Connect with us

Pengalaman

Udah Tua Kok Masih Nonton Anime?

Published

on

Yang nonton anime itu pasti wibu bau bawang! Suka kok sama cewek 2D! Udah brewokan kok nontonnya kartun, malu sama umur! Masa setua ini masih baca komik? Anime tuh untuk anak kecil!

Sebenarnya pertanyaan yang satu ini sudah pernah terjawab di beberapa tulisan, hanya saja kali ini penulis ingin menjelaskannya lebih lengkap. Bukan karena memang ada yang bertanya seperti itu, hanya lagi ingin aja.

Awal Mula Nonton Anime dan Alasannya

Oh iya, sebagai informasi, penulis baru suka menonton anime setelah lulus kuliah. Latar belakangnya, ketika pulang kerja di Surabaya penulis sering merasa bingung mau ngapain ketika bosan membaca buku.

Karena tidak suka menonton film. penulis mencoba untuk menonton anime dengan genre komedi. Eh, ternyata keterusan sampai sekarang, bahkan mulai merambah ke genre romance comedy.

Contoh Anime Romance Comedy (YouTube)

Kalau penulis sendiri, ada beberapa alasan yang mendasari kenapa jadi suka nonton anime. Pertama, ya itu tadi, berawal dari coba-coba untuk mencari hiburan. Penulis merasa terhibur karena yang penulis cari adalah genre komedi yang mengocok perut.

Lantas setelah berkenalan dengan beberapa anime, penulis merasa bisa mendapatkan inspirasi-inspirasi untuk novel penulis, terutama referensi adegan romantis yang sebenarnya tidak terlalu penulis sukai.

Kenapa enggak menggunakan sinetron atau film untuk referensi? Mungkin karena sejak dulu penulis tidak pernah menyukai yang namanya sinetron yang penuh dengan adegan percintaan, sehingga penulis enggan melihat kisah romantis yang diperankan manusia sungguhan.

Bahkan, novel Leon dan Kenji yang penulis buat hingga memasuki chapter 50 ini terinspirasi dari anime berjudul Blackjack sewaktu penulis duduk di bangku SMP.

Black Jack (TheTVDB.com)

Katanya nonton animenya baru setelah lulus kuliah? Hehehe, dulu penulis berlangganan TV kabel Astro, di mana salah satu salurannya ada Animax yang isinya anime-anime.

Akan tetapi, setelah Astro tiada pada tahun 2008, penulis sudah tidak pernah menonton anime lagi, hingga lulus kuliah. Paling penulis hanya membaca komik yang memang sudah menjadi hobi penulis sejak kecil hingga sekarang.

Alasan terakhir kenapa penulis masih menonton anime adalah kesukaan penulis terhadap hal-hal yang berbau Jepang, sama seperti kesukaan penulis terhadap sesuatu yang berbau Inggris.

Berarti penulis enggak nasionalis, dong? Penulis menyukai wayang, penulis juga suka membaca buku-buku sastra karangan penulis Indonesia. Suka terhadap hal berbau asing tidak selalu berbanding lurus dengan hilangnya nasionalisme.

Stereotip Masyarakat

Sewaktu kuliah, penulis sering heran kepada teman-teman penulis yang hobi nonton anime. Kalimat yang ada di awal tulisan ini mungkin ada di pikiran penulis waktu itu. Setelah coba menonton, eh ternyata jadi ikut suka.

Penggemar anime sering diteriaki sebagai Wibu, yang pada definisi sebenarnya memiliki makna kesukaan berlebih terhadap sesuatu yang berbau Jepang.

Menurut penulis, hobi menonton anime memiliki strata yang sama dengan menonton drama Korea ataupun India. Sama seperti serial TV, anime juga memiliki ambang batas umur penontonnya sendiri.

Hanya karena berbentuk dua dimensi, tidak lantas kita menganggap anime hanya untuk anak-anak. Penulis mengetahui sebagian proses pembuatan anime yang rumit, membuat penulis menghargai setiap anime yang penulis tonton.

Seperti yang pernah penulis tulis pada tulisan Menghargai Perbedaan dari yang Terkecil, kita bisa belajar saling menghargai dari hal yang terkecil seperti pilihan tontonan.

Penulis suka menonton anime dan membaca komik sampai sekarang. Selain karena alasan-alasan yang sudah penulis jelaskan di atas, penulis memang menyukai kedua aktivitas ini.

 

 

Kebayoran Lama, 17 Maret 2019, tidak terinspirasi dari apa-apa, lagi ingin nulis ini aja

Foto: Joseph Gruenthal

Pengalaman

Bagaimana Rasanya Berpuasa di Tanah Rantau?

Published

on

By

Tahun 2024 ini menjadi tahun keempat di mana Penulis (alhadulillah) bisa berpuasa di rumah. Sebelumnya pada rentang tahun 2019-2020, Penulis mengalami yang namanya berpuasa di tanah rantau, di mana untuk sahur dan buka puasa harus dilakukan sendirian.

Meskipun tergolong sebentar (karena hanya sekitar dua tahun), Penulis merasa kalau berpuasa di tanah rantau memiliki sensasinya sendiri. Yang biasanya kita dibangunkan dan makanan telah disiapkan oleh ibu, kini harus tergantung dengan diri sendiri.

Oleh karena itu, pada tulisan kali ini Penulis ingin berbagi sedikit mengenai bagaimana rasanya berpuasa di tanah rantau. Semoga saja tulisan ini bisa bermanfaat untuk sesama kaum muslimin yang baru merasakan bagaimana puasa di tanah rantau tahun ini.

Sahur di Tanah Rantau

Warteg Andalan (Google Maps)

Di sekitar kos Penulis di Jakarta, bisa dibilang ada berbagai jenis makanan yang dijual, mulai dari warteg hingga masakan padang. Hal ini memudahkan Penulis untuk mencari makan ketika jam sahur.

Yang menjadi andalan Penulis tentu saja warteg dengan lauk tempe orek ditambah sayur singkong. Menu yang murah meriah ini tentu menjadi berkah untuk anak rantau yang harus serba menghemat.

Namun, yang menjadi permasalahan utama ketika sahur sebenarnya bukan menu makanannya, melainkan rasa malas untuk keluar kos. Bangun dini hari untuk keluar kos terkadang terasa berat, walau tempat membeli makanannya sebenarnya sangat dekat.

Jika sudah mager tingkat maksimal, biasanya mi instan menjadi solusi utama, ditemani dengan secangkir teh panas yang dibuat menggunakan Heater. Solusi lainnya adalah memesan makanan secara online, yang secara biaya jelas lebih mahal.

Penulis bukan tipe orang yang bisa memasak dan kurang minat memelajarinya. Penulis baru mulai memasak kecil-kecilan ketika pandemi, di mana Penulis tidak bisa pulang ke Malang. Berbagai peralatan masak pun dibeli, mulai dari Magic Jar, panci, hingga saringan.

Yang dimasak pun hanya makanan instan yang tinggal digoreng, seperti nugget dan sosis. Kalau makanan organik, paling mentok ya tempe dan telur, yang sama-sama tinggal digoreng. Jangan harap ada sayur karena tidak ada satupun menu yang bisa Penulis masak.

Buka Puasa di Tanah Rantau

Dulu Hampir Buka Puasa Setiap Hari di Sini (Google Maps)

Untuk masalah buka puasa, Penulis merasa bersyukur karena mendapatkan “jatah” dari kantor. Ini terjadi di tahun 2019, karena di tahun 2020 pandemi COVID-19 terjadi sehingga Penulis harus buka puasa di kos.

Jatah menu buka puasa dari kantor bisa dibilang cukup bervariasi, karena setiap harinya akan mendapatkan menu yang berbeda. Biaya makan per karyawan pun bisa dipastikan lebih dari 15 ribu per kepala, karena makanan yang dihidangkan berasal dari walaraba populer.

Barulah ketika akhir pekan Penulis harus mencari menu buka puasa sendiri. Namun, Penulis jarang membeli makan sebelum jam buka. Biasanya, Penulis justru baru mencari makan selepas Isya karena biasanya tempat makan sudah mulai sepi pembeli.

Menu buka puasanya pun berkisar di tempat-tempat makan di sekitar kos. Namun, jika sedang senggang, maka Penulis akan berbuka puasa di mal untuk menikmati menu yang lebih lezat atau memesannya melalui layanan online jika sedang mager.

Ketika memesan makanan online, sesekali Penulis akan memesan dua porsi, di mana satunya diperuntukkan untuk abang yang mengantarkannya. Selain berbagi di bulan puasa, biasanya potongan di aplikasi baru bisa dipakai ketika mencapai nominal tertentu.

Selama merantau, Penulis bisa dibilang jarang mengikuti buka bersama (bukber), lha mong tiap hari memang bukber bareng teman-teman kantor. Ketika akhir pekan, tentu mereka lebih memilih berbuka bersama orang-orang rumah.

Penutup

Jika dibandingkan dengan puasa di tanah rantau, memang berpuasa di rumah terkesan lebih “membosankan” karena cukup monoton. Kalau tidak makan masakan ibu atau beli makanan di sekitar rumah. Kalau mau beda, paling menunggu momen bukber.

Namun, tentu Penulis tetap bersyukur bisa berpuasa di rumah bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Ini bukan tentang apa yang dimakan, melainkan momen berharga yang dihabiskan dengan siapa.

Berpuasa di tanah rantau mengajari Penulis untuk bersyukur karena selama ini mendapatkan privilege sehingga bisa berpuasa dengan “mudah.” Semua sudah tersedia, kita tinggal makan saja tanpa perlu keluar rumah.

Suasana sahur dan buka bersama keluarga juga menjadi hal yang membuat kita baru merasa kehilangan ketika merantau sendirian. Meskipun ada teknologi video call, hal tersebut tidak akan bisa menggantikan pertemuan fisik.

Berada di tanah rantau membuat kita menyadari hal tersebut, yang mungkin selama ini terabaikan. Bisa berpuasa di rumah bersama keluarga rasanya jauh lebih menyenangkan, terutama setelah sempat berpuasa sendiri di tanah rantau.

Untuk para Pembaca yang baru berpuasa sendiri di tanah rantau, semangat! Puasa di tanah rantau itu seru kok, walaupun kita harus bisa melawan rasa malas untuk keluar rumah ataupun memasak sendiri.


Lawang, 12 Maret 2024, terinspirasi karena menyadari dirinya sudah empat tahun mendapatkan kesempatan untuk berpuasa di rumah

Foto Featured Image: Chatelaine

Continue Reading

Pengalaman

Artikel Ini Ditulis di Atas Kereta Api Sembrani

Published

on

By

Ketika sedang menulis artikel ini, Penulis sedang dalam perjalanan menuju Jakarta menggunakan Kereta Api Sembrani. Ini adalah kali pertama Penulis menaiki kereta eksekutif, bukan Ekonomi seperti biasanya. Hitung-hitung buat tambah pengalaman.

Penulis berangkat dari Stasiun Pasar Turi, Surabaya, dan akan berhenti di Stasiun Jatinegara, Jakarta. Berbeda dengan kelas Ekonomi yang membutuhkan waktu tempuh belasan jam, perjalanan kali ini hanya membutuhkan waktu sekitar 8 jam saja.

Perjalanan ke Jakarta kali ini dalam rangka mengikuti acara staycation dari kantor yang akan berlangsung besok (5/1) sampai Minggu (7/1). Berhubung semua anggota tim bisa mengikuti acara ini, tentu sayang jika Penulis sampai tidak ikut.

Nah, daripada bengong atau main HP, Penulis memutuskan untuk menulis sebuah artikel. Jujur saja, waktu membuka WordPress ini, Penulis belum terpikirkan akan menulis apa. Biar saja mengalir begitu saja, sehingga Penulis minta maaf jika pembahasannya ngalor-ngidul.

Mengapa Naik Kereta Api?

Dalam perjalanan ke Jakarta pada awal tahun 2023 silam, Penulis memutuskan untuk naik pesawat terbaik, baik perjalanan pergi maupun pulangnya. Alasannya sederhana, karena Penulis hanya sebentar di Jakarta, jadi biar lebih efisien waktunya.

Nah, kalau yang edisi kali ini, bisa dibilang Penulis lebih longgar waktunya karena akan menginap di kos adik (yang dulu merupakan kos Penulis juga sewaktu masih berdomisili di Jakarta). Jadi, waktu menumpangnya bisa dibilang tidak terbatas.

Harga tiket pesawat juga masih sangat mahal karena tembus satu juta rupiah lebih. Hal ini dimaklumi, mengingat sekarang masih momen pergantian tahun. Mau naik bus, Penulis malah ada sedikit trauma karena kisah yang dulu pernah Penulis bagikan.

Selain itu, pada dasarnya Penulis memang cenderung memilih kereta jika memiliki waktu yang cukup longgar. Entah mengapa Penulis sangat menikmati perjalanan di atas kereta api meskipun memakan waktu berjam-jam.

Jika dibandingkan dengan bus, “suguhan” pemandangan yang diberikan kereta api memang terkesan monoton karena didominasi oleh area persawahan dan sesekali perkampungan. Hanya beberapa kali ada view yang menarik, seperti pantai dan PLTU Batang.

Hal agak minus lainnya dari naik kereta api adalah tidak adanya makan gratis seperti ketika kita naik bus. Jika lapar, kita harus membeli makanan yang dijual oleh pihak kereta. Sejujurnya, makanan kereta api cukup mahal dan kurang enak!

Apa yang Bisa Dilakukan Ketika Naik Kereta Api?

Berhubung perjalanan menggunakan kereta api cukup memakan waktu, tentu kita harus pandai mencari aktivitas agar tidak merasa bosan. Penulis ingin berbagi sedikit tentang aktivitas apa saja yang biasanya dilakukan ketika naik kereta.

Pertama, menikmati pemandangan sembari melamun. Entah mengapa rasanya melamun di pinggir jendela kereta api itu feel-nya beda. Rasanya lebih khidmat begitu. Bagi Penulis, aktivitas ini bisa memberikan efek tenang yang lumayan.

Sesekali Penulis juga mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen menarik yang ditemukan di perjalanan. Hanya saja, karena laju kereta cukup kencang, maka terkadang akan terasa sulit untuk bisa menangkap momen tersebut, apalagi jika kamera ponselnya kentang.

Kedua, baca buku. Sudah menjadi kebiasaan Penulis untuk membawa buku ke mana-mana jika sedang menggunakan transportasi umum, termasuk kereta api. Apalagi, di atas kereta api guncangannya relatif kecil sehingga tidak akan membuat pusing kepala.

Pada perjalanan kali ini, Penulis membawa dua buku, yaitu Meditations dari Marcus Aurelius dan Namaku Alam dari Leila S. Chudori. Penulis memutuskan untuk membaca Meditations dulu, tetapi hanya sanggup beberapa halaman karena sedang sulit fokus untuk membaca.

Ketiga, menulis artikel atau mencatan isi pikiran. Ini adalah aktivitas yang sedang Penulis lakukan sekarang. Menulis dengan suasana yang benar-benar baru dari rutinitas memicu otak untuk bisa mengeluarkan ide-ide segar untuk dituangkan.

Tidak hanya itu, Penulis juga pernah memanfaatkan waktu perjalanannya di atas kereta api untuk mencatat apapun yang sedang ada di pikirannya. Jika sedang overthinking atau banyak hal yang sedang dipikirkan, Penulis menuliskannya semua untuk meredakannya.

Keempat, dan yang paling tidak direkomendasikan, adalah main HP. Aktivitas ini sebenarnya bisa dilakukan di mana saja, sehingga rasanya tidak perlu dilakukan untuk momen-momen yang jarang seperti ketika kita naik transportasi umum.

Penutup

Yup, ternyata artikel ini jadi semacam artikel behind the story mengapa Penulis suka naik kereta api dan rekomendasi aktivitas yang bisa dilakukan. Itu semua benar-benar tidak direncanakan, mengalir begitu saja ketika jari Penulis menari-nari di atas keyboard tabletnya.

Hal ini juga menjadi bukti bahwa terkadang yang penting mulai aja dulu, tidak perlu menunggu semuanya matang dan sempurna. Terkadang inspirasi dan ide akan datang begitu kita sudah mengambil langkah pertama.

Yang jelas, Penulis merasa senang karena bisa berbagai tentang kereta api, salah satu transportasi umum yang digemari. Semoga saja tulisan ini bisa mendorong Pembaca yang belum pernah naik kereta api untuk mau mencoba menaikinya.


Di Atas Kereta Api Sembrani, 4 Januari 2024, terinspirasi karena ingin menulis sesuatu dalam perjalanannya menuju Jakarta

Continue Reading

Pengalaman

Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di Tahun 2024

Published

on

By

Setelah “menghilang” selama satu bulan, akhirnya Penulis bisa menyempatkan (dan membulatkan tekad) untuk kembali menulis di blog ini. Mumpung momennya pergantian tahun, biar menjadi awal yang baru juga.

Selama beberapa waktu terakhir, Penulis cukup disibukkan dengan pekerjaan dan bootcamp Digital Marketing yang diikuti selama dua bulan. Berhubung bootcamp tersebut sudah selesai pada tanggal 30 Desember kemarin, waktu Penulis pun menjadi lebih kosong sekarang.

Selain itu, tulisan ini akan menjadi tulisan pertama di tahun 2024, dan semoga bisa menjadi awal yang baik untuk bisa menulis secara lebih konsisten lagi. Melalui tulisan ini, Penulis akan sedikit melakukan refleksi apa saja yang sudah terjadi pada tahun 2023 kemarin.

Apa yang Sudah Terjadi di Tahun 2023?

Tahun 2023 Telah Berlalu (Hard Rock FM)

Sejujurnya tidak banyak hal menarik dalam hidup Penulis yang terjadi selama 2023 kemarin. Penulis hanya menjalani rutinitas harian seperti biasanya yang berkutat pada pekerjaan dan melakukan aktivitas-aktivitas yang disukainya.

Penulis juga tidak banyak berpergian, kecuali pada bulan Februari di mana Penulis ke Jakarta untuk bertemu dengan teman-teman lama setelah lebih dari dua tahun tidak bersua. Penulis juga mengunjungi beberapa tempat yang dulu sering dikunjungi.

Saat lebaran, Penulis juga pergi ke Yogyakarta untuk pertemuan keluarga tahunan. Namun karena sempitnya waktu, tidak banyak tempat yang Penulis eksplor. Padahal, masih banyak tempat di Yogyakarta yang belum sempat Penulis kunjungi.

Ketika bulan Agustus, seperti biasa Karang Taruna di tempat Penulis menggelar acara peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Pada edisi kali ini, rangkaian acara berlangsung begitu meriah dan warga yang datang di acara puncak begitu banyak.

Yang spesial tidak hanya itu, karena pembubarannya pun begitu spesial. Jika biasanya “hanya” berlibur ke pantai, maka kali ini pembubarannya adalah camping! Bisa jadi, ini akan menjadi agenda rutin untuk Karang Taruna ke depannya.

Mungkin, apa yang sedikit berbeda di 2023 adalah Penulis mengikuti bootcamp Digital Marketing yang diselenggarakan oleh BelajarLagi. Untuk detailnya, mungkin akan Penulis ceritakan di tulisan terpisah.

Berlangsung selama dua bulan dengan beragam kelas, Penulis merasa sedikit kewalahan dalam mengatur jadwal. Bukan karena kelasnya yang banyak, melainkan karena tugas-tugasnya yang cukup bikin kewalahan!

Bagi Penulis yang tidak pernah belajar marketing secara khusus, tugas-tugas yang diberikan cukup banyak dan cukup menguras otak dan tenaga. Walaupun sambil mengeluh, Penulis berhasil mengejarkan semua tugas yang diberikan, termasuk Final Project.

Apa yang Diharapkan di Tahun 2024?

Tahun 2024 Telah Tiba (The Cable)

Salah satu yang cukup Penulis merasa bersalah di tahun 2023 kemarin adalah sulitnya untuk menjaga konsistensi dari rutinitas-rutinitas yang ingin dibangun. Bahkan, rutinitas yang dulu jarang bolong seperti menulis agenda harian dan mencatat keuangan sering luput.

Menulis artikel blog pun jumlahnya berbeda jauh dibandingkan dengan tahun 2022. Jika di tahun 2022 Penulis menulis 91 artikel, maka di tahun 2023 kemarin Penulis menulis 98 artikel. Jauh dari target yang ingin mencapai setidaknya 200 artikel dalam satu tahun.

Nah, dua hal inilah yang menjadi target utama Penulis agar bisa diperbaiki di tahun 2024 ini. Meskipun rasanya hampir setiap tahun gagal , Penulis tidak akan berhenti berusaha untuk menjadi selalu lebih baik lagi.

Penulis juga ingin memiliki time management yang lebih baik di tahun ini, sehingga target di atas juga bisa lebih mudah untuk dicapai. Berhubung Penulis masih work from home sampai sekarang, tentu Penulis harus bisa bekerja seefisien mungkin secara bertanggung jawab.

Sejujurnya ada sedikit perasaan takut dalam menyongsong tahun 2024 ini karena Penulis akan menginjak kepala tiga. Ada perasaan inferior karena dirinya belum bisa mencapai achivement dalam hidupnya yang bisa membanggakan diri.

Namun, hanya menuruti perasaan takut pun tidak akan membawa apa-apa. Justru, dengan kesadaran bahwa dirinya akan menginjak kepala tiga, Penulis harus bisa terdorong untuk menjadi jauh lebih baik lagi dari hari kemarin.

Jadi, jika diminta untuk membuat resolusi tahun ini, Penulis tidak ingin hal yang muluk-muluk. Penulis hanya ingin bisa menjadi lebih baik lagi dari segala sisi. Perjalanan hidup selama tiga dekade seharusnya bisa menjadi modal yang baik untuk itu.


Lawang, 1 Januari 2024, terinspirasi setelah (akhirnya) bisa menulis blog lagi setelah vakum selama satu bulan

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan