Connect with us

Musik

Bagaimana Algoritma YouTube Music Membuat Saya Menyelami K-Pop

Published

on

Penulis merupakan pengguna YouTube Premium selama beberapa tahun terakhir. Penulis memilih paket untuk keluarga yang bisa digunakan untuk berlima dengan biaya langganan Rp109.980 per bulan. Kebetulan, Penulis sekeluarga berisi lima orang sehingga pas.

Ada beberapa alasan mengapa Penulis memilih untuk menggunakan layanan tersebut, seperti terbebas dari iklan dan sudah include YouTube Music. Nah, layanan yang terakhir Penulis rasa bisa menjadi pengganti Spotify, sehingga Penulis tidak perlu banyak berlangganan.

Pada tulisan kali ini, Penulis ingin berbagi bagaimana algoritma yang dimiliki oleh aplikasi musik online, dalam kasus Penulis YouTube Music, bisa membuat Penulis (kembali) menyelami K-Pop, bahkan lebih dalam dibandingkan periode pertamanya dulu.

Bagaimana Algoritma YouTube Music Bekerja

YouTube Music (YouTube)

Ketika kuliah dulu, biasanya Penulis mengunduh album atau lagu yang diinginkan, sehingga lagu yang didengarkan pun cukup sebatas yang ingin didengarkan. Enaknya, karena Penulis menggunakan iTunes, pengorganisirannya pun sangat rapi.

Hal ini berbeda dengan YouTube Music, yang bahkan jika dibandingkan dengan Spotify sangat tidak rapi. Bahkan, untuk mengurutkan lagu yang telah dimasukkan ke dalam Playlist pun tidak bisa. Secara antarmuka pun sejujurnya kurang menarik.

Namun, di sisi lain, YouTube Music membuat kita bisa mengetahui banyak lagu yang sebelumnya belum pernah kita tahu. Tinggal memilih satu lagu, maka algoritma dari YouTube Music melalui Autoplay pun akan memainkan lagu berikutnya yang segenre atau sejenis.

Ketika Penulis mendengarkan lagu-lagu rock barat, maka mayoritas lagu-lagu yang akan dimainkan selanjutnya pun kemungkinan sudah Penulis ketahui. Jika mendengarkan Linkin Park misalnya, maka lagu-lagu selanjutnya pun berpusat sekitar 30 Seconds to Mars, Avenged Sevenfold, My Chemical Romance, dan lainnya.

Contoh lain, jika mendengarkan lagu NOAH, maka lagu-lagu yang dimainkan selanjutnya pun akan berpusat pada lagu-lagu pop Indonesia seperti Dewa dan Sheila on 7, yang sebenarnya juga cukup familiar di telinga Penulis yang jarang mendengarkan lagu Indonesia.

Nah, beda cerita dengan K-Pop. Penulis sudah bertahun-tahun berhenti mendengarkan K-Pop, sehingga cukup buta dengan perkembangannya dan ada grup apa saja yang sedang populer sekarang.

Bagaimana Algoritma YouTube Music Membuat Penulis Mendalami K-Pop

Contoh Algoritma YouTube Music

Pertama kali Penulis bersentuhan dengan dunia K-Pop adalah ketika SMA, di mana waktu itu yang menjadi “gerbangnya” adalah SNSD atau Girls’ Generation dan Super Junior. Penulis cukup banyak mendengarkan lagu-lagu mereka.

Dari sana, Penulis jadi tahu banyak girlband atau boyband lain seperti Sistar, Big Bang, Afterschool, 2PM, 2NE1, Shinee, Kara, Miss A, dan lain sebagainya. Namun, Penulis hanya sedikit sekali mengetahui lagu-lagu mereka, hanya satu-sua saja.

Ketika kuliah, Penulis berhenti mendengarkan K-Pop, dan baru diperkenalkan lagi melalui Blankpink di tahun 2018 gara-gara teman kerja. Itu pun tidak bertahan lama, karena Penulis merasa tidak begitu cocok dengan genre dari girlband yang terdiri dari Jisoo, Jennie, Lisa, dan Rose tersebut.

Lantas, memasuki akhir 2022 hingga awal 2023, Penulis berkenalan dengan Twice, yang tulisannya ada tiga artikel sendiri. Saat itu, Penulis sudah berlangganan YouTube Music dan mendengarkan lagu-lagu Twice di sana.

Nah, Penulis terkadang hanya memilih lagu-lagu Twice yang disukai seperti “Alcohol Free” dan “Can’t Stop Me”, lalu membiarkan algoritma YouTube Music memilihkan lagu berikutnya. Tentu saja, yang direkomendasikan adalah lagu-lagu dari girlband lain.

Dari algoritma inilah, Penulis jadi mengetahui banyak sekali lagu-lagu K-Pop yang ternyata pas dengan telinganya. Dari yang tidak tahu apa-apa, hanya tahu Twice, hingga kini mengetahui beberapa girlband Korea dari generasi 3 dan 4.

Mungkin karena berangkatnya dari Twice, Penulis hampir tidak pernah mendapatkan rekomendasi lagu dari boyband. Kebetulan, Penulis juga tidak terlalu berminat untuk mendengarkannya.

Girlband Apa Saja yang Diketahui?

Karena sistem Playlist berdasarkan Like di YouTube musik diurutkan berdasarkan kapan di-like, Penulis jadi bisa mengetahui bagaimana kronologi lagu-lagu K-Pop bisa masuk ke dalam Playlist-nya.

Tentu saja semua berawal dari lagu-lagu Twice, yang hingga kini jumlahnya masih belasan. Setelah itu, yang masuk adalah lagu-lagu dari NewJeans yang disarankan oleh teman Penulis yang kebetulan meracuni Penulis dengan Twice.

Setelah itu, ada dua lagu yang sangat nyantol di telinga dari dua girlband Gen 4, yakni “Antifragile” dari LE SSERAFIM dan “Kitsch” dari IVE. Genre dari kedua girlband ini ternyata ke depannya cocok dengan selera Penulis, sehingga cukup banyak lagunya yang masuk ke Playlist.

Setelah itu, barulah masuk Red Velvet yang sebenarnya satu generasi dengan Twice dan Blackpink. Penulis ingat teman kantornya pernah berkata kalau konsep girlband ini sering creepy, dan ternyata memang benar. Namun, lagunya seperti “Psycho” dan “Feel My Rhythm” juga cocok dengan Penulis.

Setelah lagu-lagu dari girlband yang telah disebutkan di atas cukup banyak masuk ke dalam Playlist, giliran aespa lalu ITZY yang masuk ke dalam Playlist. Namun, sejujurnya genre keduanya kurang masuk dengan selera Penulis.

Baru-baru ini, NMIXX juga menyusul masuk ke dalam Playlist melalui lagunya “Young, Dumb, Stupid” yang bagian reff-nya mengambil sampel lagu anak-anak “Fruit Salad”, yang dulu sering Penulis nyanyikan ketika masa-masa OSIS.

Penulis juga membuat Playlist khusus K-Pop, yang hingga kini telah berisi lebih dari 100 lagu. Daftar girlband yang belum disebukan antara lain ada STAYC, Weekly, dan OH MY GIRL. Teman Penulis juga menyarankan (G)I-DLE dan Got the Beat, tapi belum menemukan lagu yang enak.

Penutup

Bagi Penulis, lagu-lagu K-Pop yang easy listening bisa menjadi selingan untuk lagu-lagu rock yang berat. Sebagai teman kerja lagu K-Pop pun cukup asyik, walau terkadang jadi membayangkan yang nyanyi.

Penulis bisa mengetahui cukup banyak girlband dan lagu-lagunya pun karena adanya YouTube Music, yang memungkinan dirinya untuk mengeksplorasi apa yang selama ini tidak diketahui. Ini berbeda dengan musik rock yang dari dulu memang sudah didalami ataupun pop Indonesia yang terdengar di mana-mana.

Untuk tulisan selanjutnya, Penulis akan membedah girlband-girlband yang telah disebutkan di atas. Mungkin akan jadi satu tulisan, tapi jika ternyata isinya panjang bisa saja Penulis akan menulisnya menjadi beberapa bagian. Maklum, cukup banyak lagu K-Pop yang Penulis dengarkan sekarang.


Lawang, 13 Maret 2024, terinspirasi setelah menyadari bagaimana YouTube Music membuat dirinya mendengarkan banyak lagu K-Pop

Musik

Cara Linkin Park Membiasakan Vokal Emily kepada Penggemarnya

Published

on

By

Linkin Park baru saja merilis single terbaru mereka yang berjudul “Heavy is the Crown.” Lagu ini akan menjadi anthem untuk ajang League of Legends World Championship 2024, salah satu turnamen esports terbesar di dunia.

