Film & Serial
Setelah Menonton Cinta Itu Buta

Berawal dari ajakan seorang sepupu untuk ketemuan, penulis akhirnya menonton film berjudul Cinta Itu Buta di Cinema XXI Plaza Senayan.
Penulis bahkan baru tahu kalau ada film tersebut, sehingga baru menonton trailer-nya sebelum masuk ke dalam teater. Berhubung terakhir nonton film Indonesia (selain Gundala) adalah film Milly dan Mamet, maka penulis setuju saja.
Spoiler Alert!
Jalan Cerita Cinta Itu Buta
Diah (Shandy Aulia) adalah seorang pemandu wisata di Korea Selatan. Ia bisa berbicara dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Korea. Bahkan, ia telah bertunangan dengan orang Korea bernama Jun-Ho (Chae In Woo).
Di sisi lain, adalah seorang pria Jawa lugu bernama Nik (Dodit Mulyanto) yang sedang patah hati karena dikhianati kekasihnya. Ia memutuskan untuk kabur ke Korea Selatan dan menggelandang di sana.

Dodit Menang Banyak (YouTube)
Suatu ketika, Diah mendapatkan sebuah pesan untuk menemui tunangannya di sebuah restoran. Sayangnya, ia harus melihat tunangannya sedang bermesraan dengan wanita lain yang notabene sahabatnya sendiri.
Ketika berjalan pulang, tiba-tiba Diah kehilangan penglihatannya dan jatuh pingsan. Setelah dirawat di rumah sakit, ia didiagnosis mengalami temporary blindness yang dipengaruhi oleh pikiran.
Diah pun menjalani kehidupannya sebagai orang buta. Namun, ia memutuskan untuk merahasiakan masalah ini dari kakaknya yang khawatir kepada dirinya.

Tunangan Diah Bersama Wanita Lain (Tribun News)
Ketika sedang berbelanja di supermarket, Diah memergoki Nik sedang berada di belakangnya. Semenjak itu, Nik sering menemui Diah hingga membuatkan makanan.
Diah yang awalnya menolak kehadiran Nik lama-lama merasa nyaman. Mereka berdua sering jalan-jalan dan membuat kenangan bersama. Nik seolah menjadi mata untuk Diah.
Semua momen kebahagiaan tersebut membuat Diah secara tiba-tiba mendapatkan penglihatannya kembali. Nahas, Nik harus mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia koma.

Sad Ending (My CMS)
Ketika itulah, semuanya terbongkar. Nik sudah lama mengamati Diah dari kejauhan. Ketika masih jadi gelandangan, Diah sering membuatkan makanan untuk Nik.
Ketika Nik sudah menyewa rumah di seberang rumah Diah, ia sering mengamati wanita tersebut dari kejauhan. Bahkan, ia pernah menyamar menjadi pisang agar bisa menghibur Diah yang sedang bersedih.
Pesan yang membuat Diah mengetahui perselingkuhan tunangan Koreanya juga ditulis oleh Nik. Seolah semua yang terjadi merupakan rencana Nik.
Kesan Setelah Menonton Cinta Itu Buta
Awalnya, penulis mengira film ini tentang seorang gadis cantik yang jatuh cinta dengan seorang laki-laki yang, ya begitulah. Tapi ternyata, dugaan penulis salah.
Film ini termasuk film yang oke untuk ditonton sebagai hiburan, bukan dengan logika ataupun nilai-nilai moral yang sering dituntut oleh kaum social justice warrior.

Sedikit Creepy (IDN Time)
Banyak hal yang mengganjal ketika menonton film ini. Yang paling kentara adalah kondisi kebutaan yang dialami oleh karakter Diah. Pertama, penulis baru mengetahui ada kondisi medis temporary blindness yang dipengaruhi oleh faktor pikiran.
Ketika penulis melakukan riset kecil-kecilan, yang namanya kebutaan sementara memang ada. Akan tetapi, penyebabnya ada berbagai macam, mulai pertanda stroke, glukoma, migrain parah, dan lain sebagainya.
Tidak ada yang menyebutkan kebutaan bisa terjadi begitu saja hanya karena faktor pikiran. Jatuhnya jadi sama seperti film-film azab yang sering muncul di televisi.
Nah, Diah yang mengalami kebutaan di negeri orang justru menolak kakaknya datang agar ia bisa mendapatkan bantuan. Padahal, jika sampai terjadi hal-hal yang buruk tentu akan membuat pihak keluarga makin susah. Untungnya, ini cuma film.
Banyak yang menganggap apa yang dilakukan oleh Nik ke Diah adalah hal yang creepy. Membuntuti seorang wanita secara diam-diam dianggap sebagai pelecehan. Menurut penulis, hal tersebut wajar saja untuk kebutuhan film.
Komedinya juga dapat banget. Penulis sering tertawa walaupun tidak sampai terbahak-bahak. Dodit mampu membawakan komedi khasnya yang lugu ke dalam film ini.
Justru, penulis menikmati twist di bagian akhir film yang menunjukkan rentetan kejadian antara Diah dan Nik selama ini. Penulis juga menyukai ending-nya yang tidak happy ending.
Jika disuruh memberikan nilai untuk film ini, penulis akan memberikan nilai 6.5, 6 karena Shandy Aulianya cantik banget. Dodit menang banyak di film ini!
Kebayoran Lama, 20 Oktober 2019, terinspirasi setelah menonton film Cinta Itu Buta
Foto: Skygrid Media
Film & Serial
[REVIEW] Setelah Menonton Secret Invasion

Setelah lama menanti, akhirnya Penulis bisa melihat serial Marvel lagi setelah Secret Invasion rilis. Terakhir kali Marvel merilis serial adalah She-Hulk: Attorney at Law yang Penulis beri nilai sangat buruk karena banyak alasan.
Mengingat banyaknya serial Marvel yang sudah mengecewakan akhir-akhir ini, Penulis pun berusaha untuk menurunkan ekspektasinya terhadap serial ini. Hal ini cukup berat, mengingat Secret Invasion memiliki premis yang sangat menarik.
Untuk Pembaca yang awam, Secret Invasion merupakan salah satu kisah Marvel yang menceritakan tentang invasi bangsa Skrull ke bumi. Di komik, ini adalah salah satu cerita yang paling menarik. Lantas, apakah adaptasinya berhasil, atau justru flop lagi? SPOILER ALERT!!!
Jalan Cerita Secret Invasion
Seperti yang terlihat pada adegan post-credit film Spider-Man: Far From Home, Nick Fury (Samuel L. Jackson) ternyata sudah lama tidak berada di bumi. Nah, pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang karena tercium aroma pemberontakan dari bangsa Skrull.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Gravik (Kingsley Ben-Adir) yang merasa kalau Fury telah melanggar janjinya untuk memberi mereka rumah baru. Strategi mereka adalah dengan memicu Perang Dunia 3 antara Amerika Serikat dan Rusia.
Fury pun bekerja sama dengan kawan-kawan lamanya, yakni Maria Hill (Cobie Smulders) dan Talos (Ben Mendelsohn). Sayangnya, ketika dalam misi menghentikan rencana Gravik, Hill tewas karena tertembak.
Konfrontasi antara kedua pihak pun semakin panas. Apalagi, anak dari Talos yang bernama G’iah (Emilia Clarke) berada di kubu Gravik. Tidak hanya itu, ternyata bangsa Skrull sudah menyelinap masuk ke berbagai posisi penting dengan kemampuan berubah wujudnya.
Ada beberapa karakter penting di Marvel yang ternyata merupakan Skrull yang menyamar, yakni Agen Everett Ross (Martin Freeman) dan James Rhodey (Don Cheadle). Para petinggi dunia pun banyak yang disekap dan digantikan oleh Skrull.
Di tengah konflik tersebut, ada satu fakta yang mengejutkan, yakni ternyata Fury memiliki seorang istri Skrull bernama Varra atau Priscilla Davis (Charlayne Woodard). Namun, ternyata Varra sempat berada di kubu Gravik, sebelumnya akhirnya berpindah haluan.
Terkuak juga rencana besar Gravik yang ingin membuat dirinya menjadi Super Skrull dengan memanfaatkan berbagai DNA superhero dan supervillain. Untuk itu, ia mengincar Harvest, sebuah kumpulan DNA para manusia super yang telah dikumpulkan oleh Fury.
Dibantu oleh Sonya Falsworth (Olivia Coleman), Fury pun menyelesaikan konflik dengan Gravik, atau lebih tepatnya mengirimkan G’iah yang memihaknya untuk berhadapan dengan Gravik.
G’iah menyamar menjadi Fury untuk memberikan Harvest. Ketika mengaktifkannya, ternyata G’iah pun mendapatkan kekuatan yang sama. Ada banyak kekuatan superhero dan supervillain yang berhasil mereka dapatkan.
Singkat cerita (karena pertarungannya benar-benar singkat), G’iah berhasil membunuh Gravik dan menyelamatkan bumi. Setelah itu, ia direkrut oleh Sonya untuk melindungi bumi. Sementara itu, Fury dan Varra kembali ke markas SWORD.
Setelah Menonton Secret Invasion
Dari enam episode yang ada, bisa dibilang hanya episode pertama yang benar-benar bagus. Ceritanya padat, langsung menjelaskan konflik yang akan terjadi, serta kematian Maria Hill yang sayangnya menjadi salah satu favorit Penulis di Marvel Cinematic Universe (MCU).
Setelah itu, ratingnya dari episode ke episode semakin menurun, hingga puncaknya di episode finale yang bagi Penulis benar-benar ampas. Ada beberapa adegan yang Penulis apresiasi seperti kematian Talos, tapi secara keseluruhan serial ini cukup mengecewakan.
Betapa Mudahnya Gravik (dan G’iah) Menjadi Overpowered
Satu hal yang paling mengesalkan dari serial ini adalah betapa mudahnya Gravik (dan G’iah) mendapatkan dan menguasai kekuatan para superhero dan supervillain. Secara effortless, mereka mampu menguasai semua kekuatan tersebut.
Proses untuk mendapatkan semua kekuatan tersebut juga terlihat terlalu mudah. Hanya disinari beberapa menit, semua kekuatan tersebut langsung masuk ke dalam tubuh dan lucunya langsung berhasil dikuasai seenak udel mereka.
Selama ini, kita menganggap karakter paling powerful di MCU adalah Captain Marvel atau Scarlet Witch. Nah, sekarang bayangkan kalau kekuatan Captain Marvel ditambah dengan kekuatan puluhan karakter lainnya seperti Hulk dan Thor, apa tidak makin overpowered?
Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakseimbangan di semesta Marvel. Logikanya, jika ada karakter sekuat G’iah, maka tidak akan ada pihak yang berani macam-macam mengusik bumi. Bayangkan, kekuatan dari puluhan karakter terkumpul menjadi satu.
Konklusi Fury vs Gravik yang Mengecewakan
Di komik, kejadian Secret Invasion adalah pertarungan para pahlawan bumi melawan bangsa Skrull. Sayangnya, konklusi di versi serialnya justru Skrull vs Skrull, aliash G’iah vs Gravik. Fury berada di bagian bumi lain untuk menyelamatkan presiden.
Salah satu teman kerja Penulis benar-benar menyoroti hal ini dan merasa kecewa. Esensi dari Secret Invasion justru hilang di episode finale. Padahal, dari awal yang berkonflik adalah Fury vs Gravik. Namun, justru G’iah yang muncul untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Karakter Gravik sendiri sebenarnya cukup bagus di serial ini. Pengembangan karakter dan motivasinya benar-benar terasa kuat, tidak seperti villain di Ms. Marvel maupun She-Hulk. Sayanngya, kematiannya harus terjadi dengan cara yang mengecewakan.
Rhodey Telah Diculik Sejak Captain America: Civil War?
Sejak awal serial, sosok Rhodey telah dicurigai merupakan seorang Skrull. Hal tersebut akhirnya terkonfirmasi di episode 4. Pertanyaannya, sejak kapan bangsa Skrull menyandera Rhodey? Tidak ada keterangan resmi, tapi ada beberapa teori yang masuk akal.
Setelah G’iah mengalahkan Gravik, ia pun segera menyelamatkan orang-orang yang disekap oleh bangsa Skrull (entah bagaimana mereka bisa bertahan dalam waktu lama tanpa makan dan minum). Nah, salah satunya tentu ada sosok Rhodey.
Menariknya, ia menggunakan pakaian rumah sakit dan terlihat kesulitan berjalan. Ini seolah mengindikasikan kalau ia telah diculik sejak peristiwa Captain America: Civil War, yang membuatnya lumpuh karena jatuh dari ketinggian.
Jika teori tersebut benar, maka Rhodey telah disekap selama 9 – 10 tahun dan telah melewatkan banyak peristiwa, termasuk pertempuran melawan Thanos di Bumi dan kematian sahabatnya, Tony Stark. Jujur saja, ini benar-benar sulit untuk diterima.
Drama yang Menjemukan
Satu lagi hal yang tidak Penulis sukai dari serial ini adalah bumbu drama percintaan antara Nick Fury dan Varra. Penulis paham awalnya kisah mereka dibuat untuk membuat kejutan, di mana ternyata selama ini Fury memiliki seorang istri yang dirahasiakan dari publik.
Mengingat Clint Barton memiliki rahasia yang sama, sebenarnya hal ini bisa dimaklumi. Hanya saja, dosis kisah romansa mereka di film menurut Penulis terlalu overdosis hingga terasa menjemukan.
Memang seolah ada konflik batin pada Varra yang harus memilih cintanya atau bangsanya. Namun, dengan klisenya ia memilih untuk mengkhianati Gravik. Ia pun pada akhirnya ikut Fury ke markas SWORD dan mengupayakan diplomasi dengan bangsa Kree.
***
Jujur saja dengan banyaknya film dan serial Marvel yang mengecewakan akhir-akhir ini, Penulis jadi tidak sabar untuk menantikan datangnya era DC bersama James Gunn. Film perdananya, Superman: Legacy, masih baru tayang sekitar 2 – 3 tahun lagi.
Jika Marvel begini-begini terus dengan membuat film/serial dengan kualitas apa adanya, lama kelamaan para penggemar pun akan merasa muak dan memilih untuk pindah kubu, atau bahkan benar-benar berhenti menonton film superhero.
Lawang, 27 Juli 2023, terinspirasi setelah menonton Secret Invasion
Foto Featured Image: Comics Universe
Film & Serial
[REVIEW] Setelah Menonton Oppenheimer

“We knew the world would not be the same. A few people laughed, a few people cried, most people were silent. I remembered the line from the Hindu scripture, the Bhagavad-Gita. Vishnu is trying to persuade the Prince that he should do his duty and to impress him takes on his multi-armed form and says, ‘Now, I am become Death, the destroyer of worlds.’ I suppose we all thought that one way or another.”
– J. Robert Oppenheimer –
Film yang paling Penulis nantikan di tahun 2023 ini adalah Oppenheimer, sebuah biopik karya sutradara Christopher Nolan mengenai bapak bom atom Amerika Serika, J. Robert Oppenheimer.
Penulis telah “mengenal” beliau karena pidatonya yang terkenal digunakan oleh Linkin Park untuk lagu “The Radiance” dari album A Thousand Suns yang rilis pada tahun 2010 silam. Menjelang filmnya rilis, Penulis juga banyak mengulik tentang Oppenheimer.
Sempat merasa kecewa karena tidak banyak layar bioskop di Malang yang menayangkannya, akhirnya Penulis bisa membeli tiketnya di CGV pada hari Sabtu (22/7/23) kemarin di jam yang cukup pagi, yakni 10:40. Lantas, apakah film ini mampu memenuhi ekspektasi Penulis?
Jalan Cerita Oppenheimer
Sebagai sebuah biopik, kita akan melihat perjalanan Oppenheimer hingga bisa menciptakan sebuah bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki dalam sekejap. Pada tulisan kali ini, Penulis hanya akan menuliskan poin-poin pentingnya saja.
J. Robert Oppenheimer (Cillian Murphy) merupakan seorang fisikawan jenius yang sempat mengambil studi di Eropa. Ia sempat hendak membunuh profesornya, Patrick Blacket (James D’Arcy), sebelum akhirnya mengurungkan niatnya.
Setelah studinya selesai, ia pun kembali ke negara asalnya, Amerika Serikat, dan mengajar di University of California. Sembari berusaha menyebarkan pengetahuan mengenai fisika kuantum, ia bertemu dengan ilmuwan lainnya seperti Ernest Lawrence (Josh Hartnett).
Oppenheimer juga berkenalan dengan Jean Tatlock (Florence Pugh), seorang simpatisan komunis asal Rusia yang akhirnya memilih bunuh diri. Ia sendiri nantinya akan menikah dengan ahli biologi, Katherine “Kitty” Oppenheimer (Emily Blunt).
Saat Perang Dunia 2, Jerman di bawah kepemimpinan Hitler memporakporandakan Eropa dengan pasukannya. Tidak hanya itu, mereka juga sedang menciptakan bom yang sangat dahsyat.
Jenderal Leslie Groves (Matt Damon) lalu mendekati Oppenheimer dan memintanya memimpin Proyek Manhattan, sebuah proyek untuk menciptakan bom atom. Oppenheimer pun mengumpulkan ilmuwan ternama dan memilih Los Alamos sebagai lokasi penelitian.
Proses pembuatan bom atom bisa dikatakan lancar, bahkan Jerman keburu menyerah pada bulan Maret 1945. Target pun diubah ke Jepang, yang kala itu masih berperang melawan Amerika Serikat.
Pada bulan Juli 1945, tes pertama bom atom pun dilakukan, yang diberi nama Trinity Test. Uji coba tersebut berhasil, dan tak lama kemudian pemerintah Amerika Serikat mengirimkan bom tersebut ke Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 8 Agustus 1945.
Setelah Jepang menyerah, Oppenheimer melihat kalau penelitian bom atom sudah tidak diperlukan lagi. Namun, pemerintah Amerika Serikat tidak sependapat dan mulai meneliti bom hidrogen yang lebih berbahaya lagi.
Di sisi lain, Lewis Strauss (Robert Downey Jr.) yang merupakan anggota senior Komisi Energi Atom AS ternyata memiliki dendam pribadi karena pernah dipermalukan oleh Oppenheimer. Ia pun berusaha menjatuhkannya dengan berbagai cara.
Salah satunya adalah dengan membuat semacam persidangan untuk memberikan penolakan perpanjangan izin keamanan Oppenheimer. Alasannya kuat, karena ia memiliki afiliasi yang kuat dengan komunis, musuh Amerika Serikat di era perang dingin.
Oppenheimer pun seolah diasingkan oleh negaranya sendiri, terlepas dari jasanya yang membantu Amerika Serikat memenangkan perang. Meskipun begitu, ia menerima Penghargaan Enrico Fermi pada tahun 1963.
Di akhir film, kita bisa melihat apa yang diperbincangkan antara Oppenheimer dan Albert Einstein (Tom Conti), yang sempat diperlihatkan di bagian awal film. Ia bertanya, apakah ciptaannya telah membuat “reaksi berantai” untuk kehancuran dunia.
Setelah Menonton Oppenheimer
“Prometheus mencuri api dari para Dewa dan memberikannya kepada manusia. Lalu dia dihukum rantai di batu untuk selamanya.”
Dengan durasi tiga jam, film ini benar-benar terasa padat sekaligus berat. Pace-nya tergolong cepat dan mampu merangkum hampir seluruh aspek kehidupan dari Oppenheimer. Secara visual juga memanjakan mata, termasuk adegan ledakan bom yang tanpa CGI.
Menurut Penulis, film ini mampu memadukan ilmu pengetahuan, sejarah, dan drama dengan apik. Dialog-dialognya terdengar canggih karena banyak unsur-unsur fisika yang dimasukkan. Namun, anehnya Penulis justru menyukainya meskipun tidak benar-benar memahaminya.
Keputusan Nolan untuk tidak memasukkan adegan pengemboman Hiroshima dan Nagasaki juga Penulis rasa tepat, karena tanggung jawab Oppenheimer hanya sampai Trinity Test. Pengeboman ke Jepang adalah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Amerika Serikat.
Alur Maju Mundur ala Nolan
Sebagaimana film buatan Nolan seperti biasanya, alur film Oppenheimer dibuat maju mundur tidak karuan dan kompleks. Bahkan film ini memiliki dua persepsi, di mana adegan berwarna berarti fokus ke Oppenheimer, dan adegan hitam putih lebih fokus ke dendam Lewis Strauss.
Yang Penulis tangkap, alur cerita film ini terpaku pada persidangan yang harus dialami oleh Oppenheimer. Dari sana, kita akan dibawa flashback secara berurutan hingga akhirnya bom atom berhasil diciptakan, sembari diselingi kisah dari sudut pandang Strauss.
Akting Top Para Top-Tier Aktor
Akting para aktornya juga tidak perlu diragukan lagi, mengingat daftarnya memang dipenuhi oleh para aktor top-tier. Masing-masing mampu memerankan karakternya dengan sangat baik, hingga film ini lebih terasa sebagai dokumenter.
Cillian Murphy yang sudah sering bekerja dengan Nolan berhasil bersinar di film ini. Apalagi, raut wajahnya juga mirip dengan Oppenheimer asli. RDJ pun patut diapresiasi yang berhasil memerankan karakter “musuh di balik selimut” yang paranoid.
Mungkin yang sedikit Penulis sayangkan adalah sedikitnya kemunculan dari salah satu aktor favorit Penulis, Gary Oldman, yang berperan sebagai Presiden Truman. Ia hanya muncul ketika mengundang Oppenheimer hanya untuk mendengar keberatannya atas bom hidrogen.
Scoring yang Juara
Scoring film yang dipimpin Ludwig Göransson juga sangat juara. Awalnya Penulis agak skeptis karena bukan Hans Zimmer yang mengisi scoring-nya, tapi ternyata Göransson juga berhasil melakukannya dengan baik.
Entah itu adegan dialog, isi kepala Oppenheimer, hingga adegan ledakan bom, semuanya terdengar sangat mewah. Penulis pribadi takjub dengan efek sunyi ketika Trinity Test dilakukan. Rasanya ikut hanyut melihat bom tersebut meledak.
Oppenheimer Menjadi Promotheus
Adegan favorit Penulis selain adegan Trinity Test adalah percakapan antara Oppenheimer dan Einstein di akhir film. Ketakutan Oppenheimer benar-benar terjadi, karena ternyata perang tidak berakhir dengan bom ciptaannya.
Hal tersebut membuatnya menjadi Promotheus, sosok mitologi yang mencuri api dari para dewa untuk manusia. Ternyata, api tersebut juga digunakan untuk keburukan. Kurang lebih, itu juga yang terjadi dari bom atom ciptaan Oppenheimer.
Meskipun selama ini belum ada pernyataan maaf resmi dari Oppenheimer atas apa yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki, ia terkesan menyesal dengan ciptaannya tersebut. Banyak yang mengintepretasikan pidatonya yang mengutip Bhagavad Gita sebagai bentuk penyesalan.
***
Sebagai orang yang suka sejarah, Penulis sangat menikmati Oppenheimer, meskipun dirinya baru paham bagaimana alurnya setelah film berakhir. Nolan berhasil memberikan pengalaman menonton yang baru untuk Penulis dengan gaya bercerita yang unik dan tidak membosankan.
Namun, rasanya tidak semua orang bisa menikmati film ini karena ceritanya yang penuh dialog dan alur yang meloncat-loncat. Walaupun begitu, rasanya film ini akan dengan mudah masuk ke dalam nominasi Oscar, bahkan memenangkannya.
Lawang, 23 Juli 2023, terinspirasi setelah menonton Oppenheimer
Foto Featured Image: Games Radar
Film & Serial
[REVIEW] Setelah Menonton The Flash

Meskipun menyukai film-film bergenre superhero, Penulis jarang menonton film-film DC Extended Universe (DCEU) karena bisa dibilang cukup “berantakan” jika dibandingkan dengan rival abadinya, Marvel Cinematic Universe (MCU).
Namun, Penulis akhirnya memutuskan untuk menonton The Flash karena dua alasan. Pertama, ada Batman versi Michael Keaton yang legendaris. Kedua, karena film ini termasuk film terakhir DCEU sebelum era James Gunn bersama DC Universe-nya.
Apalagi, film ini juga mengusung tema multiverse yang tampaknya memang sedang menjadi tren di film-film superhero. Sebelumnya sudah ada Spider-Man: No Way Home, Doctor Strange in the Multiverse of Madness, bahkan Everything Everywhere All at Once.
Jalan Cerita The Flash
Barry Allen alias The Flash (Ezra Miller) menjalani kehidupannya sebagai seorang superhero seperti biasa, sebelum ia menyadari kalau dirinya bisa melakukan perjalanan lintas waktu dan memasukin suatu realm yang disebut Chronobowl.
Ia pun memanfaatkan kekuatan barunya tersebut untuk menyelamatkan ibunya yang tewas di masa lalu. Apa yang Barry lakukan sederhana saja, yaitu memasukkan kaleng tomat yang ibunya lupakan sewaktu belanja, agar ayahnya tetap di rumah.
Setelah selesai melakukan hal tersebut, Barry pulang ke masa kini. Tiba-tiba, ia didorong oleh suatu makhluk yang membuatnya terlempar ke universe lain. Di universe tersebut, ibunya hidup, tetapi Barry di universe tersebut (Barry 2) belum mendapatkan kekuatannya.
Khawatir dirinya tidak bisa kembali ke masa kini, Barry pun membawa Barry satunya ke tempat di mana ia mendapatkan kekuatannya. Naas, ia justru kehilangan kekuatannya, dan Barry 2-lah yang memiliki kekuatan The Flash.
Hal ini diperparah dengan kemunculan General Zod (Michael Shannon), dengan misi yang sama dengan film Man of Steel (2013). Masalahnya, ternyata tidak ada Superman di universe tersebut, bahkan tidak ada metahuman satu pun di sana.
Untungnya, ternyata ada Batman di universe tersebut. Kedua Barry pun datang ke rumah Bruce Wayne yang ternyata berbeda versi, yakni versi Michael Keaton. Mereka pun menemukan fakta kalau pesawat yang membawa Superman ada di Rusia.
Sesampainya di sana, mereka ternyata tidak menemukan Superman, melainkan seorang perempuan yang diketahui bernama Kara Zor-El (Sasha Calle), sepupu Superman. Namun, karena pernah disiksa manusia, ia tak berniat menyelamatkan mereka dari Zod.
Barry pun memutuskan untuk mengulang peristiwa di mana ia mendapatkan kekuatan The Flash. Setelah percobaan pertama gagal, Kara kembali karena melihat kesadisan Zod. Barry pun mendapatkan mereka kembali, dan mereka berempat pergi menuju tempat Zod.
Pertarungan pun terjadi, di mana Batman dan Kara tewas. Barry 2 pun memutuskan untuk melakukan perjalanan waktu untuk meng-undo peristiwa tersebut. Sayangnya, berapa kali pun diputar, Batman dan Kara tetap tewas.
Pada akhirnya, saat di Chronobowl dan Barry memutuskan untuk kembali ke masa lalu untuk membatalkan aksinya yang menyelamatkan nyawa ibunya, muncul varian masa depan dari Barry 2 yang terus berusaha mencari timeline di mana Batman dan Kara tidak tewas.
Ternyata akibat perbuatan tersebut, banyak universe yang bertabrakan. Di sini, kita bisa melihat banyak cameo yang sayangnya menggunakan CGI, seperti munculnya Superman versi Nicholas Cage dan Christopher Reeves.
Setelah percekcokan, Barry 2 melindungi Barry, yang membuat varian “Dark Flash” tersebut hilang. Barry pun kembali ke masa lalu, berpamitan dengan ibunya, lalu mengubah sedikit posisi kaleng tomat agar ayahnya bisa lepas dari tuduhan pembunuhan ibunya.
Barry pun akhirnya kembali ke masa kini dan ayahnya benar-benar bebas dari tuduhan. Namun, saat akan bertemu dengan Bruce Wayne, yang muncul justru Bruce Wayne versi George Clooney!
Setelah Menonton The Flash
Film The Flash sebenarnya cukup menyenangkan ditonton. Penulis pribadi menyukai sepertiga film yang terkesan rapi dan runut. Motivasi The Flash ingin mengubah masa lalu terasa humanis dan tidak memaksa, sehingga menimbulkan simpati pada penonton.
Selain itu, banyaknya cameo juga memberikan efek kejut yang menyenangkan. Penulis sendiri paling terkejut sampai mengumpat ketika melihat George Cloone comeback setelah film Batman-nya yang gagal total itu. Sayangnya, konsep time travel-nya berantakan.
Jika melihat apa yang dilakukan Barry di awal, kita menyimpulkan bahwa apa yang diubah di masa lalu akan mengubah apa yang terjadi di masa kini. Bisa dilihat kalau sekaleng tomat bisa begitu mengubah banyak sejarah dan kejadian di masa depan, alias butterfly effect.
Konsep ini berbeda dengan yang diterapkan pada film Avengers: Endgame, tetapi sama dengan film Deadpool 2 dan X-Men: Days of the Future Past. Namun, tentu ini menimbulkan paradoks yang sangat kompleks, bahkan sejak awal.
Dengan tidak pernah tewasnya ibu Barry, maka kemungkinan ia tidak akan pernah menjadi The Flash. Jika ia tidak pernah menjadi The Flash, maka perjalanan waktu tersebut tidak akan pernah terjadi. Jika perjalanan waktu tersebut tidak terjadi, ibu Barry akan tetap tewas.
Selain itu, terasa ada cukup banyak inkonsistensi di konsep time travel-nya. Kematian Barry 2 karena variannya cukup aneh, karena jika Barry 2 mati saat itu, maka Barry 2 dari masa depan tidak akan pernah ada, dan tidak akan mendorong Barry keluar dari Chronobowl.
Sebenarnya hal ini cukup disayangkan, mengingat film ini terinspirasi dari komik Flashpoint yang terkenal. Konsep multiverse jadi kurang tepat, karena Barry hanya berusaha mengubah timeline waktunya sendiri, bukan pergi ke universe lain.
Mengingat film ini disebut akan mereset DC, Penulis tidak merasakan hal tersebut. Justru muncul banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab dan rasanya tidak akan terjawab. Salah satunya adalah, bagaimana nasib The Flash di DCU-nya James Gunn? Tidak tahu.
Hal lain yang cukup mengganggu Penulis adalah CGI-nya yang lumayan buruk, terutama saat The Flash masuk ke Chronobowl. Meskipun sang sutradara sudah memberikan penjelasan, tetap saja Penulis merasa ganjil, terutama ketika ada adegan CGI dari alm. Christopher Reeves.
Sebelum DCU dimulai dengan film Superman: Legacy, DCEU akan ditutup dengan film Aquaman and the Lost Kingdom. Apakah Penulis akan menontonnya? Tampaknya tidak, mengingat alasan utama Penulis menonton The Flash adalah karena ada Batman-nya.
Lawang, 25 Juni 2023, terinspirasi setelah menonton The Flash
Sumber Featured Image: Collider
- Musik4 bulan ago
Maskulinitas pada Musik Dewa
- Buku4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap
- Anime & Komik4 bulan ago
Alasan Saya Tidak Suka One Piece
- Musik5 bulan ago
9 Personel Twice dan Impresi Saya ke Mereka
- Permainan4 bulan ago
Koleksi Board Game #6 King of New York
- Pengembangan Diri5 bulan ago
Pada Akhirnya, Kebaikan yang Kita Lakukan akan Kembali ke Diri Sendiri
- Fiksi4 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold (Spoiler Version)
- Sosial Budaya4 bulan ago
Hype Konser Coldplay di Indonesia: Beneran Nge-fans atau Sekadar FOMO?