Olahraga
Jangan Menangis Ronaldo, Anda Tetap Salah Satu GOAT
Kejutan seolah tak habis-habis di Piala Dunia Qatar 2022. Di babak gugur sempat terlihat kalau kejutan akan habis, tapi ternyata masih ada. Selain Kroasia yang mengalahkan Brazil, Maroko juga berhasil menjadi giant killer.
Korban terbaru dari Maroko adalah Portugal, yang banyak dijagokan orang akan melenggang ke final agar pertandingan idaman “Lionel Messi vs Cristiano Ronaldo” bisa terjadi. Sayangnya, mimpi banyak orang (termasuk Penulis) harus terkubur dalam-dalam.
Setelah pertandingan, kita bisa melihat bagaimana Ronaldo menangis dengan cukup kencang hingga menimbulkan perasaan iba kepada para penggemar sepak bola secara umum. Penulis, yang sempat ngomel-ngomel karena ulahnya di Manchester United, turut bersimpati.
Kejutan Maroko yang Tak Usai-Usai
Berada di grup F bersama Belgia, Kroasia, dan Kanada, sebenarnya Maroko tidak diunggulkan untuk lolos. Bahkan, Penulis pun membuat prediksi kalau duo negara Eropa yang akan lolos. Namun, nyatanya Maroko berhasil membungkam Belgia dan lolos ke babak selanjutnya.
Kejutan Maroko dianggap akan selesai di babak 16, di mana mereka harus berhadapan dengan Spanyol. Sekali lagi, Maroko menunjukkan pertahanan yang solid dan kerja sama yang baik, hingga pada akhirnya mampu memenangkan adu penalti melawan Spanyol.
Berhadapan dengan Portugal, Maroko lagi-lagi mampu memperlihatkan permainan yang baik, meskipun banyak yang mengkritik negative football yang dilakukan oleh mereka. Bagi Penulis, hal tersebut sah-sah saja, apalagi jika harus berhadapan dengan lawan yang lebih kuat.
Maroko memang menjadi salah satu tim dengan penyerangan terburuk karena hanya bisa mencetak sedikit gol sepanjang turnamen. Namun, Maroko juga menjadi tim pertahanan terbaik karena baru kebobolan satu gol, itupun gol bunuh diri.
Beralih ke Portugal. Seperti biasa, kamera akan menyorot dua sisi kontradiktif antara suka cita pemenang dan duka mendalam tim yang kalah. Tentu saja, kamera akan dengan sigap mencari sang kapten Cristiano Ronaldo, yang terlihat menangis dengan cukup kencang.
Ronaldo dan Kandasnya Impian Membawa Portugal Juara Dunia
Sudah menjadi rahasia umum kalau Ronaldo adalah orang yang ambisius, bahkan hingga sekarang. Salah satu alasan mengapa ia keluar dari Manchester United karena (tampaknya) ia masih ingin meraih gelar juara.
Hingga saat ini, hampir semua juara mayor telah ia raih, mulai Liga Champion yang begitu ia dominasi, juara liga dari Inggris, Spanyol, hingga Italia, dan tentu saja berbagai penghargaan pribadi seperti Ballon d’Or.
Untuk di level timnas, Ronaldo telah berhasil membawa negaranya membawa dua gelar utama, yakni Euro 2016 dan Nations League 2019. Sebelum ada Ronaldo, Portugal belum pernah juara turnamen-turnamen tersebut.
Jadi, bisa dibilang kalau impian Ronaldo yang tersisa untuk negaranya adalah Piala Dunia, sesuatu yang Lionel Messi juga berambisi mempersembahkannya untuk negaranya. Sayangnya, impian tersebut harus kandas di tangan Maroko.
Kemungkinan, tangis Ronaldo yang begitu terlihat menyesakkan adalah karena ia menyadari di usianya yang tahun depan 38 tahun, ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bisa membawa Portugal juara dunia.
Penutup
Mungkin akan ada sebagian penggemar Manchester United yang akan menertawakan kekalahan Portugal dan Ronaldo. Mereka menganggap itu adalah karma karena telah meninggalkan klub dengan buruk.
Namun, Penulis tidak seperti itu. Penulis turut bersimpati dan ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh Ronaldo. Bagaimanapun, impian besar yang gagal diraih jelas terasa menyakitkan, apalagi bagi bintang besar seperti Ronaldo.
Ia mungkin sudah habis, permainannya sudah tidak selincah dan setajam dulu lagi. Namun, hal tersebut tidak menutup fakta kalau Ronaldo adalah tetap salah satu GOAT, Greatest of All Time. Penulis bersyukur telah hidup dan besar di eranya.
Lawang, 12 Desember 2022, terinspirasi setelah melihat pertandingan antara Maroko melawan Portugal
Foto: The Telegraph
Olahraga
Siapa yang Menyangka Kalau F1 Musim 2024 akan Seseru Ini?
Ketika baru memasuki musim 2024, banyak penggemar Formula 1 (F1) yang langsung ingin lompat ke musim 2025. Alasannya, Red Bull dan Max Verstappen tampaknya akan mengulangi dominasinya seperti yang terjadi di tahun 2023.
Hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat dari 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Walau tak sedominan musim 2023, jelas hal tersebut membuat penggemar skeptis kalau musim ini akan terasa seru.
Namun, semua berubah setelah GP Spanyol. Verstappen secara tiba-tiba kehilangan dominasinya dan tak pernah lagi menang balapan. Bahkan, secara bercanda banyak yang mengatakan kalau mereka merindukan lagu kebangsaan Belanda dikumandangkan!
Apa yang Terjadi Setelah GP Spanyol?
Dalam 10 balapan pertama, hanya ada tiga pembalap yang berhasil mencuri kemenangan dari Verstappen. Mereka adalah Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).
Nah, setelah itu, ada banyak pembalap lain yang ikut meraih kemenangan. Total, musim ini sudah ada tujuh pembalap yang berhasil menjadi juara, salah satu yang terbanyak di era F1 modern. Berikut adalah daftar pemenang balapan selain Verstappen di musim ini:
- Lando Norris (McLaren) – 3 | GP Miami, GP Belanda, GP Singapura
- Charles Leclerc (Ferrari) – 3 | GP Monaco, GP Italia, GP Amerika Serikat
- Carlos Sainz (Ferrari) – 2 | GP Australia, GP Meksiko
- Lewis Hamilton (Mercedes) – 2 | GP Inggris, GP Belgia
- Oscar Piastri (McLaren) – 2 | GP Hungaria, GP Azerbaijan
- George Russel (Mercedes) – 1 | GP Austria
“Kejatuhan” Verstappen setelah awal musim ini tentu menarik untuk dipelajari. Di mata orang awam, jelas ada masalah di dalam kubu Red Bull, baik itu dari sisi teknis maupun non-teknis. Seperti yang kita tahu, banyak rumor tak sedap yang datang dari internal tim Red Bull.
Di sisi lain, tim-tim lain pun terus memperbaiki diri untuk bisa mengejar gelar juara. McLaren sempat konsisten menempatkan dua pembalapnya di podium, tapi belakangan justru Ferrari yang melakukannya. Mercedes sendiri cukup stagnan dan seolah mengekor di belakang mereka.
Dari sisi Verstappen, kita bisa melihat betapa ia mulai frustasi dengan timnya dan mulai tak kuat lagi menggendong tim jika melihat Sergio Perez yang seolah AFK sepanjang musim ini. Penampilannya yang ugal-ugalan di GP Meksiko menjadi buktinya.
Namun, inilah yang dirindukan oleh penggemar F1: persaingan ketat hingga akhir musim untuk menentukan siapa juaranya. Hingga empat balapan tersisa, kita belum tahu siapa saja yang bisa menjadi juara dunia, entah itu klasemen pembalap maupun konstruktor.
Posisi Perebutan Gelar Juara Saat Ini
Dengan empat balapan tersisa (GP Brazil, GP Las Vegas, GP Qatar, dan GP Abu Dhabi), tentu menarik melihat bagaimana peluang pembalap dan tim untuk bisa mengunci gelar juara di akhir musim. Seperti yang sudah disinggung, pemenang belum terlihat.
Mari kita mulai dari sisi pembalap. Untuk saat ini, Verstappen memang masih menduduki puncak klasemen dengan raihan 362 poin. Walau lama tak menang, Verstappen merupakan salah satu pembalap paling konsisten dalam urusan mencetak poin.
Di belakangnya ada Norris dengan selisih 47 poin. Angka ini bisa dibilang sudah sangat tipis. Apabila Norris berhasil menang balapan di saat Verstappen gagal finis, maka gelar juara bisa ia kunci jika di balapan selanjutnya berhasil selalu finis di depan Verstappen.
Leclerc menyusul di belakangnya, dengan selisih 24 poin dengan Norris. Walau peluangnya masih ada, rasanya kemungkinannya sangat kecil. Begitu pula dengan kans Piastri (251 poin) dan Sainz (240 poin) yang ada di belakangnya.
Dari sisi tim justru terlihat lebih menarik dan tak tertebak. Red Bull yang sempat lama berada di posisi pertama telah digusur oleh McLaren. Alasannya jelas, Verstappen seorang diri harus bertarung melawan dua pembalap McLaren yang langganan podium.
Saat ini, McLaren tengah nyaman berada di puncak klasemen dengan koleksi 566 poin. Namun, mereka tak bisa bersantai karena Ferrari secara mengejutkan mampu menggusur Red Bull di posisi kedua. Saat ini, Ferrari hanya selisih 29 poin dengan McLaren.
Jika Ferrari bisa mempertahankan dominasinya seperti di dua balapan terakhir, bukan tak mungkin beberapa minggu ke depan mereka berhasil mengudeta Mclaren. Apalagi, performa Piastri justru mengalami penurunan belakangan ini.
Lantas, apakah peluang Red Bull telah tertutup rapat? Secara matematika, sebenarnya masih sangat mungkin karena selisih mereka dengan McLaren hanya 54 poin. Namun, mengingat Perez sangat tidak bisa diharapkan untuk menyumbang poin, rasanya akan sangat berat.
Prediksi Penulis, musim 2024 ini akan dimenangkan oleh Max Verstappen untuk pembalap dan McLaren untuk konstruktor. Walau secara matematis masih bisa disalip oleh yang lain, rasanya mereka masih terlalu kuat untuk digusur. Mari kita lihat hingga musim ini berakhir.
Lawang, 29 Oktober 2024, terinspirasi setelah menyaksikan betapa serunya musim F1 tahun ini
Foto Featured Image: F1
Olahraga
Kunci Bahagia: Jangan Jadi Fans Manchester United
Secara mengejutkan (atau tidak?), hal yang banyak diharapkan oleh banyak penggemar Manchester United (MU) akhirnya terjadi. Erik Ten Hag resmi dipecat sebagai pelatih MU dan untuk sementara tim akan dilatih oleh Ruud Van Nisterlooy.
Pemecatan ini terjadi setelah rentetan hasil buruk yang menimpa MU selama awal musim ini. Di Premier League saja, MU telah menderita empat kekalahan dari sembilan laga yang dijalani. Alhasil, saat ini MU berada di posisi 14.
Lantas, apakah dengan pemecatan ini para penggemar MU akan merasa bahagia? Belum tentu. Selama menjadi penggemar MU terutama dalam 10 tahun terakhir, Penulis menyadari kalau salah satu kunci kebahagiaan ternyata adalah dengan tidak menjadi fans MU.
Awal Musim yang Sangat Berat
Musim lalu, performa MU memang cukup anjlok walaupun di akhir musim berhasil memenangkan FA Cup. Namun, kondisi tersebut dapat dimaklumi jika mengingat ada banyaknya pemain kunci yang cedera.
Kondisi berbeda terjadi pada musim ini, di mana mayoritas pemain kunci berada dalam kondisi yang fit. Apalagi, Ten Hag sudah mendatangkan banyak pemain yang ia inginkan untuk menjalankan strategi yang dimiliki.
Sayangnya, performa MU justru terus terlihat memalukan. Selain seolah lupa menang dan hanya menang satu bulan sekali, permainan MU ketika Penulis tonton juga tidak karuan. Jujur, lebih enak melihat permainan timnas Indonesia daripada melihat MU.
Selain performa buruk dan memalukan di liga, MU juga terlihat kewalahan dengan mencatatkan tiga seri dari tiga pertandingan mereka di Europe League. Alhasil, MU pun berada di peringkat 21 karena baru berhasil meraih tiga poin.
Luka ini semakin terasa perih jika melihat bagaimana Arne Slot bersama Liverpool dan Enzo Maresca bersama Chelsea yang terlihat langsung nyetel dengan tim barunya musim ini. Persamaan antara ketiganya hanya kepala mereka yang sama-sama botak.
Arne Slot yang mewarisi skuad milik Klopp berhasil memperlihatkan tim dengan pertahanan yang solid. Hingga sembilan laga, mereka baru kebobolan lima gol, itu pun yang dua baru saja terjadi saat bersua dengan Arsenal. Sebagai perbandingan, MU sudah kebobolan 11.
Enzo Maresca pun patut diapresiasi. Melatih Chelsea yang dianggap sesama badut bersama MU musim lalu, musim ini Chelsea menjelma menjadi salah satu penantang gelar juara. Padahal, skuadnya tak jauh berbeda dengan musim lalu.
Tidak hanya masalah di pertahanan, lini depan MU pun sangat tumpul. Bayangkan, Erling Haaland seorang diri telah mencetak 11 gol. Satu tim MU baru bisa mencetak delapan gol. Buruknya penyelesaian akhir MU bisa dilihat dalam laga melawan West Ham kemarin.
Dengan berbagai faktor tersebut, rasanya sudah wajar jika akhirnya manajemen MU mengambil tindakan tegas dengan memecat Ten Hag. Meskipun berhasil mempersembahkan dua trofi, progres yang diperlihatkan benar-benar jalan di tempat.
Namun, perlu diingat kalau dipecatnya Ten Hag belum tentu akan menjadi momentum kebangkitan MU. Masalah tim setan merah ini jauh lebih kompleks, entah dari segi pemain, manajemennya, dan lainnya. Mau pelatihnya Zinedine Zidane sekali pun belum tentu mampu membuat tim bangkit.
Dari sisi pemain, bisa dilihat kalau tak semua memiliki daya juang untuk tim seolah “yang penting main’. Dari sisi manajemen, walau ada sedikit harapan ketika INEOS mengambil alih, tetap saja mereka punya banyak PR yang harus diselesaikan.
Oleh karena itu, rasanya pendukung MU akan sulit untuk bahagia dalam beberapa tahun ke depan. Bagaimana mau bahagia, kalau setiap mau main pasti ada perasaan khawatir jika kalah. Bagimana mau bahagia, kalau setiap memulai awal pekan sering dihantui oleh kekalahan MU.
Kalau Tidak Bikin Bahagia, Kenapa Tetap Jadi Fans MU?
Setiap Penulis marah-marah karena MU kalah, pasti ada saja yang akan menyarankan untuk berganti tim. Logikanya, untuk apa tetap mendukung sesuatu yang hanya memberikan stres setiap akhir pekannya? Untuk apa mempertahankan sesuatu yang tidak bikin bahagia?
Donne Maula, suami dari penyanyi Yura Yunita, memberikan analogi yang sangat menarik. Ia adalah seorang pendukung MU yang tampaknya cukup hardcore. Buktinya, sama seperti Penulis, mood-nya akan bergantung pada hasil pertandingan MU.
Yura yang sebenarnya tidak paham sepak bola pernah berbagi cerita bagaimana rasanya punya suami penggemar MU. Sebelum mereka menikah, Donne pernah mengingatkan bahwa dirinya adalah penggemar MU dan waktu itu Yura tidak melihat adanya masalah di sana.
Nah, setelah menikah, akhirnya Yura pun paham mengapa suaminya pernah memperingatkannya. Secara polos, Yura pun mengatakan kenapa enggak ganti tim aja yang lebih sering menang daripada kalahnya. Spontan, Donne pun mengeluarkan analogi berikut:
“Kamu mau kalau aku ganti istri? Kamu mau aku ganti agama? Gak bisa ganti-ganti, harus MU terus!”
Kurang lebih, “drama” keluarga tersebut bisa menggambarkan apa yang dirasakan oleh para pendukung MU. Berbeda dengan kebanyakan penggemar Manchester City yang didominasi fans karbit, penggemar MU biasanya sudah cukup lama menjadi pendukung.
Penulis sendiri sudah menjadi pendukung MU sejak tahun 2002 atau sekitar 22 tahun lalu. Pada era tersebut, tentu MU sedang jaya-jayanya di era kepelatihan Sir Alex Ferguson. Ada banyak hal yang membuat Penulis jatuh cinta kepada MU hingga sekarang.
Nah, “cinta” tersebut diuji setelah kepergian sang pelatih. Sudah lebih dari 10 tahun penggemar MU menjadi bulan-bulanan penggemar tim lain yang tertawa puas melihat kejatuhan MU dengan begitu tragisnya.
Namanya juga sudah “cinta”, tentu harus bisa bertahan ketika dalam situasi yang sulit sekali pun. Justru, di situlah ujian yang sebenarnya bagi para penggemar. Seperti kata Cut Pat Kai yang melegenda, “Begitulah cinta, deritanya tiada berakhir.“
Mungkin jika disuruh memilih antara “main jelek tapi dapat trofi” atau “main bagus tapi enggak dapat trofi seperti Arsenal”, Penulis akan lebih memilih opsi yang kedua. Permainan bagus yang konsisten pasti ujungnya akan berakhir dengan indah.
Karena kecintaan itu pulalah yang membuat Penulis dan jutaan penggemar MU di seluruh dunia tetap mendukung MU walau sambil marah-marah. Karena kecintaan itulah yang membuat kami tetap menonton pertandingan MU walau permainannya bikin sakit mata.
Hal seperti ini mungkin akan sulit dipahami oleh pendukung tim yang konsisten di papan atas seperti Real Madrid atau Bayern Munich. Kalau pendukung AC Milan kemungkinan bisa memahaminya. Kalau pendukung Manchester City tidak perlu dipedulikan.
Oleh karena itu, walau salah satu kunci kebahagiaan adalah dengan tidak menjadi pendukung MU, Penulis akan tetap menjadi pendukung MU. Biarlah Penulis mencari kunci kebahagiaan yang lain tanpa perlu mengorbankan loyalitasnya ke MU.
Lawang, 28 Oktober 2024, terinspirasi setelah pemecatan Erik Ten Hag
Foto Featured Image: CNBC
Olahraga
Sepertinya Erik Ten Hag Memang Perlu Keluar dari Manchester United
Musim ini telah menjadi musim yang buruk bagi penggemar Manchester United (MU). Bagaimana tidak, dalam enam laga yang telah dijalani di liga, MU hanya berhasil meraih dua kemenangan, satu seri, dan tiga kekalahan.
Parahnya lagi, dua dari tiga kekalahan MU terjadi dengan skor yang cukup memalukan, yakni 0-3. Lebih memalukannya lagi, kekalahan atas Liverpool dan Tottenham Hotspurs tersebut terjadi di kandang MU, Old Trafford.
Di Europe League pun tidak lebih baik. Pada pertandingan pertama, MU hanya berhasil bermain imbang melawan FC Twente. Mau tidak mau, kursi kepelatihan Erik Ten Hag pun mulai digoyang lagi. Banyak penggemar yang ingin ia keluar dari tim.
Apakah Erik Ten Hag Memang Pelatih yang Buruk?
Ketika banyak netizen yang sudah lama menginginkan Ten Hag keluar dari MU, Penulis masih berusaha untuk mendukungnya. Alasannya, mau siapapun pelatihnya, MU sedang berada dalam kondisi yang sulit karena banyak hal.
Apalagi, Ten Hag berhasil mengakhiri paceklik gelar MU yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Di musim pertamanya, ia berhasil meraih Carabao Cup, sedangkan di musim keduanya ia berhasil mendapatkan FA Cup setelah mengalahkan Manchester City di final.
Namun, makin ke sini, Penulis makin setuju untuk mendepak Ten Hag. Salah satu alasannya adalah karena sang pelatih kerap menunjukkan sikap keras kepala dan tidak ingin disalahkan atas hasil buruk yang didapatkan oleh timnya.
Sebagai seorang pelatih, tentu saja ia menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas buruknya performa tim. Akan tetapi, Ten Hag kerap menolak kritik yang dilayangkan kepadanya dan memberikan berbagai bantahan yang sering membuat jengkel.
Selain itu, permainan MU belakangan ini benar-benar amburadul. Jujur saja, melihat permainan timnas Indonesia di bawah arahan Shin Tae-yong jauh lebih enak dibandingkan melihat permainan MU.
Contoh dalam laga melawan Spurs kemarin, distribusi MU benar-benar buruk. Pemain MU jelas terlihat kesulitan untuk lepas dari high pressing yang dilakukan oleh pemain Spurs. Tak hanya itu, kemampuan individunya pun terlihat kalah telak.
Ten Hag selalu berkoar-koar ingin menjadikan MU sebagai tim penyerangan transisi terbaik. Masalahnya, finishing dan pola penyerangan MU benar-benar buruk. Buktinya dalam enam laga, MU hanya berhasil mencetak 5 gol, ketika Erling Haaland telah mencetak dua kali lipatnya.
Lini depan MU memang benar-benar terlihat tumpul. Joshua Zirkzee sebagai striker rekrutan terbaru kurang memiliki finishing touch yang akurat. Rasmus Hojlund pun masih belum bisa menemukan performa terbaiknya pascacedera.
Pemain-pemain sayapnya pun terlihat kurang bisa menusuk. Pemain tengah kurang bisa mendistribusikan bola ke depan. Pemain belakang kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Mungkin hanya Andre Onana yang benar-benar bisa melakukan tugasnya dengan cukup baik.
Terakhir, satu alasan yang membuat Penulis ilfeel terhadap Ten Hag adalah nepotisme yang ia lakukan. Mungkin Pembaca juga sudah tahu bagaimana ia kerap merekrut mantan anak buahnya di Ajax Amsterdam. Hasilnya? Lihat saja berapa yang benar-benar berhasil.
Lantas, Siapa yang Lebih Layak dari Erik Ten Hag?
Penulis sadar kalau pergantian pelatih tidak akan serta-merta akan mengubah MU menjadi lebih baik dalam waktu singkat. Sejak ditinggal Sir Alex Ferguson, sudah banyak pelatih yang mencoba dan hasilnya tak pernah memuaskan.
Namun, melihat progres Ten Hag yang seolah mandek, Penulis merasa penyegaran memang perlu dilakukan. Penulis bahkan sudah kehabisan argumen untuk membela sang pelatih, sehingga akhirnya ikut bergabung dengan kubu yang menginginkan ia untuk cabut.
Momen ini membuat kita teringat pada masa-masa ketika para pendukung MU banyak yang menyuarakan agar Ole Gunnar Solkjaer dipecat dari tim. Penggemar sudah capek dengan narasi “percaya dengan proses” karena ini sudah memasuki tahun ketiganya di MU.
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana Arne Slot bisa langsung menyatu dengan timnya di musim perdananya. Tak hanya itu, Enzo Maresca juga terlihat langsung nyetel dengan Chelsea yang kerap melawak bersama MU dalam beberapa tahun terakhir.
Jika melihat mereka berdua, tentu narasi “percaya dengan proses” menjadi basi. Bisa jadi, bukan progres MU yang memang membutuhkan waktu lama, tapi memang kemampuan Ten Hag hanya sebatas ini. Ia tak akan mampu membawa MU ke masa kejayaannya lagi.
Lantas jika diganti, diganti oleh siapa? Kursi kepelatihan MU memang terlihat menakutkan dengan berbagai tuntutan yang ada. Belum lagi masalah-masalah di luar lapangan yang pernah dibocorkan oleh Cristiano Ronaldo beberapa tahun lalu.
Oleh karena itu, menurut Penulis nama yang paling cocok untuk menggantikan Ten Hag adalah Ruud Van Nisterlooy yang kini sedang menjadi asisten pelatih di MU. Ada banyak alasan mengapa Penulis menjagokan mantan striker tajam tersebut.
Pertama, Nisterlooy merupakan salah satu legenda MU. Ia tentu sudah mengenal tim dengan baik. Walau tak semua, ada beberapa pemain legenda yang berhasil menjadi pelatih di tim yang dulu ia bela, seperti Zinedine Zidane di Real Madrid, Pep Guardiola di Barcelona, atau Mikel Arteta di Arsenal sekarang.
Karier kepelatihannya memang belum cukup panjang untuk di tim senior. Namun, saat melatih PSV Eindhoven pada musim 2022-2023, ia berhasil mempersembahkan dua trofi, Johan Cruyff Shield dan KNVB Cup, sebelum memutuskan untuk meninggalkan tim karena suatu alasan.
Meskipun Nisterlooy belum tentu bisa membawa tim menjadi lebih baik, setidaknya akan ada penyegaran di dala m tim jika Ten Hag meninggalkan tim. Para pemain MU pun harusnya lebih hormat kepada Nisterlooy yang berstatus sebagai legenda tim.
Lawang, 30 September 2024, terinspirasi setelah kesabarannya habis melihat MU yang makin tidak karuan
Foto Featured Image: Daily Post Nigeria
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login