Pengembangan Diri
Kelewat Baper vs Bercanda Kelewatan
Sebagai orang yang dianggap mudah terbawa perasaaan alias baper ketika kuliah (atau sampai sekarang?), penulis sangat memahami bagaimana rasanya mendapatkan cap seperti itu.
Bukan baper karena merasa geer seseorang suka dengan kita ya. Baper yang penulis angkat di sini adalah dalam konteks bercanda, di mana kita merasa tersinggung atau direndahkan karena candaan tersebut.
Kelewat Baper
Nah, perasaan tersakiti karena candaan teman-teman ini biasanya membuat kita terus kepikiran hingga akhirnya mengganggu produktivitas. Kita akan memikirkannya secara berlarut-larut hingga susah tidur, bahkan tak jarang sampai menangis.
Terkadang kita juga jadi sering berimajinasi terlalu jauh sesuatu yang kemungkinan tidak pernah terjadi. Misal, kamu akan membayangkan dirimu akan dikucilkan karena mendapatkan perlakuan buruk hingga memutuskan untuk pindah rumah. Terlalu berlebihan bukan?

Kelewat Baper (Odyssey)
Seringkali kita dijuluki baper seperti itu karena kita tidak bisa menerima bahan candaan yang dilontarkan oleh teman-teman kita. Entah apapun motif mereka bercanda seperti itu, yang jelas kita disuruh menerima candaan sebagai candaan, bukan sebagai serangan personal.
Permasalahanya, tidak semua orang bisa menerima candaan seperti itu karena sensitivitas orang berbeda-beda. Penulis termasuk yang sensitivitasnya tinggi dan mudah tersinggung, walaupun sekarang merasa sudah mulai berkurang.
Penulis juga punya teman yang sensitivitasnya sangat rendah, sehingga ia tak pernah marah ataupun tersinggung ketika dijadikan bahan olok-olok. Ya, kita tidak tahu bagaimana di dalam hatinya, tapi yang jelas ia tak pernah mengumbar ketersinggungannya di ruang publik.
Lantas, bagaimana cara mengatasi sifat baper yang seperti ini? Penulis memiliki beberapa cara yang sudah berusaha diterapkan ke diri sendiri. Tidak mudah, tapi bisa dilakukan.
- Selalu berpikir positif, contohnya menganggap teman-temanmu yang kerap menggoda kita sebagai upaya untuk lebih dekat dengan kita. Sudah banyak orang yang mengatakan, semakin dekat seseorang, semakin parah bercandanya.
- Jangan semua dimasukkan ke dalam hati, karena kita harus pandai-pandai menyeleksi mana yang harus masuk ke ruang hati kita yang terbatas. Jangan sampai masalah sepele mendapatkan tempat di dalam hati.
- Jadikan bahan interopeksi diri, tanyakan kepada diri sendiri apa yang membuat orang berbuat seperti itu kepada kita. Bisa jadi, penyebab orang berbuat hal yang kurang menyenangkan bermula dari diri kita sendiri.
- Belajar menjadi lebih dewasa, karena kedewasaan itu pilihan yang tak bergantung usia. Orang yang sudah mengalami berbagai peristiwa dalam hidupnya seringkali menjadi lebih dewasa, sehingga tidak mudah terganggu oleh masalah kecil.
- Mendekatkan diri ke Tuhan, karena pendengar terbaik di alam semesta adalah Tuhan sang pencipta alam ini. Jika Islam, perbanyaklah istighfar atau ambil air wudhu agar amarah reda. Begitu pula dengan agama lain, lakukan ritual yang bisa menenangkan diri.
- Cerita ke orang lain yang dipercaya, jangan memendam permasalahan sendirian. Berbagilah kepada orang-orang yang kamu anggap bisa menenangkan dirimu dan memberikan solusi terbaik.
Nah, akan tetapi, bisa jadi bukan kita yang kelewat baper. Bisa jadi, orang lain yang bercandanya kelewatan hingga siapapun akan merasa sakit hati dengan kata-kata yang diujarkannya.
Bercanda Kelewatan
Mungkin karena sewaktu kecil sering di-bully oleh teman-teman sekolah, penulis jadi jarang mengeluarkan candaan yang mungkin bisa menyakitkan hati. Tentu pernah, akan tetapi tidak sering. Apalagi jika yang diajak bercanda mulai terlihat tersinggung, penulis akan segera berhenti.
Akan tetapi, ada banyak orang yang kadang-kadang bercandanya melampaui batas. Biasanya, orang-orang seperti ini bukan tipe orang yang mudah terbawa perasaan. Sensitivitas yang dimilikinya termasuk rendah, sehingga tidak mudah tersinggung.

Bercanda Kelewatan (I Am Second)
Sayangnya, karena memiliki sensitivitas rendah, mereka menganggap orang lain sama seperti mereka. Logika yang digunakan seperti ini: kalau aku enggak sakit hati, ngapain orang lain sakit hati?
Masalahnya, tidak semua orang baper sejak lahir. Bisa jadi ada faktor-faktor penyebab orang lain menjadi mudah tersinggung, seperti adanya suasana hati yang sudah buruk, mengalami masalah yang berat, atau perasaannya sedang terluka.
Oleh karena itu, bercanda juga harus melihat kondisi, waktu, dan tempat. Jangan sampai ketika melihat orang lain sudah mulai tersinggung dengan ucapan kita, malah diteruskan hingga membuat orang tersebut emosi.
Yang membuat penulis seringkali mengelus dada, sejak ada kata baper, kata maaf seolah pudar. Yang sudah mengolok-olok merasa bahan candaannya masih wajar sehingga menuding pihak lain sebagai orang yang baper. Tak ada kata maaf di sana karena merasa benar.
Ada beberapa hal yang penulis lakukan untuk menahan diri ketika dirasa bahan bercandaanya sudah kelewatan.
- Tumbuhkan empati, cobalah membayangkan diri menjadi orang yang kamu olok-olok. Jika kamu ada di posisinya, apakah kamu akan merasa tersinggung juga? Ingat, sensitivitas masing-masing orang berbeda.
- Berpikir sebelum berbicara, pertimbangkan manfaat dari kata-kata yang akan keluar dari mulutmu. Apakah kalimat yang akan kamu ucapkan membawa kebaikan atau justru menggoreskan luka pada orang lain?
- Belajar menjaga perasaan orang lain, karena apapun tujuannya, terkadang bercanda yang kelewatan akan melukai perasaan orang lain. Cobalah untuk belajar menjaga perasaan orang lain dengan mengurangi kata-kata yang berpotensi menimbulkan konflik.
- Jangan pernah merasa lebih baik, karena mentalitas yang dimiliki oleh seorang pem-bully adalah merasa dirinya lebih baik atau lebih hebat dari orang yang di-bully. Posisikan diri sejajar dengan orang lain, bukan lebih tinggi maupun lebih rendah.
- Peka terhadap situasi dan memahami orang lain, karena sikap baper bisa muncul tiba-tiba tergantung apa yang sedang dialami oleh orang lain. Seperti yang sudah penulis sebutkan di atas, bisa jadi seseorang sedang berada di kondisi buruk sehingga berubah menjadi mudah tersinggung.
- Jangan merasa paling benar, sehingga kita enggan mengeluarkan kata maaf. Berhenti menyalahkan ke-baper-an orang lain dan mulai interopeksi diri bahwa yang sudah kita lakukan adalah salah. Minta maaflah jika ada yang orang tersakiti karena ucapan kita.
Kalau kita biasa menahan diri dan menghargai perasaan orang lain, tentu kita tahu kapan kita bisa bercanda dan kapan kita harus berhenti bercanda.
Penutup
Hidup dalam lingkungan sosial membuat kita kerap berinteraksi dengan orang lain. Di antara interaksi-interaksi tersebut, tentu kadang terjadi gesekan-gesekan yang membuat kita memiliki masalah dengan orang lain, termasuk masalah bercanda ini.
Sekali lagi, salah satu kuncinya adalah menghargai orang lain, menghargai perasaannya. Jangan sampai yang baper menjadi emosi karena terus-menerus diserang, lantas yang bercandanya kelewatan juga ikutan emosi karena merasa si baper sudah lebay.
Tentu kedua belah pihak harus sama-sama interopeksi diri dan berhenti membenarkan diri sendiri. Yang mudah baper, coba dikurangi ke-baper-annya. Yang sering bercandanya kelewatan, coba belajar memahami perasaan orang-orang yang mudah baper.
Kalau kedua belah pihak bisa melakukan semua yang sudah dijabarkan, tentu penulis bisa berharap bahwa konflik antara kelewat baper vs bercanda kelewatan ini bisa tereduksi di masa depan, setidaknya di lingkungan sekitar penulis.
Kebayoran Lama, 13 Februari 2019, terinspirasi dari, ya begitulah…
Foto: Everything-Voluntary.com
Pengembangan Diri
Memahami Sumber Ketidakbahagiaan untuk Menemukan Kebahagiaan
Siapa yang tidak ingin bahagia? Penulis rasa sudah fitrahnya manusia untuk merasa bahagia selama dia hidup. Walaupun definisi bahagia orang bisa berbeda-beda, sudah sewajarnya manusia mengejar kebahagiaan.
Jika disuruh mendeskripsikan apa itu bahagia, jujur Penulis sedikit kebingungan mendefinisikan versi Penulis. Mungkin karena tidak memahami apa makna dari kebahagiaan inilah Penulis jadi jarang merasa bahagia.
Karena merasa kesulitan mendefinisikan kebahagiaan, Penulis mencoba untuk berpikir sebaliknya. Bagaimana jika kita mencari apa yang membuat kita tidak bahagia, karena lebih mudah untuk diidentifikasi?
Memahami Apa Penyebab Ketidakbahagiaan

Tentu banyak hal yang bisa membuat kita tidak bahagia. Namun, jika dirumuskan dalam satu kalimat, Penulis meyakini kalau ketidakbahagiaan muncul ketika gambaran ideal yang ada di kepala tidak menjadi kenyataan.
Misalnya begini. Bagi Penulis, secara ideal Penulis harus bisa bangun pagi yang dilanjutkan dengan lari pagi. Setelah itu, mandi pagi, menulis artikel blog, baru mulai bekerja. Jika semua rangkaian tersebut tidak terlaksana, Penulis merasa gagal, dan akhirnya tidak bahagia
Contoh lain, bagi Penulis penghasilan yang ideal adalah 20 juta rupiah per bulan. Namun, hingga saat ini Penulis belum bisa mencapai nominal tersebut. Karena tidak sesuai dengan gambaran idealnya, Penulis pun jadi merasa tidak bahagia.
Sekarang Penulis mengambil contoh gambaran ideal ke orang lain. Misal kita punya gambaran ideal tentang pasangan di kepala: perhatian, peka, pendengar yang baik, loyal. Nah, ketika mendapatkan pasangan yang tidak sesuai dengan gambaran ideal tersebut, kita tidak bahagia.
Dengan kata lain, kita harus pandai-pandai mengelola ekspektasi yang ada di kepala kita, entah itu ekspektasi ke diri sendiri maupun ke orang lain. Tentu bukan berarti kita jadi punya target yang rendah dalam hidup, tapi lebih bisa menerima jika target tersebut belum bisa dicapai.
Sejujurnya karena tulisan ini lama ditunda, Penulis lupa di mana menemukan konsep di atas. Kemungkinan besar dari buku Filsafat Kebahagiaan, tapi Penulis tak bisa memastikan. Jadi, anggap saja benar.
Bersyukur Setiap Kali Mengeluh

Dalam buku Effortless karya Greg McKeown yang sedang dibaca, Penulis menemukan satu konsep yang menarik. Dalam salah satu babnya, kita diajak membiasakan diri untuk mensyukuri sesuatu setiap kali kita mengeluh.
Kalau Penulis tarik, ini bisa Penulis kaitkan dengan bahasan kebahagiaan dan ketidakbahagiaan di tulisan ini. Keluhan identik dengan ketidakbahagiaan, sedangkan rasa syukur identik dengan kebahagiaan.
Misal begini, kita mengeluhkan betapa banyaknya kerjaan yang terasa tidak masuk akal untuk kita kerjakan sendiri. Alhasil kita jadi merasa tidak bahagia, karena menurut gambaran ideal kita, seharusnya kita tidak mengerjakan tugas sebanyak itu.
Nah, begitu terbesit keluhan tersebut, coba kita cari satu hal saja yang bisa disyukuri tentang pekerjaan tersebut. Setidaknya, kita masih punya pekerjaan di tengah badai PHK di banyak tempat dan kondisi ekonomi seperti ini.
Contoh lain, kita merasa sebal karena pasangan kita kurang pengertian dan kurang peka. Dari keluhan tersebut, coba cari hal yang bisa disyukuri darinya. Oh, walau dia gitu, tapi dia setia banget dan selalu mau membantu di kala kita kesusahan.
Kalau mengingat hal-hal yang bisa disyukuri, gambaran ideal di kepala pun akan menyesuaikan diri. Dengan demikian, kita akan mencocokkan realita dengan bayangan ideal kita, sehingga kita bisa merasa bahagia.
Jadi, jika disimpulkan, maka kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola gambaran ideal yang ada di kepala kita. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengelola ekspektasi kita dengan baik. Jangan lupa bahagia!
Lawang, 17 September 2025, terinspirasi karena merasa dirinya perlu mendefinisikan ulang mengenai apa itu kebahagiaan
Foto Featured Image: Jorge Fakhouri Filho
Pengembangan Diri
Jangan Menunggu Sempurna, Mulai Aja Dulu
Sejak dulu, Penulis merasa dirinya adalah seorang perfeksionis parah. Segala sesuatu harus sesuai dengan standarnya. Bahkan, tak jarang kalau Penulis baru akan memulai sesuatu jika merasa itu sudah sempurna.
Tak hanya itu, Penulis kerap menanti waktu terbaik untuk memulainya agar sempurna seperti yang ada di bayangannya. Alhasil, karena menunggu kesempurnaan itu, Penulis justru tidak memulai-mulainya.
Nah, saat ini Penulis sedang membaca buku Effortless karya Greg McKeown. Salah satu poin yang tertera di buku tersebut adalah Dimulai. Intinya kita harus melakukan satu aksi pertama yang nyata, yang benar-benar kita lakukan. Itulah yang ingin Penulis bahas kali ini.

Menengok Ketidaksempurnaan Mangaka Populer
Dibandingkan menonton anime, Penulis lebih suka membaca komik karena membutuhkan durasi yang lebih singkat. Menariknya, dari sekian banyak komik yang pernah dibaca, Penulis menemukan satu kesamaan: tidak semua mangaka langsung bisa menggambar dengan bagus.
Contoh yang paling terkenal kasus ini adalah Hajime Isayama, mangaka Attack on Titan. Banyak orang yang membandingkan bagaimana “mentahnya” gambar di awal-awal jika dibandingkan dengan chapter-chapter yang paling baru.

Tak hanya Isayama, Penulis juga merasa ada evolusi dari gambar Masashi Kishimoto (Naruto), Akira Toriyama (Dragon Ball), Eiichiro Oda (One Piece), dan masih banyak lagi. Biasanya, chapter-chapter awal para mangaka tersebut masih mencari formula terbaik untuk komiknya.
Tentu ada standar minimum agar karya mereka bisa lolos dari editor. Namun, tetap saja jika dibandingkan dengan chapter-chapter terbaru dari komik tersebut, kita bisa melihat perubahan ke arah yang lebih baik.
Tak hanya komik, Webtoon pun memiliki pola yang sama. Dari beberapa judul favorit Penulis seperti Ngopi Yuk!, Kosan 95, Si Ocong, sampai Tahilalat pun juga tak langsung sempurna. Mereka tak menanti sempurna, yang penting mulai dulu aja.
Bahkan blog ini pun bisa dibilang juga memiliki pola yang sama. Ketika Penulis membaca tulisan-tulisan awal yang terbit di tahun 2018, Penulis merasa malu sendiri karena kualitasnya jelek dan banyak kesalahan penulisan yang mendasar.
Mulai Dulu Aja

Penulis menyadari bahwa perfeksionisme justru bisa menjadi benalu yang menghambat perkembangan diri. Menanti sesuatu yang tak akan pernah datang, seperti kesempurnaan, hanya akan berakhir dengan buruk.
Dari buku Atomic Habits karya James Clear, Penulis belajar bahwa untuk memulai sesuatu, mulailah dari yang kecil terlebih dahulu. Bangun lima menit lebih awal, menulis satu paragraf, membaca satu halaman, mengubah satu baris CV, adalah beberapa contohnya. Jangan dibuat ribet, buat sesederhana mungkin.
Misal Penulis ingin mengejar lagi cita-citanya untuk bekerja di luar negeri. Tidak perlu muluk-muluk harus apply 10 perusahaan dalam sehari. Penulis bisa memulai dengan memeriksa CV lamanya untuk mengecek apakah sudah layak atau belum.
Contoh lain adalah ketika Penulis ingin memiliki keseharian yang lebih sehat dan teratur. Maklum, bekerja dari rumah (WFH) selama hampir lima tahun membuat Penulis cukup kesulitan untuk mendisiplinkan diri.
Jadi, harus ada langkah-langkah kecil yang nyatan dan harus diambil untuk memperbaiki hal tersebut. Penulis memutuskan untuk merutinkan jalan kaki ke masjid setiap waktu sholat tiba, yang membuat Penulis jadi lebih disiplin waktu dibandingkan sebelumnya.
Kembalinya blog ini juga buah dari mulai aja dulu. Penulis dulu merasa perfeksionis dengan merasa nulis blog itu harus ada time block-nya sendiri, di pagi hari sebelum jam bekerja. Alhasil, blog pun jadi terbengkalai selama berbulan-bulan.
Penulis pun coba mengubah mindset-nya, yang penting nulis hari ini. Tidak sampai tayang pun tidak apa, yang penting mulai nulis dulu aja. Menariknya, setiap memulai menulis, pada akhirnya tulisan tersebut bisa tuntas hingga tayang.
Lantas, gimana kalau ketika kita misalnya ingin membangun rutinitas harian, tapi sering miss-nya? Ya, tidak apa-apa. Jangan mengejar kesempurnaan harus melakukan rutinitas tersebut selama 7 hari dalam seminggu.
Dibandingkan mengejar streak, yang penting ada berusaha agar setiap harinya bisa melakukan rutinitas tersebut. Kalau masih bolong-bolong pun tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau bisa memang jangan bolong terlalu panjang, nanti malah berhenti total.
Untuk memudahkan, setiap kepikiran ingin melakukan sesuatu, langsung pikirkan apa yang harus dilakukan pertama kali. Nantinya, langkah-langkah selanjutnya akan mengikuti dengan sendirinya. Sekadar mencatat pun sudah cukup, yang penting ada aksi nyata yang dilakukan.
Hal lain yang tak kalah penting adalah jangan suka menunda-nunda. Ini adalah kebiasaan buruk Penulis yang sering dilakukan. Akibatnya, banyak hal jadi terlupakan begitu saja tanpa pernah direalisasikan. Ide-ide tulisan blog misalnya, yang keburu usang karena sudah lupa apa yang ingin ditulis.
Satu hal lain yang cukup fatal adalah Penulis merupakan tipe yang kalau satu tidak dilakukan, maka semua tidak dilakukan. Ini adalah puncak dari masalah yang ditimbulkan oleh sifat perfeksionisme, yang sering all or nothing.
Padahal, jika ada satu hal yang tidak sesuai rencana, masih ada banyak hal lain yang bisa diperjuangkan untuk diselesaikan. Jangan hanya karena satu hal membuat berantakan semuanya. Lebih baik kita fokus dengan apa yang masih bisa diselesaikan.
Sebagai orang yang sangat perfeksionis, belakangan ini Penulis berusaha berdamai dengan ketidaksempurnaan. Tidak semuanya harus sempurna sesuai dengan keinginan kita. Jika bisa melakukannya, mungkin kita akan bisa melakukan apa yang dulu kita anggap mustahil.
16 September 2025, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita tak perlu menunggu sempurna untuk memulai sesuatu
Foto Featured Image: Mikhail Nilov
Produktivitas
Selama Bangun, Mata Kita Terus Terpapar Layar
Coba ingat-ingat aktivitas kita dalam sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari. Seberapa banyak aktivitas yang melibatkan layar di perangkat elektronik, baik dari ponsel, laptop, hingga televisi?
Penulis sendiri baru-baru ini menyadari bahwa dirinya hampir terpapar layar selama dirinya beraktivitas, mengingat pekerjaan dan hobi menulis Penulis sama-sama menuntut dirinya untuk selalu berada di hadapan layar.
Pada tulisan kali ini, Penulis ini melakukan interopeksi diri mengenai betapa panjangnya durasi dalam satu hari yang dihabiskan untuk menatap layar elektronik yang sejatinya memancarkan blue light.

Bagaimana Penulis Menghabiskan Sebagian Besar Waktunya di Depan Layar

Hari-Hari Lihat Layar (St. Luke’s)
Penulis akan berbagai dari pengalamannya sendiri (di hari kerja) untuk menjelaskan bagaimana kita sangat sering terpapar layar sejak dari bangun tidur. Penulis tidak akan menggunakan contoh “rutinitas yang ideal,” melainkan menggunakan contoh keseharian yang sering dilakukan.
Pagi hari di saat waktu Shubuh, Penulis akan terbangun karena alarm ponsel dan tablet. Setelah menunaikan ibadah sholat, Penulis akan kembali rebahan dan mengecek ponsel. Terkadang Penulis membaca buku dulu, tapi lebih sering mengecek ponsel.
Seringnya, Penulis akan tertidur lagi sekitar 1-2 jam setelah bangun pagi. Penulis baru akan terbangun lagi menjelang morning concall dan brainstorm yang dilakukan setiap pagi jam 9. Kalau lagi malas, Penulis akan rapat di atas kasur, bisa menggunakan tablet maupun laptop.
Biasanya rapat pagi ini berlangsung sekitar 1 jam. Setelah itu, Penulis akan sarapan yang sering dilakukan sambil menonton YouTube. Selesai sarapan (Penulis sarapan cukup siang), Penulis akan kembali bekerja dan berhenti menjelang Dhuhur untuk mandi, rawat diri, dan sholat Dhuhur.
Antara waktu Dhuhur dan Maghrib adalah waktu utama Penulis untuk bekerja di depan PC. Karena memasang larangan untuk mengecek media sosial atau bermain game di jam kerja, Penulis biasanya beristirahat sambil membaca buku, tidur sejenak, atau sekadar bermain dengan kucing.
Masuk jam istirahat di malam hari, biasanya Penulis habiskan dengan cek media sosial ataupun menonton YouTube di televisi ruang keluarga bersama ibu. Makan malam pun seringnya dilakukan sambil menonton televisi.
Jam 9 ke atas, biasanya Penulis kembali masuk ke kamar dan mulai menulis artikel blog di depan laptop. Setelah selesai, Penulis bisa kembali cek media sosial atau bermain game di tablet. Tak jarang juga Penulis menonton YouTube di televisi kamar sebelum akhirnya tidur.
Cara Mengurangi Durasi Melihat Layar

Buku Menjadi “Pelarian” yang Baik (Rahul Shah)
Dari cerita di atas, bisa dilihat kalau hampir seluruh kegiatan Penulis di hari kerja dilakukan dengan melihat layar, entah itu ponsel, tablet, laptop, maupun PC. Mau serius, mau santai, semua berkaitan dengan layar.
Bisa dibilang, hanya ada lima aktivitas yang tidak melibatkan layar sama sekali, yakni ketika sholat, membaca buku, bermain kucing, mandi, dan tidur. Ini menunjukkan bahwa betapa tergantungnya Penulis terhadap perangkat-perangkat elektronik untuk menjalani kesehariannya.
Penulis merasa kalau ini bukan gaya hidup yang sehat. Meskipun pekerjaannya menuntut untuk sering melihat layar, Penulis harusnya bisa mengimbanginya dengan aktivitas-aktivitas lain yang tidak membutuhkan layar.
Membaca buku jelas menjadi opsi yang paling menyenangkan bagi Penulis. Buku bisa menjadi jeda sejenak dari layar sekaligus sebagai penambah wawasan bagi dirinya. Namun, “daya” baca Penulis sudah tidak seperti dulu. Mentok-mentok satu jam sudah lelah, kecuali sedang membaca novel yang seru.
Selain itu, olahraga outdoor seperti lari pagi juga bisa menjadi aktivitas yang sehat. Dulu Penulis cukup rutin melakukannya, bahkan bisa menyebuhkan insomnia yang dideritanya. Namun, belakangan ini entah mengapa rasanya sangat berat untuk melakukannya.
Mencari hobi offline yang tidak membutuhkan layar juga bisa menjadi alternatif. Contoh yang paling gampang tentu saja bermain board game seperti yang sering Penulis lakukan di akhir pekan bersama circle-nya. Tidak hanya bermain, Penulis juga bisa mengobrol dengan teman-temannya.
Hobi offline lain yang bisa menyita waktu kita adalah merakit model kit seperti Gundam, LEGO, dan sejenisnya. Masih ada banyak hobi offline lainnya yang bisa dilakukan, seperti berkebun, futsal, memancing, memasak, menggambar, main musik, dan lainnya.
Penulis juga ingin mengurangi kebiasaan makan sambil nonton YouTube. Walau kesannya multitasking, aktivitas makan sebenarnya bisa menjadi jeda yang baik. Apalagi, sudah seharusnya kita fokus dengan makanan yang ada di hadapan kita dan bersyukur masih bisa menikmatinya.
Kegiatan lain yang perlu dikurangi adalah bermain media sosial. Aktivitas yang satu ini telah terbukti sebagai penyedot waktu terbesar. Walau sudah membatasi diri sekitar 1-2 jam per hari, Penulis merasa itu masih terlalu banyak dan bisa dikurangi lagi agar lebih produktif.
***
Mungkin karena kebetulan saja pekerjaan Penulis menuntut dirinya untuk melihat layar seharian. Apalagi, Penulis masih work from home sampai sekarang. Jadi, tulisan ini bisa jadi tidak related kepada orang-orang yang pekerjaannya tidak selalu mengharuskan mereka untuk melihat layar.
Namun, bagi para Pembaca yang juga menjalani rutinitas seperti Penulis, semoga saja tulisan ini bisa membantu menyadarkan betapa seringnya mata kita terpapar layar elektronik dan mulai mencari alternatif aktivitas lain yang lebih sehat.
Lawang, 1 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa dirinya hampir selalu menatap layar monitor dalam banyak bentuk
Sumber Featured Image: Ron Lach
-
Anime & Komik12 bulan agoAi Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan
-
Non-Fiksi11 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan12 bulan agoBagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Non-Fiksi12 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Musik12 bulan agoTier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya
-
Olahraga11 bulan agoKok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali
-
Permainan12 bulan agoKoleksi Board Game #27: Here to Slay
-
Permainan11 bulan agoKoleksi Board Game #28: Point City


You must be logged in to post a comment Login