Politik & Negara
Monopoli Kebenaran
Di setiap rezim yang berkuasa, pasti selalu ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bahkan, era Suharto yang otoriter pun kita masih bisa menikmati pembangunan yang cukup melejit.
Ada cukup banyak variasi “kejahatan” yang bisa dilakukan oleh rezim. Penangkapan musuh politik, korupsi berjamaah, dinasti politik, oligarki kekuasaan, pemberendelan media massa, dan masih banyak lagi lainnya.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, ada satu bentuk “kejahatan” lain yang menurut Penulis cukup berbahaya: Monopoli Kebenaran.
Monopoli Kebenaran Era Orde Baru
Jika berkaca pada masa Orde Baru, pemerintah bisa dibilang berusaha melakukan tipe kejahatan ini. Media massa yang menyerang pemerintah akan segera dibereskan oleh Menteri Penerangan. Entah sudah berapa media yang mereka tutup selama berkuasa.
Tidak hanya itu, acara televisi pun juga dikuasai. Penulis masih ingat samar-samar, dulu semua acara berita dimonopoli oleh acara milik TVRI, Dunia Dalam Berita. Acara tersebut juga muncul di televisi swasta, seolah mereka tidak boleh punya acara berita sendiri.
Monopoli kebenaran dilakukan sebagai upaya untuk mencitrakan diri menjadi sebaik mungkin sekaligus sebagai pelanggeng kekuasaan. Masyarakat yang tidak memiliki banyak opsi mau tidak mau harus menelan informasi yang disodorkan oleh pemerintah.
Banyak masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis, tidak mau dibodohi. Mereka lantas bersuara, berupaya untuk menyuarakan kebenaran yang sebenarnya walau harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Entah berapa banyak orang yang tewas, ditahan, atau hilang tanpa jejak di era Suharto. Novel Laut Bercerita bisa memberikan ilustrasi bagaimana hilangnya korban memberikan luka traumatis kepada keluarga.
Reformasi mengubah banyak hal. Media-media yang diberendel kembali diberi izin. Media massa mulai berani bersuara lantang, bahkan dengan berita yang menyerang ke arah presiden secara langsung.
Pertanyaannya, apakah benar monopoli kebenaran telah berhenti?
Monopoli Kebenaran di Era Sekarang
Media massa memang bisa bebas bersuara hingga sekarang. Hampir tidak pernah terdengar pemberendelan media hanya karena memberikan kritik kepada pemerintah.
Hanya saja, Penulis merasa beberapa media massa mulai kehilangan ideologinya sebagai penyampai kabar. Beberapa media massa hanya menjadi alat bagi sang pemilik untuk memenuhi kepentingannya.
Bisa dihitung, ada berapa pemimpin partai politik (parpol) yang juga menjadi pemilik media? Atau berapa pemimpin media massa yang menjalin hubungan khusus dengan pihak yang berkuasa?
Jika media sudah dikuasai oleh segelintir orang (baca: oligarki), Penulis sedikit pesimis bahwa berita yang disampaikan bisa bersifat netral dan tidak berpihak. Secara logika, mereka pasti akan melindungi kepentingannya sendiri.
Gampangnya begini. Seandainya ada anggota mereka yang tersandung kasus korupsi, pasti pemberitaannya sedikit atau tidak ada sama sekali. Tapi kalau anggota partai lain, apalagi yang oposisi, pasti akan diberitakan berhari-hari.
Ada sebuah quote menarik yang cocok untuk menggambarkan kondisi ini:
Whoever controls the media, controls the mind.
Jim Morrison
Siapapun yang menguasai media, mereka bisa menguasai banyak orang. Berita, apapun bentuknya, masih menjadi sumber utama masyarakat untuk mengetahui apa yang tengah terjadi.
Tidak semua orang memiliki sifat kritis terhadap berita, sehingga masih ada yang menelannya mentah-mentah. Akibatnya, polarisasi masyarakat pun terus terjadi. Kehadiran media sosial memperparah fenomena ini.