Ini adalah lagu kedua yang dirilis oleh Linkin Park setelah mengumumkan comeback dengan personel baru, Sebelumnya, mereka telah merilis lagu “The Emptiness Machine.” Sejujurnya, Penulis sama sekali tidak berekspetasi kalau mereka akan merilis lagu secepat ini.

Ketika mendengarkan kedua lagu ini secara berulang-ulang, Penulis jadi menyadari satu hal. Ini bisa jadi merupakan cara Linkin Park untuk membiasakan vokal Emily Armstorng kepada para pendengar setianya,

Memulai Semua dari Nol

Ketika menjadi bintang tamu di acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon, Mike Shinoda bercerita mengenai alasan penamaan album From Zero, yang akan menjadi album pertama Linkin Park dengan personel baru.

Menurutnya, ada dua alasan dari penamaan tersebut. Pertama, karena nama band-nya sebelum menjadi Linkin Park adalah Xero, yang jika diucapkan akan terdengar seperti kata zero dengan huruf x di depannya.

Alasan kedua, adalah karena nama tersebut menggambarkan posisi Linkin Park saat ini yang ingin memulai semuanya dari nol, memulai semunya dari kanvas kosong. Ucapannya ini mungkin bisa tidak diterima, mengingat sejatinya Linkin Park tidak benar-benar memulai lagi dari nol karena telah memiliki nama besar di industri musik.

Namun, di sisi lain, melakukan comeback dengan vokalis baru jelas bukan hal yang mudah untuk sebuah band, apalagi jika vokalis lamanya sudah terlalu melekat. Seperti yang kita tahu, masih banyak penggemar yang belum terima posisi Chester digantikan oleh Emily.

Oleh karena itu, bisa dipahami juga kalau Mike mengatakan hal tersebut dan sah-sah saja. Apalagi, seperti yang sudah pernah Penulis bahas sebelumnya, Chester dan Emily memiliki tipe vokal yang berbeda, sehingga musik-musik Linkin Park ke depannya pun rasanya akan menyesuaikan dengan tipe vokal Emily.

Bagaimana Suara Emily Mulai Terbiasa di Telinga

Sejak debut, Linkin Park dikenal dengan konsep uniknya yang menggabungkan unsur hip-hop, rock, dan elektronik. Mike kerap ikut bernyanyi untuk mengisi lirik rap dan Chester akan bernyanyi di bagian reff. Namun, tak jarang lagu-lagu Linkin Park hanya memperdengarkan suara Chester.

Pada dua single pertama mereka dari album Hybrid Theory, “One Step Closer” dan “Crawling,” part Mike sangat sedikit sekali dan sangat menonjolkan vokal Chester. Baru di lagu “Papercut” dan “In the End” kita bisa mendengar Mike nge-rap dengan cukup panjang.

Nah, cara tersebut dibalik ketika Linkin Park merilis dua single terbaru mereka dari album From Zero, “The Emptiness Machine” dan “Heavy is the Crown.” Alih-alih langsung merilis lagu yang dominan suara Emily, mereka memutuskan untuk merilis lagu yang dominan suara Mike.

Hal ini, menurut Penulis, merupakan langkah cerdik mereka untuk membiasakan pendengarnya dengan suara Emily secara setahap demi setahap. Jika langsung merilis lagu yang menonjolkan suara Emily, bisa-bisa pendengar ogah mendengarkannya.

Di lagu “The Emptiness Machine,” Mike bahkan bernyanyi hampir 3/4 lagu, di mana reff pertama ia nyanyikan sendiri. Di konser perdana setelah mereka comeback kemarin, kita bisa melihat kalau Emily baru muncul di atas panggung ketika lagu telah berjalan setengah.

Nah, di lagu terbaru mereka, “Heavy is the Crown,” mereka menggunakan “formula klasik” yang mirip dengan awal-awal Linkin Park di awal tahun 2000-an. Mike nge-rap, lalu Emily mengisi bagian reff dan bridging menuju reff terakhir.

Selain itu, lagu tersebut juga menarik karena Emily melakukan screaming cukup panjang, yang tentu saja akan mengingatkan screaming yang dilakukan oleh Chester pada lagu “Given Up” dari album Minutes to Midnight.

Dari sisi musikalitas, Linkin Park tidak melakukan eksperimen yang aneh-aneh seperti yang mereka lakukan pada album One More Light. Seandainya mereka mengeluarkan lagu pop seperti album tersebut, bisa-bisa penggemar tak akan tertarik untuk mendengarkan mereka lagi.

Oleh karena itu, Penulis merasa senang ketika Linkin Park kembali ke jati diri mereka sebagai rock band. Walau di atas mengatakan kalau mereka menggunakan formula klasik, menurut Penulis lagu-lagu baru mereka setipe dengan lagu-lagu di album The Hunting Party.

Mungkin, keputusan ini juga diambil agar sejalan dengan tema From Zero, yang juga bisa dimaknai kembali ke akar. Linkin Park bersama Emily ingin kembali ke akar mereka sebagai salah satu rock band terbesar di dunia.

Sebagai penutup, Penulis mendapatkan bocoran daftar lagu yang akan ada di album From Zero dari platform Apple Music. Penulis yakin, akan ada lagu yang hanya memperdengarkan vokal Emily saja tanpa ada suara Mike. Berikut daftar lagunya:

  1. From Zero (Intro)
  2. The Emptiness Machine
  3. Cut the Bridge
  4. Over Each Other
  5. Casualty
  6. Overflow
  7. Two Faced
  8. Stained
  9. IGYEIH
  10. Good Things Go

Lawang, 26 September 2024, terinspirasi setelah mendengarkan single terbaru dari Linkin Park, “Heavy is the Crown”

Foto Featured Image: Loudwire

Continue Reading

Musik

Vokal Chester Bennington Ternyata Memang Seistimewa Itu

Published

on

By

Telah satu minggu berlalu sejak Linkin Park mengumumkan vokalis baru yang menjadi penerus dari Chester Bennington. Sejak itu, penggemar terbagi menjadi dua kubu, antara yang menerima dan yang menolak.

Pihak yang menerima menganggap kalau Chester memang tak akan pernah tak tergantikan. Emily Armstrong adalah penerusnya dengan kekuatan dan ciri khas vokalnya sendiri untuk era baru Linkin Park. Penulis secara pribadi masuk ke dalam kubu ini.

Pihak yang menolak menganggap kalau Emily tidak layak untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Chester. Kalau mau menggandeng vokalis baru, mending ganti nama jangan pakai nama Linkin Park. Apalagi, Rob Bourdon juga telah keluar.

Belum lagi banyaknya skandal yang membayangi Emily di masa lalu, terutama terkait dengan Scientology dan dukungannya terhadap pemerkosa bernama Danny Masterson. Masalah ini terus-menerus dibahas oleh mereka yang kontra dengan keberadaan Emily di Linkin Park.

Bagaimana Kualitas Vokal Emily Armstrong di Linkin Park?

Emily Armstrong (DB Klik)

Dalam tulisan sebelumnya, Penulis telah mengeluarkan pendapatnya tentang kualitas vokal yang dimiliki oleh Emily. Untuk lagu baru, “The Emptiness Machine,” suaranya masuk banget dan Penulis benar-benar menikmatinya.

Suara Emily adalah suara rocker yang serak-serak basah. Ia juga memiliki kemampuan untuk screaming yang lumayan. Namun, memang ketika menyanyikan lagu-lagu Linkin Park yang lama, suaranya tampak kurang dan nadanya tak bisa sampai.

Penulis menemukan sebuah twit yang menjelaskan hal ini. Lagu “Numb” yang dibawakan bersama Emily dinaikkan tiga nada, dan itu pun Emily masih kewalahan. Tahu naik berapa nada ketika Chester yang nyanyi? Enam.

Menurut Penulis, yang paling parah adalah waktu ia menyanyikan lagu “The Catalyst.” Bukan hanya nadanya tidak sampai, ia sampai harus kehilangan suaranya berkali-kali dan melemparkan mic-nya ke penonton untuk menutupi hal tersebut.

Ini bukan berarti Emily penyanyi yang jelek, tapi memang standarnya Chester saja yang ketinggian. Vokal Chester memang diakui secara luas istimewa, dan tak banyak yang mampu bernyanyi lagu-lagu Linkin Park seperti dirinya.

Penyanyi Lain pun Kewalahan Menyanyikan Lagu Linkin Park

Taka dari One Ok Rock (X)

Sulitnya meniru kemampuan vokal Chester juga terlihat dari konser Linkin Park & Friends Celebrate Life in Honor of Chester Bennington yang tayang sekitar tujuh tahun lalu. Konser tersebut merupakan peringatan akan kematian Chester, dan banyak penyanyi yang menyumbangkan suaranya.

Lantas, adakah yang bisa bernyanyi sebaik Chester? Menurut Penulis, tidak. Meskipun ada banyak nama-nama besar pada konser tersebut, benar-benar tidak ada yang bisa mengisi peran Chester sesempurna itu.

Taka dari One Ok Rock menyumbang suara untuk lagu “Somewhere I Belong,” di mana ia sempat lupa lirik di bagian bridging. Tak hanya itu, di beberapa lirik juga terlihat suaranya yang terkenal tinggi pun tak mampu menjangkaunya.

Vokalis Bring Me the Horizon, Oliver Sykes, kebagian lagu Crawling yang dikenal sebagai salah satu lagu tersulit Linkin Park yang bahkan Chester mengatakan kalau lagu tersebut termasuk sulit. Hasilnya? Vokal Oliver sering tak kuat ketika menyanyikan bagian reff-nya.

Selanjutnya, ada Deryck Whibley yang merupakan vokalis dari Sum 41. Ia kebagian lagu “The Catalyst” yang di mana Emily kesulitan untuk menyanyikannya. Namun, Deryck cukup mampu membawakannya, meskipun di beberapa kesempatannya terdengarnya napasnya habis.

M. Shadow sebagai vokalis Avenged Sevenfold juga menyumbang suaranya untuk dua lagu, “Burn It Down” dan “Faint.” Bisa dibilang di antara semua, ia masih yang termasuk lumayan walau style-nya jadi berubah Avenged banget.

Masih ada banyak penyanyi dan vokalis lain yang berkontribusi pada konser tersebut. Namun, rasanya empat contoh di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa vokal yang dimiliki oleh Chester memang benar-benar istimewa.

Mengapa Vokal Chester Bennington Seistimewa Itu?

Chester Bennington (NBC News)

Penulis tidak bermaksud menganggap bahwa Chester adalah vokalis terbaik sepanjang masa. Namun, pada lagu-lagu Linkin Park, memang terbukti beberapa kali lagunya cukup sulit untuk dinyanyikan. Sulit untuk meniru kemampuan vokal Chester.

Tadi sudah disinggung tentang lagu “Crawling” yang menjadi salah satu lagu tersulit. Ada juga lagu “The Catalyst” yang membuat siapa pun yang mencoba menyanyikannya kehabisan napas. Menariknya, masih ada banyak lagu Linkin Park yang juga cukup sulit untuk dinyanyikan.

Contohnya adalah “Given Up” karena ada bagian screaming sepanjang 17 detik non-stop. Lalu, ada lagu “Breaking the Habit” yang walaupun terkesan ngepop, ternyata susah sekali untuk menggapai nada setinggi yang dikeluarkan oleh Chester. Masih banyak lagi, tapi contoh-contoh tersebut sudah cukup.

Apa yang membuat vokal Chester menjadi istimewa adalah kemampuannya bernyanyi baik pada nada rendah maupun nada tinggi. Dari yang Penulis baca di Twitter, Chester memiliki range vokal Alto-Soprano, sehingga wajar nadanya kerap tinggi.

Dalam salah satu video footage di belakang panggung, ada sebuah rekaman di mana Chester sedang melakukan pemanasan suara. Pada satu titik, ia bisa melengkingkan suaranya tinggi sekali seperti Freddy Mercury dari Queen.

Tidak hanya dari sisi nada, dari sisi lembut-kerasnya pun Chester cukup fleksibel. Ia bisa bernyanyi selembut “One More Light,” tapi bisa teriak-teriak seperti di lagu “Lying From You.” Suaranya juga selalu stabil di atas panggung, bahkan setelah melakukan screaming sekali pun.

Satu hal lagi yang membuat vokal Chester istimewa adalah bagaimana ia terlihat effortless dalam membawakan lagu-lagu Linkin Park, sehingga kita sebagai penggemar percaya bahwa kita bisa menyanyikannya juga. Saat mencobanya di karaoke, baru kita sadar betapa mustahilnya hal tersebut.

Setelah kehilangan Chester dan melihat banyaknya penyanyi dan vokalis yang mencoba menyanyikan bagiannya, Penulis baru sadar betapa istimewa vokal yang dimilikinya. Memang, terkadang kita baru menyadari sesuatu setelah kehilangannya.


Lawang, 13 September 2024, teinspirasi setelah menyadari banyak lagu Linkin Park yang terlalu sulit untuk dinyanyikan

Sumber Featured Image: NBC News

Continue Reading

Musik

Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong

Published

on

By

Beberapa waktu lalu, Linkin Park dan beberapa anggota band mengunggah sebuah pos misterius. Penggemar, termasuk Penulis, tentu bertanya-tanya proyek apa yang akan diumumkan kali ini.

Penulis sendiri berusaha untuk tidak berharap apa-apa, takutnya kecewa kalau ternyata pengumumannya nggeletek. Oleh karena itu, Penulis benar-benar terkejut ketika mengetahui kalau ternyata pengumumannya adalah Linkin Park akan segera comeback!

Linkin Park juga akan memiliki vokalis baru Emily Armstrong dan drummer baru Colin Brittain. Mereka juga merilis single baru berjudul “The Emptiness Machine” dan akan merilis album baru berjudul From Zero pada tanggal 15 November 2024. BOOM!!!

Linkin Park’s Surprising Comeback

Linkin Park dengan Formasi Baru (Billboard)

Sudah lebih dari tujuh tahun sejak kepergian Chester Bennington. Penulis sejatinya sudah berusaha berhenti berharap kalau Linkin Park akan kembali dengan personel baru. Apalagi, Mike Shinoda juga sibuk dengan proyek solonya.

Oleh karena itu, kembalinya Linkin Park dengan personel baru merupakan hal yang benar-benar mengejutkan bagi Penulis. Tentu ini menjadi kejutan yang menyenangkan sekaligus menyentuh, karena mau tidak mau Penulis jadi teringat akan sosok Chester.

Dalam livestreaming yang dilakukan tadi pagi, Linkin Park langsung membawakan lagu barunya yang berjudul “The Emptiness Machine.” Lagu ini rupanya menjadi lagu pertama Linkin Park dengan vokalis baru, Emily Armstrong.

Penulis sendiri baru mendengar namanya kali ini. Namun, berdasarkan berbagai sumber, ia adalah vokalis dari sebuah band bernama Dead Sara. Suaranya memang nge-rock, mungkin analoginya sedikit mirip dengan tipe vokal Tantri dari Kotak.

Di lagu baru Linkin Park, bisa dibilang kualitas suara Emily cukup gokil dengan scream-scream yang ia lakukan. Sayangnya, ketika menyanyikan lagu-lagu lama Linkin Park, ia tampak kewalahan dan beberapa kali kehilangan suara. Vokal Chester memang seistimewa itu.

Selain Emily, ada produser One Ok Rock, Colin Brittain, yang akan menggantikan Rob Bourdon sebagai drummer. Penulis benar-benar terkejut ketika mengetahui Rob memutuskan untuk keluar dari band.

“Rob pernah berkata kepada kami pada suatu saat, saya kira beberapa tahun yang lalu, bahwa dia ingin memberi jarak antara dirinya dan band. Dan kami memahami hal itu – hal itu sudah terlihat jelas. Dia mulai jarang muncul, jarang berhubungan, dan saya tahu para penggemar juga menyadarinya,” ungkap Mike dalam satu wawancara.

Banyak spekulasi yang beredar di antara penggemar mengenai alasan sebenarnya mengapa Rob memutuskan untuk meninggalkan band sebesar Linkin Park. Alasan paling populer adalah ia tak ingin bermain sebagai Linkin Park tanpa sosok Chester.

Terlepas dari bergabungnya dua anggota baru, anggota lama lainnya tetap sama. Mike Shinoda sebagai gitaris/vokalis/pianis, Brad Delson sebagai gitaris, Dave “Phoenix” Farrel sebagai bassist, dan Joe Hahn sebagai turntablist.

Menatap Era Baru Linkin Park Bersama Emily Armstrong

Mungkin ini bias karena Penulis merupakan penggemar berat Linkin Park. Namun, bagi Penulis Linkin Park adalah salah satu band rock terbesar di dunia. Kembali mengorbitnya band ini di dunia musik tentu menjadi hal yang telah lama diidam-idamkan oleh penggemarnya.

Namun, Penulis dan para penggemar tentu harus menyadari bahwa kehadiran Emily bukan sebagai pengganti Chester, melainkan sebagai penerusnya. Posisi Chester jelas tak tergantikan, sehingga yang bisa Linkin Park lakukan adalah meneruskan legasinya.

Kalau mau dianalogikan, mungkin mirip dengan kasus Dewa yang sempat berganti vokalis dari Ari Lasso ke Once. Secara vokal, keduanya memiliki nuansa yang berbeda, di mana suara Once lebih nge-rock dibandingkan Ari Lasso. Namun, Dewa tetap bisa sukses siapapun vokalisnya, dan rasanya Linkin Park juga bisa seperti itu.

Jujur, Penulis tidak terlalu terkejut apabila Emily tak mampu bernyanyi seperti Chester. Akan tetapi, Penulis tak mengira kalau ia sampai kehilangan suaranya di beberapa lagu karena suaranya tidak sampai. Entah berapa kali ia arahkan mic-nya ke penonton karena hal ini.

Sebenarnya ini sudah sempat terlihat di konser peringatan kematian Chester beberapa tahun lalu. Konser tersebut mengundang banyak vokalis band rock untuk mengisi posisi Chester, mulai dari M. Shadow (Avenged Sevenfold), Taka (One Ok Rock), hingga Deryck Whibley (Sum 41).

Namun, mau sehebat apa pun kualitas orang lain, benar-benar tidak ada yang bisa bernyanyi untuk Linkin Park sehebat Chester. Bisa jadi, keputusan Linkin Park menggandeng vokalis perempuan adalah karena ingin menghindari perbandingan-perbandingan seperti ini.

Dengan menggandeng vokalis perempuan, yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh Penulis, Linkin Park seolah ingin menegaskan kalau mereka akan memasuki era baru. Sekali lagi, Emily bukanlah pengganti Chester, melainkan penerusnya.

Mau Dibawa ke Mana Linkin Park?

Album From Zero dari Linkin Park (Wikipedia)

Mendengarkan lagu “The Emptiness Machine,” tampaknya Linkin Park akan mengambil jalur rock seperti di album-album sebelum One More Light. Bagi Penulis, lagu tersebut akan cocok jika dimasukan ke dalam album The Hunting Party.

Ini tentu kabar gembira untuk Penulis, yang memang menyukai Linkin Park karena lagu-lagu rock yang dipenuhi dengan scream. Emily rasanya mampu menghadirkan hal tersebut dengan kemampuan scream-nya yang cukup oke.

Penulis tidak akan protes apabila musikalitas Linkin Park sedikit bergeser untuk menyesuaikan vokal Emily. Seperti kata Mike pada acara React di YouTube, musik Linkin Park selalu berevolusi dan mereka tak takut untuk melakukan eksperimen.

Meskipun “The Emptiness Machine” tak terdengar sebagai sebuah eksperimen baru, bagi Penulis hal itu wajar mengingat mereka sudah lama vakum. Sebagai langkah pertama, mungkin mereka ingin mencoba formula-formula lama, tapi dengan vokal yang benar-benar baru.

Selain itu, dari single tersebut, Penulis bisa sedikit merasa tenang karena Linkin Park masih berada di “jalurnya” sebagai band rock. Penulis sempat khawatir mereka akan beralih genre seperti yang terjadi pada 30 Seconds to Mars atau bahkan berubah menjadi seperti Fort Minor.

Tentu kita tidak bisa menilai arah era baru Linkin Park hanya dari satu lagu yang baru dirilis. Oleh karena itu, Penulis tak sabar untuk mendengarkan album From Zero yang akan rilis pada tanggal 15 November 2024 mendatang, yang menjadi penanda bahwa era baru Linkin Park telah dimulai.


Lawang, 6 September 2024, teinspirasi setelah mengetahui Linkin Park telah memilih penerus Chester Bennington

Foto Featured Image: Los Angeles Times

Sumber Artikel:

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan