Connect with us

Politik & Negara

Monopoli Kebenaran

Published

on

Di setiap rezim yang berkuasa, pasti selalu ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bahkan, era Suharto yang otoriter pun kita masih bisa menikmati pembangunan yang cukup melejit.

Ada cukup banyak variasi “kejahatan” yang bisa dilakukan oleh rezim. Penangkapan musuh politik, korupsi berjamaah, dinasti politik, oligarki kekuasaan, pemberendelan media massa, dan masih banyak lagi lainnya.

Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, ada satu bentuk “kejahatan” lain yang menurut Penulis cukup berbahaya: Monopoli Kebenaran.

Monopoli Kebenaran Era Orde Baru

Menteri Penerangan Era Orde Baru (Tirto.ID)

Jika berkaca pada masa Orde Baru, pemerintah bisa dibilang berusaha melakukan tipe kejahatan ini. Media massa yang menyerang pemerintah akan segera dibereskan oleh Menteri Penerangan. Entah sudah berapa media yang mereka tutup selama berkuasa.

Tidak hanya itu, acara televisi pun juga dikuasai. Penulis masih ingat samar-samar, dulu semua acara berita dimonopoli oleh acara milik TVRI, Dunia Dalam Berita. Acara tersebut juga muncul di televisi swasta, seolah mereka tidak boleh punya acara berita sendiri.

Monopoli kebenaran dilakukan sebagai upaya untuk mencitrakan diri menjadi sebaik mungkin sekaligus sebagai pelanggeng kekuasaan. Masyarakat yang tidak memiliki banyak opsi mau tidak mau harus menelan informasi yang disodorkan oleh pemerintah.

Banyak masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis, tidak mau dibodohi. Mereka lantas bersuara, berupaya untuk menyuarakan kebenaran yang sebenarnya walau harus mengorbankan nyawanya sendiri.

Entah berapa banyak orang yang tewas, ditahan, atau hilang tanpa jejak di era Suharto. Novel Laut Bercerita bisa memberikan ilustrasi bagaimana hilangnya korban memberikan luka traumatis kepada keluarga.

Reformasi mengubah banyak hal. Media-media yang diberendel kembali diberi izin. Media massa mulai berani bersuara lantang, bahkan dengan berita yang menyerang ke arah presiden secara langsung.

Pertanyaannya, apakah benar monopoli kebenaran telah berhenti?

Monopoli Kebenaran di Era Sekarang

Pemilik Media, Ketua Parpol (Okezone News)

Media massa memang bisa bebas bersuara hingga sekarang. Hampir tidak pernah terdengar pemberendelan media hanya karena memberikan kritik kepada pemerintah.

Hanya saja, Penulis merasa beberapa media massa mulai kehilangan ideologinya sebagai penyampai kabar. Beberapa media massa hanya menjadi alat bagi sang pemilik untuk memenuhi kepentingannya.

Bisa dihitung, ada berapa pemimpin partai politik (parpol) yang juga menjadi pemilik media? Atau berapa pemimpin media massa yang menjalin hubungan khusus dengan pihak yang berkuasa?

Jika media sudah dikuasai oleh segelintir orang (baca: oligarki), Penulis sedikit pesimis bahwa berita yang disampaikan bisa bersifat netral dan tidak berpihak. Secara logika, mereka pasti akan melindungi kepentingannya sendiri.

Gampangnya begini. Seandainya ada anggota mereka yang tersandung kasus korupsi, pasti pemberitaannya sedikit atau tidak ada sama sekali. Tapi kalau anggota partai lain, apalagi yang oposisi, pasti akan diberitakan berhari-hari.

Ada sebuah quote menarik yang cocok untuk menggambarkan kondisi ini:

Whoever controls the media, controls the mind.

Jim Morrison

Siapapun yang menguasai media, mereka bisa menguasai banyak orang. Berita, apapun bentuknya, masih menjadi sumber utama masyarakat untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.

Tidak semua orang memiliki sifat kritis terhadap berita, sehingga masih ada yang menelannya mentah-mentah. Akibatnya, polarisasi masyarakat pun terus terjadi. Kehadiran media sosial memperparah fenomena ini.

Monopoli Kebenaran di Media Sosial

Berusaha Dimonopoli Pihak Tertentu (Daily Sabah)

Di tengah isu media massa yang dikuasai oleh pemerintah atau kelompok tertentu, media sosial (medsos) seolah muncul menjadi oase bagi mereka yang ingin mendapatkan berita atau informasi dari sisi lain.

Mereka yang sudah tidak percaya dengan media massa akan beralih ke media sosial yang “katanya” lebih terpercaya. Entah itu dari pos Facebook, tweet di Twitter, forward message di WhatsApp, rasanya semua itu lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan berita dari media mainstream.

Ini juga tidak benar. Ini juga bentuk dari monopoli kebenaran dari pihak lain.

Pemerintah atau orang-orang berkepentingan memang berusaha untuk mengendalikan berita yang terbit di media massa. Mereka juga berusaha mengendalikan opini di media sosial dengan berbagai cara, entah melalui buzzer, UU ITE, dan cara-cara lainnya.

Hanya saja, apa yang berseberangan dengan mereka juga belum tentu benar. Segala sesuatu di media sosial perlu dipertanyakan validitasnya. Dari masa sumbernya? Apakah bisa dipertanggungjawabkan? Apakah sudah dicek kebenarannya?

Media sosial telah berevolusi menjadi alat propaganda yang bersifat provokatif. Manusia pada dasarnya adalah tipe orang yang mudah dimanfaatkan emosinya. Jika ada pos atau berita yang membuat mereka terlibat atau terasa dekat secara emosional, orang akan jadi mudah percaya.

***

Monopoli kebenaran sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun, entah ia pihak yang sedang berkuasa atau oposisi yang hendak menjatuhkannya. Memang yang berkuasa terlihat lebih mudah melakukannya, tapi bukan berarti yang berseberangan tidak melakukannya juga.

Kita sebagai masyarakat di era modern dituntut untuk lebih bisa kritis dan bijak dalam menyikapi suatu informasi yang menghampiri kita, dari mana pun sumbernya. Mau kita pihak yang pro atau kontra dengan pemerintah, biasakan untuk melakukan check and recheck.

Jika kita bisa bersikap demikian, kita pun menjadi tidak mudah untuk diprovokasi dan dipolarisasi. Kita bisa memilah mana berita yang benar, meskipun ada pihak-pihak yang berusaha untuk memonopoli kebenaran.


Lawang, 12 Juni 2021, terinspirasi dengan banyaknya pihak yang berusaha melakukan monopoli kebenaran

Foto: Wallpaper Cave

Politik & Negara

Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…

Published

on

By

Dalam beberapa hari terakhir, di berita heboh dengan kebocoran data yang dialami oleh Pusat Data Nasional Siber (PDNS) 2 di Surabaya gara-gara terkena ransomware. Adanya penyanderaan data ini membuat banyak sektor menjadi lumpuh, termasuk keiimigrasian.

Tak main-main, biaya tebus yang diminta oleh sang pembobol mencapai 8 juta dolar atau setara Rp131 miliar. Dari berita terakhir yang Penulis baca, pihak pemerintah memutuskan untuk menyerah dan merelakan data yang dibobol hilang begitu saja.

Kejadian ini tentu saja membuat geram banyak netizen dan menganggap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang menaungi PDNS tidak becus dalam menjaga data masyarakatnya. Kita yang cuma masyarakat biasa ini khawatir karena data yang kita serahkan ke pemerintah tidak bisa dijaga dengan baik.

Apa Itu Ransomware?

Memahami Apa Itu Ransomware (PC World)

Sebelum membahas tentang bobolnya PSNS, ada baiknya kita memahami dulu apa itu ransomware. Melansir dari Oxford Dictionary, ransomware adalah jenis perangkat lunak berbahaya yang dirancang untuk memblokir akses ke sistem komputer sampai sejumlah uang dibayarkan.

Dengan kata lain, ransomware akan menyandera data kita dengan memblokir aksesnya. Biasanya, persebarannya melalui virus yang akan masuk ke dalam komputer kita. Begitu virusnya hinggap, maka akses akan dikuasai oleh pihak hacker.

Biasanya, hacker akan meminta sejumlah uang tebusan jika user komputer mau data yang telah ia sandera dikembalikan. Masalahnya, belum tentu data kita akan kembali setelah kita mengirim sejumlah uang ke mereka.

Melansir dari Trellix, ransomware biasanya ditargetkan untuk menyerang ke seluruh jaringan dan menargetkan basis data serta server file dengan tujuan untuk melumpuhkan yang diserang, seperti yang bisa kita lihat pada kasus PDNS.

Untuk mencegah ransomware, salah satu kunci utamanya selain memperkuat keamanan siber, ya rajin melakukan back up data agar seandainya terkena serangan, masih ada data cadangannya. Dalam kasus PDNS, ternyata banyak yang belum melakukan backup.

Dari sekitar 282 tenant yang terdampak dari serangan ini, diketahui hanya ada 44 tenant yang memiliki cadangan data. Penulis sampai heran, kok bisa data-data sepenting itu tidak di-backup.

Kronologi Bobolnya PDNS

Kok, Bisa Bobol, ya? (BSSN)

Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR dengan Kominfo serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada hari ini, sempat terungkap bahwa kebobolan PDNS bermula adanya upaya menonaktifkan Windows Defender sejak 17 Juni, hingga akhirnya benar-benar lumpuh pada tanggal 20 Juni.

Hal itu terbukti berdasarkan hasil forensik, di mana tahap pertama serangan terjadi pada tanggal 18 hingga 19 Juni 2024. Setelah itu, Directory Backup tiba-tiba dinonaktifkan pada tanggal 20 Juni dan sejak tanggal tersebutlah ransomware bernama Brain Cipher Ransomware berhasil dieksekusi.

Sejak datanya disandera, pihak pemerintah mengatakan bahwa mereka tidak akan membayar uang tebusan sebesar Rp131 miliar. Dari berita terbaru, pihak pemerintah mengatakan bahwa mereka malah sudah pasrah kehilangan data-data yang disandera karena servernya sudah tidak terselamatkan lagi.

Direktur Network dan IT Solution Telkom, Herlan Wijanarko, mengatakan walaupun data di PDNS 2 tersandera, kebocoran data bisa dibilang aman karena hanya terenkripsi di dalam sistem PDN. Apalagi, sistem PDNS 2 juga sudah diisolasi dan diputus aksesnya dengan luar.

Menurut Usman Kansong selaku Dirjen IKKP Kementerian Kominfo, hingga hari ini sudah ada beberapa tenant pemerintah yang terdampak telah pulih, yakni Imigrasi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kemenkomarves, Kota Kediri, dan Kemenag.

Masalahnya, masih ada banyak tenant yang terdampak dan tampaknya akan butuh waktu lama untuk pulih total. Setidaknya hingga akhir bulan Juni ini, pemerintah menargetkan setidaknya ada 18 tenant yang berhasil dipulihkan. Padahal, ada 200 lebih tenant yang terdampak.

Selama PDNS di Surabaya lumpuh, untuk sementara PDNS dipindahkan ke Batam dan Serpong, Tangerang. Proses isolasi juga telah dilakukan untuk mencegah ransomware menyebar ke jaringan lain. Tentu langkah-langkah untuk memperkuat pertahanan siber juga telah dilakukan.

Budi Arie Setiadi selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) berusaha membela diri kalau serangan ransomware menyerang berbagai negara. Ya memang, tapi dari banyaknya serangan ke negara-negera tersebut, berapa banyak yang bisa bobol dengan mudah seperti kita?

Penutup

Dalam debat pilpres kemarin, masalah pertahanan siber menjadi salah satu yang sempat dibahas dan dianggap rawan oleh salah satu pasangan calon. Waktu itu, banyak yang tidak percaya, hingga akhirnya terbukti dengan kejadian bobolnya PDSN ini.

Apalagi, masalah kebocoran data di negara kita ini seolah sudah menjadi hal yang biasa. Kita seolah tidak pernah belajar dari kasus yang sudah-sudah. Pertahanan siber kita jelas butuh banyak dibenahi untuk menghindari kasus serupa terulang di masa depan.

Seharusnya, kita itu melakukan yang namanya antisipasi, jangan menunggu diretas baru melakukan tindakan. Kalau datanya sudah sampai dibobol, yang rugi jelas kita sebagai masyarakat yang mempercayakan datanya untuk diberikan kepada pemerintah.


Lawang, 27 Juni 2024, terinspirasi setelah membaca banyak berita tentang bobolnya Pusat Data Nasional (PDN)

Foto Featured Image: Markus Spiske

Sumber Artikel:

Continue Reading

Politik & Negara

Bagi-Bagi Kursi sebagai Balas Budi: Wajar atau Kurang Ajar?

Published

on

By

Belakangan ini, salah satu isu yang sedang panas dibahas adalah mengenai “bagi-bagi kursi” yang dilakukan oleh pemerintah kepada orang-orang yang sudah mendukung dan membantu kubu 02 di pemilu presiden (pilpres) kemarin.

Tentu bagi-bagi kursi ini bukan hal yang baru, tapi yang kali ini memang terkesan agak kelewatan. Pasti ada sanggahan ini itu yang intinya mengatakan kalau ini bukan bentuk balas budi ke mereka. Namun, mayoritas publik sudah memiliki opininya sendiri.

Pertanyaannya, apakah politik balas budi seperti ini memang wajar? Atau ada kesan berusaha diwajarkan karena aslinya kurang ajar? Penulis akan mencoba membagikan opininya pribadi terkait fenomena ini.

Siapa Saja yang Kebagian Kursi?

Via Katadata.co.id

Ada banyak media yang membuat daftar siapa saja pendukung kubu 02 yang kebagian kursi setelah pilpres berakhir. Pembaca bisa melihat daftarnya di atas, yang Penulis ambil dari Katadata.co.id.

Bisa dilihat kalau dari sembilan nama yang tertera, tujuh di antaranya memang bagian dari Tim Kemenangan Nasional (TKN) atau pendukung kubu 02. Dua lainnya memiliki afiliasi dengan Prabowo Subianto.

Selain mereka, jangan lupakan ada juga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang “langsung” mendapatkan kursi menteri setelah pindah haluan dari kubu 01 ke kubu 02. Padahal, Partai Demokrat yang ia pimpin telah menjadi oposisi selama sembilan tahun.

Nah, persamaan sembilan nama di atas adalah mendapatkan jabatan sebagai Komisaris, yang sejujurnya Penulis sendiri tidak begitu paham apa fungsi dan jobdesk-nya. Yang Penulis tahu, seorang Komisaris pasti memiliki gaji yang berjumlah fantastis.

Melansir dari Kompas, secara sederhana Komisaris adalah: jabatan yang ditunjuk atau dipilih untuk mengawasi seluruh kegiatan perusahaan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan dan pengelolaan perusahaan.

Kalau melansir dari Gramedia, Komisaris adalah: orang yang memberi pengawasan dan memberi nasihat kepada direksi beserta bawahannya. Bagi mayoritas masyarakat awam, yang jelas jabatan Komisaris adalah jabatan yang mudah dengan gaji wah.

Mungkin pemerintah akan berkilah dan menyebutkan alasan lain mengapa mereka bersembilan bisa mendapatkan kursi Komisaris. Namun, Penulis belum menemukan pernyataan yang meyakinkan mengenai apa saja pertimbangannya.

Netizen yang pro-pemerintah mungkin akan mengatakan kalau mereka memang dipilih karena kemampuannya. Bahkan, ada saja netizen yang pro-pemerintah mengatakan kalau yang komplain-komplain ini hanya iri karena tidak dipilih sebagai Komisaris.

Ya jelas iri, di saat masyarakat kesulitan mendapatkan pekerjaan, justru ada orang-orang yang sebenarnya secara materi sudah cukup mendapatkan pekerjaan bergaji fantastis dengan mudah.

Akan tetapi, menurut Penulis bagi-bagi kursi ini sarat dengan kepentingan. Selain yang dapat banyak pendukung kubu 02, momentumnya pun terjadi setelah pilpres pula. Masa iya kebetulan bisa terjadi sampai sembilan kali? Yang benar aja, rugi dong!

Bantu Aku, Kursi Kau Dapat

Via Suara Surabaya

Dari sembilan nama yang telah disebutkan di poin sebelumnya, ada lima nama yang diketahui mendapatkan kursi Komisaris pada tanggal 10 Juni 2024. Sisanya, mendapatkan kursi Komisaris ketika masa pilpres masih sedang berlangsung.

Politik balas budi dengan bagi-bagi kursi seperti ini tentu semakin memperkuat tudingan nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah. Memang bukan keluarga yang ditunjuk, tapi orang-orang yang pro-pemerintahan dan “kebetulan” pendukung 02 juga.

Sialnya lagi, istilah balas budi yang sejatinya berkonotasi positif berubah menjadi negatif karena hal ini. Balas budi yang seharusnya memang dilakukan oleh setiap manusia jika dibantu menjadi terkesan kotor.

Bicara soal kotor, hal ini juga bisa semakin menodai Joko Widodo selaku pemimpin tertinggi di pemerintahan. Jokowi, yang dulu identik dengn merakyat, di akhir masa jabatannya justru mengesankan kalau dirinya tak lagi seperti itu dan lebih memilih mengelit.

Jika dulu Jokowi dianggap sebagai harapan rakyat, maka kini beliau justru menjadi harapan segelintir orang atau kelompok yang punya kepentingan. Bukannya mendekat ke rakyat, ia justru mendekat ke orang-orang yang akan membantunya bertahan di kursi kekuasaan.

Kesembilan orang tadi berhasil kebagian jatah kursi Komisaris, sedangkan kita sebagai rakyat (baik yang memilih keberlanjutan maupun tidak) kebagian potongan Tapera dan keputusan-keputusan lain yang tidak pro-rakyat.


Lawang, 14 Juni 2024, terinspirasi setelah melihat berita banyaknya orang yang mendapatkan “kursi” sebagai bentuk balas budi

Foto Featured Image: Justdial

Sumber Artikel:

Continue Reading

Politik & Negara

Dinasti Politik di Kursi Kekuasaan: Boleh atau Tidak?

Published

on

By

Ketika cek media sosial X (Twitter) pagi ini, linimasa Penulis penuh dengan seorang komika terkenal, Pandji Pragiwaksono. Setelah Penulis telusuri, ternyata penyebabnya adalah ia terlihat “marah-marah” ketika diundang pada siniar Total Politik.

Penyebab Pandji marah-marah adalah karena menurut kedua pembawa acara siniar tersebut, Arie Putra dan Budi Adiputro, dinasti politik yang akhir-akhir ini sedang menjadi sorotan di Indonesia bukan sesuatu yang salah dan sah-sah saja.

Ada banyak argumen yang mereka bertiga keluarkan selama membahas permasalahan tersebut, yang akan coba Penulis bahas lebih detail di bawah ini. Yang jelas, muncul satu pertanyaan yang muncul di benak Penulis: jadi dinasti politik itu boleh atau tidak?

Memahami Apa Itu Dinasti Politik

Ayah dan Anak Menjadi Presiden (People)

Sebelum membahas mengenai boleh tidaknya, ada baiknya kita memahami dulu apa itu dinasti politik. Melansir dari sebuah jurnal yang ditulis oleh R. Mendoza pada tahun 2013, dinasti politik adalah:

“Dinasti politik” mengacu pada situasi di mana anggota keluarga yang sama menduduki posisi terpilih secara berurutan untuk posisi yang sama, atau secara bersamaan di posisi yang berbeda.

Kalau mau melansir Wikipedia, dinasti politik adalah sebuah keluarga yang memiliki banyak anggota yang terlibat dalam politik – khususnya politik elektoral. Dari dua definisi ini, rasanya kita sudah mendapatkan gambaran apa itu dinasti politik.

Dinasti politik di sini mengacu kepada sistem negara demokrasi, bukan kerajaan. Kalau sistem negaranya monarki, ya jelas yang memimpin negara tersebut adalah dinasti keluarga tertentu. Dinasti politik di sini adalah menempatkan keluarga di kursi pemerintahan melalui proses pemilu.

Di Amerika Serikat yang sering dianggap kiblat demokrasi, ada beberapa contoh dinasti politik. Mungkin yang paling terkenal adalah keluarga Bush, di mana George W. Bush yang menjadi presiden di tahun 2001-2009 merupakan anak dari George H. W. Bush yang menjadi presiden pada tahun 1989-1993.

Kalau di negara tetangga, Singapura, mereka terkenal karena selama bertahun-tahun dipegang oleh dinasti Lee, mulai dari Lee Kuan Yew hingga Lee Hsien Loong. Lantas, bagaimana dinasti politik di Indonesia?

Ramai Dibahas karena Keluarga Jokowi

Jokowi dan Gibran (Detik)

Dinasti politik sejatinya bukan hal baru di Indonesia, tapi memang akhir-akhir ini disorot karena manuver-manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), terutama bagaimana anaknya, Gibran Rakabuming Raka, berhasil menjadi wakil presiden (wapres) terpilih untuk periode 2024-2029.

Sempat mereda setelah pemilu presiden (pilpres) berakhir, isu tersebut kembali mencuat ketika Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan yang mengubah penghitungan batas usia calon kepala daerah (cakada) pada Pilkada serentak 2024 mendatang.

Perubahan tersebut adalah ditambahkannya kalimat “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih,” sehingga cakada boleh berusia di bawah 30 tahun, selama jika ia telah berusia 30 tahun ketika tanggal pelantikan.

Nah, keputusan tersebut dianggap banyak pihak dibuat untuk memuluskan jalan anak Jokowi lainnya, Kaesang Pangarep, untuk maju di pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta. Pasalnya, ketika pilkada serentak diadakan pada tanggal 27 November 2024, Kaesang masih berusia 29 tahun.

Namun, kita masih harus menunggu apakah Kaesang benar-benar akan maju atau tidak. Jika Kaesang benar-benar maju, maka dugaan publik kalau perubahan peraturan tersebut memang digunakan untuk memberi karpet merah untuk Kaesang.

Dinasti Politik di Indonesia Kerap Terganjal Kasus Korupsi

Ratu Atut Terjerat Kasus (Kompas)

Sebelum “drama” dinasti politik keluarga Jokowi ini, sebenarnya sudah ada banyak dinasti politik di Indonesia. Kalau ditingkat politik, mungkin yang besar adalah Sukarno-Megawati Sukarnoputri-Puan Maharani. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga bisa menjadi contoh yang lain.

Namun, bagi sebagian orang, apa yang membuat dinasti politik Jokowi terasa paling “jahat” adalah karena adanya peraturan yang diubah melalui tangan Mahkamah Konstitusi (MK), yang kebetulan ketuanya waktu membuat putusan tersebut adalah saudara iparnya sendiri.

Kalau mau memperbesar scope, ada banyak dinasti politik di daerah-daerah yang skalanya lebih kecil dari milik Jokowi. Masalahnya, mayoritas dari dinasti politik tersebut menghasilkan banyak sekali permasalahan di daerah masing-masing.

Contoh paling terkenal mungkin Dinasti Atut di Banten, di mana mantan gubernur Ratu Atut Chosiyah menempatkan kerabatnya di kursi pemerintahan Banten. Ratu Atut sendiri akhirnya terseret kasus korupsi yang membuatnya dipenjara.

Beberapa contoh lain adalah dinasti di Kutai Kertanegara, Cimahi, Fuad di Bangkalan, Klaten, Banyuasin, dan masih banyak lagi. Sama seperti Dinasti atut, semua contoh yang Penulis sebutkan juga tersandung berbagai masalah terutama korupsi.

Hal inilah yang disinggung oleh Pandji dalam siniar Total Politik. Ketika ada orang yang berusaha membangun dinasti, ada kecenderungan kalau ia sedang berusaha menutupi kejahatannya. Kalau sampai orang lain terpilih, maka kejahatan tersebut bisa jadi terbongkar.

Pandji memang tidak secara gamblang kalau ada yang berusaha ditutup-tutupi oleh Jokowi, sehingga menempatkan putra sulungnya menjadi wapres. Namun, sebagian netizen sudah berasumsi demikian jika melihat contoh-contoh yang lalu.

Melihat Dinasti Politik dari Dua Sisi

Pandji Pragiwaksono dalam Siniar Total Politik (IntipSeleb)

Indikasi dinasti politik Jokowi membuat Pandji merasa khawatir kalau ini akan membuat dinasti-dinasti yang ada di daerah akan semakin subur karena pusatnya saja memberi contoh demikian. Lantas, kita kembali ke pertanyaan awal: dinasti politik itu boleh atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penulis akan mencoba membahas dari kedua sisi, yakni pro dan kontra. Untuk yang pro dinasti, alasannya adalah semua warga negara memiliki hak politik yang sama. Tidak mungkin hanya karena anak seseorang, lantas ia kehilangan hak untuk menjadi bagian dari pemerintahan.

Selain itu, meskipun ia anak atau saudara seseorang, yang tetap menentukan terpilih atau tidaknya adalah rakyat, sehingga ya sah-sah saja untuk maju. Penulis tidak paham apa yang dimaksud dengan Asian value yang disebutkan oleh pembawa acara siniar Total Politic, jadi Penulis tidak akan membahas tersebut.

Untuk yang kontra, seperti yang sudah Penulis singgung di atas, ada kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan seperti yang sudah-sudah. Dengan memiliki banyak anggota keluarga di kapal yang sama, mereka bisa mengendalikan banyak hal semau mereka.

Tidak hanya itu, dinasti politik di Indonesia juga tumbuh subur karena mayoritas pemilih kita tidak memilih berdasarkan gagasan calonnya, melainkan kenal atau tidaknya. Embel-embel anak presiden akan lebih mudah diingat dibandingkan sosok intelektual yang tidak dikenal masyarakat luas.

Hal tersebutlah yang membuat dinasti politik di Indonesia bisa bertahan. Meskipun ayah atau kakaknya pernah terjerat kasus, anak atau adiknya bisa tetap terpilih di pemilu berikutnya. Ini yang membuat banyak orang berpendapat kalau dinasti politik tidak cocok untuk di Indonesia.

Tidak hanya karena demografi pemilih, dinasti politik juga berpotensi melakukan kecurangan untuk melanggengkan dinastinya. Sebagai incumbent, pasti ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa keluarganya sendiri yang akan terpilih di pemilu.

Dinasti Politik Tanpa Jeda

Sukarno dan Megawati (Harian Haluan)

Salah satu indikasi dinasti politik yang paling dikhawatirkan adalah bagaimana mereka bisa berkuasa tanpa jeda. Setelah suami, istrinya. Setelah istri, anaknya. Setelah anaknya, menantunya. Begitu seterusnya.

Sukarno ke Megawati ada jarak puluhan tahun, sehingga tidak masuk kriteria di atas. Di antara kedua presiden tersebut, ada tiga presiden lainnya yang sempat memimpin negara kita. Antara Theodore Roosevelt (1901–1909) dan Franklin D. Roosevelt (1933–1945) yang hanya sebatas kerabat pun jaraknya cukup jauh.

Seandainya Jokowi tidak terburu-buru dan baru memajukan Gibran di tahun 2029 (sehingga tidak perlu mengubah undang-undang yang ada melalui MK), mungkin permasalahan dinasti politik ini tidak akan seramai sekarang.

Apalagi, tak ada jeda antara masa berkuasa Jokowi sebagai presiden dan Gibran sebagai wapres Prabowo, sehingga kesan dinasti politik semakin kental. Belum lagi saat ini ada banyak keluarga dan orang dekatnya yang akan ikut terjun ke dunia politik.

Bagi yang pro-Jokowi, mereka mungkin akan berpendapat bahwa mereka puas dengan apa yang telah Jokowi lakukan selama ini, sehingga wajar jika mereka memilih anaknya yang akan meneruskan kinerja bagus bapaknya.

Selain itu, pasangan Prabowo-Gibran juga dipilih oleh 58% masyarakat Indonesia, yang artinya mereka tidak keberatan jika anak presiden akan menggantikan peran bapaknya, walau masih dalam kapasitas sebatas wapres. Sekali lagi, bagi mereka suara rakyat yang menentukan.

Penutup

Di serial Naruto, dinasti politik di desa Konoha tempat Naruto tinggal sudah menjadi hal yang biasa. Naruto yang merupakan Hokage ke-7 merupakan anak dari Hokage ke-4. Namun, karena ini cerita fiksi, tentu para pemimpin tersebut digambarkan sesempurna mungkin.

Di dunia nyata, rasanya sulit sekali membayangkan kalau dinasti politik akan sesempurna di serial Naruto. Kasus Ratu Atut dan banyak lagi lainnya menjadi bukti kalau dinasti politik di Indonesia hanya digunakan untuk memperkuat kekuasaan sekaligus menutupi kejahatan yang telah dibuat.

Sejauh ini, dinasti politik Jokowi belum terbukti secara hukum melakukan hal yang salah, walau mungkin secara moral dan etika dapat diperdebatkan. Menarik untuk disimak apakah ke depannya dinasti politik ini akan terbukti “bersih” atau justru terseret kasus seperti yang terjadi pada dinasti politik lainnya.

Permasalahan dinasti politik ini tampaknya masih akan menjadi isu hangat dalam beberapa waktu ke depan. Sebagai masyarakat, silakan menilai sendiri apakah dinasti politik di Indonesia boleh dilakukan atau tidak berdasarkan beberapa pertimbangan di atas.


Lawang, 6 Juni 2024, terinspirasi setelah menonton podcast Total Politik yang mengundang Pandji Pragiwaksono

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan