendapatkan insentif.
Sayangnya, paslon tersebut tidak berhasil memenangkan pilpres dan Penulis pun jadi merasa was-was dengan masa depannya sebagai kelas menengah. Apalagi, belakangan ini banyak peraturan-peraturan baru yang semakin menekan kelas menengah.
Memahami Kelas Menengah di Indonesia
Tentu definisi yang Penulis gunakan di paragraf pembuka adalah versi dangkal yang sangat disederhanakan. Ada banyak definisi yang lebih bisa dipercaya, contohnya adalah versi Merriam-Webster berikut ini:
Kelas sosial yang menempati posisi antara kelas atas dan kelas bawah dan sebagian besar terdiri dari para pebisnis dan profesional, pejabat pemerintah, petani, dan pekerja terampil
Kalau di Indonesia, kelas menengah diklasifikasikan masyarakat yang memiliki upah antara Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulannya. Bisa dilihat, range untuk masuk kelas ini cukup luas sehingga sebenarnya tak bisa disamaratakan. Dua juta ke 10 juta itu jaraknya 8 juta, loh.
Di tahun 2024 ini, ada sekitar 43,85 juta masyarakat yang masuk ke dalam kategori kelas menengah. Jika jumlah penduduk Indonesia dibulatkan menjadi 250 juta jiwa, maka kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 17%.
Jumlah tersebut terjadi karena adanya penurunan kelas menengah yang cukup tinggi. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 9,5 juta kelas menengah yang harus turun kelas ke “calon kelas menengah” atau bahkan masuk “kelas rentan miskin.”
Sebagai perbandingan, jumlah masyarakat “calon kelas menengah” di Indonesia saat ini mencapai 137,5 juta atau lebih dari setengah penduduk Indonesia. Angka ini berpotensi akan bertambah karena ada prediksi bahwa sebanyak 2% masyarakat kelas menengah akan turun kelas pada tahun 2025 mendatang.
Mengapa Kelas Menengah di Indonesia Semakin Menurun?
Salah satu bukti penurunan jumlah kelas menengah ini bisa dilihat melalui penurunan transaksi menggunakan QRIS dalam periode Juni hingga Agustus 2024. Memang ini hanya satu parameter kecil saja, tapi cukup mencerminkan penurunan daya beli masyarakat pada umumnya, mengingat pengguna QRIS kebanyakan dari kelas menengah.
Jumlah gaji yang cukup ngepres alias pas-pasan tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup yang terus bertambah. Kita tidak sedang membicarakan gaya hidup masyarakat hedon, ini sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mari kita gunakan data. Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2022, rata-rata biaya standar rumah tangga di Jakarta mencapai Rp14,8 juta. Tahu berapa Upah Minimum Regional (UMR) di (calon mantan) ibukota? Rp4,6 juta saja. Jika suami-istri punya gaji UMR pun belum cukup untuk hidup ideal di Jakarta.
Dengan contoh tersebut, tak heran banyak masyarakat yang jadi menggantungkan hidupnya dengan pinjaman online maupun PayLater. Belum lagi diperparah adanya kegemaran untuk mengundi nasib lewat judi online, dengan harapan bisa mendapatkan cuan tambahan.
Mungkin ada pembelaan karena dalam lima tahun terakhir kita bergulat dengan pandemi Covid-19. Namun, rasanya bukan itu saja penyebabnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah juga memiliki andil atas makin terhimpitnya kelas menengah.
Kebijakan Pemerintah yang Makin Menekan Kelas Menengah
Salah satu wacana paling konyol yang menekan kelas menengah adalah penerapan subsidi KRL berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Artinya, masyarakat yang dianggap kurang miskin tidak akan boleh menikmati fasilitas subsidi ketika naik transportasi umum.
Di sisi lain, orang-orang kaya yang ingin membeli mobil listrik justru mendapatkan subsidi. Mana ada orang kelas menengah (apalagi masyarakat miskin) kepikiran untuk membeli mobil listrik? Padahal, terjangkaunya fasilitas transportasi umum menjadi kunci untuk mengurai kemacetan sekaligus mengurangi polusi udara.
Sudah transportasi umumnya mau dicabut subsidinya, mau naik kendaraan pribadi pun semakin dipersulit karena tidak boleh membeli Pertalite atau Solar. Agar lebih tepat sasaran, pemerintah, seolah kelas menengah dianggap selalu mampu membeli bahan bakar yang lebih mahal.
Gaji kelas menengah yang pas-pasan tadi semakin terasa sedikit karena adanya wacana iuran tambahan dana pensiun. Padahal, selama ini potongan gaji kita sudah diambil untuk Jaminan Hari Tua (JHT) msupun BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
Jangan lupakan kalau Pajak Pertambahan Negara (PPN) akan bertambah menjadi 12% mulai bulan Januari 2025 dengan alasan “masyarakat menyetujui keberlanjutan.” Padahal, PPN baru naik pada tahun 2022 lalu dari 10% menjadi 11% yang sudah cukup memberatkan.
Jangan lupa ada wacana potongan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3% yang dikabarkan akan diberlakukan mulai tahun 2027. Ingat, tidak semua yang membayar iuran Tapera bisa menggunakan uangnya untuk membeli rumah!
Belum lagi harga sembako yang konsisten naik, harga rumah yang terus meroket, biaya pendidikan semakin mahal, membuat kehidupan kaum menengah menjadi semakin sulit dan seolah tidak menjadi perhatian pemerintah. Kita seolah disuruh terus berjuang sendirian.
Negara yang Seolah Tak Memedulikan Kelas Menengah
Kesannya, negara sedang memalak rakyatnya sendiri karena butuh dana tambahan untuk mendanai proyek-proyek mercusuarnya seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Belum lagi jika nanti program makan siang gratis benar-benar diberlakukan, yang pastinya akan memakan anggaran lebih besar lagi.
Mau berjuang untuk bertahan hidup pun tak mudah karena lapangan pekerjaan rasanya semakin sulit untuk diraih. Jumlah lowongan yang tersedia tak sebanding dengan jumlah calon pekerja yang membutuhkan pekerjaan. Entah ke mana 10 juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan 10 tahun yang lalu.
Bukannya bertambah, beberapa sektor industri justru harus melakukan pengurangan jumlah karyawan dengan melakukan PHK. Penulis mengalami sendiri hal ini di tempatnya kerja, di mana ada pengurangan karyawan dengan tujuan efisiensi biaya.
Padahal di satu sisi, katanya negara sedang menggalakkan hiliriasi sumber daya kita untuk kemakmuran rakyatnya. Kita bisa melihat bagaimana program ini begitu dibangga-banggakan ketika debat calon presiden dan wakil presiden kemarin.
Namun, mengapa hingga hari ini kita belum merasakan dampaknya secara langsung? Apakah memang program tersebut hanya untuk kemakmuran rakyat tertentu saja? Jika disuruh bersabar karena masih proses, mau disuruh bersabar sampai kapan?
Pemberian bantuan sosial (bansos) hanya berlaku untuk masyarakat miskin. Namun, itu pun bukan solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan. Apalagi, kelas menengah sama sekali dianggap tidak layak untuk mendapatkan bantuan walaupun sebenarnya kita masih membutuhkannya.
Seharusnya, pemerintah mampu memberikan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan struktural seperti ini agar jumlah tidak bertambah setiap tahunnya. Memberi kail dan jala pada rakyatnya, bukan sekadar ikan yang langsung dimakan.
***
Kelas menengah adalah salah satu penggerak roda perekomian negara. Menurunnya jumlah masyarakat kelas menengah biasanya dibarengi dengan penurunan daya beli masyarakat, yang tentunya akan memacetkan roda perekonomian.
Gaji kita dipotong untuk ini itu setiap bulannya, walau memang harus diakui ada yang manfaatnya bisa langsung kita rasakan seperti BPJS Kesehatan. Hampir semua barang yang kita beli dikenai pajak, hingga muncul anekdot kalau suatu saat menghirup oksigen pun akan dikenai pajak.
Masyarakat menengah dianggap tidak berhak untuk mendapatkan subsidi, padahal kita butuh berhemat karena gaji yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menengah dianggap mampu berdikari di tengah kebijakan pemerintah yang makin menekan.
Jika kelas menengah terus diperah bagaikan sapi seperti ini, bukan tidak mungkin kalau masalah perekonomian negara kita akan semakin berat dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin pun semakin lebar di masa depan.
Lawang, 17 September 2024, terinspirasi setelah dirinya merasa makin tergencet dengan berbagai keputusan dari pemerintah
Foto Featured Image: The Jakarta Post
Sumber Artikel:
- Kelas Menengah Kian Terimpit Beban Ekonomi – BBC
- Kelas Menengah RI Hidupnya Makin Susah Buktinya Ada di QRIS – CNBC
- Masyarakat Kelas Menengah Turun Kasta, Ketahanan Ekonomi RI Jadi Taruhan – Bisnis.com
- Jumlah Kelas Menengah Diprediksi Turun 2% pada 2025 – Kontan
- Kelas Menengah di Indonesia, Tantangan Ekonomi dan Upaya Pulihkan Potensinya – VIVA Malang
- Pakar Unair Buka-bukaan Alasan Jumlah Kelas Menengah Indonesia Turun
Politik & Negara
Berusaha Memahami Situasi Politik yang Sedang Terjadi Saat Ini
Selama beberapa minggu terakhir, drama perpolitikan di Indonesia benar-benar dinamis sekaligus panas. Penyebab utamanya tentu saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang entah mengapa penuh dengan drama.
Tidak hanya drama di Jakarta, banyak peristiwa politik lain yang juga terjadi bersamaan. Salah satu yang mencuri perhatian Penulis adalah banyaknya calon kepala daerah yang hanya berhadapan dengan kotak kosong karena terlalu gemuknya koalisi.
Oleh karena itu, ada banyak hal yang terbesit di pikiran Penulis setelah mengamati dunia politik pada masa-masa ini, sehingga merasa perlu untuk menuangkan pikiran dan opininya melalui tulisan ini.
Gagal Paham Netizen (atau Buzzer?) Menyikapi Peringatan Darurat
Penulis sudah merangkum kejadian Peringatan Darurat pada tulisan sebelumnya. Intinya, pada akhirnya keinginan DPR untuk membuat RUU Pilkada demi membatalkan putusan MK dibatalkan karena desakan dari masyarakat.
Seperti yang kita tahu, menjelang rapat untuk membahas RUU Pilkada tersebut, masyarakat berkumpul di beberapa kota besar Indonesia untuk melakukan aksi protes. Bahkan, banyak public figure yang turun seperti Reza Rahadian, Andovi, serta banyak komika.
Nah, dengan dikabulkannya permintaan tersebut, tentu kita sebagai masyarakat merasa senang karena berhasil menahan pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengubah peraturan demi kepentingan tertentu. Iya, kan?
Ternyata, tidak semua berpikiran seperti itu. Ada pihak (kemungkinan buzzer) yang menuduh kalau gerakan Peringatan Darurat tersebut merupakan gerakan terstruktur yang dikomandoi oleh pihak tertentu untuk tujuan lain. Siapa? Mereka tidak menyebutkannya.
Lantas, tujuan lainnya itu apa? Nah, di sini Penulis tidak paham. Mayoritas pos yang kontra dengan Peringatan Darurat tidak menjelaskan secara spesifik apa maksud lain dari gerakan tersebut. Kalau yang pro kan jelas, kami tidak ingin peraturan diubah seenak udel-nya.
Anehnya, mereka justru melempar isu lain untuk memperkeruh keadaan. Contoh, mereka menyinggung masalah politik dinasti di Banten. “Kenapa kalian diam ketika ada dinasti di Banten,” kurang lebih begitu narasi dari mereka.
Bagi Penulis, mereka yang bernarasi seperti itu tidak paham substansi. Peringatan Darurat bukan muncul semata-mata untuk menolak dinasti, tapi (sekali lagi) mencegah agar jangan sampai peraturan bisa diubah semena-mena demi kepentingan tertentu.
Politik dinasti sudah banyak terjadi selama ini, bukan dipelopori oleh keluarga Joko Widodo selaku presiden kita. Tidak ada perarturan yang melarang kalau kita kerabat dari pejabat publik, kita dilarang untuk menjadi pejabat publik juga.
Yang dipermasalahkan adalah kalau dinasti itu dibangun dengan mengubah peraturan yang sudah ada. Kedua anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, sama-sama terganjal umur. Gibran berhasil diloloskan pamannya, tapi Kaesang tidak.
Nah, waktu meloloskan Gibran, tidak ada yang berdaya untuk mengubah keputusan MK tersebut, bukan? Lantas, mengapa saat MK memutuskan yang terakhir kemarin, tiba-tiba DPR bergerak cepat untuk menganulir keputusan tersebut? Ini kan anomali yang sangat aneh.
Isu lain yang dilempar ke publik adalah mempertanyakan mengapa para orang pro Peringatan Darurat tidak sevokal ini saat membahas RUU Perampasan Aset. Ini kesalahan logika lainnya karena sudah berbeda substansi. Buzzer memang selalu punya caranya sendiri, walau sering tak masuk akal.
Negara Tanpa Oposisi, tapi Lebih Parah
Salah satu poin yang diputuskan oleh MK adalah menurunkan batas threshold partai politik untuk bisa mencalonkan orang, dari 20% menjadi 7.5% saja. Tentu ini keputusan yang bagus sekali, karena threshold yang terlalu tinggi menimbulkan sedikitnya calon yang bisa dipilih.
Penulis pernah membahas mengenai bagaimana Jokowi berhasil mengalahkan lawan-lawannya tanpa berperang, yakni dengan cara mengajak koalisi lawan-lawannya. Hal ini tampaknya akan dilanjutkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam satu pernyataan, Prabowo pernah mengatakan kalau oposisi bukanlah budaya Indonesia, karena budaya Indonesia adalah gotong royong. Bagi Penulis, dalam negara yang mengusung demokrasi, ini adalah hal yang cukup berbahaya.
Hal ini bisa dilihat dari peta Pilkada saat ini, di mana ada begitu banyak satu calon diusung oleh hampir semua partai yang ada untuk melawan kotak kosong, atau minimal melawan calon independen. Ada puluhan kasus seperti ini di seluruh Indonesia.
Penulis ambil contoh di Jakarta, di mana Ridwan Kamil diusung oleh 15 partai. Partai Nasdem, PKB, dan PKS, yang awalnya ingin mengusung Anies Baswedan, berbalik arah dan ikut mendukung Ridwan Kamil karena gagal mencapai threshold.
Setelah keputusan MK, PDIP akhirnya maju sendirian dengan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Ada pasangan ketiga dari jalur independen, yang juga kontroversial karena mencatut banyak KTP orang dan tetap diloloskan untuk berlaga di Pilkada.
Di Jawa Timur pun begitu, di mana partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Khofifah. Yang berbeda adalah PDIP yang mengusuk Risma dan PKB yang mengusung Luluk.
Bayangkan, satu orang diusung oleh belasan partai. Jika pun mereka kalah, suara mereka di dewan akan sangat dominan. Lantas, bagaimana pihak Eksekutif dan Legislatif bisa bekerja dengan baik jika tidak seimbang seperti ini?
Negara butuh kontrol, karena itulah kita menganut trias politika. Tidak boleh ada satu pihak yang terlalu dominan. Kalau Eksekutif dan Legislatif-nya sejalan terus, lantas siapa yang bisa menjamin kalau semua keputusan yang dibuat akan menguntungkan untuk rakyat?
Kita seolah semakin bertransformasi menjadi negara tanpa oposisi yang makin parah. Siapa yang tidak mau ikut, entah baik atau buruk, akan ditinggal. Memang benar kalau tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi dan berada di luar kekuasaan.
Penutup
Situasi politik di Indonesia saat ini, setidaknya bagi Penulis, sudah berada di tahap yang membuat geleng-geleng kepala. Konsep bernegara yang kita kenal selama ini perlahan digeser, sehingga tak terasa kita akan dibawa kembali ke era otoriter seperti dulu.
Mungkin kita masih bisa bersuara, mungkin kita masih bisa melempar kritik. Akan tetapi, negara ini seolah sedang diatur oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing alias oligarki. Negara ini mau maju mau mundur, suka-suka mereka.
Kalau mau sarkas, sudah tidak perlu adakan Pemilu saja sekalian. Silakan pilih suka-suka kalian. Apakah namanya masih bebas, jika pilihan yang ada diatur-atur oleh pemilik kekuasaan, baik dengan cara halus maupun kasar?
Penulis yang ilmunya rendah ini berusaha memahami situasi politik saat ini, dan kesimpulannya, ini hanya tentang bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Nasib kita sebagai rakyat tak menjadi pertimbangan sama sekali.
Lawang, 4 September, terinspirasi setelah melihat komentar-komentar netizen (atau buzzer?) terkait peringatan darurat yang ramai beberapa minggu lalu
Foto Featured Image: Merdeka
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login