Monopoli Kebenaran di Media Sosial
Di tengah isu media massa yang dikuasai oleh pemerintah atau kelompok tertentu, media sosial (medsos) seolah muncul menjadi oase bagi mereka yang ingin mendapatkan berita atau informasi dari sisi lain.
Mereka yang sudah tidak percaya dengan media massa akan beralih ke media sosial yang “katanya” lebih terpercaya. Entah itu dari pos Facebook, tweet di Twitter, forward message di WhatsApp, rasanya semua itu lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan berita dari media mainstream.
Ini juga tidak benar. Ini juga bentuk dari monopoli kebenaran dari pihak lain.
Pemerintah atau orang-orang berkepentingan memang berusaha untuk mengendalikan berita yang terbit di media massa. Mereka juga berusaha mengendalikan opini di media sosial dengan berbagai cara, entah melalui buzzer, UU ITE, dan cara-cara lainnya.
Hanya saja, apa yang berseberangan dengan mereka juga belum tentu benar. Segala sesuatu di media sosial perlu dipertanyakan validitasnya. Dari masa sumbernya? Apakah bisa dipertanggungjawabkan? Apakah sudah dicek kebenarannya?
Media sosial telah berevolusi menjadi alat propaganda yang bersifat provokatif. Manusia pada dasarnya adalah tipe orang yang mudah dimanfaatkan emosinya. Jika ada pos atau berita yang membuat mereka terlibat atau terasa dekat secara emosional, orang akan jadi mudah percaya.
***
Monopoli kebenaran sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun, entah ia pihak yang sedang berkuasa atau oposisi yang hendak menjatuhkannya. Memang yang berkuasa terlihat lebih mudah melakukannya, tapi bukan berarti yang berseberangan tidak melakukannya juga.
Kita sebagai masyarakat di era modern dituntut untuk lebih bisa kritis dan bijak dalam menyikapi suatu informasi yang menghampiri kita, dari mana pun sumbernya. Mau kita pihak yang pro atau kontra dengan pemerintah, biasakan untuk melakukan check and recheck.
Jika kita bisa bersikap demikian, kita pun menjadi tidak mudah untuk diprovokasi dan dipolarisasi. Kita bisa memilah mana berita yang benar, meskipun ada pihak-pihak yang berusaha untuk memonopoli kebenaran.
Lawang, 12 Juni 2021, terinspirasi dengan banyaknya pihak yang berusaha melakukan monopoli kebenaran
Foto: Wallpaper Cave
Politik & Negara
Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo
Belakangan ini, berita seputar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara relatif sepi. Tak banyak hal baru yang diulas oleh media, seolah tak ada update menarik. Pengerjaan proyek di sana tetap berlanjut dalam senyap.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat sudah lama digembar-gemborkan kalau ibu kota akan segera pindah dalam waktu dekat. Namun, Joko Widodo (Jokowi) hingga masa akhir jabatannya belum menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) untuk hal tersebut.
Dengan demikian, presiden terpilih Prabowo Subianto-lah yang mendapatkan tanggung jawab untuk membuat Keppres tersebut. Mengingat beliau telah menyatakan akan melanjutkan pembangunan IKN, rasanya hal tersebut tinggal menunggu waktu saja.
Menyorot IKN yang Problematik
Sudah Bermasalah Sejak Awal (Kompas)
Pada dasarnya, Penulis menyetujui ide untuk memindahkan ibu kota Indonesia keluar pulau Jawa, agar negara ini bisa mengurangi Jawasentrisnya. Selain itu, menghindari bencana alam seperti banjir dan pemerataan ekonomi menjadi alasan lainnya.
Namun, pada pelaksanaannya, ada banyak masalah yang disorot oleh berbagai pihak. Sejak hari pertama pengumumannya, menurut Penulis IKN ini sudah cukup bermasalah dan masalah tersebut terus bertambah setiap harinya.
Jokowi “meminta izin” untuk memindahkan ibu kota pada tanggal 16 Agustus 2019, setelah ia memastikan akan melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Anehnya, agenda pemindahan ibu kota tidak ada dalam agenda kampanyenya.
Mega project ini pun tiba-tiba dimulai begitu saja. Logikanya, jika ini memang hal yang begitu penting dan dibutuhkan oleh masyarakat, mengapa tidak pernah disebutkan sekalipun dalam kampanyenya?
IKN pun mendapat stigma negatif sebagai ambisi Jokowi untuk menorehkan namanya dalam sejarah, sebagai presiden yang berhasil memindahkan ibu kota negara. Dalam kondisi ekonomi yang tidak sepenuhnya sehat, Jokowi seolah memaksakan keinginannya tersebut.
Setelah itu, masalah pun muncul satu demi satu. Yang paling Penulis sorot adalah tingginya konflik agraria dan perusakan lingkungan dalam pembangunan IKN. Entah sudah berapa yang sudah menjadi korban. Bahkan, untuk sekadar mendapatkan air bersih pun kesulitan.
Ironinya, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun untuk menarik investor. Kebijakan ini sempat mendapatkan sorotan karena durasinya yang sangat panjang, bahkan lebih lama dari perjanjian zaman kolonial yang “hanya” mendapatkan jatah 75 tahun.
Sudah mengeluarkan kebijakan seperti itu, investor pun tetap sulit didapatkan. Hingga tulisan ini diterbitkan, masih belum jelas seberapa banyak investor, terutama dari asing, yang benar-benar telah mengeluarkan uang untuk pembangunan di IKN.
Selain itu, alasan pemerataan ekonomi kerap dianggap kurang masuk akal. Apalagi, muncul kesan elitisme karena adanya aturan yang membatasi masyarakat yang bisa tinggal di dalam IKN. Analoginya, masyarakat biasa tidak boleh tinggal di daerah Jakarta Pusat.
Sudah dibuat seperti itu pun, para elit politik yang memegang jabatan di pemerintahan berkali-kali menunjukkan keengganan untuk pindah ke IKN. Jika mereka enggan pindah, lantas buat apa membangun ibu kota baru yang sudah menghabiskan anggaran negara sekitar Rp72,1 triliun?
Penjabaran di atas rasanya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa harus diakui pembangunan IKN ini cukup problematik. Jika Prabowo ingin meneruskan pembangunan IKN, tentu harus ada gebrakan-gebrakan agar bisa terus dilanjutkan.
Menatap Masa Depan IKN di Bawah Kepemimpinan Prabowo
Prabowo Ketika Mengumumkan Kenaikan Gaji Guru (Jawa Pos)
Sejak masa-masa pemilihan presiden (pilpres), Prabowo sudah mengampanyekan berbagai program yang cukup menguras anggaran. Yang paling terlihat tentu saja program makan siang gratis, yang tampaknya sedang serius direalisasikan.
Selain itu, belum lama ini Prabowo juga meneken keputusan untuk menaikkan gaji guru-guru se-Indonesia, yang tentu juga membutuhkan anggaran. Lantas, apakah masih ada anggaran untuk membangun IKN, terlebih jika investor belum ada yang masuk?
Masalahnya, jika negara kekurangan uang, maka yang akan menjadi korban adalah rakyat. Meskipun kenaikan PPN 12% diumumkan akan ditunda sementara waktu, bukan berarti kita akan terbebas dari berbagai jenis tarikan yang jelas merugikan kita.
Dalam tulisan “Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet”, Penulis pernah menjelaskan bahwa ke depannya masyarakat kelas menengah akan terus diperas melalui berbagai jalur. Tentu sulit untuk tidak berpikir hal ini dilakukan karena pemerintah sedang membutuhkan uang.
Sedihnya, ketika masyrakat kelas menengah terus diperas, masyarakat kelas atas justru bisa menikmati Tax Amnesty. Bagi Penulis, hal ini terasa sangat tidak adil. Pemerintah harus hati-hati dengan permainan pajak ini, karena banyak kasus revolusi di suatu negara terjadi karena rakyatnya merasa tertekan dengan pajak yang tak masuk akal.
Semoga saja Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo bisa lebih bijak dalam mengelola keuangan negara. Jika memang tidak memungkinkan, menunda pembangunan IKN bukanlah hal yang memalukan, apalagi jika memang ada kebutuhan lain yang lebih urgent.
Melanjutkan pembangunan pun silakan saja, asal uangnya ada dan bukan berasal dari hasil memeras rakyat kecil. Kalau mau galak, silakan palak saja orang-orang kaya yang abai dalam membayar pajak, bukannya justru diberi Tax Amnesty.
Penulis yakin jika IKN memang dibangun untuk kemakmuran rakyat, pasti banyak masyarakat yang akan mendukung. Namun, jika dalam proses pembangunannya saja sudah banyak masalah dan ketidakadilan, tentu akan menimbulkan banyak kekhawatiran.
Lawang, 30 November 2024, terinspirasi setelah ingin menyelesaikan draft artikel ini yang tak selesai-selesai
Sumber Featured Image: Jawa Pos
Politik & Negara
Menatap 5 Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih
Setelah dinanti-nanti, akhirnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia untuk periode 2024 – 2029 pada hari Minggu (20/10) kemarin, mengakhiri era Joko Widodo yang menjadi presiden periode 2014 – 2024.
Jelang pelantikannya, isu-isu mengenai siapa saja yang ditunjuk untuk menjadi menteri di kabinet Prabowo-Gibran sudah banyak bermunculan. Ada yang terdengar ngawur (seperti Rocky Gerung dan Anies Baswedan yang katanya akan gabung), ada yang akurat.
Pengumuman daftar menteri ini pun datang di hari yang sama dengan pelantikan Prabowo-Gibran. Bernama Kabinet Merah Putih, ini akan menjadi salah satu kabinet paling gemuk dalam sejarah Indonesia.
Kabinet Merah Putih yang Gemuk
Alasan mengapa Kabinet Merah Putih bisa gemuk adalah karena disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara oleh Joko Widodo hanya beberapa hari sebelum ia lengser.
Sebelum UU ini disahkan, memang telah santer terdengar kalau Prabowo akan memiliki 100 menteri seperti pada era Sukarno dulu. Untungnya, jumlah kementerian yang dibuat oleh Prabowo pada akhirnya tidak mencapai 100, tapi tetap bertambah secara signifikan.
Tentu ada banyak alasan normatif yang melatarbelakangi keputusan tersebut, seperti memang adanya pos-pos kementerian yang terlalu luas scope-nya hingga masalah fleksibilitas yang dimiliki oleh presiden.
Namun, tentu ada suara miring yang mengiringi keputusan ini, seperti agar pembagian “kue” bisa dilakukan lebih merata di antara elit politik. Apalagi, terbukti bahwa jumlah menteri yang dimiliki Prabowo mencapai 48 kementerian, bertambah 14 pos dari era Joko Widodo.
Perlu diingat kalau itu baru jumlah menterinya saja, karena masih ada banyak posisi-posisi yang hampir selevel dengan menteri seperti wakil menteri. Melansir dari Bisnis.com, total ada 136 orang dengan rincian sebagai berikut:
- 48 menteri (terdiri dari 7 menteri koordinator dan 41 menteri teknis)
- 5 orang kepala lembaga
- 56 orang wakil menteri (satu kementerian bisa memiliki lebih dari satu wakil menteri, seperti Kementerian Keuangan dengan tiga wakil menteri)
- 1 orang kepala dewan
- 26 orang lainnya, termasuk Staf Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, dan Ketua Mahkamah Agung
Penulis tidak akan merinci siapa saja yang masuk ke dalam daftar tersebut, Pembaca bisa langsung mengaksesnya di situs Sekretariat Negara. Penulis hanya akan sedikit membahas beberapa orang yang ada di dalam kabinet ini.
Berbincang Mengenai Beberapa Menteri di Kabinet Merah Putih
Dalam kabinet yang disusun oleh Prabowo dan Gibran, ada beberapa pola yang bisa kita temukan. Ada nama lama yang tetap pada posisinya, ada nama lama yang bergeser posisinya, ada nama yang benar-benar baru.
Melansir dari Kompas, ada 12 menteri Jokowi yang tetap menempati pos yang sama dengan periode sebelumnya. Contohnya adalah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lalu, ada empat nama menteri lama yang digeser untuk menempati posisi lain. Contoh paling terlihat adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, yang selama menjabat kerap mengundang kontroversi, kini akan menjadi Menteri Koperasi.
Tentu Prabowo-Gibran memiliki pertimbangannya sendiri untuk memilih mereka tetap bertahan di kabinet. Mungkin karena dianggap mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, mungkin karena ingin melanjutkan program-program dari periode sebelumnya, mungkin karena “titipan”, ada banyak kemungkinannya.
Nah, selain 16 nama tersebut, bisa dibilang mereka semua adalah orang baru yang pada periode sebelumnya tidak menjabat sebagai menteri, seperti Fadli Zon (Menteri Kebudayaan) dan Maruarar Sirait (Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman).
Bahkan, ada juga mantan lawan Prabowo-Gibran di pemilu presiden (pilpres) 2024, yakni Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Ini memperpanjang “rekor” Cak Imin (dan PKB) yang selalu berada di pihak pemerintah selama 20 tahun terakhir.
Sebagai catatan, ada juga yang dulu sekali pernah menjadi menteri, dan kini kembali menjadi menteri, seperti Yusril Ihza Mahendra. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal menarik lainnya adalah banyaknya nama public figure yang berhasil masuk ke dalam lingkaran istana. Contohnya adalah Giring Ganesha (Wakil Menteri Kebudayaan) dan Taufik Hidayat (Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga).
Tak hanya itu, ada juga Raffi Ahmad (Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni), Gus Miftah (Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan), hingga Yovie Widianto (Staf Khusus Presiden).
Menatap Lima Tahun ke Depan Bersama Kabinet Merah Putih
Tentu terlalu dini untuk menghakimi kinerja para menteri Kabinet Merah Putih. Lha mong mereka saja masih mendapatkan “pembekalan” dari Prabowo dan dikirim ke Magelang. Perlu diakui kalau langkah tersebut cukup menarik karena rasanya belum pernah dilakukan sebelumnya.
Namun, sebagai masyarakat Indonesia, baik yang kemarin waktu pilpres memilih Prabowo-Gibran maupun tidak, tentu kita menaruh harap kepada nama-nama yang masuk ke dalam kabinet Prabowo-Gibran agar bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Penulis pribadi memberikan perhatian khusus kepada pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian, yakni menjadi:
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dipimpin oleh Abdul Mu’ti
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), dipimpin oleh Satryo Soemantri Brojonegoro
- Kementerian Kebudayaan, dipimpin oleh Fadli Zon
Seperti yang kita tahu, pendidikan Indonesia selama era Joko Widodo kerap mendapat kritikan, mulai dari masalah zonasi hingga kurikulum Merdeka. Belum lagi masalah viralnya pelajar Indonesia yang tidak bisa menjawab pertanyaan seputar pengetahuan dasar.
Penulis sedikit optimis dengan penunjukkan Abdul Mu’ti sebagai Kemendikdasmen, mengingat latar belakang beliau yang memang dari dunia pendidikan. Semoga saja para menteri yang baru bisa memperbaiki berbagai masalah pendidikan bangsa kita.
Untuk pos-pos kementerian yang lain, Penulis belum mau berkomentar banyak. Memang ada beberapa nama yang cukup bikin was-was, tapi tak sedikit yang bisa menumbuhkan optimisme. Sekali lagi, sekarang masih terlalu dini untuk menilai mereka.
Yang jelas, terlepas dari perbedaan kita di pilpres 2024 kemarin, marilah kita sama-sama berdoa dan berhadap kalau Prabowo-Gibran bersama kabinetnya bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Lawang, 24 Oktober 2024, terinspirasi setelah melihat pengumuman daftar menteri yang bergabung ke dalam Kabinet Merah Putih
Foto Featured Image: Detik
Sumber Artikel:
- Presiden Joko Widodo Sahkan UU 61/2024 tentang Perubahan UU 39/2008 tentang Kementerian Negara – setkab.co.id
- Terlengkap! Daftar 136 Menteri hingga Utusan Khusus Kabinet Prabowo: Sri Mulyani, AHY, Raffi Ahmad – bisnis.com
- Daftar Menteri era Jokowi yang Masuk Kabinet Merah Putih Prabowo – Kompas
- Kemendikbudristek Dipecah Jadi 3, Para Menteri Baru Akan Berkantor Di Mana? – Detik
Politik & Negara
Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet
Dalam pemilihan presiden (pilpres) yang telah berlangsung beberapa waktu lalu, ada salah satu tim dari pasangan calon (paslon) yang mengatakan ingin memperhatikan nasib kelas menengah, yang selama ini terkesan selalu berjuang sendirian.
Penulis menyukai gagasan tersebut karena merasa dirinya termasuk ke dalam kelas tersebut, setidaknya menurut definisi Penulis sendiri. Versi Penulis, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang tidak cukup miskin untuk dapat bantuan, tapi tidak cukup kaya hingga mendapatkan insentif.
Sayangnya, paslon tersebut tidak berhasil memenangkan pilpres dan Penulis pun jadi merasa was-was dengan masa depannya sebagai kelas menengah. Apalagi, belakangan ini banyak peraturan-peraturan baru yang semakin menekan kelas menengah.
Memahami Kelas Menengah di Indonesia
Tentu definisi yang Penulis gunakan di paragraf pembuka adalah versi dangkal yang sangat disederhanakan. Ada banyak definisi yang lebih bisa dipercaya, contohnya adalah versi Merriam-Webster berikut ini:
Kelas sosial yang menempati posisi antara kelas atas dan kelas bawah dan sebagian besar terdiri dari para pebisnis dan profesional, pejabat pemerintah, petani, dan pekerja terampil
Kalau di Indonesia, kelas menengah diklasifikasikan masyarakat yang memiliki upah antara Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulannya. Bisa dilihat, range untuk masuk kelas ini cukup luas sehingga sebenarnya tak bisa disamaratakan. Dua juta ke 10 juta itu jaraknya 8 juta, loh.
Di tahun 2024 ini, ada sekitar 43,85 juta masyarakat yang masuk ke dalam kategori kelas menengah. Jika jumlah penduduk Indonesia dibulatkan menjadi 250 juta jiwa, maka kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 17%.
Jumlah tersebut terjadi karena adanya penurunan kelas menengah yang cukup tinggi. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 9,5 juta kelas menengah yang harus turun kelas ke “calon kelas menengah” atau bahkan masuk “kelas rentan miskin.”
Sebagai perbandingan, jumlah masyarakat “calon kelas menengah” di Indonesia saat ini mencapai 137,5 juta atau lebih dari setengah penduduk Indonesia. Angka ini berpotensi akan bertambah karena ada prediksi bahwa sebanyak 2% masyarakat kelas menengah akan turun kelas pada tahun 2025 mendatang.
Mengapa Kelas Menengah di Indonesia Semakin Menurun?
Salah satu bukti penurunan jumlah kelas menengah ini bisa dilihat melalui penurunan transaksi menggunakan QRIS dalam periode Juni hingga Agustus 2024. Memang ini hanya satu parameter kecil saja, tapi cukup mencerminkan penurunan daya beli masyarakat pada umumnya, mengingat pengguna QRIS kebanyakan dari kelas menengah.
Jumlah gaji yang cukup ngepres alias pas-pasan tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup yang terus bertambah. Kita tidak sedang membicarakan gaya hidup masyarakat hedon, ini sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mari kita gunakan data. Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2022, rata-rata biaya standar rumah tangga di Jakarta mencapai Rp14,8 juta. Tahu berapa Upah Minimum Regional (UMR) di (calon mantan) ibukota? Rp4,6 juta saja. Jika suami-istri punya gaji UMR pun belum cukup untuk hidup ideal di Jakarta.
Dengan contoh tersebut, tak heran banyak masyarakat yang jadi menggantungkan hidupnya dengan pinjaman online maupun PayLater. Belum lagi diperparah adanya kegemaran untuk mengundi nasib lewat judi online, dengan harapan bisa mendapatkan cuan tambahan.
Mungkin ada pembelaan karena dalam lima tahun terakhir kita bergulat dengan pandemi Covid-19. Namun, rasanya bukan itu saja penyebabnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah juga memiliki andil atas makin terhimpitnya kelas menengah.
Kebijakan Pemerintah yang Makin Menekan Kelas Menengah
Salah satu wacana paling konyol yang menekan kelas menengah adalah penerapan subsidi KRL berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Artinya, masyarakat yang dianggap kurang miskin tidak akan boleh menikmati fasilitas subsidi ketika naik transportasi umum.
Di sisi lain, orang-orang kaya yang ingin membeli mobil listrik justru mendapatkan subsidi. Mana ada orang kelas menengah (apalagi masyarakat miskin) kepikiran untuk membeli mobil listrik? Padahal, terjangkaunya fasilitas transportasi umum menjadi kunci untuk mengurai kemacetan sekaligus mengurangi polusi udara.
Sudah transportasi umumnya mau dicabut subsidinya, mau naik kendaraan pribadi pun semakin dipersulit karena tidak boleh membeli Pertalite atau Solar. Agar lebih tepat sasaran, pemerintah, seolah kelas menengah dianggap selalu mampu membeli bahan bakar yang lebih mahal.
Gaji kelas menengah yang pas-pasan tadi semakin terasa sedikit karena adanya wacana iuran tambahan dana pensiun. Padahal, selama ini potongan gaji kita sudah diambil untuk Jaminan Hari Tua (JHT) msupun BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
Jangan lupakan kalau Pajak Pertambahan Negara (PPN) akan bertambah menjadi 12% mulai bulan Januari 2025 dengan alasan “masyarakat menyetujui keberlanjutan.” Padahal, PPN baru naik pada tahun 2022 lalu dari 10% menjadi 11% yang sudah cukup memberatkan.
Jangan lupa ada wacana potongan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3% yang dikabarkan akan diberlakukan mulai tahun 2027. Ingat, tidak semua yang membayar iuran Tapera bisa menggunakan uangnya untuk membeli rumah!
Belum lagi harga sembako yang konsisten naik, harga rumah yang terus meroket, biaya pendidikan semakin mahal, membuat kehidupan kaum menengah menjadi semakin sulit dan seolah tidak menjadi perhatian pemerintah. Kita seolah disuruh terus berjuang sendirian.
Negara yang Seolah Tak Memedulikan Kelas Menengah
Kesannya, negara sedang memalak rakyatnya sendiri karena butuh dana tambahan untuk mendanai proyek-proyek mercusuarnya seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Belum lagi jika nanti program makan siang gratis benar-benar diberlakukan, yang pastinya akan memakan anggaran lebih besar lagi.
Mau berjuang untuk bertahan hidup pun tak mudah karena lapangan pekerjaan rasanya semakin sulit untuk diraih. Jumlah lowongan yang tersedia tak sebanding dengan jumlah calon pekerja yang membutuhkan pekerjaan. Entah ke mana 10 juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan 10 tahun yang lalu.
Bukannya bertambah, beberapa sektor industri justru harus melakukan pengurangan jumlah karyawan dengan melakukan PHK. Penulis mengalami sendiri hal ini di tempatnya kerja, di mana ada pengurangan karyawan dengan tujuan efisiensi biaya.
Padahal di satu sisi, katanya negara sedang menggalakkan hiliriasi sumber daya kita untuk kemakmuran rakyatnya. Kita bisa melihat bagaimana program ini begitu dibangga-banggakan ketika debat calon presiden dan wakil presiden kemarin.
Namun, mengapa hingga hari ini kita belum merasakan dampaknya secara langsung? Apakah memang program tersebut hanya untuk kemakmuran rakyat tertentu saja? Jika disuruh bersabar karena masih proses, mau disuruh bersabar sampai kapan?
Pemberian bantuan sosial (bansos) hanya berlaku untuk masyarakat miskin. Namun, itu pun bukan solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan. Apalagi, kelas menengah sama sekali dianggap tidak layak untuk mendapatkan bantuan walaupun sebenarnya kita masih membutuhkannya.
Seharusnya, pemerintah mampu memberikan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan struktural seperti ini agar jumlah tidak bertambah setiap tahunnya. Memberi kail dan jala pada rakyatnya, bukan sekadar ikan yang langsung dimakan.
***
Kelas menengah adalah salah satu penggerak roda perekomian negara. Menurunnya jumlah masyarakat kelas menengah biasanya dibarengi dengan penurunan daya beli masyarakat, yang tentunya akan memacetkan roda perekonomian.
Gaji kita dipotong untuk ini itu setiap bulannya, walau memang harus diakui ada yang manfaatnya bisa langsung kita rasakan seperti BPJS Kesehatan. Hampir semua barang yang kita beli dikenai pajak, hingga muncul anekdot kalau suatu saat menghirup oksigen pun akan dikenai pajak.
Masyarakat menengah dianggap tidak berhak untuk mendapatkan subsidi, padahal kita butuh berhemat karena gaji yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menengah dianggap mampu berdikari di tengah kebijakan pemerintah yang makin menekan.
Jika kelas menengah terus diperah bagaikan sapi seperti ini, bukan tidak mungkin kalau masalah perekonomian negara kita akan semakin berat dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin pun semakin lebar di masa depan.
Lawang, 17 September 2024, terinspirasi setelah dirinya merasa makin tergencet dengan berbagai keputusan dari pemerintah
Foto Featured Image: The Jakarta Post
Sumber Artikel:
- Kelas Menengah Kian Terimpit Beban Ekonomi – BBC
- Kelas Menengah RI Hidupnya Makin Susah Buktinya Ada di QRIS – CNBC
- Masyarakat Kelas Menengah Turun Kasta, Ketahanan Ekonomi RI Jadi Taruhan – Bisnis.com
- Jumlah Kelas Menengah Diprediksi Turun 2% pada 2025 – Kontan
- Kelas Menengah di Indonesia, Tantangan Ekonomi dan Upaya Pulihkan Potensinya – VIVA Malang
- Pakar Unair Buka-bukaan Alasan Jumlah Kelas Menengah Indonesia Turun
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Anime & Komik5 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Film & Serial4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Menonton Deadpool & Wolverine
-
Film & Serial3 bulan ago
Gara-Gara Black Myth: Wukong, Saya Jadi Rewatch Kera Sakti
-
Olahraga5 bulan ago
Dua Drama di Dua Pertandingan Euro 2024 yang Membosankan
-
Permainan3 bulan ago
Koleksi Board Game #22: Chinatown
-
Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar
You must be logged in to post a comment Login