Politik & Negara
Memilih Pemimpin dengan Kedewasaan Berpolitik

“Terlepas dari siapapun para calon, ditunggu perang program dan gagasan-gagasannya. Perang hal-hal konkrit. Udah capek sama hal-hal yang superficial dan berbau identitas.”
Itu merupakan tweet dari teman penulis yang sedang melanjutkan studi S2nya di Belanda, mengomentari tentang suasana politik Indonesia yang semakin memanas ini. Penulis menyepakati idenya tersebut, dan berkembang menjadi tulisan ini.
Entah apa penyebabnya, tapi beberapa tahun terakhir, suasana politik di Indonesia rasa-rasanya semakin keruh. Demokrasi sehat yang diharapkan oleh para pejuang reformasi seolah tak terjadi.
Keberadaan media sosial (penulis merasa menjadi terlalu sering menyalahkan keberadaan media sosial) bisa jadi menjadi salah satu penyebabnya. Penyebaran informasi yang bisa terjadi begitu cepat tanpa adanya proses validasi menyebabkan black campaign tumbuh dengan subur.
Masyarakat kini cenderung memilih berdasarkan siapanya, bukan berdasarkan apanya (Baca juga: Ketika Demokrasi Menjadi Subyektif). Kita menjadi pendukung yang fanatik, seolah menutup mata dari kekurangan orang yang kita dukung (Baca juga: Akar Fanantisme Membabi Buta).

Jangan Menutup Mata (Photo by maxime caron on Unsplash)
Sebaliknya, kita juga menutup mata terhadap kebaikan orang yang menjadi lawan politik orang yang kita dukung. Ketika mereka melakukan keburukan sejelek apapun itu, hujatan muncul dari bibir kita.
Jelas bukan demokrasi seperti ini yang kita harapkan dengan penggulingan mantan presiden Soeharto. Kita mengharapkan demokrasi yang obyektif dan menghargai pilihan orang lain.
Mungkin ada beberapa pemilih yang mempercayai aturan yang tertulis di agamanya (termasuk penulis), namun ada juga yang mempercayai tafsir lain. Penulis tidak mempersalahkan hal tersebut selama mereka juga menghargai pilihan penulis.
Setelah pengumuman calon presiden dan wakilnya, penulis menyimak berbagai timeline di media sosial, mulai Twitter, Instagram hingga Line Today. Penulis membaca media yang pro petahana, pro penantang, dan netral (kalau masih ada). Ini penulis lakukan agar dapat melakukan penilaian yang tidak berat sebelah, meskipun suara penulis hanya bernilai satu, sama dengan suara yang dimiliki pemilih lainnya.
Jujur, sekarang penulis belum bisa menentukan pilihan, walaupun ada kecondongan terhadap salah satu pasangan capres-cawapres. Penulis masih menantikan manuver-manuver politik yang akan mereka lakukan. Selain itu, debat-debat antara calon juga menjadi salah satu hal yang penulis nantikan.
Ributnya Para Pendukung
Menyaksikan dinamika politik itu sebenarnya menarik. Banyak hal yang bisa berubah dengan sedemikian cepat, kadang terdapat plot twist yang tak disangka-sangka. Sense-nya sama dengan membaca novel detektif.
Banyak juga hal yang membuat kita gemas, lantas tertawa kecil. Apalagi jika bukan keributan yang dilakukan oleh antar pendukung di media sosial (lagi-lagi media sosial disalahkan).
Sebagai contoh, pendukung kubu penantang menagih janji-janji kubu petahana yang belum terealisasi. Pendukung kubu petahana bertanya balik, emang calon kalian udah ngapain aja? Calon gue udah kerja nyata.
Contoh lain, pendukung kubu petahana protes, ngurus provinsi aja belum becus, mau naik jadi cawapres. Pendukung kubu penantang menyerang balik, lah bukannya pilihan lu juga gitu dulu?
Isu agama pun juga menjadi menarik, karena dari yang penulis amati, pendukung kubu petahana seringkali menyuarakan “ulama jangan ikut berpolitik”. Sekarang, dengan pilihan cawapres petahana, pendukung kubu penantang menggunakannya sebagai senjata.

Ricuh di Dunia Maya (Photo by Hermes Rivera on Unsplash)
Keributan antar pendukung ini juga memiliki andil dalam memperkeruh suasana politik di Indonesia. Mereka pada akhirnya menyerang secara personal, bukan memberi kritik program-program yang ditawarkan oleh masing-masing calon.
Kedewasaan dalam berpolitik memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bernegara yang menganut sistem demokrasi. Banyak yang menganggap, sebenarnya Indonesia belum siap melaksanakan demokrasi karena mentalnya yang belum siap kalah.
Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mengawal pesta demokrasi (siapa yang sejatinya berpesta?) ini dengan baik. Pilihlah calon yang menurut kita paling bisa membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik.
Dan ingatlah kata-kata Aa Gym pada acara Indonesia Lawyer pada Selasa (7/8) kemarin, bahwa semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan, semuanya sudah tertulis. Jadi yakinlah bahwa apapun hasilnya, merupakan yang terbaik untuk bangsa dan negara ini.
Kayuringin, Bekasi, 11 Agustus 2018, terinspirasi dari tweet Aya, teman penulis yang sedang melanjutkan studi di Belanda.
Photo by Arnaud Jaegers on Unsplash
Politik & Negara
Pemerintah Selalu Benar, yang Salah Selalu Rakyat

Raja Ampat di Papua tengah menjadi sorotan. Pasalnya, ada isu yang menyebut kalau aktivitas pertambangan nikel di sana berpotensi merusak ekosistem alam yang ada di sana, baik di darat maupun laut. Tagar #saverajaampat pun viral di media sosial.
Nah, salah satu kebiasaan di negara kita tercinta adalah sebuah isu akan diseriusi atau ditindaklanjuti ketika sudah menjadi viral. Bahkan, sampai muncul istilah no viral no justice. Itu juga terjadi di kasus Raja Ampat ini.
Setelah ramai, pihak pemerintah bergerak cepat untuk melakukan klarifikasi atau meluruskan isu ini. Melansir dari berbagai sumber, aktivitas pertambangan di seputar Raja Ampat telah dibekukan untuk sementara waktu.

Namun, Penulis ingin membahas hal lain pada tulisan kali ini. Bukan fokus ke masalah Raja Ampat-nya, melainkan melihat bagaimana pemerintah memberikan respons saat ada kritik yang ditujukan kepada mereka.
Ucapan Bahlil yang Bikin Garuk-Garuk Kepala
Orang “terdepan” yang sering muncul terkait kasus ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Bahkan, beliau sampai langsung menuju Raja Ampat untuk meninjau langsung lokasi pertambangan.
Ada beberapa pernyataan beliau yang sudah muncul di publik, yang rasanya perlu kita soroti, tapi ini yang paling bikin garuk-garuk kepala:
“Ada pihak-pihak asing yang tidak senang atau kurang berkenan dengan proyek hilirisasi ini,” ungkap Bahlil sebagaimana dilansir dari Antara.
Menurut Penulis, secara tidak langsung Bahlil seolah menuduh masyarakat yang mendengungkan tagar #saverajaampat merupakan antek asing yang tidak suka Indonesia menjadi negara hebat dengan proyek-proyek hilirisasi yang dicanangkan.
Paling halus, Bahlil seolah menuduh kalau kita yang menentang aktivitas pertambangan di Raja Ampat mudah digiring oleh kekuatan-kekuatan asing untuk menghambat kemajuan bangsa melalui hilirisasi.
Kasarnya, kita itu tidak tahu apa-apa, mau saja termakan propaganda asing tanpa bukti yang benar. Apalagi, Bahlil telah turun ke sana dan mendapatkan sambutan dan dukungan yang (katanya) masyarakat sana (walau ia juga sempat disoraki ‘penipu’ di bandara).
Pemerintah Tidak Pernah Salah, yang Salah Rakyat
Pernyataan Bahlil tersebut membuat Penulis merasa dejavu karena rasanya pola seperti ini bukan pertama kali terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto. Setiap ada yang “oposisi” terhadap pemerintah dan kebijakannya, tuduhan-tuduhan tak berdasar langsung disematkan.
Tidak percaya? Coba baca pernyataan Presiden Prabowo berikut ini:
“Coba perhatikan secara obyektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus obyektif, dong.”
Pernyataan tersebut muncul saat ramai-rama demo yang menentang pengesahan RUU TNI, yang dikhawatirkan akan membangkitkan dwifungsi ABRI yang telah dimatikan sejak masa reformasi. Ia seolah menuduh bahwa semua orang yang demo itu ditunggangi oleh pihak lain.
Itu masih dalam topik antek asing. Masih banyak sekali pernyataan dari pemerintah yang terkesan menyudutkan masyarakat. Masih ingat bagaimana respons pejabat publik saat tagar #indonesia gelap dan #kaburajadulu muncul di internet? Benar-benar bikin kita menarik napas panjang.
Contoh lain, saat program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan kritik dari seorang profesor, bagaimana respons Presiden Prabowo?
“Sampai sekarang ada profesor-profesor yang pintar-pintar kok nggak setuju. Heran saya. Profesor pintar atau bodoh? Saya nggak tahu itu.”
Ancaman Nyata untuk Demokrasi
Dalam iklim demokrasi, tentu hal-hal semacam ini berbahaya karena bisa mematikan kebebasan berbicara masyarakat. Setiap yang berbeda dan tidak sejalan oleh pemerintah langsung dimatikan. Tidak ada ruang untuk oposisi.
Apalagi, saat ini Presiden Prabowo praktis bisa dibilang tidak memiliki oposisi resmi di kursi, mengingat hampir semuanya mendukung beliau. Jika rakyat pun dilarang menjadi oposisi, lantas siapa yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah?
Penulis jadi berpikir, apakah memang pemerintah saat ini selalu merasa dirinya benar, sehingga rakyat yang selalu disalahkan? Pemerintah kita menolak disebut otoriter, tapi mengapa lagaknya seperti berusaha membungkam setiap suara yang berbeda?
Idealnya, ketika ada kritik atau ketidaksetujuan dari masyarakat, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harusnya bisa menanggapinya dengan bijak. Beri respons yang menghadirkan solusi, atau minimal bisa menenangkan publik.
Entah mengapa Penulis merasa komunikasi publik pemerintah sekarang ini terasa sangat kurang, bahkan kadang terasa terlalu angkuh. Apa karena mereka merasa punya posisi yang sangat kuat, sehingga bisa begitu percaya diri dengan pernyataan-pernyataan kontroversial? Entahlah.
Lawang, 9 Juni 2025, terinspirasi dari ramainya isu pertambangan Nikel di wilayah Raja Ampat
Sumber Artikel:
- Bahlil menduga pihak asing terlibat untuk gagalkan hilirisasi – Antara
- 5 Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Terkait Tambang Nikel di Raja Ampat – Liputan 6
- Tinjau Tambang Nikel di Raja Ampat, Teriakan Bahlil Penipu Menggema di Bandara Sorong – RCTI Plus
- Di balik retorika ‘waspadai kekuatan asing’ ala Presiden Prabowo Subianto – ‘Prabowo adu domba warga dengan warga’ – BBC
- Prabowo Kritik Profesor yang Nyinyir Proyek Makan Bergizi Gratis – Tempo
Politik & Negara
Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?

Terkuaknya kasus korupsi Pertamina dan “bensin oplosan” akhir-akhir ini seolah menjadi gong dari berbagai isu yang sedang melanda Indonesia. Bayangkan saja, potensi kerugian negara bisa mencapai 1.000 triliun sehingga layak menyandang sebagai “juara” korupsi.
Selain itu, masyarakat juga benar-benar dirugikan karena mereka yang selama ini menggunakan Pertamax ternyata sama saja dengan menggunakan Pertalite. Bayar lebih untuk barang yang lebih murah, kan menjengkelkan, ya?
Entah mengapa rasanya 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar penuh dengan permasalahan. Saking banyaknya, masyarakat pun dibuat pusing olehnya. Narasi “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu pun mencuat.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin mengeluarkan semua unek-uneknya tentang berbagai isu yang sempat dan sedang panas dibicarakan. Siapkan obat sakit kepala, karena tulisan ini berpotensi mendatangkan sakit kepala kepada Pembaca!
Berbagai Isu yang Membuat Sakit Kepala

Mari kita bicarakan isu-isu yang relatif lebih “ringan” terlebih dahulu, yang sebenarnya juga kurang pas disebut “ringan” karena efek sakit kepalanya juga tidak main-main. Awal tahun ini, kita dipusingkan dengan masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Meskipun pada akhirnya hanya diterapkan kepada barang-barang tertentu, buruknya komunikasi pemerintah menimbulkan gejolak di masyarakat, seolah pemerintah memang sengaja melakukan tes ombak dulu sebelum membuat keputusan.
Selanjutnya ada kasus situs web Coretax, yang menghabiskan anggaran hingga Rp1,2 triliun dengan hasil yang sangat mengecewakan. Entah sudah berapa kali keluhan yang disematkan kepada situs tersebut karena tidak bisa menjalankan fungsi dasar.
Masalah LPG 3 kg yang sempat dilarang untuk dijual ke agen-agen sempat ramai dan mendapatkan banyak kecaman, sebelum Presiden Prabowo tampil sebagai pahlawan untuk membatalkan kebijakan tersebut.
Kalau Penulis pribadi merasa paling jengkel dengan pernyataan dari Presiden Prabowo yang mengatakan kalau pohon sawit ‘kan sama-sama pohon, sehingga kita tidak perlu takut dengan deforestasi. Penulis tak menyangka ucapan tersebut muncul dari mulut seorang presiden yang Penulis anggap pintar.
Belakangan ini, PHK besar-besaran juga marak terjadi di banyak tempat, termasuk PT Sritex yang tutup. Jangan lupa, saat artikel ini ditulis, rupiah sudah tembus ke angka Rp16.580, lebih buruk dibandingkan saat Krisis Moneter 1998.
Belum lagi masalah yang masih diliputi oleh banyak misteri seperti Pagar Laut. Entah mengapa semua isu-isu ini datang dalam waktu yang berdekatan, seolah tidak memberi kita jeda untuk sekadar bernapas.
Makan Bergizi Gratis dan Efisiensi Anggaran

Salah satu program kerja Presiden Prabowo yang paling sering disorot belakangan ini tentu saja Makan Bergizi Gratis (MBG), yang memang sejak masa kampanye menjadi program andalan Prabowo-Gibran.
Ada yang melaporkan makanan yang disajikan basi dan kurang bermutu, meski Penulis pribadi mendapatkan testimoni yang positif dari anak-anak Karang Taruna yang duduk di bangku SMP. Penulis juga mendapat laporan ada sekolah yang belum kebagian jatah.
Terlepas dari kualitasnya, sejak awal banyak yang menganggap kalau program ini sangat boros anggaran dan dikhawatirkan tidak tepat sasaran. Bukti nyata borosnya program ini adalah ditetapkannya efisiensi anggaran dari semua lini, termasuk pendidikan itu sendiri.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dihemat hingga Rp22,54 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dihemat hingga Rp8 triliun. Total target dana yang akan didapatkan setelah melakukan efisiensi ini adalah RP750 triliun.
Namun, entah mengapa Penulis merasa efisiensi yang diterapkan ini rasanya kok cuma gimmick semata. Alasannya, kalau memang mau efisiensi yang ketat, kurangi gaji pejabat publik dan cabut fasilitas-fasilitas yang kurang perlu. Penulis yakin, anggaran yang dihemat akan lumayan besar.
Selain itu, RUU Perampasan Aset untuk para koruptor juga tak kunjung disahkan. Jika koruptor berhasil dimiskinkan, tentu itu akan mengembalikan kerugian negara yang telah dicuri.
Sayangnya, tampaknya pemerintah kita belum seberani itu dan lebih memilih untuk mengorbankan banyak hal lewat efisiensi. Korbannya? Tentu masyarakat, di mana tak sedikit pegawai pemerintah yang terancam atau bahkan sudah di-PHK.
Untuk apa efisiensi yang dilakukan ini? Selain untuk membiayai MBG, dana yang ada akan dijadikan modal awal untuk Danantara.
Skeptisme Mengelilingi Danantara

Dengan semua isu yang terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ini, tentu banyak masyarakat (termasuk Penulis) jadi merasa skeptis dengan Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Danantara, yang akan mengelola dana hingga 14 ribu triliun.
Dana tersebut didapatkan dari aset tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pertamina, PLN, Mind ID, BRI, BNI, Bank Mandiri, dan Telkom Indonesia. Nantinya aset-aset tersebut akan digunakan untuk membiayai banyak proyek strategis, termasuk hilirisasi.
Secara konsep, proyek Danantara memang potensial, tapi kekhawatiran mengenai potensi korupsinya lebih menakutkan. Sentimen publik makin negatif karena diketuai oleh mantan napi koruptor, Burhanuddin Abdullah.
Apalagi, berdasarkan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR membuat Danantara tidak bisa diaudit oleh KPK dan BPK, kecuali atas permintaan dari DPR. Masalah transparasi menjadi isu utama yang membuat masyarakat menjadi skeptis.
Kasus korupsi Pertamina yang baru saja terungkap seolah menegaskan kalau para elite politik kita sulit untuk diberikan amanah dalam mengelola uang dengan nominal yang fantastis. Jangan sampai Danantara akan menjadi mega korupsi selanjutnya mengalahkan kasus Pertamina.
Selain itu, jika Danantara ini memang program kerja yang bagus, mengapa tidak dikampanyekan oleh Presiden Prabowo saat masa kampanye? Ini seolah mengulang Ibu Kota Negara (IKN) yang juga tidak dikampanyekan oleh Joko Widodo di tahun 2019.
Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu

Itulah beberapa isu yang cukup membuat masyarakat merasa pusing dengan kondisi negara saat ini. Beberapa isu lain yang tidak Penulis singgung adalah revisi UU Minerba dan kembalinya multifungsi TNI/Polri seperti zaman Orde Baru.
Ini semua pada akhirnya membuat banyak orang menyuarakan Indonesia Gelap (yang dibantah oleh pemerintah) dan memicu gerakan #KaburAjaDulu. Sudah banyak yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.
Parahnya, respons pemerintah cenderung defensif dan justru melakukan serangan balik, mulai dari tidak terima dengan Indonesia Gelap hingga menyematkan status “tidak nasionalis” kepada masyarakat yang memilih kabur ke luar negeri dan “jangan balik lagi”.
Padahal, seharusnya pemerintah intropeksi diri mengapa gerakan ini sampai muncul dan memikirkan solusinya. Kan masalahnya banyak yang timbul dari sisi pemerintah, ya masa solusinya masyarakat yang harus memikirkannya?
Teman Penulis bahkan sampai berpendapat bahwa bisa bertahan hidup hari ini saja sudah luar biasa. Masih bisa napas pun sudah alhamdulillah, walau ia bercelutuk bernapas pun susah di Jakarta karena polusinya yang luar biasa.
Pertanyaan besarnya adalah, mau sampai kapan kita dibuat pusing oleh negara ini? Kita sudah berusaha menjalankan kewajiban kita sebagai warga negara dengan taat membayar pajak, tapi justru terus dizalimi seperti ini.
Mungkin memang sudah saatnya doa “ampunilah dosa para pemimpin kami” diganti dengan “berikanlah balasan yang setimpal kepada para pemimpin kami”. Yang jelas di bulan puasa yang sedang berlangsung saat ini, rasanya kita perlu banyak beristigfar dalam menghadapi berbagai masalah negara ini.
Lawang, 3 Maret 2025, terinspirasi setelah merasa pusing dengan kondisi negara saat ini
Sumber Featured Image:
Sumber Artikel:
Politik & Negara
Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Belakangan ini, berita seputar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara relatif sepi. Tak banyak hal baru yang diulas oleh media, seolah tak ada update menarik. Pengerjaan proyek di sana tetap berlanjut dalam senyap.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat sudah lama digembar-gemborkan kalau ibu kota akan segera pindah dalam waktu dekat. Namun, Joko Widodo (Jokowi) hingga masa akhir jabatannya belum menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) untuk hal tersebut.
Dengan demikian, presiden terpilih Prabowo Subianto-lah yang mendapatkan tanggung jawab untuk membuat Keppres tersebut. Mengingat beliau telah menyatakan akan melanjutkan pembangunan IKN, rasanya hal tersebut tinggal menunggu waktu saja.
Menyorot IKN yang Problematik

Sudah Bermasalah Sejak Awal (Kompas)
Pada dasarnya, Penulis menyetujui ide untuk memindahkan ibu kota Indonesia keluar pulau Jawa, agar negara ini bisa mengurangi Jawasentrisnya. Selain itu, menghindari bencana alam seperti banjir dan pemerataan ekonomi menjadi alasan lainnya.
Namun, pada pelaksanaannya, ada banyak masalah yang disorot oleh berbagai pihak. Sejak hari pertama pengumumannya, menurut Penulis IKN ini sudah cukup bermasalah dan masalah tersebut terus bertambah setiap harinya.
Jokowi “meminta izin” untuk memindahkan ibu kota pada tanggal 16 Agustus 2019, setelah ia memastikan akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Anehnya, agenda pemindahan ibu kota tidak ada dalam agenda kampanyenya.
Mega project ini pun tiba-tiba dimulai begitu saja. Logikanya, jika ini memang hal yang begitu penting dan dibutuhkan oleh masyarakat, mengapa tidak pernah disebutkan sekalipun dalam kampanyenya?
IKN pun mendapat stigma negatif sebagai ambisi Jokowi untuk menorehkan namanya dalam sejarah, sebagai presiden yang berhasil memindahkan ibu kota negara. Dalam kondisi ekonomi yang tidak sepenuhnya sehat, Jokowi seolah memaksakan keinginannya tersebut.
Setelah itu, masalah pun muncul satu demi satu. Yang paling Penulis sorot adalah tingginya konflik agraria dan perusakan lingkungan dalam pembangunan IKN. Entah sudah berapa yang sudah menjadi korban. Bahkan, untuk sekadar mendapatkan air bersih pun kesulitan.
Ironinya, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun untuk menarik investor. Kebijakan ini sempat mendapatkan sorotan karena durasinya yang sangat panjang, bahkan lebih lama dari perjanjian zaman kolonial yang “hanya” mendapatkan jatah 75 tahun.
Sudah mengeluarkan kebijakan seperti itu, investor pun tetap sulit didapatkan. Hingga tulisan ini diterbitkan, masih belum jelas seberapa banyak investor, terutama dari asing, yang benar-benar telah mengeluarkan uang untuk pembangunan di IKN.
Selain itu, alasan pemerataan ekonomi kerap dianggap kurang masuk akal. Apalagi, muncul kesan elitisme karena adanya aturan yang membatasi masyarakat yang bisa tinggal di dalam IKN. Analoginya, masyarakat biasa tidak boleh tinggal di daerah Jakarta Pusat.
Sudah dibuat seperti itu pun, para elit politik yang memegang jabatan di pemerintahan berkali-kali menunjukkan keengganan untuk pindah ke IKN. Jika mereka enggan pindah, lantas buat apa membangun ibu kota baru yang sudah menghabiskan anggaran negara sekitar Rp72,1 triliun?
Penjabaran di atas rasanya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa harus diakui pembangunan IKN ini cukup problematik. Jika Prabowo ingin meneruskan pembangunan IKN, tentu harus ada gebrakan-gebrakan agar bisa terus dilanjutkan.
Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo

Prabowo Ketika Mengumumkan Kenaikan Gaji Guru (Jawa Pos)
Sejak masa-masa pemilihan presiden (pilpres), Prabowo sudah mengampanyekan berbagai program yang cukup menguras anggaran. Yang paling terlihat tentu saja program makan siang gratis, yang tampaknya sedang serius direalisasikan.
Selain itu, belum lama ini Prabowo juga meneken keputusan untuk menaikkan gaji guru-guru se-Indonesia, yang tentu juga membutuhkan anggaran. Lantas, apakah masih ada anggaran untuk membangun IKN, terlebih jika investor belum ada yang masuk?
Masalahnya, jika negara kekurangan uang, maka yang akan menjadi korban adalah rakyat. Meskipun kenaikan PPN 12% diumumkan akan ditunda sementara waktu, bukan berarti kita akan terbebas dari berbagai jenis tarikan yang jelas merugikan kita.
Dalam tulisan “Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet”, Penulis pernah menjelaskan bahwa ke depannya masyarakat kelas menengah akan terus diperas melalui berbagai jalur. Tentu sulit untuk tidak berpikir hal ini dilakukan karena pemerintah sedang membutuhkan uang.
Sedihnya, ketika masyrakat kelas menengah terus diperas, masyarakat kelas atas justru bisa menikmati Tax Amnesty. Bagi Penulis, hal ini terasa sangat tidak adil. Pemerintah harus hati-hati dengan permainan pajak ini, karena banyak kasus revolusi di suatu negara terjadi karena rakyatnya merasa tertekan dengan pajak yang tak masuk akal.
Semoga saja Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan negara. Jika memang tidak memungkinkan, menunda pembangunan IKN bukanlah hal yang memalukan, apalagi jika memang ada kebutuhan lain yang lebih urgent.
Melanjutkan pembangunan pun silakan saja, asal uangnya ada dan bukan berasal dari hasil memeras rakyat kecil. Kalau mau galak, silakan palak saja orang-orang kaya yang abai dalam membayar pajak, bukannya justru diberi Tax Amnesty.
Penulis yakin jika IKN memang dibangun untuk kemakmuran rakyat, pasti banyak masyarakat yang akan mendukung. Namun, jika dalam proses pembangunannya saja sudah banyak masalah dan ketidakadilan, tentu akan menimbulkan banyak kekhawatiran.
Lawang, 30 November 2024, terinspirasi setelah ingin menyelesaikan draft artikel ini yang tak selesai-selesai
Sumber Featured Image: Jawa Pos
-
Olahraga5 bulan ago
Saya Memutuskan Puasa Nonton MU di Bulan Puasa
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Sang Alkemis
-
Olahraga5 bulan ago
Tergelincirnya Para Rookie F1 di Balapan Debut Mereka
-
Politik & Negara5 bulan ago
Mau Sampai Kapan Kita Dibuat Pusing oleh Negara?
-
Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #29: Blokus Shuffle: UNO Edition
-
Pengalaman4 bulan ago
Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan
-
Pengalaman2 bulan ago
Ketika Hobi Menulis Blog Justru Terasa Menjadi Beban
-
Sosial Budaya2 bulan ago
Belajar Sejarah, kok (Cuma) dari TikTok?
You must be logged in to post a comment Login