Connect with us

Sosial Budaya

Sindir-Menyindir di Media Sosial

Published

on

Status, story, dan bentuk-bentuk ekspresi di media sosial lainnya kerap kali menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk menyindir seseorang. Terkadang berupa curhatan, walau seringkali diperhalus dengan menggunakan quote-quote yang bertebaran di dunia maya.

Coba kita lihat apa arti dari kata sindir di kamus tercinta kita, KBBI:

celaan; ejekan; pb mengata-ngatai (mencela) seseorang, tetapi perkataan itu ditujukan kepada orang lain;

Sedangkan menyindir memiliki makna:

v mengkritik (mencela, mengejek, dan sebagainya) seseorang secara tidak langsung atau tidak terus terang; pb mengata-ngatai (mencela) seseorang, tetapi perkataan-perkataan itu ditujukan kepada orang lain;

Jika dijadikan satu, sindir-menyindir berarti:

1 saling (berganti-ganti) menyindir; 2 hal menyindir

Dengan kata lain, sindiran digunakan ketika kita ingin mengutarakan sesuatu kepada orang lain secara tidak langsung. Sarkasme termasuk salah satu bentuk sindiran. Masalahnya, apa penyebab kita lebih memilih untuk menggunakan sindiran daripada berbicara terus terang?

Wajah Sarkas (http://news.bitofnews.com/sarcastic-people-are-smarter/)

Mungkin, untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Sebagai contoh, kita sedang kesal dengan seseorang. Kita ingin mengumpat kelakukan orang tersebut, dan jelas mengumpat di hadapannya langsung akan menimbulkan pertikaian. Akhirnya, kita memutuskan untuk menyindir di laman media sosial kita, berharap yang disindir tidak merasa.

Atau justru berharap supaya yang disindir merasa?

Memang ada orang-orang yang membuat sindiran dengan berharap yang disindir merasa bahwa sindiran tersebut ditujukan kepada mereka. Jika yang disindir merasa, ada dua tipe respon yang diberikan:

  1. Mengelak, mengatakan bahwa status tersebut bukan untuk menyindir mereka. Ini merupakan tipe pengecut yang tidak berani jujur.
  2. Mengakuinya, mungkin ia membuat status agar dapat memulai diskusi (atau pertikaian?) dengan yang bersangkutan.

Dalam opini penulis, sindir-menyindir dapat mengakibatkan kesalahpahaman. Membuat status dengan subyek yang ambigu dapat disalahartikan oleh banyak pihak. Bisa saja kan ada orang yang merasa sindiran tersebut ditujukan ke dirinya, meskipun sebenarnya bukan?

Alangkah lebih baik jika grundelan di dalam hati diungkapkan secara terus terang daripada membuat status yang multitafsir. Jika tidak bisa terus terang, maka lebih baik diam. Jika butuh orang lain untuk mendengar keluhanmu, ceritakan permasalahanmu kepada orang-orang terdekat, tidak perlu diumbar ke khalayak umum.

 

 

Lawang, 19 Juli 2018, terinspirasi dari sebuah drama di media sosial

Sumber Foto: https://www.bustle.com/articles/166098-9-weird-texting-habits-that-can-make-people-want-to-be-around-you-more

Sosial Budaya

Apakah Mesin Pencari akan Tergantikan oleh Media Sosial?

Published

on

By

Ada hal menarik ketika Penulis berinteraksi dengan para Gen Z di sekitar Penulis. Kebetulan, sewaktu mengisi webinar yang diadakan minggu kemarin, pertanyaan yang menjadi judul artikel ini juga sempat ditanyakan ke Penulis.

Penulis sebagai generasi Milenial terbiasa menggunakan Google dalam mencari informasi apapun, bahkan hingga muncul istilah Mbah Google dan term googling. Alasannya jelas, Google menyediakan hampir semua informasi yang kita butuhkan.

Namun, bagi Gen Z, ternyata pamor Google sebagai mesin pencari mulai pudar dan dikalahkan oleh media sosial seperti TikTok. Fenomena ini pun menimbulkan satu pertanyaan: apakah mesin pencari akan tergantikan oleh media sosial?

Beda Mencari di Mesin Pencari dan Media Sosial

TikTok Sebagai Mesin Pencari (Flick)

Disrupsi adalah hal yang biasa di dunia ini. Hampir tidak ada benda yang benar-bentar tak tergantikan. Selalu ada terobosan dan inovasi baru yang lebih efektif dan efisien, sehingga orang pun jadi beralih dan meninggalkan yang lama dan kuno.

Jauh sebelum Google muncul, mungkin orang mengandalkan buku, toko buku, atau perpustakaan untuk mencari informasi. Nah, kini Google (dan mesin pencari lainnya seperti Bing) pun menghadapi ancaman yang sama.

Misal Penulis dan circle-nya ingin mencari rekomendasi kafe di Malang. Kalau Penulis akan mencari artikelnya di Google. Namun, teman Penulis yang Gen Z lebih memilih TikTok karena ditampilkan dalam bentuk audiovisual yang lebih menarik.

Tentu artikel dan konten video memiliki plus minusnya masing-masing. Google misalnya, bisa menjelaskan secara detail rekomendasi kafe yang diberikan lengkap beserta map-nya. Apalagi, ada banyak artikel yang akan disajikan oleh Google, sehingga kita akan mendapat banyak variasi.

Media sosial pun bisa memberikan informasi secara langsung yang dilengkapi dengan ulasan dari kreator kontennya. Dalam waktu sekian detik, kita sudah mendapatkan gambaran seperti apa rekomendasi tempat yang diberikan kepada kita.

Penulis sendiri sejujurnya tidak nyaman menggunakan media sosial sebagai pengganti Google, terutama TikTok. Alasannya, kadang informasi yang diberikan ngaco sehingga menimbulkan trust issue.

Contoh, Penulis pernah dikirimi sebuah video TikTok yang memberi info kalau di Surabaya sedang ada pameran buku. Di video tersebut, promo dan buku yang ada terlihat banyak dan menarik. Namun, setelah ke sana, ternyata zonk dan mengecewakan.

Lantas, Apakah Mesin Pencari Memang akan Tergantikan oleh Media Sosial?

Mesin Pencari Tetap Punya Kelebihannya Sendiri (WebAlive)

Tren memang bergeser di mana media sosial pun kerap digunakan sebagai sumber informasi. Namun, selama mesin pencari dan media sosial menyediakan hasil dengan format dan akurasi yang berbeda, rasanya media sosial terutama Google tidak akan tergeser semudah itu.

Sebagai orang yang bekerja di bidang Search Engine Optimization (SEO), Penulis melihat masih ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan di mesin pencari (atau lebih tepatnya artikel website) yang belum bisa dilakukan oleh media sosial.

Contohnya, artikel bisa memberikan info yang lebih lengkap dan detail. Artikel juga memberikan kendali kepada pembacanya untuk memilih poin-poin mana saja yang ingin dibaca, berbeda dengan konten video yang kendalinya ada di konten kreatornya.

Lalu, sumber di artikel lebih bisa dipercaya dibandingkan media sosial. Seperti yang kita tahu, di media sosial kerap menjadi ladang hoaks yang tak terkontrol. Memang artikel tak sepenuhnya bebas dari hoaks, tapi jelas kredibilitasnya lebih terjamin dari media sosial.

Selain itu, jumlah pencarian (atau search volume) di Google juga masih cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari Google Trends. Contoh ketika Genshin Impact merilis update terbaru, maka banyak hal-hal seputar update tersebut akan muncul di Trending.

Hal tersebut membuktikan kalau masih banyak orang yang mengandalkan mesin pencari untuk mendapatkan informasi. Memang di media sosial banyak guide atau build karakter tertentu, tapi rasanya artikel yang mampu memberikan panduan paling detail.

Keberadaan AI juga menjadi penting karena mampu merangkumkan informasi yang dibutuhkan dalam waktu cepat. Misal kita ingin tahu berapa tinggi Erling Haaland, maka Google akan langsung memberi jawabannya sehingga kita tak perlu membuka artikel tertentu.

Selain itu, AI Google akan tetap menyarankan artikel-artikel tertentu jika pengguna membutuhkan info yang lebih lengkap. Jadi, meskipun ada AI yang telah merangkumkan jawaban, artikel di website tetap akan diberdayakan oleh Google.

***

Karena beberapa poin tersebut, Penulis menyimpulkan kalau media sosial belum akan menggantikan peran mesin pencari, setidaknya dalam waktu dekat. Sebagai alternatif mungkin iya, karena media sosial pun memiliki kelebihannya sendiri, tapi bukan sebagai pengganti.

Tentu opini di atas murni pendapat Penulis pribadi, yang artinya bisa benar, bisa salah, bisa juga di tengah-tengahnya. Mari kita lihat saja bagaimana perkembangan mesin pencari di media sosial.


Lawang, 11 September 2024, terinspirasi setelah menyadari kalau media sosial mulai menggantikan peran mesin pencari

Sumber Featured Image: Sanket Mishra

Continue Reading

Sosial Budaya

Hati-Hati Jejak Digitalmu, Siapa Tahu Nanti Jadi Pejabat Publik

Published

on

By

Dalam beberapa minggu terakhir, “jejak digital” menjadi isu yang hangat untuk dibahas, terutama di ranah politik. Pasalnya, ada banyak pejabat publik yang “kebakaran jenggot” karena jejak digitalnya di masa lalu dibongkar oleh netizen.

Contoh pihak yang jejak digitalnya terbongkar adalah Ridwan Kamil dan Pramono Anung, dua calon gubernur Jakarta. Singkat cerita, banyak twit candaan bernada seksis. Ridwan Kamil bahkan pernah mengolok-olok orang Jakarta.

Yang paling parah tentu saja kasus yang menimpa wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming. Akun Kaskus bernama @fufufafa diduga menjadi miliknya dengan sederet bukti yang berhasil dikumpulkan oleh netizen. Parahnya, akun tersebut kerap menghina presiden terpilih, Prabowo Subianto.

Apa Itu Jejak Digital?

Lagi Rame (YouTube)

Jejak digital adalah apapun yang kita “tinggalkan” di media sosial dan bisa diakses oleh banyak orang, baik pos, twit, foto, video, dan lain sebagainya. Ini adalah definisi menurut Penulis, silakan koreksi apabila definisi tersebut kurang tepat.

Di zaman dulu, kasus skandal di masa lalu atau aib yang telah lama berusaha untuk ditutupi menjadi momok yang mengerikan. Namun, itu pun yang membongkar orang lain berdasarkan hasil investigasi, pengakuan orang, atau bahkan sekadar fitnah.

Nah, kalau di era media sosial seperti sekarang, kita sebagai manusia justru terobsesi untuk membagikan banyak hal kepada publik, bahkan secara berlebihan. Entah itu opini, foto liburan, ungkapan kekesalan, umpatan, pamer kekayaan, dan masih banyak lagi lainnya.

Kalau kita bukan siapa-siapa, mungkin unggahan-unggahan tersebut tidak akan berarti banyak. Namun, beda cerita kalau ternyata kita ditakdirkan untuk menjadi public figure yang gerak-geriknya sering disorot oleh masyarakat umum.

Hal ini sudah terlihat pada kasus yang menimpa pada pejabat-pejabat publik yang telah disebutkan di atas. Entah siapa yang mem-blow up pertama, tapi yang jelas hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh lawan politiknya dengan tujuan menjatuhkan.

Di sisi lain, jejak digital juga bisa digunakan untuk menaikkan citra diri. Contohnya adalah Anies Baswedan, di mana pada periode yang sama dengan Ridwan Kamil ketika ia bercanda dengan nada seksis, ia justru sibuk dengan gerakan Indonesia Mengajar.

Jika dulu ada istilah “Mulutmu, Harimaumu,” maka sekarang ada “Jempolmu, Harimaumu.” Zaman memang selalu memiliki caranya sendiri untuk berevolusi.

Berhati-hati Dalam Meninggalkan Jejak Digital

Jempolmu, Harimaumu (Bio Med Central)

Kasus-kasus membongkar jejak digital para public figure di atas seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk kita agar lebih bijaksana dalam meninggalkan jejak digital di media sosial. Jangan sampai hal tersebut justru menjadi bumerang yang merugikan kita.

Kita semua pernah mengalami berbagai fase pendewasaan diri. Ada masa di mana kita menjadi alay dan haus perhatian, sehingga merasa perlu membagikan berbagai macam hal kepada publik, yang sebenarnya juga tidak peduli-peduli amat dengan kehidupan kita.

Penulis pun yakin kalau jejak digitalnya di media sosial banyak yang memalukan. Mungkin tidak sampai membuat Penulis gagal maju sebagai caleg (seandainya menyalonkan diri), tapi cukup untuk membuat Penulis merasa malu.

Ada satu peristiwa kecil yang teringat ketika membahas hal ini. Ada teman Penulis yang hobi screenshot Story, terutama kalau dianggap Story tersebut bisa menjadi bahan ledekan. Beberapa minggu yang lalu, Story-Story lama tersebut dibongkar di depan yang bersangkutan dan kami semua tertawa terbahak-bahak.

Tujuan membongkar jejak digital di atas dilakukan sebagai bahan-bahan ceng-cengan saja di kalangan circle. Nah, kalau yang membongkar publik yang tidak suka dengan sosok tertentu, jadinya berbahaya, bukan? Elektabilitas orang yang dibongkar bisa langsung terjun bebas.

Oleh karena itu, kalau Pembaca sekalian ada yang berniat untuk menjadi pejabat publik, coba dicek akun media sosialnya apakah ada jejak digital yang berbahaya. Jangan sampai ada jejak digital berbahaya yang tertinggal.


Lawang, 9 September 2024, terinspirasi setelah dalam beberapa waktu terakhir banyak pejabat publik yang terungkap jejak digital di masa lalunya

Sumber Featured Image: LinkedIn

Continue Reading

Sosial Budaya

Ketika Pengakuan Sosial Menjadi Kebutuhan Pokok

Published

on

By

Jika menengok ke beberapa peristiwa yang sempat menjadi perbincangan netizen, Penulis menemukan sebuah pola di mana hidup di era sekarang terkesan membutuhkan pengakuan sosial sebanyak mungkin.

Bahkan, banyak hal yang akan dilakukan untuk bisa mendapatkan pengakukan sosial tersebut, termasuk mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Kebutuhan untuk diakui dan tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain seolah mengalahkan kebutuhan hidup lainnya.

Fenomena ini pun berhasil menarik perhatian Penulis. Berhubung banyak momen yang berhubungan dengan hal ini belum pernah Penulis bahas, Penulis ingin merangkum semuanya di sini.

Berbagai Cara untuk Dapatkan Pengakuan Sosial

Rela Keluar Uang Demi Pengakuan Sosial (ERA.ID)

Hal yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu adalah adanya joki Strava. Awalnya, Penulis tidak mengetahui apa itu Strava, hingga akhirnya menemukan fakta kalau itu merupakan sebuah aplikasi yang akan melacak aktivitas olahraga kita seperti lari atau bersepeda.

Tampaknya Strava ini menjadi gaya hidup yang sedang hype, di mana pengguna akan membagikan hasil olahraganya ke media sosial. Masalahnya ada saja orang yang enggan berolahraga, tapi tidak ingin ketinggalan dengan tren ini.

Alhasil, muncullah joki Strava. Mereka akan beraktivitas sesuai permintaan, lantas melakukan screenshot ke aplikasi Strava untuk dikirimkan ke klien. Nanti, klien bisa mengunggahnya ke media sosial seolah ia yang telah melakukannya.

Jika mundur lagi ke belakang, salah satu hal yang ramai dibicarakan ketika bulan puasa adalah adanya jasa sewa lanyard untuk digunakan ketika ikut buka puasa bersama (bukber). Lanyard tersebut seolah menjadi semacam medali yang bisa dibanggakan kepada teman-temannya, walau kenyataannya ia berbohong (di bulan puasa lagi).

Bicara tentang sewa, ada juga jasa sewa iPhone. Ponsel buatan Apple ini memang seolah telah beralih fungsi menjadi penanda status sosial. Bahkan, katanya kalau tidak menggunakan iPhone, maka kita tidak akan bisa masuk ke circle pertemanan!

Masih ada banyak contoh bagaimana kita seolah haus akan pengakuan sosial, termasuk memaksa orang lain memanggil kita haji. Namun, rasanya contoh-contoh di atas sudah cukup untuk menggambarkan fenomena ini.

Mengapa Kita Begitu Haus dengan Pengakuan Sosial?

Gak Punya iPhone Gak Boleh Masuk Circle (Apple)

Rasanya manusiawi jika kita merasa insecure dengan orang lain, apalagi jika kita merasa belum bisa sesukses orang lain. Namun, hal tersebut menjadi masalah apabila kita menggunakan jalan pintas untuk menutupi rasa insecure tersebut.

Dari contoh yang sudah Penulis sebutkan, kita rela mengeluarkan uang (yang Penulis yakin tidak sedikit) untuk membohongi orang lain. Padahal tidak olahraga, update Strava. Tidak kerja di BUMN, pakai lanyard BUMN. Punyanya ponsel Android murah, malah sewa iPhone.

Tidak hanya membohongi orang lain, hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai membohongi diri sendiri. Hanya demi pengakuan sosial dan tidak direndahkan oleh orang lain, kita rela untuk melakukan hal-hal semu tersebut.

Penulis pernah mendapatkan cerita dari adik tentang temannya yang dari luar terlihat hidup glamor. Pakaiannya modish, ponselnya iPhone, dan lain sebagainya. Kenyataannya, ia hidup dengan meminjam uang dari teman-temannya demi memenuhi gaya hidupnya tersebut.

Kita menemukan satu alasan untuk mengapa kita rela membohongi dirinya sendiri: demi menuruti gengsi dan gaya hidup. Demi mendapatkan pengakuan dari orang lain, utang ke banyak orang hingga tidak punya teman pun akan dilakukan.

Cerita lain adalah bagaimana adik Penulis, yang ponselnya hanya Samsung biasa, seolah mendapatkan diskriminasi dari teman-temannya yang pada menggunakan iPhone. Ribet karena tidak bisa AirDrop, kata mereka.

Cerita-cerita tersebut menjelaskan alasan lain mengapa orang rela membohongi dirinya sendiri: karena terkadang lingkungan yang menuntut mereka seperti itu. Kondisi ini diperparah dengan media sosial yang kerap menunjukkan gaya hidup konsuntif.

Padahal, sebenarnya orang lain tidak peduli-peduli amat sama kita. Lantas, mengapa kita menjadi begitu bingung agar dipedulikan oleh mereka? Mengapa harus membohongi diri sendiri dan orang lain untuk itu? Penulis masih tidak habis pikir hingga sekarang.

Penutup

Bertahun-tahun yang lalu, ayah Penulis memberikan nasehat kalau kita sebagai manusia tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Siapa yang menyangka, nasehat tersebut masih sangat relevan hingga sekarang, bahkan terlalu relevan.

Terkadang kita memang membutuhkan validasi dari orang lain, terutama saat kita sedang down. Namun, validasi yang paling penting datang dari diri sendiri. Mau siapa pun memberi validasi, kalau kita tidak mampu memvalidasi diri sendiri, ya percuma.

Jadi, menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan validasi dari orang lain ya percuma, karena di lubuk hati terdalam kita tahu kalau kita sedang membohongi diri kita sendiri. Jalan pintas tersebut cuma menjadi topeng demi menutupi kenyataan hidup yang ada.

Daripada terus membohongi diri sendiri dan orang lain demi pengakuan sosial, lebih baik kita fokuskan diri untuk berbenah. Daripada terus mencari pengakukan sosial, lebih baik kita terus memperbaiki diri agar kita bisa mendapatkan pengakuan dari diri sendiri.

Tingkatkan skill dan value diri agar bisa beneran kerja di kantor yang prestise dan bisa beli ponsel impian. Lawan rasa malas dan mulai berolahraga. Itu memang pilihan yang lebih sulit, tapi itu merupakan jalan benar, bukan jalan pintas yang sesat.


Lawang, 21 Juli 2024, terinspirasi setelah melihat fenomena joki strava dan kejadian-kejadian lainnya

Foto Featured Image: SIROKO

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan