Anime & Komik
Kecemasan Sosial ala Komi Can’t Communicate
Sudah agak lama tidak menonton anime, Penulis memutuskan mencoba untuk menontonnya lagi untuk mengisi waktu luang. Genre yang Penulis pilih tetap seperti biasa, comedy-romance yang ceritanya santai dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Salah satu rekan kantor Penulis pernah memberikan saran sebuah anime yang berjudul Komi-san wa, Comyushou desu atau Komi Can’t Communicate. Dari premisnya, Penulis mengetahui kalau ceritanya berpusat pada seseorang yang mengalami kecemasan sosial.
Karena topiknya beririsan dengan mental health, Penulis pun memutuskan untuk menonton serial anime yang satu ini. Setelah menonton, pendapat Penulis bisa dibilang cukup campur aduk.
Kecemasan Sosial yang … Berlebihan?
Anime ini dibuka melalui sudut pandang main character yang terasa seperti side character, Hitohito Tadano. Ia adalah siswa SMA Itan yang terlihat rata-rata dan tidak menonjol sama sekali, bahkan sering terkesan kalau dia mudah sekali untuk diabaikan.
Sebaliknya, teman sebangkunya Shouko Komi adalah gadis remaja yang begitu populer dan terlihat sempurna. Ia cantik, anggun, dan pintar. Semua teman sekolah begitu kagum padanya, hingga ada yang menganggapnya sebagai dewi.
Namun di balik kesempurnaannya, Komi sebenarnya memiliki masalah kecemasan sosial yang parah hingga tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain. Sekadar menyapa “hai” saja tidak sanggup. Nah, hanya Tadano-lah yang menyadari hal ini.
Setelah itu, Tadano pun jadi memahami Komi sebenarnya ingin bisa memiliki 100 teman. Ia pun bertekad untuk membantu Komi meraih impiannya tersebut dan dimulailah “petualangan” mereka!
Plot cerita di atas sebenarnya menarik dan unik karena Penulis belum pernah menemukan anime yang mengangkat masalah anxiety yang ekstrem seperti ini. Bahkan, Penulis belum pernah bertemu seseorang di dunia nyata yang memiliki kecemasan sosial separah itu.
Di animenya, selalu ada narator yang menyebutkan bahwa orang yang mengalami kecemasan sosial seperti Komi sebenarnya bukan tidak ingin bersosialisasi dengan orang lain, melainkan karena memang tidak bisa.
Tidak hanya tidak mampu untuk bercakap, Komi pun kerap gugup dan gemetar ketika berhadapan dengan orang lain. Berkat bantuan Tadano, tabiat ini bisa dikurangi meskipun ia tetap membutuhkan media buku dan alat tulis untuk bisa berkomunikasi dengan temannya.
Oleh karena itu, Penulis pun kadang merasa kalau kecemasan sosial yang dialami Komi sedikit berlebihan. Apalagi, tidak ada (atau setidaknya belum ada) latar yang kuat mengapa Komi bisa seperti itu. Apakah karena trauma di masa lalu?
Apalagi, Komi adalah gadis yang cantik. Jika hidup di dunia nyata, mungkin ia akan mudah viral di TikTok atau diangkat menjadi brand ambassador tim esports. Itu mungkin akan membantunya untuk bisa berkomunikasi lebih baik dengan orang lain.
Beberapa Teman yang Sudah Didapatkan Komi
Berkat bantuan Tadano, Komi pun perlahan bisa menjalin pertemanan dengan orang lain. Teman masa kecil Tadano yang supel, Najimi Osana, menjadi teman lain pertama Komi setelah Tadano. Sayangnya, Penulis merasa risih karena gendernya yang tidak jelas.
Selain itu, ada juga Ren Yamai yang memiliki obsesi berlebihan dan tidak sehat kepada Komi (satu lagi yang membuat Penulis merasa kurang nyaman). Karakter yandere yang dimilikinya terasa menyeramkan dan ia pun tak segan menyakiti orang yang dekat dengan Komi.
Nama-nama lain yang sering muncul dan telah menjadi teman Komi adalah Omoharu Nakanaka yang punya sindrom chuunibyo, Himiko Agari yang masokis, Makeru Yadano yang menganggap Komi sebagai rivalnya, dan masih banyak lagi karakter-karakter unik yang menjadi teman Komi.
Apakah anime ini akan tamat ketika Komi berhasil mendapatkan targetnya mendapatkan 100 teman? Bisa jadi. Pada akhirnya, mungkin Komi bisa mengatasi masalah berkomunikasinya dan akhirnya bisa melakukan percakapan kecil dengan teman-temannya tanpa bantuan alat tulis.
Selain itu, bumbu romansa antara Komi dan Tadano pun perlahan mulai terlihat. Tadano memiliki semacam inferior complex yang membuatnya tidak percaya diri dan merasa tidak pantas untuk memiliki hubungan romantis dengan perempuan secantik Komi. Sebaliknya, Komi sendiri belum yakin dengan perasaannya sendiri ke Tadano.
Apakah mereka akan berakhir menjadi sepasang kekasih? Jika melihat kebiasaan anime-anime yang pernah Penulis tonton dengan genre seperti ini, biasanya akan memiliki akhir yang menggantung dan diserahkan kepada penonton.
Penutup
Komi Can’t Communicate adalah anime yang memiliki premis menarik karena mampu mengemas masalah kecemasan sosial (yang mungkin banyak dialami oleh orang introvert) dengan tidak membosankan dan ringan. Bumbu komedi dan romance yang dimiliki tidak berlebihan dan terasa pas untuk dinikmati dengan santai.
Hanya saja, Penulis merasa risih dengan beberapa karakter yang ada di dalamnya. Anime ini berpotensi untuk memiliki lebih banyak lagi karakter karena Komi memiliki target 100 teman, sehingga Penulis harap tidak ada lagi karakter yang bisa membuat risih.
Untuk penggemar genre slice of life, anime ini jelas layak untuk dicoba. Season keduanya sedang mengudara tahun ini, jadi mungkin waktu yang tepat untuk segera maraton dari season pertamanya.
Lawang, 1 Juni 2022, terinspirasi setelah menonton anime Komi Can’t Communicate
Foto Banner: Gowapos
Anime & Komik
Saya Memutuskan untuk Mengoleksi Komik Naruto Bind Up Edition
Tak hanya Dragon Ball, Penulis juga tumbuh besar dengan seri Naruto. Bahkan, jumlah komik yang Penulis waktu kecil justru didominasi oleh manga karya Masashi Kishimoto ini, walau sempat berhenti beli karena telah membaca versi digitalnya.
Nah, belakangan ini, PT Elex Media Komputindo memutuskan untuk mencetak remake dalam bentuk Bind Up Edition. Singkatnya, ini adalah versi di mana dua komik dijadikan satu dan ukurannya pun diperbesar. Harganya per komik adalah Rp99 ribu.
Sempat menimbang-menimbang, akhirnya Penulis pun memutuskan untuk memulai mengoleksinya dari volume 1, terlepas telah memiliki beberapa komik versi aslinya. Penulis akan menjabarkan alasannya di bawah ini.
Perkenalan dengan Naruto
Awal Penulis mengenal Naruto sebenarnya cukup telat, yakni ketika duduk di bangku SMP. Penulis tahu karena teman-teman Penulis sering membicarakannya sehingga menjadi tertarik karena dunia ninja terdengar seru untuk diikuti.
Oleh karena itu, Penulis mencoba untuk mulai membeli komiknya. Di dekat rumah Penulis, kebetulan ada yang jual dengan harga murah. Waktu itu, Penulis belum paham kalau komik itu adalah komik bajakan karena kualitas gambarnya yang menyakitkan mata.
Tidak dari volume 1, Penulis langsung membeli volume 20 karena itu yang tersedia di rak. Tentu Penulis sempat bingung karena tahu-tahu ada seorang wanita menjadi seorang pemimpin desa dan karakter bernama Sasuke mengajak gelud Naruto.
Walau begitu, Penulis merasa kalau komik ini terasa seru dan membaca volume lanjutannya. Penulis masih bisa memahami kalau inti dari konfliknya adalah Sasuke yang ingin keluar desa demi mendapatkan kekuatan dari Orochimaru dan berusaha dicegah oleh Naruto dkk.
Sembari mengikuti arc tersebut, Penulis beberapa kali dijelaskan tentang awal mula cerita Naruto oleh temannya yang lebih dulu mengikutinya. Namun, tetap saja mengetahui ceritanya secara melompat-lompat membuat Penulis cukup kebingungan.
Penulis pun mencoba untuk membeli komik Naruto volume awal-awal. Anehnya, volume yang Penulis miliki terkesan acak, yakni volume 12, 15, 16, dan 17. Penulis tak ingat bagaimana bisa memilikinya, tapi komik-komik tersebut masih ada sampai sekarang.
Tak hanya itu, Penulis juga punya volume 1, 2, dan 4, karena dulu sempat berniat untuk mengoleksi komiknya secara lengkap. Namun, niat tersebut tak pernah kejadian karena waktu itu Penulis merasa lebih seru (dan lebih cepat) untuk mengikuti manga digitalnya saja.
Melengkapi Kepingan yang Hilang
Mungkin karena memiliki daya ingat yang cukup kuat, Penulis masih mengingat volume berapa saja yang pernah dimiliki. Antara volume 20 hingga 40, Penulis memiliki semua kecuali volume 22. Mulai dari volume 27, Penulis tak pernah lagi membeli komik bajakan.
Setelah volume 40, Penulis lebih sering membaca versi digitalnya. Satu-satunya komik Naruto yang Penulis miliki setelah volume tersebut adalah volume 46 dan 71. Karena konflik yang semakin memanas, Penulis pun semakin melupakan “masa lalu” Naruto di volume-volume awal.
Itulah salah satu alasan Penulis memutuskan untuk mengoleksi komik Naruto Bind Up Edition: karena ada banyak kisah Naruto yang belum pernah Penulis ketahui. Apalagi, Penulis hampir tidak pernah menonton serial animenya.
Kehadiran Bind Up Edition ini seolah menjadi momentum yang pas untuk melengkapi kepingan yang hilang seputar Naruto. Walau edisi ini benar-benar hanya menggabungkan dua volume menjadi satu, Penulis merasa tidak rugi untuk membelinya.
Apalagi, cerita-cerita yang dulu Penulis abaikan karena dirasa akan membosankan ternyata seru. “Chūnin Exams Arc” sejak awal ternyata sudah terasa seru. Penulis juga jadi mengetahui secara lengkap bagaimana Orochimaru meninggalkan segel di leher Sasuke.
Selain itu, dengan membaca secara runtun, alasan Sasuke memutuskan untuk meninggalkan desa dan pergi ke tempat Orochimaru menjadi masuk akal. Penulis akan membahas topik ini secara detail di tulisan lain.
Hal lain seputar Naruto yang baru Penulis ketahui setelah mulai mengoleksi Bind Up Edition adalah bagaimana pertemuan pertama Naruto dengan Jiraiya, bagaimana Gaara hampir mengakhiri karier ninja Rock Lee, dan masih banyak lagi lainnya.
Upaya Penebusan Dosa
Hingga artikel ini ditulis, sudah ada 10 volume yang dirilis. Artinya, seri ini telah sampai di komik Naruto pertama yang Penulis baca. Berhubung dulu membaca versi bajakannya, membaca versi aslinya dengan kualitas gambar yang bagus jelas memuaskan.
Selain itu, Penulis juga menganggap koleksi ini sebagai upaya “penebusan dosa” karena dulu membaca versi bajakannya. Waktu itu, dengan polosnya Penulis menganggap kalau memang ada versi murah dari sebuah komik, makanya kualitasnya jelek.
Dengan mulai mengoleksi dari awal, Penulis akan mendapatkan kesempatan untuk membaca komik Naruto tanpa terganggu gambar buram yang terkadang sangat sulit untuk dilihat. Apalagi, ukurang komik edisi Bind Up ini juga lebih besar.
Penulis tidak tahu apakah masih ada banyak komik bajakan yang dijual di pasaran. Semoga saja sudah tidak ada lagi pihak yang membajak komik, setidaknya secara fisik. Kalau secara daring, rasanya akan sangat sulit untuk mengendalikannya.
Sebagai tambahan, Penulis pun jadi merasakan kembali sensasi yang pernah dirasakan waktu kecil ketika menanti komik volume terbaru dirilis. Namun, mengingat lamanya komik Dragon Ball Super Vol. 20 rilis, rasanya Penulis harus benarn-benar ekstra sabar.
Lawang, 2 Oktober 2024, terinspirasi setelah mengoleksi komik Naruto Bind Up Edition
Anime & Komik
Setelah My Hero Academia Tamat
Tepat satu bulan yang lalu, manga My Hero Academia resmi tamat. Dengan jumlah chapter sekitar 400 lebih sedikit, kita akhirnya mendapatkan konklusi tentang akhir dari perjalanan Deku dan kawan-kawan, setidaknya dari perspektif kita sebagai pembaca.
Sejujurnya, Penulis sudah lama berhenti menonton serial animenya karena terlalu banyak dragging dan flashback yang repetitif. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membaca manganya saja yang tersedia secara gratis dan legal di aplikasi Manga Plus.
Penulis sudah sempat bercerita tentang awal pertemuannya dengan seri ini di tulisan “Sekolah Superhero Ala My Hero Academia,” jadi Penulis tidak akan mengulan bagian tersebut di sini. Pada tulisan kali ini, Penulis akan memberikan pendapatnya setelah manga ini tamat.
Dibuat Bingung Siapa yang Menjadi Final Villain
Sejujurnya, Penulis merasa lega karena akhirnya My Hero Academia telah tamat, tapi bukan dalam artian yang baik. Menurut Penulis, arc terakhir manga ini terasa terlalu panjang dan menjemukan, sehingga Penulis sempat merasa malas untuk terus membaca.
Ada banyak alasannya, tapi yang utama adalah bagaimana musuh utama di serial ini digambarkan mati bangkit mati bangkit berkali-kali. Final boss di seri ini adalah All For One (AFO), bukan Tomura Shigaraki yang hanya dimanfaatkan oleh AFO.
Awalnya, AFO terlihat berhasil dikalahkan oleh Katsuki Bakugo, apalagi AFO terus mengalami degenerasi hingga ke wujud bayinya, dan akhirnya menghilang begitu saja. Namun, Penulis sudah lupa mengapa, tapi akhirnya ia berhasil menguasi tubuh Shigaraki.
Bagian ini menyebalkan bagi Penulis, karena Shigaraki lebih pantas untuk menjadi musuh terakhir dari tokoh utama Izuku Midoriya. Alasannya, mereka berdua sejauh ini telah hidup dengan meyakini prinsip yang saling bertolak belakang.
Hal ini mirip dengan kisah Naruto, yang justru memunculkan Kaguya Ōtsutsuki sebagai final villain. Madara Uchiha jelas lebih menjadi musuh terakhir Naruto dan kawan-kawan, bukannya sosok yang sebelumnya hampir tidak pernah disebut-sebut.
Namun, setidaknya di Naruto urutannya villain yang muncul jelas. Obito, Madara, baru Kagura keluar. Kalau My Hero Academia, Penulis dibuat bingung untuk mengetahui siapa sebenarnya yang ingin dijadikan sebagai final villain.
Bahkan, ketika akhirnya Midoriya berhasil mengalahkan AFO untuk selamanya, sempat ada perasaan was-was kalau ternyata tiba-tiba Shigaraki masih hidup entah bagaimana caranya. Untungnya, hal tersebut tidak pernah terjadi.
Pertarungan Lain di Peperangan Akhir
Sekarang mari kita bicarakan pertarungan lain. Sama seperti arc Perang Dunia Ninja Keempat di Naruto, wajar jika ada banyak adegan pertarungan yang akan meng-highlight karakter-karakternya. Itu pun terjadi di final arc My Hero Academia.
Awalnya masih oke, tapi makin lama makin menjemukan. Mungkin pertarungan yang benar-benar Penulis bisa nikmati adalah pertarungan antara Ochaco Uraraka dan Himiko Toga. Keduanya seperti sepasang sahabat yang harus bertarung karena perbedaan ideologi.
Mungkin ada bias karena Toga adalah salah satu karakter favorit Penulis di serial ini, tapi pertarungan mereka terasa bermakna untuk satu sama lain. Bagaimana akhirnya Toga mati pun cukup membekas bagi Penulis, di mana ia memberikan darahnya sendiri untuk menyelamatkan nyawa Ochaco.
Pertarungan antara Dabi dan Shoto Todoroki juga literally “panas,” apalagi ditambah dengan bumbu drama keluarga antara keduanya. Namun, kesan yang ditinggalkan kurang kuat, hingga Penulis sudah lupa bagaimana pertarungan antara mereka berakhir.
Pertarungan antara baik vs buruk di final arc pun menjadi terkesan membosankan. Durasi pertarungannya terlalu panjang, villain seolah tak mati-mati. Yang lebih menyebalkan, setelah pertarungan sepanjang itu, sedikit sekali pahlawan yang mati di dalam perang.
Awalnya, Bakugo sempat terlihat akan tewas karena menerima luka yang sangat parah dari Shigaraki. Namun, ia berhasil diselamatkan oleh Edgeshot yang mengorbankan dirinya, walau ujung-ujungnya ia juga berhasil selamat meskipun harus menjadi versi mini.
Padahal, kematian Bakugo akan menjadi sangat heroik jika benar-benar terjadi. Midoriya akan menjadi movitasi lebih untuk mengalahkan musuhnya karena “Uncle Ben Situation.” Sayang, tampaknya sang mangaka memang sesayang itu dengan para karakternya.
Sebagai perbandingan, di Naruto meskipun juga banyak yang selamat, setidaknya masih ada beberapa karakter utama yang dimatikan seperti Neji Hyuga, Shikaku Nara, hingga Inoichi Yamanaka.
Akhir yang Kurang Memuaskan, Padahal Sudah Lama Dinanti
Anime shounen biasanya bercerita bagaimana protagonis utamanya berjuang untuk meraih apa yang ia impikan sejak awal cerita. Hal ini bisa dilihat dari Naruto yang ingin menjadi Hokage dan Luffy yang ingin menjadi Raja Bajak Laut.
Nah, hal tersebut tidak terjadi di My Hero Academia. Setelah pertarungan yang begitu hebat, tentu kita penasaran dengan masa depan para karakter favorit kita. Intinya, Midoriya kehilangan semua quirk-nya dan menjadi guru di U.A. High School.
Namun, di akhir cerita diceritakan ia mendapatkan semacam perangkat yang membuatnya tetap bisa menjadi superhero, mungkin seperti Iron Man. Jadi, Midoriya tetap bisa menjadi superhero, meskipun tidak menjadi nomor satu seperti impiannya di awal cerita.
Konklusi My Hero Academia yang seperti itu jelas membuat kesal banyak orang. Pada akhirnya, Midoriya gagal mendapatkan apa yang ia impikan dan justru “hanya” menjadi guru setelah kehilangan quirk. Mirio Togata-lah yang menjadi superhero nomor satu di akhir cerita.
Selain itu, kisah cinta Midoriya pun tidak memiliki kesimpulan sama sekali apakah akhirnya ia bersanding dengan Ochaco. Banyak yang berseloroh kalau “gaji sebagai guru” membuat Midoriya tidak menarik bagi Ochaco.
Biasanya, memang karakter utama anime shounen bersanding dengan orang yang selama ini dijodoh-jodohkan dengan penggemar. Contohnya adalah Naruto dengan Hinata Hyuga atau Tanjiro Kamado dengan Kanao Tsuyuri.
Karena banyaknya masalah yang muncul mulai dari final arc hingga konklusi cerita, tak heran jika banyak penggemar yang merasa tidak puas dengan akhir cerita My Hero Academia, mirip dengan fenomena yang terjadi pada Attack on Titan.
Akhir kata, Penulis bisa mengatakan kalau dirinya bukan merasa puas karena sudah My Hero Academia sudah tamat, tapi justru merasa lega dan berpikir “akhirnya tamat juga ini manga.” Tentu ini agak disayangkan, mengingat My Hero Academia adalah salah satu manga shounen favorit Penulis.
Lawang, 5 September 2024, terinspirasi setelah tamatnya My Hero Academia setelah sekian lama dinanti
Sumber Featured Image: ComicBook
Anime & Komik
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
Beberapa hari terakhir, Penulis kerap menonton konten-konten Yu-Gi-Oh! di YouTube. Entah apa alasannya, mungkin karena ingin nostalgia saja karena sewaktu kecil gemar membaca (bahkan mengoleksi) komiknya.
Penulis pun jadi membaca ulang komiknya, walau tidak semua. Kebetulan, ada beberapa koleksinya yang masih terselamatkan, walau kebanyakan sudah raib entah ke mana. Untuk volume yang hilang, Penulis membacanya di internet.
Gara-gara hal tersebut, Penulis jadi ingin menulis sesuatu tentang Yu-Gi-Oh!. Awalnya Penulis tidak tahu ingin menulis tentang apa, tapi seperti biasa, Penulis lepaskan saja jari-jarinya di keyboard dan membiarkan mereka ingin menulis apa.
Penulis dan Komik Yu-Gi-Oh!
Seingat Penulis, komik Yu-Gi-Oh! yang pertama kali Penulis baca adalah komik volume 15 milik sepupunya, yang waktu itu menceritakan pertandingan final antara Yugi melawan Pegasus sebagai bos terakhir.
Waktu itu, peraturan duel kartunya masih sakarepe mangakanya (RIP Kazuki Takahashi). Bayangkan saja, kartu sekuat Dark Magician bisa dipanggil tanpa perlu pengorbanan. Hanya saja, waktu masih kecil tentu Penulis tak terlalu memedulikan hal tersebut.
Komik Yu-Gi-Oh! pertama yang Penulis beli sendiri adalah volume 19. Di volume tersebut, ceritanya Yugi sedang mengikuti turnamen duel di Kota Domino dan melawan seseorang yang ternyata juga pemilik kartu Dark Magician.
Dari komik tersebut, Penulis jadi terus melanjutkan membeli komik Yu-Gi-Oh!. Setiap mampir ke toko buku, setiap ada volume baru, pasti akan Penulis beli. Oleh karena itu, koleksi komik Yu-Gi-Oh! Penulis hampir lengkap dari volume 19 hingga 38, yang merupakan volume terakhir.
Penulis tidak tertarik membeli volume-volume awal karena belum ada duel-duel kartu. Di arc Pegasus pun peraturannya masih mentah dan kurang menarik. Apalagi di arc turnamen ini, ada banyak pertarungan antar-duelist yang menarik, meskipun jujur saja kadang sangat tak masuk akal.
Tidak hanya dari efek kartu yang disesuaikan dengan plot cerita, terkadang ada saja bumbu drama seperti “shadow game” yang menumbalkan nyawa. Bayangkan, kita bisa kehilangan nyawa karena bermain kartu!
Jika disuruh memilih duel favoritnya, di antara sekian banyak, mungkin Penulis akan memilih pertarungan antara Yugi Mutou melawan Yami Bakura di dalam ingatan Yugi Pharaoh (di komik volume 37). Duel tersebut membuktikan kalau Yugi yang selama ini seolah menjadi bayangan Yugi Pharaoh juga bisa bertarung.
Berbicara tentang Pharaoh, arc terakhir dari seri ini berfokus pada masa lalu Yugi. Ceritanya cukup menarik dan seru bagi Penulis, di mana Yugi berhadapan dengan musuh-musuh tangguh, mulai dari Bakura dengan Diabound-nya hingga Zorc Necrophades.
Arc ini juga bisa menjadi konklusi yang pas untuk serialnya. Setelah mendapatkan ingatan masa lalunya yang berdarah, Yugi Pharaoh (yang bernama Atem) dan Yugi Mutou berduel untuk menentukan nasib mereka. Atem kalah dan pergi meninggalkan Yugi dan kawan-kawan lainnya.
Kalau animenya, Penulis sesekali menonton di televisi pada hari Minggu pagi. Namun, jujur Penulis tidak terlalu ingat karena tidak terlalu memorable. Mungkin yang paling Penulis ingat adalah episode filler di mana Yugi dan Kaiba bersatu melawan The Big 5 yang memiliki kartu Five-Headed Dragon dengan ATK 5000.
Penulis dan Permainan Kartu Yu-Gi-Oh!
Banyak meme yang bertebaran di internet tentang bagaimana bingungnya pemain Yu-Gi-Oh! yang sudah lama pensiun, lantas melawan pemain yang masih aktif hari ini. Yu-Gi-Oh! hari ini seolah tentang bagaimana menghabisi lawan secepat mungkin, kalau bisa sejak putaran pertama.
Padahal, dulu waktu masih main, Penulis merasa ada banyak “seni” dari peraturan aslinya, di mana untuk memanggil monster berbintang besar harus mengorbankan monster berbintang kecil. Ada cara unik lain, seperti Fusion ataupun Ritual.
Kita bisa mempelajari banyak peraturan Yu-Gi-Oh! dari manganya, meskipun terkadang efeknya dibuat nyeleneh demi kebutuhan plot cerita. Namun, dari sana dasar bermain Yu-Gi-Oh! Penulis dapatkan dan menjadi ingin mencoba bermain game-nya.
Ada beberapa game Yu-Gi-Oh! yang pernah Penulis mainkan, seperti Yu-Gi-Oh! Forbidden Memories (PlayStation 1) dan Yu-Gi-Oh! The Duelists of the Roses (PlayStation 2). Namun, baru di game Yu-Gi-Oh! Tag Force (PlayStation 2) Penulis benar-benar paham cara bermain Yu-Gi-Oh!.
Di seri tersebut, masih belum ada peraturan summon monster yang aneh-aneh, masih mengikuti peraturan dasar yang Penulis pahami. Dalam bermain, Penulis sering mengandalkan archetype Cyber Dragon, yang di game-nya menjadi andalan Zane Trusdale.
Selain Cyber Dragon, salah satu archetype favorit Penulis adalah Blue-Eyes White Dragon, sedangkan adik Penulis sangat menyukai Elemental Hero, sampai-sampai tidak mau mencoba archetype yang lain. Bahkan, ia sampai mencetak sendiri kartu-kartu Elemental Hero dan ditempel ke kartu Yu-Gi-Oh! asli.
Selain itu, Penulis juga pernah mencoba platform Yu-Gi-Oh! yang tersedia secara online, walau seringnya cuma melawan adiknya, karena kemampuan Penulis tidak cukup hebat untuk bertanding dengan orang lain. Melalui platform ini, Penulis jadi belajar tentang metode summon yang baru-baru.
Pertama ada Synchro Summon, yang intinya membutuhkan monster Tuner untuk memanggilnya. Lalu tak lama ada juga XYZ Summon, yang intinya membutuhkan beberapa monster dengan level yang sama untuk digabungkan. Sampai sini masih bisa dipahami.
Nah, begitu masuk Pendulum Summon, Penulis memutuskan untuk mengangkat bendera putih. Penulis sudah tak mampu mengikutinya lagi. Apalagi sekarang ada Link Summon yang makin membuat Penulis malas untuk mengikuti permainan kartu Yu-Gi-Oh!.
Penutup
Yu-Gi-Oh! jelas telah mewarnai masa kecil dan remaja Penulis, baik lewat komik maupun permainan kartunya. Oleh karena itu, hingga sekarang pun Penulis sesekali masih menonton konten Yu-Gi-Oh! di internet sebagai obat kangen.
Apalagi, gara-gara Yu-Gi-Oh!-lah Penulis jadi menyukai permainan TCG (Trading Card Game). Ada banyak judul lain yang pernah Penulis mainkan, mulai dari Duel Monster, Magic: The Gathering, Hearthstone, Pokemon TCG, hingga Marvel Snap. Tentu, semuanya tidak ada yang benar-benar Penulis kuasai!
Oleh karena itu, Yu-Gi-Oh! selalu punya tempat spesial dalam hidup Penulis, meskipun sudah tidak pernah bermain atau mengikuti permainannya lagi. Mungkin suatu hari Penulis akan mencetak kartu Yu-Gi-Oh! sendiri untuk melawan deck Elemental Hero milik adiknya.
Lawang, 11 Juli 2024, terinspirasi setelah banyak menonton konten Yu-Gi-Oh!
Foto Featured Image: Yu-Gi-Oh!
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login