Connect with us

Sosial Budaya

Dilema (Media) Sosial Kita

Published

on

Pada beberapa kesempatan, Penulis kerap menuliskan keresahannya tentang betapa adiktifnya media sosial sekarang. Semua platform seolah berlomba-lomba untuk menjadi yang paling lama digunakan.

Beberapa jam tak terasa bergulir begitu saja ketika jari kita asyik melakukan scrolling tanpa batas. Ada saja hal baru dan menarik yang bisa kita lihat.

Bermain media sosial tidak ada salahnya. Selain menjadi sumber inspirasi, media sosial juga membuat kita bisa terkoneksi dengan teman maupun keluarga kita.

Media sosial menjadi salah jika sudah berubah menjadi candu yang membuat kita tidak tahu harus melakukan apa ketika ponsel tidak sedang berada di jangkauan kita.

Hipnotis Media Sosial

Seolah Menghipnotis (The Verge)

Ketika menulis artikel Untuk Apa Belajar SejarahPenulis jadi memiliki pemikiran kalau salah satu alasan mengapa mayoritas generasi sekarang cenderung apatis dan kurang kritis adalah karena kurang banyak membaca sejarah.

Penulis pun mendiskusikannya dengan seorang kawan (sebut saja Pentol). Ia memiliki pendapat lain. Menurutnya, itu lebih dikarenakan dampak media sosial.

Jika kita perhatikan, sekarang ada banyak sekali hal sepele yang bisa menjadi trending dan viral dengan begitu cepatnya. Kita seolah mudah untuk terbawa apa yang sedang ramai dibicarakan.

Menurutnya lagi, kita ini seolah sedang dihipnotis dan jadi mudah digiring oleh sesuatu. Apa yang dulu tidak kita sukai, bisa jadi kita sukai sekarang.

Contoh mudahnya adalah aplikasi TikTok. Dulu aplikasi ini dihujat dan dianggap sebagai aplikasi goblok. Sekarang? Hampir semua orang mengunduhnya bahkan membuat konten di dalamnya.

Terdengar seperti teori konspirasi? Bisa jadi. Tapi fenomena ini ada dan kita patut waspada.

Algoritma Candu

Algoritma Candu (Evatronix)

Kenapa semua platform seolah tahu apa yang kita sukai berdasarkan apa yang kita like? Karena mereka memiliki algoritma yang dirancang untuk membuat kita betah berlama-lama di depan layar.

Tidak hanya dari rekomendasi yang muncul dari beranda, algoritma ini bisa memunculkan push notification yang membuat kita akan tertarik untuk mengecek ponsel pintar kita.

Algoritma ini dapat mempelajari behaviour dan kebiasaan kita dalam menggunakan media sosial untuk memberikan rekomendasi terbaik untuk kita. Hasilnya? Terdapat gudang data yang bisa saja disalahgunakan.

Tidak percaya? Tengok saja skandal Cambridge Analytica yang menyeret Facebook ke ranah hukum. Mereka dianggap terlibat penjualan data demi pemenangan Donald Trump di pemilihan presiden Amerika Serikat.

Teori kami berdua ini terbukti ketika Penulis menonton sebuah film dokumenter yang berjudul The Social DilemmaDi sana, ada banyak kesaksian dari orang-orang yang terlibat dalam pembuatan media sosial yang khawatir akan ciptaannya sendiri.

Kita Ini Produk

Kita Ini Dijual! (Priscilla Du Preez)

Ketika menggunakan layanan-layanan seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, ataupun YouTube, apakah kita mengeluarkan uang untuk menggunakannya? Tentu tidak.

Jika kita tidak mengeluarkan uang untuk suatu produk, artinya kitalah produknya!

Kenyataan yang cukup mengerikan ini Penulis ketahui setelah menonton The Social Dilemma. Secara tidak sadar, kita telah dijadikan komoditas oleh layanan-layanan yang kita gunakan setiap hari.

Bagaimana caranya? Penulis telah menyinggung bahwa ada penjualan data kita ke pihak ketiga. Dijual ke siapa? Ke pihak pengiklan yang ingin memasarkan produknya.

Kenapa membutuhkan data kita? Yang namanya pengiklan tentu ingin audience yang tepat sasaran. Melalui algoritma yang dimiliki, layanan-layanan tersebut bisa tahu siapa yang cocok untuk melihat iklan tertentu.

Apakah hal tersebut tidak melanggar privasi? Tidak, semua tercantum di Terms & Condition yang biasanya kita abaikan begitu saja. Kita telah menyetujui kalau aktivitas kita akan direkam demi kebutuhan mereka.

Kita sudah masuk ke dalam bagian dari model bisnis raksasa ini. Semakin lama kita menggunakan media sosial, semakin banyak uang yang akan mengalir ke korporat-korporat besar tersebut.

Mungkin kita tidak terlalu peduli jika dijadikan sebagai produk karena merasa tidak dirugikan apa-apa. Hanya saja, ada permasalahan yang jauh lebih berbahaya, di mana generasi muda yang menjadi sasarannya.

Generasi Rapuh

Generasi Rapuh (PNGio.com)

Dari buku Strawberry Generation karya Rhenald Khasali, generasi muda sekarang adalah generasi yang penuh gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.

Di film The Social Dilemma, Generasi Z (lahir di atas tahun 1996) dianggap sebagai generasi yang lebih mudah cemas, rapuh, dan tertekan. Bisa dilihat ada persamaan pendapat, generasi sekarang adalah generasi yang rapuh.

Apa penyebabnya? Salah satunya adalah karena kehadiran media sosial. Penulis mungkin baru aktif menggunakan media sosial ketika kuliah. Mereka? Rata-rata mulai SMP, bahkan ada yang SD.

Apa yang mereka lakukan sepulang sekolah? Istirahat sambil cek media sosial. Apa yang mereka lakukan sebelum tidur? Main media sosial. Apa yang mereka cek pertama kali ketika bangun? Media sosial.

Rutinitas ini membuat menjadi bukti kalau media sosial sudah menjadi candu untuk mereka. Algoritma yang dirancang oleh layanan-layanan tersebut ternyata berhasil menjalankan tugasnya dengan baik.

Penulis melihat fenomena ini secara langsung karena dekat dengan adik-adik Karang Tarunanya. Jika ditanya apa yang mereka akan lakukan tanpa ponsel pintarnya, mereka akan kebingungan menjawabnya.

Tak jarang media sosial membuat mereka menjadi mager dan melalaikan aktivitas lainnya. Tak jarang yang menjadikan media sosial sebagai pelampiasan atas apa yang terjadi dalam kehidupan nyatanya.

Jika mau percaya teori konspirasi, ada sebuah grand system yang ingin menjadikan generasi muda sebagai generasi yang apatis, egosentris, dan kurang kritis agar mereka mudah dikendalikan sesuai keinginan pihak tertentu.

Jika mereka telah mudah dikendalikan, maka bisa terjadi sesuatu yang tak kalah seram.

Polarisasi Masyarakat

Berpotensi Konflik (AP News)

Penelitian menunjukkan semenjak media sosial menjamur dan diminati oleh hampir semua orang, polarisasi masyarakat meningkat pesat. Contohnya adalah pemilihan presiden 2019 kemarin, bisa dilihat dua kubu saling adu mulut dan jari, bahkan secara kurang sehat.

Dengan menggunakan algortima candu yang dimiliki, kita akan terus melihat apa yang kita sukai. Jika kita menjadi pendukung Semar, maka berita maupun feed yang muncul akan terus berputar di sekitar Semar.

Tak jarang pula kita akan melihat feed yang mengolok-olok lawan dari Semar, sebut saja Togog. Akhirnya, kita akan menjadi fanatik ke Semar dan menjadi haters-nya Togog.

Contoh lain terkait Corona. Ada polarisasi di sini, antara yang percaya dan yang tidak. Mereka saling merasa paling benar dan menertawakan kubu lain.

Di dalam film The Social Dilemma, salah satu narasumber mengatakan bahwa kekhawatirannya terbesar dari adanya algoritma ini adalah civil war. Perang saudara.

Dramatisasi? Bisa jadi, tapi kemungkinan itu ada. Lihat saja bagaimana seringnya netizen yang beda kubu beradu argumen yang kurang bermanfaat. Bukan tidak mungkin pertikaian tersebut berujung kekerasan.

Penutup

Penulis bukan ingin merasa sok suci seolah tak kecanduan media sosial. Penulis pun masih sering seperti itu. Sudah sering Penulis menceritakan bagaimana dirinya merasa kecanduan ponsel hingga akhirnya memutuskan untuk detox media sosial.

Ada banyak yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kecanduan ini. Yang ekstrem, hapus aplikasi. Yang lebih ringan, batasi penggunaan, matikan notifikasi dan sistem rekomendasi, jauhkan ponsel pintar ketika hendak tidur maupun akan melakukan aktivitas lain.

Kalau enggak main media sosial, terus kita ngapain? Memang harus ada aktivitas yang bisa mengalihkan perhatian kita, entah baca buku, kumpul dengan teman, bersih-bersih rumah, dan lain sebagainya.

Kita harus menyadari kalau media sosial hanyalah alat yang membantu kita untuk terhubung dengan orang lain, menampilkan karya kita, ataupun mendapatkan informasi.

Jangan sampai terbalik, kita yang digunakan oleh media sosial sebagai sapi perah di dalam sistem bisnis raksasa mereka.

 

 

Lawang, 25 September 2020, terinspirasi setelah berdiskusi dengan seorang kawan dan menonton The Social Dillema

Foto: camilo jimenez on Unsplash

Sumber Artikel: The Social Dilemma, Mojok 1, Mojok 2

Sosial Budaya

Ketika Pengakuan Sosial Menjadi Kebutuhan Pokok

Published

on

By

Jika menengok ke beberapa peristiwa yang sempat menjadi perbincangan netizen, Penulis menemukan sebuah pola di mana hidup di era sekarang terkesan membutuhkan pengakuan sosial sebanyak mungkin.

Bahkan, banyak hal yang akan dilakukan untuk bisa mendapatkan pengakukan sosial tersebut, termasuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Kebutuhan untuk diakui dan tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain seolah mengalahkan kebutuhan hidup lainnya.

Fenomena ini pun berhasil menarik perhatian Penulis. Berhubung banyak momen yang berhubungan dengan hal ini belum pernah Penulis bahas, Penulis ingin merangkum semuanya di sini.

Berbagai Cara untuk Dapatkan Pengakuan Sosial

Rela Keluar Uang Demi Pengakuan Sosial (ERA.ID)

Hal yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu adalah adanya joki Strava. Awalnya, Penulis tidak mengetahui apa itu Strava, hingga akhirnya menemukan fakta kalau itu merupakan sebuah aplikasi yang akan melacak aktivitas olahraga kita seperti lari atau bersepeda.

Tampaknya Strava ini menjadi gaya hidup yang sedang hype, di mana pengguna akan membagikan hasil olahraganya ke media sosial. Masalahnya ada saja orang yang enggan berolahraga, tapi tidak ingin ketinggalan dengan tren ini.

Alhasil, muncullah joki Strava. Mereka akan beraktivitas sesuai permintaan, lantas melakukan screenshot ke aplikasi Strava untuk dikirimkan ke klien. Nanti, klien bisa mengunggahnya ke media sosial seolah ia yang telah melakukannya.

Jika mundur lagi ke belakang, salah satu hal yang ramai dibicarakan ketika bulan puasa adalah adanya jasa sewa lanyard untuk digunakan ketika ikut buka puasa bersama (bukber). Lanyard tersebut seolah menjadi semacam medali yang bisa dibanggakan kepada teman-temannya, walau kenyataannya ia berbohong (di bulan puasa lagi).

Bicara tentang sewa, ada juga jasa sewa iPhone. Ponsel buatan Apple ini memang seolah telah beralih fungsi menjadi penanda status sosial. Bahkan, katanya kalau tidak menggunakan iPhone, maka kita tidak akan bisa masuk ke circle pertemanan!

Masih ada banyak contoh bagaimana kita seolah haus akan pengakuan sosial, termasuk memaksa orang lain memanggil kita haji. Namun, rasanya contoh-contoh di atas sudah cukup untuk menggambarkan fenomena ini.

Mengapa Kita Begitu Haus dengan Pengakuan Sosial?

Gak Punya iPhone Gak Boleh Masuk Circle (Apple)

Rasanya manusiawi jika kita merasa insecure dengan orang lain, apalagi jika kita merasa belum bisa sesukses orang lain. Namun, hal tersebut menjadi masalah apabila kita menggunakan jalan pintas untuk menutupi rasa insecure tersebut.

Dari contoh yang sudah Penulis sebutkan, kita rela mengeluarkan uang (yang Penulis yakin tidak sedikit) untuk membohongi orang lain. Padahal tidak olahraga, update Strava. Tidak kerja di BUMN, pakai lanyard BUMN. Punyanya ponsel Android murah, malah sewa iPhone.

Tidak hanya membohongi orang lain, hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai membohongi diri sendiri. Hanya demi pengakuan sosial dan tidak direndahkan oleh orang lain, kita rela untuk melakukan hal-hal semu tersebut.

Penulis pernah mendapatkan cerita dari adik tentang temannya yang dari luar terlihat hidup glamor. Pakaiannya modish, ponselnya iPhone, dan lain sebagainya. Kenyataannya, ia hidup dengan meminjam uang dari teman-temannya demi memenuhi gaya hidupnya tersebut.

Kita menemukan satu alasan untuk mengapa kita rela membohongi dirinya sendiri: demi menuruti gengsi dan gaya hidup. Demi mendapatkan pengakuan dari orang lain, utang ke banyak orang hingga tidak punya teman pun akan dilakukan.

Cerita lain adalah bagaimana adik Penulis, yang ponselnya hanya Samsung biasa, seolah mendapatkan diskriminasi dari teman-temannya yang pada menggunakan iPhone. Ribet karena tidak bisa AirDrop, kata mereka.

Cerita-cerita tersebut menjelaskan alasan lain mengapa orang rela membohongi dirinya sendiri: karena terkadang lingkungan yang menuntut mereka seperti itu. Kondisi ini diperparah dengan media sosial yang kerap menunjukkan gaya hidup konsuntif.

Padahal, sebenarnya orang lain tidak peduli-peduli amat sama kita. Lantas, mengapa kita menjadi begitu bingung agar dipedulikan oleh mereka? Mengapa harus membohongi diri sendiri dan orang lain untuk itu? Penulis masih tidak habis pikir hingga sekarang.

Penutup

Bertahun-tahun yang lalu, ayah Penulis memberikan nasehat kalau kita sebagai manusia tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Siapa yang menyangka, nasehat tersebut masih sangat relevan hingga sekarang, bahkan terlalu relevan.

Terkadang kita memang membutuhkan validasi dari orang lain, terutama saat kita sedang down. Namun, validasi yang paling penting datang dari diri sendiri. Mau siapa pun memberi validasi, kalau kita tidak mampu memvalidasi diri sendiri, ya percuma.

Jadi, menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan validasi dari orang lain ya percuma, karena di lubuk hati terdalam kita tahu kalau kita sedang membohongi diri kita sendiri. Jalan pintas tersebut cuma menjadi topeng demi menutupi kenyataan hidup yang ada.

Daripada terus membohongi diri sendiri dan orang lain demi pengakuan sosial, lebih baik kita fokuskan diri untuk berbenah. Daripada terus mencari pengakukan sosial, lebih baik kita terus memperbaiki diri agar kita bisa mendapatkan pengakuan dari diri sendiri.

Tingkatkan skill dan value diri agar bisa beneran kerja di kantor yang prestise dan bisa beli ponsel impian. Lawan rasa malas dan mulai berolahraga. Itu memang pilihan yang lebih sulit, tapi itu merupakan jalan benar, bukan jalan pintas yang sesat.


Lawang, 21 Juli 2024, terinspirasi setelah melihat fenomena joki strava dan kejadian-kejadian lainnya

Foto Featured Image: SIROKO

Continue Reading

Sosial Budaya

Korea Selatan dan Reality Show: Sarana Promosi Negara ke Dunia

Published

on

By

Seperti yang pernah Penulis bahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, belakangan ini Penulis kembali mengikuti dunia per-K-Pop-an sejak berkenalan dengan Twice. Bahkan, yang kali ini bisa dibilang lebih intens berkat algoritma yang dimiliki oleh YouTube Music.

Meskipun menikmati musiknya, sebenarnya Penulis tidak terlalu suka menonton video performance atau konser mereka. Penulis justru lebih tertarik menonton berbagai acara reality show maupun talkshow yang melibatkan mereka.

Oleh karena itu, Penulis juga jadi sering menonton acara yang melibatkan para idol girlband yang musiknya Penulis dengarkan, terutama Runningman dan Weekly Idol. Apalagi, banyak dari mereka yang memiliki acaranya sendiri, seperti Time to Twice dan 1, 2, 3 IVE.

Saat menonton acara-acara tersebut, Penulis pun jadi sadar akan sesuatu. Hampir di semua episode reality show tersebut, terselip berbagai hal yang terkesan “mempromosikan” Korea Selatan kepada dunia. Reality show digunakan untuk mempromosikan negaranya.

Bagaimana Reality Show Korea Selatan Menjadi Sarana Promosi

Acara Runningman Memperkenalkan Banyak Wisata dan Makanan Korea Selatan (Life Adventure of Gegina)

Sebelum bersentuhan dengan dunia K-Pop, yang Penulis ketahui tentang Korea Selatan hanya mereka pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Selain itu, yang Penulis tahu lagi tentu Park Ji-sung, pemain sepak bola top yang pernah berseragam Manchester United.

Setelah berkenalan dengan K-Pop, Penulis jadi mulai mengenal Korea Selatan lebih luas. Selain dari segi musik dan persaingan industri yang keras, Penulis juga jadi banyak mengenal banyak hal mulai dari bahasa, budaya, hingga makanan.

Salah satu yang “berjasa” untuk hal tersebut bagi Penulis adalah Runningman. Acara yang sudah berjalan ratusan episode tersebut kerap diadakan di berbagai tempat di Korea Selatan, yang secara tak langsung menjadi sarana promosi wisata untuk menarik wisatawan.

Meskipun acaranya “kejar-kejaran” (setidaknya di episode-episode awal), selalu ada saja B-roll yang memperlihatkan keindahan lokasi yang digunakan untuk syuting, entah itu di pusat kota Seoul hingga tempat yang jauh seperti Jeju Islands.

Tidak hanya tempat wisata yang ditonjolkan, banyak episode Runningman yang juga menonjolkan kuliner asli Korea Selatan. Selalu ada shot di mana para member dan bintang tamu terlihat sangat menikmati hidangan yang ada.

Pola ini juga Penulis temukan di reality show lainnya yang Penulis tonton seperti Time to Twice dan 1, 2, 3 IVE. Bahkan salah satu member dari IVE, Rei, memiliki kanal YouTube sendiri bernama 따라해볼레이 by섭씨쉽도 (Follow Rei) dan memiliki pola yang serupa.

Contoh di episode 27 ketika acara tersebut mengundang member IVE lainnya, Leeseo. Pada episode tersebut, Rei dan Leeseo melakukan piknik di pinggir sungai Han yang terkenal sembari menikmati berbagai makanan Korea Selatan.

Selain itu, bahasa yang digunakan sudah pasti menggunakan bahasa Korea. Sama seperti penonton anime, penonton reality show Korea Selatan pun jadi termotivasi untuk bisa memahami bahasa Korea Selatan agar tidak perlu menggunakan subtitle lagi untuk menonton.

Bagaimana Indonesia (Harusnya) Bisa Mengadopsi Strategi Reality Show Korea Selatan

Konsep Reality Show Korea Selatan Bisa Kita Adopsi (X)

Tentu Korea Selatan tidak hanya memanfaatkan K-Pop dan reality show untuk menyebarkan berbagai budaya dan mempromosikan pariwisata serta makanannya. Drama dan film Korea Selatan pun sudah sangat mendunia.

Namun, menurut Penulis memanfaatkan reality show sebagai sarana promosi negara adalah ide yang cerdik. Berbeda dengan K-Pop dan drama yang mungkin cukup segmented, reality show cenderung bisa lebih dinikmati oleh orang banyak.

Contoh, Penulis biasanya mengajak ibunya untuk menonton acara-acara reality show Korea Selatan, tentu yang sekiranya bisa masuk dan dipahami oleh beliau. Walau kadang lebih banyak berkomentar mengenai “operasi plastik,” ibu Penulis ternyata bisa menikmati reality show tersebut.

Salah satu alasannya adalah reality show dikemas dalam bentuk hiburan, sehingga terkesan ringan dan mudah untuk dinikmati. Kita tidak perlu mengikuti alur cerita atau memiliki selera musik tertentu, karena reality show memang dibuat agar mudah dipahami.

Karena perannya untuk menghibur, tentu penonton akan sering tertawa ketika menontonnya. Oleh karena itu, penonton pun tak keberatan (dan mungkin tidak sadar) jika di dalam acara tersebut terselip promo-promo terselubung, entah dari segi pariwisata, budaya, maupun makanan.

Konsep inilah yang menurut Penulis perlu Indonesia tiru, bagaimana cara mempromosikan negara kita tercinta ini melalui acara reality show yang bisa diterima oleh banyak orang secara global. Menurut Penulis, peluang ini masih belum sering kita eksplorasi.

Mungkin permasalahan utamanya adalah belum terlalu mendunianya para public figure kita jika dibandingkan dengan public figure Korea Selatan. Penulis sendiri menonton reality show Twice dan IVE karena itu acara mereka. Jika yang melakukan orang lain, mungkin Penulis tidak akan menontonnya, tak peduli mau semenarik apapun acaranya.

Memang sudah banyak sekali public figure kita yang mendunia, entah dari dunia musik, film, dan lainnya. Namun, Penulis cukup ragu kalau nama mereka sampai digila-gilai oleh orang dari negara lain seperti mereka menggilai idol K-Pop.

Kalaupun belum bisa mengglobal karena alasan tersebut, menyasar pasar lokal dulu pun tidak masalah. Kalau menargetkan masyarakat kita sendiri, tentu tujuannya adalah meningkatkan pariwisata domestik sekaligus memberikan edukasi.

Contoh yang baru saja Penulis temukan adalah seri Kisarasa di YouTube. Dipandu oleh Chef Renata dan Chef Juna, acara ini mampu membalut acara kuliner secara unik, di mana sinematografi dan narasinya berbeda dengan kebanyakan kanal kuliner lainnya.

Kisarasa seolah dibuat untuk melestarikan makanan-makanan khas nusantara, dengan menayangkannya kepada penonton. Dengan melihat episode-episodenya, pengetahuan kita akan kuliner menjadi meningkat, sekaligus menimbulkan keinginan untuk membeli makanan tersebut.

Namun, Kisarasa lebih cocok disebut sebagai dokumenter daripada reality show karena tidak memiliki unsur hiburan. Penulis merasa konten-konten berkualitas seperti acara ini kurang bisa diterima oleh mayoritas penonton Indonesia, apalagi jika melihat jumlah view video-videonya yang kebanyakan hanya berkisar di angka ratusan ribu hingga satu jutaan.

Penulis membayangkan ada sebuah konsep acara hiburan dengan kualitas seperti Kisarasa, tapi dibuat lebih ringan, penuh candaan, dan diselipi oleh berbagai promosi budaya, wisata, makanan, hingga bahasa daerah. Bahkan, kalau bisa acara tersebut dinikmati hingga penonton di luar Indonesia.

Semoga saja sebenarnya sudah ada, Penulis saja yang belum mengetahuinya.


Lawang, 19 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau Korea Selatan memanfaatkan variety show sebagai media promosi wisata, budaya, hingga makanannya

Foto Feature Image: YouTube

Continue Reading

Sosial Budaya

Layakkah Pemain Judi Online Dianggap Korban dan Mendapatkan Bansos?

Published

on

By

Belakangan ini masyrakat heboh dengan pernyataan dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy. Pasalnya, ia menyebutkan kalau korban judi online (judol) akan mendapatkan bantuan sosial (bansos)!

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyetujui wacana tersebut. Di sisi lain, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto, mengatakan bahwa para korban judol tidak akan mendapatkan fasilitas bantuan dari pemerintah.

Yang jelas, hal ini memicu emosi dari sebagian masyarakat yang menganggap kalau korban judol tidak layak untuk mendapatkan bansos. Muhadjir sendiri akhirnya merevisi ucapannya dengan mengatakan bansos yang dimaksud diperuntukkan untuk keluarga korban judol.

Pertanyaannya, apakah pantas pemain judol (yang kalah, tentu saja) pantas dianggap sebagai korban?

Pemain Judol yang Tak Sadar sedang Diakali Sistem

Bisa Dimanipulasi dengan Teknik Tertentu (Napoleons Casinos)

Sewaktu kecil, Penulis pernah membaca komik (lupa judulnya) yang bercerita tentang seorang pebisnis besar yang ingin mewariskan perusahaannya secara terbuka. Siapapun yang merasa layak, boleh mencoba mendaftar dan nanti akan mengikuti beberapa ujian.

Menariknya, salah satu ujiannya adalah bermain judi berbagai jenis, mulai poker sampai roulette. Dari komik tersebut, Penulis baru tahu kalau hasil dari judi tersebut sudah diatur sedemikian rupa untuk menguntungkan bandar.

Awalnya logika Penulis menganggap kalau hal tersebut hanya terjadi di komik untuk memberikan kesan dramatis. Ternyata, setelah melihat beberapa konten di media sosial, di dunia asli pun ada banyak manipulasi seperti yang diceritakan di komik tersebut.

Nah, kalau yang offline dan dilihat banyak orang saja manipulasi banyak dilakukan, apalagi judi online yang menggunakan sistem komputer yang tak terlihat? Ada banyak sekali celah untuk memanipulasi pemain agar terus bermain.

Di game Borderlands 3 yang sedang Penulis mainkan, ada fitur permainan slot yang menggunakan uang in-game (bukan uang asli) untuk mendapatkan item-item tertentu seperti senjata. Itu saja lebih sering zonk-nya, sangat jarang ada item bagus yang bisa didapatkan.

Mirip dengan judi di Casino, tentu pemain baru akan dikasih menang dulu agar memberikan efek dopamin dan membuat mereka terus melakukan deposit. Setelah itu, kekalahan demi kekalahan akan mereka terima. Kalaupun menang, tentu hasilnya sedikit.

Karena merasa yakin permainan berikutnya akan menang, maka mereka akan terus melakukan deposit. Tak jarang jika mereka menggunakan uang dari berbagai sumber, termasuk memanfaatkan jasa pinjam online (pinjol) yang tentu akan menimbulkan masalah baru.

Pemain Judol Dikasih Bansos, Layak atau Tidak?

Dapat Bansos, Pemain Judol Full Senyum (Vecteezy)

Mungkin akan ada yang berargumen kalau mereka bermain judol untuk sekadar have fun, bukan untuk meraih kekayaan instan. Nah, dari sini pola pikirnya sudah salah karena judinya sendiri adalah perbuatan yang dilarang oleh agama mana pun.

Mau sedikit, mau banyak, kalau salah ya tetap salah. Apapun alasannya, kalau hal buruk ya jangan dilakukan. Begal yang melakukan pencurian motor (hal buruk) demi menghidupi keluarganya (niat baik) juga tidak akan kita benarkan, bukan?

Apalagi, banyak pemain judol yang sampai habis miliaran. Bayangkan dari Perwira TNI hingga anggota DPR pun ada yang terseret judol. Ini menunjukkan kalau pemainnya bukan dari kalangan miskin saja. Masa iya main judol miliaran layak dapat bansos?

Penulis kerap mendapatkan cerita dari teman-temannya bagaimana para pemain judol ini sudah begitu kecanduan sehingga sama sekali tidak bisa dinasehati, entah itu untuk have fun atapun mau dapat uang instan.

Mereka tidak sadar kalau dirinya sedang diakali dan dibodohi oleh sistem. Logikanya, mana ada bandar judi yang mau rugi? Pasti mereka mau meraup keuntungan sebesar-besarnya dari hasil deposit para pemain. Apalagi, manipulasi di judol lebih mudah dan tak terlihat.

Oleh karena itu, Penulis sama sekali tidak setuju jika para pemain judol dianggap sebagai “korban” dan butuh mendapatkan bansos. Mereka adalah korban dari kelakukan buruk mereka sendiri dan harus menanggung konsekuensinya. Mereka tidak layak mendapatkan bansos.

Penulis justru khawatir kalau bansos yang diberikan, jika berupa uang, akan digunakan untuk deposit. Meskipun diberi ke keluarganya sekalipun, potensi untuk salah digunakan sangat besar mengingat tabiat mayoritas dari pemain judol.

Pemberian bansos juga membuat mereka tidak akan merasa jera bermain judol. Pikir mereka, “Tenang aja, walau boncos tetap dapet bansos.” Tentu hal ini terasa tidak adil bagi masyarakat yang mungkin pas-pasan tapi tidak kebagian jatah bansos karena dianggap kurang miskin.

Jika pemerintah memang mau memberikan bantuan kepada pemain judol, lakukan saja rehabilitasi untuk menghilangkan kecanduan judol. Walau belum tentu berhasil, setidaknya itu lebih baik dibandingkan memberi mereka “insentif.”

Penutup

Judol adalah salah satu permasalahan terbesar yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Bayangkan saja, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat trasaksi judol mencapai Rp600 triliun.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya tidak diam saja melihat hal ini. Presiden Joko Widodo telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk memberantas judol yang dipimpin oleh Menko Polhukam Hadi Tjahjanto.

Selain itu, pemerintah juga mengklaim telah menutup jutaan situs judol, walaupun situs judol ini mati satu tumbuh seribu. Menkominfo juga melakukan SMS Blast yang efeknya sebenarnya sama dengan peringatan kematian di bungkus rokok, alias ga ngefek.

Masyarakat jelas menuntut pemerintah untuk menghadirkan solusi-solusi lain yang lebih konkrit untuk memberantas judol yang kian meresahkan ini, bukan justru memberi bansos kepada para pemainnya. Penulis rasa semua yang masih waras akan menentang ide ini.


Lawang, 17 Juni 2024, setelah muncul wacana mengenai pemain judol yang akan mendapatkan bansos

Foto Featured Image: LinkedIn

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan