Connect with us

Politik & Negara

Terlalu Fokus dengan Istilah, Lupa Esensinya

Published

on

Sudah lama Penulis tidak menulis artikel yang berkaitan dengan politik dan negara. Terakhir menulis tentang Monopoli Kebenaran pada bulan Juni.

Kemarin mau buat tulisan tentang Rektor UI yang mengubah aturan ketika melanggarnya (dan disetujui oleh pemerintah), eh keburu mundur dari jabatan komisarisnya.

Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk menulis tentang bagaimana pemerintah kita yang dalam menangani pandemi yang seolah terlalu fokus dengan istilah hingga lupa dengan esensinya.

Mulai PSBB Hingga PPKM Level

PSBB (Antara News)

Ketika awal pandemi berlangsung, beberapa kalangan (terutama dari orang-orang mampu) mendorong pemerintah untuk memberlakukan lockdown seperti negara lain.

Sayangnya, pemerintah nampak ragu untuk menyetujui usulan ini. Mungkin, karena pemerintah merasa tidak mampu jika harus memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya yang jumlahnya lebih dari 250 juta orang.

Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura, lockdown jelas lebih mudah dilakukan karena jumlah penduduknya yang sedikit. Selain itu, jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan juga pasti tidak sebanyak di Indonesia.

Sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan istilah baru untuk menggantikan lockdown, yakni Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).

Kebijakan ini berlangsung mulai bulan April 2020. Kalau tidak salah, setelah PSBB ada istilah PSBB Transisi yang menggambarkan kalau kita akan menujuk new normal secara perlahan.

Di awal tahun 2021, muncul istilah baru bernama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Nah, istilah inilah yang memiliki varian yang sama banyaknya dengan varian Covid-19.

Beberapa di antara adalah PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga yang terbaru PPKM Level 1-4. Jangan tanya Penulis apa bedanya karena dirinya juga tidak paham.

Sekadar Istilah?

PPKM (Cirebon Raya)

Mau apapun istilahnya, intinya pemerintah berusaha membatasi pergerakan masyarakat demi mengurangi penyebaran virus Covid-19 yang katanya bisa menyebar dengan sangat cepat.

Lantas, apa bedanya dengan lockdown seperti di negara lain? Kalau dari yang Penulis baca, negara hadir dalam menyediakan bantuan (terutama makanan) kepada rakyatnya.

Di Indonesia, ada bantuan sosial (bansos) yang diberikan kepada rakyat. Mirisnya, bansos ini justru dikorupsi, bahkan kadang ghoib hingga tidak sampai ke pihak yang membutuhkan.

Ketika PPKM ini, ada rencana memberikan bansos sebesar Rp300 ribu untuk satu bulan. Bisa dibayangkan, bagaimana caranya nominal tersebut cukup untuk satu keluarga dengan durasi selama itu?

Ada hal lain yang lebih lucu. Banyak komik layanan masyarakat yang menghimbau masyarakat untuk saling membantu. Lah, kenapa kesannya pemerintah cuma mengandalkan masyarakat saja untuk pekerjaan yang menjadi kewajibannya?

Kok, kesannya pemerintah seperti lepas tangan begitu saja dalam memberikan bantuan. Kok, pemerintah lebih sibuk menertibkan masyarakat dengan menangkap pelanggar dan menyekat jalan.

Sementara Itu Pemerintah…

Menyumbangkan Gajinya (Detik News)

Sempat ada wacana, 50% gaji anggota dewan dari pusat hingga daerah akan dipotong untuk membantu penanganan Covid-19. Hanya saja, sampai sekarang sepertinya belum terlaksana walau mungkin ada beberapa anggota yang sudah melakukannya sendiri.

Selain itu, Penulis baru ingat kalau gaji anggota dewan tidak terlalu besar. Kebanyakan hanya satu digit karena yang besar kan tunjangannya. Seandainya yang dipotong tunjangannya, baru luar biasa.

Penulis tidak banyak berharap kalau anggota dewan yang terhormat itu rela berkorban demi bangsa. Mong mereka malah mengusulkan untuk mendapatkan perlakuan istimewa, seperti meminta rumah sakit khusus pejabat.

Menurut Penulis, pemerintah sekarang kesannya terlalu fokus dengan istilah dan lupa dengan hal yang esensial. Mengurus yang remeh temeh, tapi justru lupa dengan hal yang penting seperti kebutuhan makan masyarakat.

Entah sampai kapan keadaan akan terus terlihat kacau seperti ini. Yang kemarin bilang semua terkendali, akhir-akhir ini malah minta maaf sampai disindir oleh mantan menteri.

Penutup

Masyarakat tidak butuh istilah panjang yang susah untuk dihafalkan. Masyarakat butuh tindakan nyata yang bisa membuat kehidupan mereka terjamin walaupun pergerakannya dibatasi.

Beberapa daerah seperti Madiun memiliki kebijakan yang memberdayakan Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk memberi makan kepada pasien yang harus menjalani isolasi mandiri (isoman).

Kebijakan yang seperti ini tentu lebih solutif dibandingkan hanya menutup jalan, apalagi menyuruh pelanggar membayar denda yang jumlahnya besar sehingga mereka memilih untuk mendekam di penjara.

Semoga saja kita bisa melewati ujian ini, terserah pemerintah jika ingin mengeluarkan istilah-istilah baru lagi.


Lawang, 26 Juli 2021, terinspirasi dari banyaknya istilah yang digunakan pemerintah untuk mengatasi masalah pandemi ini

Foto: Detik News

Politik & Negara

Merindukan Banyak Pilihan Capres-Cawapres

Published

on

By

Melalui pengumuman semalam, akhirnya tiga pasangan calon presiden (capres) dan wakilnya (cawapres) resmi diumumkan. Prabowo Subianto resmi mendeklarasikan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya.

Prabowo dan Gibran resmi menyusul Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan diri dan mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jika diingat-ingat, ini adalah kali pertama pemilihan umum presiden (pilpres) memiliki lebih dari dua calon sejak tahun 2009. Dalam dua kali pilpres di tahun 2014 dan 2019, pesertanya selalu hanya dua.

Sejarah Singkat Capres-Cawapres di Pilpres Indonesia

Tentu ini menjadi angin segar karena pada akhirnya kita memiliki lebih banyak pilihan, walaupun tidak akan sebanyak pilpres tahun 2004 yang memiliki lima pasangan capres-cawapres.

Saat itu, tokoh-tokoh yang mendaftar untuk menjadi capres-cawapres adalah Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, serta Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Surat Suara Pilpres 2004 (Solopos)

Pilpres 2004 harus dilakukan dalam dua kali putara, di mana SBY dan Megawati menjadi dua calon peraih suara tertinggi. Pada akhirnya, SBY berhasil mengalahkan Megawati yang notebene incumbent dan menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Di pilpres tahun 2009, seperti yang sudah disinggung di atas, jumlahnya mengecil menjadi tiga pasangan capres-cawapres. Mungkin karena saat itu Presiden SBY adalah seorang incumbent yang secara matematis agak sulit untuk dikalahkan.

Pasangan capres-cawapres pada tahun tersebut adalah Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Kali ini, SBY berhasil memenangkan pilpres hanya dalam satu putaran.

Perolehan Suara Piala Presiden 2009

Setelah itu, di pilpres 2014 dan 2019, hanya ada dua pasangan yang bisa kita pilih. Pertarungan antara capresnya pun sama, yakni antara Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Yang berbeda hanyalah wakilnya saja. Hasilnya seperti yang kita tahu, Jokowi selalu menang.

Terhalang Presidential Threshold?

Salah satu alasan mengapa pilihan capres-cawapres kita sedikit adalah adanya presidential threshold. Ketika aturan ini disahkan pertama kali di tahun 2003, ambangnya masih 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Nah, angka ini berubah mulai tahun 2009, di mana ambangnya menjadi 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Oleh karena itu, tak heran jika di tahun 2009 jumlah calonnya mengecil menjadi tiga saja.

Di tahun 2019, peraturan berubah menjadi 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Alasannya, mulai tahun 2019 pemilu serentak diberlakukan. Ini juga berlaku untuk pilpres 2024 mendatang.

Sudah banyak pihak yang berusaha menggugat presidential threshold karena dianggap membatasi demokrasi. Apalagi, sekarang kita menggunakan perhitungan kursi di periode sebelumnya. Namun, hingga hari ini belum ada gugatan yang berhasil menang.

Memang, untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden, kita membutuhkan “kendaraan” berupa partai politik agar memiliki suara yang kuat di DPR ketika akan membuat keputusan. Calon independen alias bukan dari partai jelas akan kesulitan dalam hal ini.

Alhasil, kita pun harus menerima kalau jumlah capres-cawapres kita di pemilu-pemilu yang akan datang tidak akan berjumlah banyak selama aturan presidential threshold masih berlaku. Pertanyaannya, apakah pasangan capres-cawapres yang maju benar-benar yang terbaik?

Penutup

Mengingat Jokowi sudah menjabat selama dua periode, artinya kita akan memiliki presiden baru di tahun 2024 mendatang. Ada dua nama baru pada diri Anies dan Ganjar, ada pula Prabowo yang akan mengikuti kontestasi pilpres untuk keempat kalinya.

Ketika belum mulai saja, sudah banyak drama politik yang terjadi. Pertama adalah keluarnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan yang mengusung Anies karena dipilihnya Muhaimin Iskandar sebagai cawapres tanpa seizin mereka.

Selain itu, permainan politik Jokowi juga cukup mengejutkan. Tidak hanya berdiri di dua kaki dengan mendukung Prabowo dan Ganjar, pada akhirnya anaknya menjadi cawapres dari Prabowo. Putusan MK yang kontroversial memuluskan langkah tersebut.

Banyak pihak yang mengkritik terpilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo karena dianggap sebagai upaya Jokowi untuk memperkuat dinasti politiknya. Prabowo juga dianggap sangat terlihat membutuhkan suara dari para pendukung Jokowi garis keras.

Jika di awalnya saja sudah banyak drama, entah apa yang akan terjadi pada beberapa bulan ke depan hingga pemilu dilaksanakan. Permainan politik dari masing-masing pihak tampaknya akan seru, bagai melihat permainan catur yang menegangkan.


Lawang, 23 Oktober 2023, terinspirasi setelah tiga capres-cawapres resmi mendeklarasikan diri

Continue Reading

Politik & Negara

Ketika Para Artis Terjun ke Dunia Politik

Published

on

By

Seperti yang sudah Penulis bahas dalam tulisan 2024 Mau Pilih Siapa?, tahun depan akan menjadi tahun politik. Jika melihat situasi dan kondisi sekarang, bukan tidak mungkin suasananya akan terasa lebih “panas” dari tahun-tahun sebelumnya.

Selain menantikan calon-calon presiden yang akan dimunculkan, hal yang menarik lainnya adalah mengetahu siapa saja calon legislatif (caleg) yang bisa kita pilih nantinya. Apalagi, tahun depan dipastikan akan banyak artis dan public figure yang turut serta.

Pada tulisan kali ini, Penulis akan membahas sedikit mengenai fenomena artis yang terjun ke dunia politik. Apakah peranan mereka hanya sekadar pendulang suara, atau mereka benar-benar memiliki kapabilitas untuk mewakili rakyat?

Mengapa Para Artis Ingin Menjadi Caleg?

Begitu melihat panjangnya daftar nama artis dan public figure yang akan mencalonkan diri sebagai caleg, Penulis benar-benar terkejut. Rasanya, belum pernah daftarnya sepanjang ini. Pembaca bisa melihatnya melalui posting dari Finfolk Money di bawah ini:

Memang ada beberapa nama lama seperti Kris Dayanti, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, hingga Desy Ratnasari. Namun, jujur Penulis menemukan banyak nama baru di sini. Pemilu 2024 tampaknya menjadi debut mereka di dunia politik, jika seandainya terpilih.

Berbondong-bondongnya mereka untuk mencalonkan diri pun menimbukan tanda tanya besar: Apakah mereka yang selama ini berprofesi sebagai entertainer memiliki kemampuan untuk berpolitik yang terkenal rumit dan penuh intrik?

Jika mau berprasangka buruk, kemungkinan besar para artis tersebut direkrut untuk mendulang suara partai yang mengusung mereka. Dengan popularitas yang dimiliki, bukan tidak mungkin masyarakat memiliki tokoh yang mereka tahu.

Kalau mau dibandingkan dengan para kader partai biasa, jelas para selebriti akan lebih dikenal oleh masyarakat. Tanpa membawa embel-embel kampanye pun, kehadiran mereka pasti mampu untuk menarik massa.

Dari sisi artisnya, mungkin mereka merasa masa mereka di dunia hiburan sudah hampir habis, sehingga memutuskan untuk banting setir ke profesi yang lebih menjanjikan. Apalagi, caleg memang memiliki gaji dan tunjangan yang cukup menggiurkan.

Jika mau berprasangka baik, bisa jadi para artis tersebut merasa ada begitu banyak masalah di negara ini dan ingin berkontribusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Kalau mau memperbaiki sistem, ya harus masuk ke dalam sistemnya.

Dengan pengaruh dan ketenaran yang dimiliki, bisa jadi suara mereka lebih didengar. Bisa jadi ide-ide yang keluar dari para tokoh ini bisa menjadi solusi dari sebuah permasalahan. Bisa jadi mereka adalah sosok sesungguhnya yang pantas untuk menjadi wakil rakyat.

Pertanyaannya, mana yang benar? Tergantung. Semua tentu memiliki motivasinya masing-masing hingga rela meninggalkan dunia keartisan dan memilih untuk terjun ke dunia politik. Jadi, mungkin lebih baik kita seimbangkan saja antara prasangka baik dan buruknya.

Apakah Para Artis Boleh Menjadi Caleg?

Lantas, apakah para artis boleh bergabung dengan partai politik dan menjadi caleg? Tentu saja boleh, mengingat semua warga Indonesia pada dasarnya memiliki hak yang sama, walau belum tentu semua orang memiliki kesempatan tersebut.

Hanya saja, Penulis memang sedikit merasa khawatir kalau para artis ini hanya digunakan “alat” agar partai politik bisa meraup lebih banyak suara. Dengan nama besar yang sudah dimiliki, mereka rasanya tidak perlu memasang baliho di mana-mana.

Selain itu, Penulis juga mempertanyakan kapabilitas mereka karena menjadi seorang wakil rakyat merupakan pekerjaan yang berat. Jika mereka selama ini berkarir sebagai entertainer, kapan mereka memiliki waktu untuk belajar politik dan lain-lain?

Memang ada beberapa artis yang terbukti berhasil menjadi anggota dewan selama bertahun-tahun, bahkan terus terpilih di setiap pemilu. Namun, rasanya persentasenya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan politisi asli.

Masyarakat kita harusnya juga sudah cukup cerdas dalam berpolitik. Dalam memilih caleg, tentu yang harus dipertimbangkan adalah program, visi misi, maupun track record-nya selama ini. Jangan sampai memilih caleg hanya berdasarkan popularitasnya saja.

Jika nanti mereka memang banyak yang terpilih, Penulis hanya bisa berdoa agar mereka amanah dan mampu mengemban tanggung jawab dengan sebaik mungkin. Semoga mereka bisa lebih baik dari anggota-anggota dewan sebelumnya.

Jika mereka terbukti mampu menjadi wakil rakyat yang baik, bukan tidak mungkin di masa depan akan lebih banyak lagi artis dan public figure yang mengikuti jejak mereka.


Lawang, 23 Mei 2023, terinspirasi setelah menyadari kalau ada banyak artis yang mencalonkan diri sebagai caleg di Pemilu 2024 mendatang

Foto Featured Image:

Continue Reading

Politik & Negara

2024 Mau Pilih Siapa?

Published

on

By

Tak terasa tahun 2024 akan segera datang. Presiden Joko Widodo telah menggenapi masa jabatannya selama dua periode. Artinya, suasana politik akan “memanas” dalam beberapa bulan mendatang, hingga saatnya pemilihan presiden (pilpres).

Dalam beberapa tahun terakhir, sudah mulai terasa tokoh-tokoh yang mengampanyekan diri agar lebih dikenal oleh publik, sehingga mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan menjadi presiden.

Untuk itu, Penulis pun ingin sedikit membahas mengenai peta politik di 2024 secara kasar dan siapa saja yang akan muncul ke permukaan, sembari membahas sejarah pesta demokrasi kita yang bisa dibilang masih berusia muda ini.

Partai Penguasa Belum Tentu Menang Lagi

Surat Suara Pilpres 2004 (KPU Kota Bandung)

Ketika seorang presiden yang sudah dua kali menjabat akhirnya lengser, tentu publik akan merasa penasaran siapa sosok baru yang akan menggantikannya. Ini karena dalam era demokrasi, presiden petahana memang selalu bisa menang lagi.

Setelah 32 tahun dipimpin oleh Soeharto, kita memiliki 3 presiden dalam rentang 6 tahun (1998 – 2004), yaitu B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Sukarnoputri. Barulah setelah itu, kita mengalami era politik yang relatif stabil.

Dalam era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau berhasil memenangkan pemilu di tahun 2004 dan 2009, bersama wakil presiden yang berbeda. Begitu pula di era Joko Widodo, yang berhasil memenangkan pemilu di tahun 2014 dan 2019 juga dengan berbeda wakil.

Menariknya, dalam 20 tahun tersebut, kita bisa melihat kalau partai politik (parpol) yang menang pilpres belum tentu bisa memenangkan pemilu lagi. Sebagai gantinya, justru pihak oposisi yang berhasil “merebut” kekuasaan.

SBY bersama Partai Demokrat gagal mempertahankan kursi mereka, bahkan di tahun 2014 memutuskan untuk netral dan tidak mencalonkan presiden. Pada akhirnya, Joko Widodo dan PDI Perjuangan yang merupakan oposisi berhasil meraih pucuk kekuasaan di negeri ini.

Nah, tentu menarik apakah di tahun 2024 mendatang, PDI Perjuangan mampu kembali mendudukkan kader mereka di kursi kepresidenan, atau kejadian di tahun 2014 akan kembali terulang?

Setidaknya PDI Perjuangan sudah menentukan siapa calon presiden (capres) dari partai mereka, yang akan Penulis bahas pada bagian selanjutnya. Tinggal ditunggu saja, siapa yang akan menjadi pesaing PDI Perjuangan di Pemilihan Presiden 2024 mendatang.

Siapa Saja Calon Presiden 2024?

Dari Kiri: Ganjar, Prabowo, Anies (Detik)

Seperti yang sudah Penulis singgung di awal, sudah ada banyak nama yang terlihat ingin menyalonkan diri sebagai presiden, entah secara implisit maupun eksplisit. Anehnya, mereka yang sering Penulis lihat di baliho justru jarang dibicarakan oleh publik.

Kita telah melihat baliho Puan Maharani dari PDI Perjuangan dengan tagline Sayap Kebhinekaan. Namun, kita semua tahu PDI Perjuangan pada akhirnya menyalonkan Ganjar, bukan Puan.

Penulis juga kerap melihat baliho Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dari PKB. Setiap musim pemilihan presiden, selalu ada wajahnya terpampang di mana. Bedanya, kali ini beliau dengan pede mencantumkan kata “Presiden”, bukan “Wakil Presiden” seperti di tahun 2019 silam.

Selain mereka berdua, Penulis juga sering melihat sosok Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, di jalan-jalan. Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir, juga kerap terlihat, bahkan sampai muncul di mesin ATM bank negara.

Menariknya, mereka semua belum ada yang telah dideklarasikan secara resmi oleh parpol. Sampai saat ini, baru ada dua sosok, yaitu Anies Baswedan yang diusung oleh Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat, serta Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan.

Selain itu, bau-baunya Prabowo Subianto juga akan dicalonkan oleh Partai Gerindra lagi untuk ketiga kalinya sebagai capres. Nama Ridwan Kamil juga kerap dimunculkan, walau belum mendapatkan dukungan dari partai mana pun.

Penutup

Berhubung pendaftaran capres masih lama (sekitar bulan Oktober), tentu peta politik ini masih bisa berubah. Apalagi, masih banyak partai politik yang belum secara tegas menentukan akan mengusung atau mendukung capres siapa.

Jika melihat daftar-daftar nama yang ada, kemungkinan besar hanya akan ada tiga capres yang akan maju, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Adanya Presidential Threshold tentu menjadi alasan utamanya.

Belum ada nama wakil presiden yang telah resmi digandeng oleh mereka. Namun, pergerakan PPP dengan “merekrut” Sandiaga Uno tampaknya memunculkan peluang kalau duet Ganjar-Sandi akan terjadi. Erick Thohir juga diisukan untuk menemani Ganjar.

Lantas, siapa yang akan Penulis pilih di 2024 berdasarkan nama-nama yang sudah ada? Penulis pribadi belum menentukan pilihannya karena masih menantikan program-program yang ditawarkan oleh para capres.

Kalau Pembaca, apakah sudah menentukan pilihan? Siapapun pilihan kita nanti, semoga saja kita bisa menjaga suhu politik kita di tahun politik 2024 bisa tetap dingin. Semoga siapapun yang terpilih, bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Amin.


Lawang, 9 Mei 2023, terinspirasi setelah seringnya melihat beberapa tokoh mulai mempromosikan diri menjadi presiden

Foto Featured Image: ERA.ID

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan