Connect with us

Renungan

Menjadi Dewasa Itu…

Published

on

Grow up, act according to your age, you are not a child anymore.”

Anonymous

Setelah direnungkan, ternyata menjadi dewasa itu memang berat. Ada banyak hal yang harus kita lakukan seiring bertambahnya usia kita. Ada banyak hal kekanakan yang harus kita tinggalkan.

Penulis kerap berpikir mengenai apa makna menjadi seorang dewasa belakangan ini. Hasil pemikiran tersebut akhirnya Penulis tuangkan dalam tulisan ini. Semoga saja, tulisan ini mampu menginspirasi Pembaca dan Penulis sendiri tentang menjadi seorang dewasa.

Menjadi dewasa itu…

Menyadari kalau hidup ini ada di tangan kita. Kita punya tanggung jawab yang besar untuk diri sendiri. Jangan menjadi benalu bagi orang lain, bahkan kalau bisa kita yang meringankan beban mereka.

Menjadi dewasa itu…

Tidak boleh terlalu banyak rebahan dan membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna. Harus terus mengembangkan diri, bahkan menghasilkan suatu karya sekecil apapun. Jadi pribadi yang bermanfaat untuk sekitarnya.

Menjadi dewasa itu…

Menyadari kalau tidak semua hal bisa kita kontrol. Apa yang benar-benar bisa kendalikan adalah diri kita sendiri dan respon kita atas semua peristiwa yang terjadi. Jangan terlalu berharap dari hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti orang lain.

Menjadi dewasa itu…

Memiliki kontrol diri yang lebih baik lagi. Tak mudah untuk terpancing emosinya hanya karena masalah-masalah sepele. Mampu meredam amarah dan berpikir jernih meskipun ada peristiwa yang melukai batinnya.

Menjadi dewasa itu…

Berhenti menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang di luar kendali kita. Apapun yang terjadi, lebih baik curahkan energi untuk mencari solusi daripada hanya merutuk diri sendiri. Sekali lagi, memahami kalau ada banyak hal yang tidak bisa kita kontrol.

Menjadi dewasa itu…

Berani menghadapi masalah secara langsung dan tidak lari dari masalah. Apalagi kalau masalah tersebut berasal dari kita, harus berani tanggung jawab. Mau seberat apapun masalah, kabur darinya tidak pernah menjadi pilihan.

Menjadi dewasa itu…

Harus bisa menerima kenyataan yang terjadi tanpa merengek-rengek betapa tidak adilnya dunia. Sepahit apapun yang terjadi dalam hidup, harus yakin kalau Tuhan punya skenario yang lebih baik untuk kita.

Menjadi dewasa itu…

Harus bisa jadi sosok yang tangguh dan kuat. Tidak boleh dengan mudah menunjukkan sisi lemah ke orang lain. Tidak boleh jadi pribadi yang cengeng dan mudah menyerah. Tidak boleh selalu menyalahkan orang lain tanpa melakukan interopeksi diri

Menjadi dewasa itu…

Berusaha untuk selalu berbenah menjadi lebih baik lagi, sedikit demi sedikit. Tak pernah lelah untuk belajar demi diri sendiri. Mampu mencintai diri lebih hebat lagi dari sebelumnya. Terus berusaha untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya.

Menjadi dewasa itu…

Selalu bisa bangkit dari segala kejatuhan yang diderita. Sedih, marah, kecewa, hanya boleh dialami sesaat, tidak boleh berlarut-larut hingga mengganggu keseharian. Harus bisa tetap berdiri dalam keadaan sesulit apapun.

Menjadi dewasa itu

Punya kepedulian terhadap dirinya sendiri tanpa berubah menjadi sosok yang egois. Mampu menolong dan mencintai dirinya sendiri sebagaimana ketika dilakukan untuk orang lain. Memahami betapa pentingnya self-love untuk diri sendiri.

Menjadi dewasa itu…

Punya kekuatan untuk menolong orang lain tanpa berharap imbalan apapun. Mampu peduli dan punya empati untuk orang lain tanpa berharap akan mendapatkan hal yang sama dari mereka. Memiliki keikhlasan untuk peduli tanpa syarat.

Menjadi dewasa itu…

Mampu beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda 180 derajat sekalipun. Berani mengambil risiko dan keluar dari zona nyamannya jika itu dirasa akan membuat dirinya menjadi lebih baik lagi.

Menjadi dewasa itu…

Mampu menghargai orang lain dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Mampu menghargai orang yang stay, mampu menghargai orang yang memutuskan untuk pergi. Berusaha mengerti dan memahami orang lain tanpa menghakimi.

Menjadi dewasa itu…

Mampu belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat dan tak mengulanginya di masa depan. Menjadikannya sebagai pembelajaran di masa depan agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Menjadi dewasa itu…

Mampu mengolah ekspektasi dengan lebih baik lagi. Harus menyadari kalau semakin tinggi harapannya, semakin sakit jatuhnya. Tidak terlalu berharap pada manusia, hanya menaruhnya kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

Menjadi dewasa itu…

Mampu memilah prioritasnya dengan baik, tahu mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa ditinggal untuk sementara. Kita juga harus bisa memahami prioritas orang lain dan tidak boleh berharap akan diprioritaskan oleh orang lain.

Menjadi dewasa itu…

Mampu menerima kritikan dan masukan dari orang lain dengan lapang dada. Tidak menganggap masukan sebagai sesuatu yang ofensif. Mengambil hikmah dan berusaha menerima kata orang dari sisi positifnya.

Menjadi dewasa itu…

Tidak boleh banyak berharap kepada orang lain karena kita harus menjadi sosok yang mandiri dan tangguh. Kita harus belajar untuk mengandalkan diri sendiri. Diri ini harus didorong terus hingga melampaui batasannya.

Menjadi dewasa itu…

Mampu memaafkan bahkan untuk sesuatu yang benar-benar menyakitkan. Mampu memberi maaf walau orang yang berbuat salah tidak memintanya. Mampu mengikhlaskan perbuatan buruk orang lain tanpa punya niat untuk membalasnya.

***

Menjadi dewasa itu berat. Kita bukan anak kecil lagi yang selalu dilindungi oleh orang tua. Fase transisi yang kita lalui pasti tidak mudah. Namun, kita pasti bisa melewatinya. Pada akhirnya, kita akan tumbuh dan harus bertindak sesuai usia kita.


Lawang, 12 Maret 2022, terinspirasi dari hasil kontemplasinya mengenai menjadi dewasa

Foto: Nathan McBride

Renungan

Jika Kita Ada di Kursi Mereka, Apakah Kita akan Tetap Berisik?

Published

on

By

Ini adalah tulisan keempat secara beruntun yang membahas tentang isu masyarakat vs pemerintah yang memanas dalam beberapa minggu terakhir. Mungkin ini akan jadi penutup, sehingga akan Penulis gunakan sebagai bahan renungan bersama.

Meskipun masih terpolarisasi karena hal yang remeh, Penulis melihat kita sebagai rakyat cukup bersatu dalam aksi sepanjang akhir Agustus hingga awal September kemarin. Pasti ada yang masih pro pemerintah, tapi rasanya kali ini mereka minoritas, atau memang enggak kelihatan aja.

Kita bisa bersatu seperti itu karena kita merasa punya “musuh” yang sama, di mana di sini adalah pemerintah terutama DPR yang jadi sasaran utama, maupun pihak pengamanan yang dinilai terlalu brutal hingga ada yang tewas.

Bisa dibilang, saat ini kita sama-sama sedang “menggonggong” untuk menuntut keadilan, apalagi setelah melihat angka fantastis yang diterima oleh para pejabat di saat kehidupan masyarakat sedang sulit, di saat PHK di mana-mana dan ekonomi terasa berat.

Namun, di satu sisi, Penulis jadi merenungkan satu pertanyaan: jika kita berada di dalam menjadi bagian dari pemerintah, apakah kita akan tetap berisik seperti sekarang atau justru diam-diam saja sembari menikmati segala fasilitas dan tunjangan yang diberikan?

Katanya, Pemerintah Itu Cerminan Rakyatnya

Pemerintah adalah Cerminan Rakyat (Detik)

Ada yang bilang, pemerintah itu cerminan rakyatnya. Pemerintah itu rata-rata masyarakatnya. Jadi, jangan-jangan alasan kita mendapatkan kualitas pemerintah yang seperti itu, ya karena kita seperti itu, hanya saja belum mendapatkan kesempatan seperti mereka saja.

Hal ini langsung dicontohkan dari kasus penjarahan yang terjadi pada rumah beberapa anggota DPR, yang dijadikan sebagai sasaran karena pernyataan kontroversial yang keluar dari mulut mereka.

Di satu sisi, Penulis menganggap kejadian tersebut adalah konsekuensi dari apa yang sudah dikatakan atau dilakukan. Namun, di sisi lain, aktivitas penjarahan juga tidak bisa dibenarkan karena mengambil apa yang bukan hak kita.

Ada yang membalas bahwa pemerintah selama ini juga menjarah rakyat, bahkan alam Indonesia pun ikut dijarah. Namun, membandingkan dua hal yang buruk tidak membuat salah satunya menjadi baik. Membandingkan dua hal haram, tidak membuat salah satunya menjadi halal.

Banyak orang di pemerintahan yang korupsi, mungkin di keseharian kita pun masih melakukan korupsi kecil-kecilan, baik disadari maupun tidak. Anggota dewan tidur ketika kerja, mungkin kita di kantor pun terkadang curi-curi waktu untuk tidur siang.

Intinya, kita boleh dan bahkan harus bersuara apabila melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Kita harus tetap “menggonggong” dan mengawasi kerja pemerintah, yang gaji dan tunjangannya berasal dari pajak yang kita bayarkan.

Kalau kita diam saja dan memilih apatis, maka pemerintah bisa makin “sesuka hati” dalam membuat kebijakan. Tentu kita tidak lupa, bagaimana ada beberapa kebijakan yang dibuat dalam waktu kilat jika itu menguntungkan pihak tertentu.

Namun, jangan lupa untuk menengok ke dalam juga, tanyakan kepada diri sendiri apakah kita sudah benar-benar “bersih” dan tidak melakukan hal buruk yang dilakukan oleh pemerintah. Tanyakan kepada diri sendiri, jika kita di dalam, apakah kita akan tetap berisik seperti ketika di luar?

Meskipun kita memiliki banyak kekecewaan atau kekesalan terhadap pemerintah, jangan sampai membuat diri kita merasa paling suci atau lebih baik dari mereka. Daripada seperti itu, alangkah lebih baik kalau kita melihat ke dalam diri sendiri.

Memosisikan Diri Sebagai Kontrol Pemerintah

Jika di Dalam, Apakah Kita akan Tetap Berisik Seperti Ketika di Luar? (Tribun)

Ketika membaca kolom komentar untuk konten yang bermuatan politik, Penulis sering menemukan komentar senada yang berbunyi, “jangan ngomong doang, coba buktiin kalau lu lebih bagus dari yang lu kritik!”

Menurut Penulis, komentar seperti ini cukup sesat. Kita mengkritik sebagai rakyat, mengkritik pemerintah (entah eksekutif maupun legislatif) yang memang pekerjaannya adalah menyelesaikan berbagai masalah yang ada di negara ini.

Nah, mereka kan udah dibayar nih buat jadi pejabat, masa iya kita juga yang menyediakan solusinya? Kita ini memang berfungsi sebagai pengawas agar pemerintah bisa terkontrol dan tidak seenaknya sendiri, lha kok malah ditambahi kerjaan sebagai penyedia solusi.

Mungkin akan ada komentar juga yang intinya menyuruh kita masuk ke dalam pemerintahan dan ubah dari dalam. Ini ada benarnya, tapi kalau sistemnya sudah rusak, bisa-bisa kita yang akhirnya malah terbawa arus. Mau seidealis seperti apa pun, pasti sulit.

Bahkan, komika Pandji Pragiwaksono dalam sebuah acara di Metro TV sempat berujar yang intinya “kalau semua yang berisik masuk, ntar nggak ada yang mengonggong dari luar, dong?” Buktinya banyak aktivis ’98 yang sekarang di kursi pemerintahan, eh ya udah berubah tuh.

Jadi, mungkin bukan pilihan yang salah jika kita memilih untuk tetap di luar tanpa berniat masuk ke dalam. Jika di luar, kita akan lebih bebas bersuara untuk diri sendiri dan masyarakat, bukan bersuara untuk partai yang telah mengusung kita.


Lawang, 11 September 2025, terinspirasi setelah Penulis merasa selama ini lebih banyak melihat sisi buruk pemerintahan Prabowo Subiyanto dan jarang mengulik “prestasinya”

Foto Featured Image: Detik

Continue Reading

Renungan

Merenungi Manusia Primitif yang Masih Hidup di Era Modern

Published

on

By

Dalam tulisan “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis sudah menjabarkan tentang bagaimana kita ini adalah ancaman paling nyata, baik bagi makhluk hidup lain maupun sesama manusia.

Pada salah satu poin, Penulis juga menjelaskan bagaimana manusia tanpa segan menghabisi manusia lain dengan berbagai alasan, walau ketamakan jelas jadi salah satu faktor utamanya. Alhasil, bangsa-bangsa yang kalah harus menepi demi keselamatannya.

Menariknya, mereka ini terus bisa mempertahankan peradabannya walau terisolasi dari dunia lain. Melalui kacamata kita, mereka terlihat sebagai bangsa primitif yang hidup di era modern yang serba canggih. Keberadaan mereka ini membuat Penulis jadi merenung.

Bagaimana Kehidupan “Manusia Primitif” Terputus dari Kehidupan Modern

Man in Hole (USA Today)

Melalui video dokumenter yang sama dari artikel “Manusia adalah Makhluk Paling Berbahaya di Dunia Ini”, Penulis jadi menyadari bahwa di dalam hutan Amazon, masih ada banyak native tribe yang seolah mencerminkan kehidupan beribu-ribu tahun yang lalu.

Penulis juga menemukan fakta tentang Man in Hole. Singkat cerita, ia adalah orang terakhir dari salah satu suku yang menghuni hutan Amazon, setelah anggota sukunya yang lain telah tewas terbunuh akibat konflik agraria yang terjadi di Brazil.

Hidupnya yang nomaden seumur hidupnya terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup. Ketika mengetahui fakta ini, Penulis jadi berempati dengannya dan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi “orang terakhir” dari sukunya sebelum akhirnya ia juga meninggal.

Keberadaan mereka, yang pernah (dan mungkin masih) terancam karena peradaban manusia yang lebih modern, terlihat seolah timeline mereka tidak pernah maju dan memutus kehidupan mereka dengan dunia luar. Teknologi yang mengubah peradaban manusia tak pernah menyentuh mereka.

Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Brazil yang berada di belahan bumi lain. Di Indonesia pun, yang terdiri dari banyak sekali suku, masih banyak yang menjalani kehidupan primitif dan tinggal di dalam hutan, jauh dari peradaban modern.

Secara manusiawi, kita pasti merasa “kasihan” dengan kehidupan yang seperti itu. Namun, pantaskan mereka dikasihani? Atau justru sebenarnya kita yang patut dikasihani?

Apakah Kita Lebih Bahagia dari Manusia Primitif?

Mungkin Mereka Lebih Bahagia dari Kita (Scientific American)

Belum lama ini, Penulis juga membuat artikel berjudul “Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri”. Teknologi dan berbagai ciptaan kita memang sangat membantu memajukan peradaban, tapi di sisi lain memiliki efek negatif karena mengakibatkan ketergantungan.

Kita akan kesulitan hidup tanpa smartphone, internet, listrik, dan lain sebagainya. Mati listrik beberapa jam saja sudah menderita setengah mati, seolah tidak ada aktivitas offline yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu sembari menunggu listrik kembali nyala.

Nah, tentu “penderitaan” seperti ini tidak pernah dialami oleh manusia primitif. Mereka telah terbiasa hidup berpijak tanah dan beratapkan langit. Mereka tak pernah berjumpa dengan listrik, apalagi internet, dan hidup mereka bisa baik-baik saja dari generasi ke generasi.

Kita dalam peradaban modern kerap dibuat stres dengan berbagai tekanan, yang bisa berupa tuntutan pekerjaan, kewajiban mencari uang untuk melanjutkan hidup, tarikan pajak yang tak masuk akal dari pemerintah, dan lain sebagainya.

Sekali lagi, tekanan seperti ini rasanya tidak dialami oleh manusia primitif. Mereka tidak mengenal adanya KPI, kalau lapar ya langsung berburu atau berkebun. Mereka tidak dibingungkan dengan tatanan dunia yang makin ke sini makin uangsentris.

Para manusia primitif tampaknya juga tak pernah memikirkan gengsi seperti manusia modern, yang kerap ditampilkan melalui gaya hidup mereka. Tanpa pakai baju pun, mereka tetap sehat-sehat saja, walau manusia terutama di barat juga semakin jarang menggunakan baju.

Dengan beberapa contoh tersebut, apakah kita masih bisa berpikir kalau kehidupan kita lebih baik dari kehidupan mereka?

Penutup

Lantas, apakah renungan di atas membuat Penulis ingin hidup seperti manusia primitif? Tentu tidak. Penulis besar dengan kehidupan modern, sehingga penyesuaian untuk hidup seperti mereka akan menjadi penderitaan yang luar biasa.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan insight bahwa di kehidupan modern yang serba digital ini, masih ada kehidupan terbelakang di sudut-sudut dunia ini. Walaupun begitu, belum tentu kita lebih bahagia dibandingkan mereka. Bisa jadi, mereka jauh lebih bahagia dengan kehidupannya.

Penulis merasa bersyukur dengan kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya, walau terkadang masih ada perasaan iri kepada manusia primitif yang tampaknya bisa hidup lebih tenang dibandingkan kebanyakan manusia modern.


Lawang, 1 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton video dokumenter tentang hutan Amazon yang menjadi rumah bagi penduduk asli Amerika

Foto Featured Image: AP News

Sumber Artikel:

Continue Reading

Renungan

Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri

Published

on

By

Saat ini, Penulis sedang membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz, setelah sebelumnya menyelesaikan buku Filsafat Kebahagiaan (ulasan menyusul). Nah, ketika membaca bagian Hans Jonas, Penulis menemukan sesuatu yang menarik.

Dalam salah satu subbabnya, Faiz menjabarkan “Situasi Apokaliptik Teknologi” yang pernah disinggung oleh Jonas. Intinya, teknologi-teknologi yang diciptakan oleh manusia berpotensi mengakibatkan kiamat bagi peradaban manusia.

Menurut Jonas, semakin manusia mengembangkan teknologi, mereka semakin tidak mampu menguasai teknologi yang mereka ciptakan (hal. 79). Tanda-tandanya makin ke sini makin terlihat, di mana manusia semakin diperbudak oleh teknologi buatannya sendiri.

Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri

Diperbudak oleh Ciptaan Sendiri (cottonbro studio)

Ketika menuliskan opening di atas, teknologi apa yang pertama kali terlintas di pikiran? Mungkin mayoritas jawabannya adalah smartphone, internet, hingga media sosial. Jawaban itu benar, tapi yang memperbudak kita jauh lebih banyak dari itu.

Ketiga hal yang Penulis sebut di atas jelas telah menjadi keseharian kita. Pernah terbayang satu hari tanpa ketiganya? Rasanya kita sudah begitu tergantung kepadanya sehingga rasanya tak mungkin hidup tanpa ketiganya.

Sekarang bayangkan seandainya dunia tiba-tiba mengalami Internet Apocalypse, di mana tiba-tiba tidak ada lagi internet di dunia. Selain smarpthone kita menjadi nottoosmartphone, media sosial pun tak bakal bisa akses.

Lebih gawatnya lagi, kalau yang bekerja remote seperti Penulis, jelas kehilangan pekerjaan akan terjadi. Semua harus kembali manual seperti puluhan tahun yang lalu, dunia di mana belum ada internet.

Namun, sebenarnya ciptaan kita yang memperbudak tak hanya sebatas itu. Internet hanyalah sebagian kecil saja. Contoh lain yang tak kalah menyusahkan seandainya tiba-tiba lenyap adalah listrik. Seandainya internet tak hilang pun, akan percuma jika tidak ada listrik.

Bayangkan, tak ada tempat untuk menyimpan makan seperti kulkas, tak ada lampu untuk penerangan di malam hari, tak ada mesin cuci untuk membersihkan pakaian, tak ada komputer untuk bekerja, dan masih banyak lagi hal yang tak akan bisa kita lakukan.

Contoh lain, bayangkan dunia tanpa bensin. Kendaraan semewah Ferrari atau Lamborghini pun akan menjadi mesin yang tidak bisa melakukan apa-apa. Manusia diberi pilihan mau mengendarai kuda atau sepeda untuk bisa mencapai tujuan dengan cepat.

Jangan lupa, uang yang merupakan alat ciptaan manusia untuk mempermudah transaksi pun juga telah memperbudak kita sejak lama. Tentu Pembaca sudah bosan mendengar berita tentang bagaimana serakahnya manusia demi mendapatkan uang.

Manusia rela melakukan banyak hal tercela untuk bisa mendapatkan uang, yang ia gunakan untuk memenuhi hawa nafsunya yang tak berbatas. Kalau perlu menyengsarakan manusia satu negara, mereka akan melakukannya tanpa peduli sama sekali.

Contoh-contoh di atas rasanya sudah cukup memberikan gambaran bagaimana kita manusia sudah diperbudak dan dibuat ketergantungan dengan ciptaan kita sendiri. Apalagi, kita baru akan memasuki era AI yang tampaknya akan dengan mudah membuat kita ketergantungan.

Lantas, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Apa Kita Siap Hidup Tanpa Internet? (YouTube)

Kita sekarang mengetahui bahwa manusia diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai manusia agar tidak diperbudak oleh ciptaannya sendiri? Apakah kita harus kembali hidup ala zaman batu ketika kita belum menemukan apa-apa?

Kalau Penulis, rasanya sekarang kita berada di situasi yang hampir tidak memungkinkan untuk lepas seutuhnya segala hal yang telah kita ciptakan. Tak mungkin juga kita mengambil langkah ekstrem dan meninggalkan semua teknologi yang ada.

Menurut Penulis, apa yang dimaksud dari peringatan Hans adalah bagaimana kita sebagai manusia harus selalu ingat kalau teknologi yang kita buat adalah alat yang harus kita kendalikan, bukan kita yang justru oleh dikendalikan.

Sesederhana contoh media sosial, jangan mau kita terus diperbudak dengan terus melakukan scrolling tanpa batas dan membuat diri kita menjadi komoditas platform untuk dijual ke pengiklan. Kita harus bisa mengontrol durasi penggunaan media sosial kita.

Penggunaan listrik pun ada baiknya kita kontrol dengan bijaksana. Jangan di siang hari kita menyalakan semua lampu padahal ruangan cukup terang. Jangan mentang-mentang kita bisa bayar, lantas membuang-buang energi seperti itu.

Para ilmuwan atau siapapun itu yang telah menciptakan berbagai hal memang membuatnya untuk mempermudah kehidupan kita sebagai manusia. Kita harus berterima kasih kepada mereka karena hidup kita menjadi lebih mudah karena ciptaan-ciptaan mereka.

Selain itu, jangan sampai kita sebagai manusia justru akan dimusnahkan oleh ciptaan kita sendiri. Kepandaian manusia justru digunakan untuk membuat senjata pemusnah massal. Namun, itulah realita yang sedang terjadi saat ini.

Kutipan yang diucapkan oleh Jonas juga bisa diartikan bahwa ada masanya manusia akan membuat senjata yang ternyata tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Contoh mudahnya, lihat saja Ultron yang dihadapi oleh para Avengers.

Semoga saja hal tersebut tidak pernah terjadi, baik di masa kini maupun di masa depan. Semoga manusia cukup bijak untuk memanfaatkan ciptaan-ciptaannya. Jangan sampai kehidupan di bumi ini rusak hanya karena kita tidak mampu mengendalikan apa yang kita ciptakan.

***

Lawang, 29 November 2024, terinspirasi ketika membaca buku Filsafat Moral karya Fahruddin Faiz

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan