Connect with us

Film & Serial

[REVIEW] Setelah Menonton Guardians of the Galaxy Vol. 3

Published

on

Marvel Cinematic Universe (MCU) Phase 5 dibuka dengan kurang memuaskan karena film Ant-Man and the Wasp: Quantumania yang menurut Penulis banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, Penulis pun menurunkan ekspektasinya untuk film-film Marvel selanjutnya.

Nah, film Marvel selanjutnya yang tayang adalah Guardians of the Galaxy Vol. 3. Kembali disutradarai oleh James Gunn sebelum ia pindah ke DC, film ini akan menjadi penutup trilogi dari para Guardians, setidaknya untuk komposisi tim yang telah kita kenal selama ini.

Ekspektasi Penulis yang semula sudah diturunkan, menjadi sedikit naik lagi berkat rating kritikus di situs Rotten Tomatoes yang berada di angka 81%. Setidaknya, film ini memiliki rating yang jauh lebih baik dari beberapa film terakhir.

Seperti biasa untuk menghindari tukang spoiler, Penulis pun menonton di hari perdana penayangannya pada Rabu (3/5/23) kemarin. Hasilnya, Penulis merasa film ini adalah yang terbaik di antara semua film Marvel yang telah rilis di Multiverse Saga.

Jalan Cerita Guardians of the Galaxy Vol. 3

Pada adegan pembuka film, kita bisa melihat sekilas mengenai masa lalu Rocket Raccoon (Bradley Cooper) di kandang bersama sekumpulan rakun lainnya. Penulis akan ceritakan kisah Rocket secara lengkap setelah menceritakan timeline utamanya

Lantas, seperti yang sudah terlihat di Guardians of the Galaxy Vol. 3 Holiday Special, para Guardians masih terlihat sedang membangun peradaban baru di Knowhere. Para Guardians kesayangan kita pun terlihat lengkap.

Kita juga bisa melihat kalau Peter Quill (Chris Pratt) masih merasa depresi karena kehilangan Gamora (Zoe Saldana) hingga mabuk. Tiba-tiba, Knowhere diserang oleh Adam Warlock (Will Pouter) yang punya misi menculik Rocket sekaligus balas dendam.

Ternyata, Adam adalah makhluk yang sempat disebut dalam akhir Guardians of the Galaxy Vol. 2, di mana ia adalah makluk paling sempurna dari bangsa Sovereign. Terkuak juga fakta kalau bangsa tersebut (termasuk Adam) adalah buatan High Evolutionary (Chukwudi Iwuji).

High Evolutionary adalah villain utama di film ini, yang memiliki ambisi untuk membangun peradaban sempurna dengan makhluk yang juga sempurna. Rocket adalah salah satu makhluk ciptaannya, dan ia ingin menculik Rocket karena tertarik dengan kecerdasan otaknya.

Untungnya, upaya Adam bisa digagalkan setelah Nebula (Karen Gillan) menusuk Adam, tetapi Rocket terluka parah dan terancam mati.. Ketika mencoba untuk menyelamatkannya, diketahui ada sebuah sistem yang membutuhkan passcode agar Rocket bisa selamat.

Sepanjang film, kita akan dibawa maju mundur untuk mengetahui backstory Rocket yang memilukan. Diketahui juga ia memiliki teman-teman sesama kelinci percobaan dari High Evolutionary, yaitu Lylla, Teefs, dan Floor.

Petualangan para Guardians untuk menyelamatkan hidup Rocket pun dimulai. Mereka menuju ke Orgocorp dengan harapan bisa mendapatkan data tentang Rocket. Menariknya, mereka dibantu oleh Gamora versi masa lalu yang muncul dari film Avengers: Endgame.

Sayangnya, passcode-nya gagal mereka temukan. Namun, mereka menemukan fakta kalau passcode tersebut terdapat pada salah satu anak buah High Evolutionary. Mereka pun memutuskan untuk pergi ke Counter-Earth, planet buatan High Evolutionary.

Para Guardians pun terbagi menjadi dua tim, di mana Peter, Nebula, dan Groot (Vin Diesel) pergi menemui High Evolutionary, sedangkan Drax (Dave Bautista), Mantis (Pom Klementieff), dan Gamor berjaga di pesawat untuk menjaga Rocket yang sekarat.

Ternyata, High Evolutionary berencana menghancurkan Counter-Earth karena merasa tidak puas dengan ciptaannya. Di sisi lain, Drax dan Mantis justru menyusul Peter. Untungnya, Rocket yang diincar berhasil dilindungi oleh Gamora.

Peter berhasil mendapatkan passcode yang dibutuhkan dan Rocket hampir saja tidak selamat. Setelah itu, mereka pun memiliki misi baru untuk menyelamatkan anak-anak yang hendak dijadikan kelinci percobaan berikutnya oleh High Evolutionary.

Klimaks pun akhirnya terjadi. Setelah berhasil menyerang kapal induk High Evolutionary dan menyelamatkan anak-anak yang diculik, Rocket menemukan fakta bahwa ternyata dirinya adalah rakun. Setelah itu, ia dan para Guardians pun berhasil mengalahkan High Evolutionary.

Seusai konflik berakhir, ternyata para Guardians berpencar dengan tujuannya masing-masing. Peter ingin kembali ke Bumi dan hidup bersama kakeknya, sedangkan Mantis ingin mencari jadi dirinya sendiri.

Nebula ingin memimpin peradaban baru di Knowhere, di mana ia meminta tolong kepada Drax untuk membantunya karena ia telah melihat sosok ayah yang akan mampu membantunya membimbing anak-anak yang berhasil mereka selamatkan.

Guardians of the Galaxy akan dipimpin oleh Rocket, bersama Alpha-Groot, Kraglin (Sean Gunn), dan Cosmo (Maria Bakalova). Selain itu di adegan post credit, diketahui kalau Adam Warlock dan salah satu anak kecil yang tadi juga bergabung ke dalam tim.

Origins Story dari Rocket Raccoon

Rocket ditangkap oleh High Evolutionary untuk dijadikan sebagai kelinci percobaan dalam membuat makhluk yang sempurna. Menariknya, ketika ada adegan tangan di awal film, Rocket menjadi satu-satunya rakun yang tidak terlihat takut, bahkan terkesan penasaran.

Ia dikurung di kandang bersama teman-temannya sesama Batch 89, yaitu berang-berang bernama Lylla, walrus bernama Teefs, dan kelinci bernama Floor. Mereka berempat sama-sama tidak memiliki tubuh normal karena telah dimodifikasi oleh High Evolutionary.

Ternyata, Rocket memang spesial. Bahkan, ia bisa mengerjakan rumus atau formula tingkat tinggi dengan mudah. Tak heran jika High Evolutionary begitu tertarik dengan Rocket, hingga terkesan sedikit menganggapnya spesial.

Apalagi, Rocket berhasil memecahkan masalah dari Batch 90, di mana makhluk-makhluk yang berevolusi menjadi sangat buas. Sayangnya, ketika telah memecahkan masalah ini, High Evolutionary justru berencana menghabisi semua anggota Batch 89.

Rocket yang cerdik pun ternyata diam-diam telah mengumpulkan peralatan untuk bisa kabur dari markas High Evolutionary. Naas, rencana tersebut telah diendus oleh High Evolutionary dan ia menembak mati semua teman-teman Rocket.

Dikuasai oleh amarah, Rocket pun mencabik-cabik muka High Evolutionary, hingga di masa sekarang kita bisa melihat kalau wajahnya hanya topeng. Setelah itu, ia berhasil kabur dengan menggunakan salah satu pesawat yang ada di sana.

Setelah Menonton Guardians of the Galaxy Vol. 3

Sudah lama Marvel tidak merilis film yang bagus seperti ini. Film ini dengan mudah akan masuk ke dalam Tier S versi Penulis. Hampir semua elemen yang diharapkan ada benar-benar muncul di film ini. Penulis akan melakukan breakdown untuk mengulasnya lebih dalam.

Cerita Sederhana, tapi Ngena

Jika dilihat dari kacamata storytelling, sebenarnya premis yang dimiliki oleh Guardians of the Galaxy Vol. 3 cukup sederhana. Ceritanya adalah tentang bagaimana menyelamatkan nyawa Rocket Raccoon sekaligus mengakhiri kegilaan dari High Evolutionary.

Hanya saja, James Gunn berhasil meramu film ini dengan baik, sehingga di balik kesederhanaannya, penonton mampu menangkap esensi film ini dari masing-masing karakternya.

Tentu saja Rocket menjadi pusat utama dari film ini dengan origin story-nya yang menurut Nebula lebih buruk dari dirinya. Namun, semua karakter mendapatkan porsi yang pas dan seolah mendapatkan redemption-nya masing-masing.

Mari kita bandingkan dengan kedua film sebelumnya. Film pertama adalah tentang Peter dan ibunya, sedangkan film kedua tentang Peter dan ayahnya. Kedua film sebelumnya terlalu berfokus ke Peter, dan itu sangat berbeda dengan film ketiga ini.

Sebagai sosok sentral para Guardians selama ini, Peter pada akhirnya memutuskan untuk step away dan memilih untuk pulang ke Bumi untuk tinggal bersama kakeknya, keluarganya yang masih hidup. Dari adegan post credit, tampaknya kita masih akan melihatnya di MCU.

Rocket pada akhirnya mengetahui dan menerima siapa dirinya. Bahkan, ia pada akhirnya menjadi kapten dari Guardians of the Galaxy. Groot terasa kurang mendapatkan spotlight di film ini, berbeda dengan ketika ia masih remaja dengan berbagai problematikanya.

Nebula sah menjadi salah satu character development terbaik di MCU. Dari awalnya seorang karakter keras yang hanya berambisi mengalahkan Gamora, ia berubah menjadi orang yang lebih peduli ke orang lain, hingga akhirnya memutuskan untuk memimpin Knowhere.

Drax berhasil membuktikan bahwa dirinya bukan hanya karakter yang bodoh dan sekadar joke. Seperti kata Nebula, ia bukanlah seorang destroyer, melainkan seorang dad atau ayah. Masa lalunya yang kehilangan anaknya mungkin berperan besar dalam hal ini.

Mantis memilih untuk mencari dirinya sendiri, setelah selama ini ia selalu hidup menuruti Ego dan Guardians. Ia ingin memiliki free will yang selama ini belum ia miliki. Kraglin pun akhirnya berhasil berhenti menjadi Yondu dan menjadi dirinya sendiri.

Rollercoster Emosi

Dari semua film dan serial MCU yang telah Penulis tonton, jujur saja Guardians of the Galaxy Vol. 3 menjadi film yang paling mampu menaikturunkan emosi Penulis. Tidak hanya itu, film ini juga menjadi yang paling menyentuh dan hampir membuat Penulis menangis.

Sebagaimana dua film Guardians of the Galaxy sebelumnya, film ini memiliki komedi yang khas. Hampir semua leluconnya terasa natural dan tidak maksa. Penulis yang selera humornya agak rendah berhasil dibuat tertawa beberapa kali.

Adegan yang membuat hati pilu pun tak kalah banyak, terutama jika terkait dengan masa lalu Rocket. Ketika Rocket berteriak pilu saat Lylla mati benar-benar mengiris hati. Saat Rocket memasuki Limbo dan Peter merasa gagal menyelamatnya, itu juga menyayat hati.

Namun, ada satu adegan yang sebentar saja, tapi mampu membuat Penulis merinding. Adegan tersebut adalah ketika Kraglin tiba-tiba melihat sosok Yondu yang pada akhirnya membuatnya berhasil mengendalikan panah peninggalannya.

Bagi Penulis, kematian Yondu adalah yang paling menyedihkan dari seluruh film dan serial MCU, bahkan melebihi kematian Tony Stark dan Natasha Romanoff. Sosoknya yang cukup plot twist berhasil membuat Penulis merasa kehilangan atas kematiannya.

Adam Warlock Kurang Memuaskan, tapi Termaafkan

Tentu tidak ada film yang sempurna. Bagi Penulis, ada beberapa kekurangan dari film ini, seperti bagaimana Adam Warlock yang Penulis harapkan akan jadi karakter OP, justru terlihat hanya menjadi “tempelan” saja di film ini.

Memang di film ini, Adam baru saja lahir sehingga masih banyak hal yang belum ia pahami. Hanya saja, awalnya Penulis membayangkan ia akan berperan penting dalam mengalahkan High Evolutionary. Ternyata, tidak, ia hanya menjadi penyelamat Peter di akhir film.

Namun, jika dipikir-pikir lagi, film ini memang hanya menjadi ajang perkenalan karakter ini di MCU. Jika porsinya diperbanyak, justru akan membuat alur cerita film ini terasa tumpang tindih. Oleh karena itu, kekurangan tersebut menjadi termaafkan.

Selain itu, High Evolutionary di film ini juga terasa sedikit kurang di bagian akhirnya. Sama seperti Gorr di film Thor: Love and Thunder, villain yang satu ini terasa kurang dieksplorasi lebih dalam sehingga terasa sia-sia.

Padahal, akting dari Chukwudi Iwuji terlihat meyakinkan dan membuat kita benar-benar membenci High Evolutionary yang begitu kejam. Satu lagi yang disayangkan, karakter ini ternyata cukup lemah dan bisa dikalahkan dengan mudah.

Selain itu, rasanya tidak ada hal yang Penulis keluhkan dari film ini. Guardians of the Galaxy Vol. 3 menjadi kado perpisahan yang manis dari James Gunn, karena setelah ini ia akan memimpin DC Universe memasuki era baru.


Lawang, 6 Mei 2023, terinspirasi setelah menonton Guardians of the Galaxy Vol. 3

Featured Image: IGN

Advertisement
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Film & Serial

[REVIEW] Setelah Menonton X-Men ‘97

Published

on

By

Rasanya sudah semakin jarang Marvel Cinematic Universe (MCU) merilis serial yang berkualitas. Dalam rentang waktu satu tahun terakhir, praktis hanya serial Loki Season 2 yang bisa dinikmati dan mampu menyajikan cerita yang menarik.

Untungnya, serial animasi terbaru yang dirilis MCU akhirnya mampu mematahkan hal buruk tersebut, yakni X-Men ’97. Penulis bukan penggemar die hard X-Men, tapi cukup familiar dengan karakter-karakternya karena pernah membacanya di majalah waktu kecil.

Serial asli X-Men yang rilis di tahun 90-an pun Penulis merasa tidak pernah menontonnya, walaupun theme song-nya terasa sangat familiar. Mungkin Penulis pernah menontonnya, tapi tidak bisa mengingatnya.

Yang jelas, Penulis memutuskan untuk menonton serial X-Men ’97 karena merasa penasaran. Penulis sampai harus menonton rekap serial animasi aslinya agar bisa catch up dan memahami konflik apa yang akan dihadapi oleh para X-Men.

Jalan Cerita X-Men ’97

Meskipun menggunakan gaya animasi yang berbeda dengan versi aslinya, X-Men ’97 merupakan sekuel langsung dengan gaya animasi yang telah menyesuaikan dengan era modern. Artinya, ceritanya pun nyambung dengan serial aslinya.

Di awal cerita, kita mengetahui bahwa Profesor Xavier telah dibawa ke luar angkasa oleh Lilandra demi menyelamatkan nyawanya. Lantas, X-Men pun secara mengejutkan jadi dipimpin oleh Magneto.

Beberapa kejadian pun terjadi selama Magneto menjadi pemimpin, termasuk Storm yang kehilangan kekuatannya. Selain itu, diketahui bahwa Jean Gray yang selama ini bersama X-Men ternyata hanya klon yang dibuat oleh Mister Sinister.

Klimaks konflik dari musim kali ini adalah penyerangan besar-besaran yang menghancurkan Genosha. Kejadian ini membuat karakter X-Men favorit Penulis, Gambit, harus tewas. Selain itu, Magneto juga berhasil diculik dan menghilang dalam waktu yang cukup lama.

Siapa dalang di balik penyerangan Genosha? Ternyata dia adalah Bastion, humanoid yang merupakan gabungan dari Nimrod dan Master Mold. Ia sangat membenci mutan, mengingat ia berasal dari entitas yang bertujuan untuk memusnahkan semua mutan.

Bastion tidak sendirian, ia dibantu oleh Mister Sinister dalam menjalankan misinya untuk memusnahkan mutan. Masalah makin pelik bagi X-Men, karena Magneto yang diculik berhasil kabur dan mematikan semua listrik di dunia dan menyatakan perang kepada manusia.

Di saat genting tersebut, Profesor Xavier pulang ke Bumi untuk menyelesaikan konflik yang ada. X-Men dibagi menjadi dua tim, satu berusaha menghentikan Magneto dan satu lagi menyerang Bastion yang melepaskan Prime Sentinels ke seluruh dunia.

Singkat cerita, pada akhirnya X-Men berhasil melakukan kedua misi tersebut. Namun, Asteroid M yang menjadi markas Magneto terjun ke Bumi dan berpotensi menyebabkan kiamat. Berbagai upaya dilakukan, tapi akhirnya Magneto-lah yang menghentikan insiden tersebut.

Setelah kejadian tersebut, banyak tokoh X-Men yang hilang dan tidak ditemukan. Pada akhirnya, terkuak kalau para X-Men terlempar ke lini masa yang berbeda, yang akan menjadi premis utama di musim selanjutnya.

Setelah Menonton X-Men ’97

Setelah selesai menonton semua 10 episodenya, Penulis merasa cukup puas dengan serial ini. Gaya animasinya, walaupun tidak unik seperti What If…?, cukup memanjakan mata. Dialog-dialog yang dimiliki, terutama yang keluar dari mulut Magneto, juga berkesan.

Meskipun Penulis tidak terlalu mengikuti X-Men, Penulis cukup mudah mengenali karakter-karakter yang ada di serial ini karena Penulis merupakan pemain Marvel Snap. Desain karakter yang ada di game TCG tersebut sama dengan yang ada di serial ini.

Selain karakter yang sudah familiar seperti Wolverine, Cyclops, Storm, Gambit, Beast, dan lainnya, Penulis langsung mengetahui karakter-karakter lainnya yang selama ini kurang ditonjolkan di film-film live-action seperti Jubilee, Morph, Sentinel, hingga Mister Sinister.

Penulis cukup menyayangkan kematian Gambit. Sudah di film live-action jarang muncul, sekalinya muncul di serial animasi malah harus mati. Namun, kematiannya yang heroik menjadi salah satu momen terbaik di serial ini.

Selain itu, ada banyak cameo menarik yang dimunculkan, mulai dari Captain America, Spider-Man, Silver Samurai, Omega Red, hingga Iron Man. Dengan kemunculan mereka, Penulis jadi berharap kalau di musim-musim selanjutkan akan ada tema X-Men vs Avengers.

Untuk konflik ceritanya sendiri bisa dibilang cukup berat, sehingga serial ini rasanya kurang cocok untuk anak-anak. Tema politik “manusia vs mutan” masih menjadi isu utama, di mana ada pihak yang ingin memusnahkan mutan dari Bumi karena berbagai alasan.

Salah satu poin utama yang membuat serial ini outstanding adalah bagaimana posisi Magneto yang tidak menjadi antagonis. Di serial ini, Magneto justru berusaha memahami apa keinginan Profesor Xavier, sebelum akhirnya merasa kalau usahanya berakhir sia-sia.

Bastion sebagai antagonis utama di serial ini juga terlihat sebagai musuh yang sulit untuk ditakhlukkan. Motivasinya untuk memusnahkan mutan mungkin kurang deep, tapi cukup kuat dan masuk akal. Pemilihannya sebagai villain utama sangat tepat.

Kesimpulannya, serial X-Men ’97 berhasil menjadi oase di tengah gempuran serial Marvel lain yang kurang berkualitas. Walaupun tidak menonton serial aslinya, kita masih akan bisa menikmati jalan ceritanya tanpa perlu pusing.

Rating: 8/10


Lawang, 28 Mei 2024, terinspirasi setelah menonton serial X-Men ’97

Foto Featured Image: Variety

Continue Reading

Film & Serial

Tulisan Ini Merangkum Ulasan Film dan Serial MCU yang Terlewat

Published

on

By

Biasanya, setiap ada film atau serial Marvel Cinematic Universe (MCU) yang selesai ditonton, Penulis akan membuat artikel ulasannya. Walaupun kadang telat satu bulan, artikel tersebut akan tetap ditulis.

Namun, beberapa bulan terakhir, Penulis melewatkan cukup banyak film dan serial MCU karena kesibukan (dan kemalasan) untuk diulas. Padahal, setelah serial Secret Invasion yang mengecewakan, MCU merilis tiga serial dan satu film layar lebar.

Meskipun sudah telat berbulan-bulan, ada rasa bersalah karena telah melewatkan mereka semua. Oleh karena itu, agar tidak lagi terbebani dengan hutang artikel, Penulis memutuskan untuk merangkum semuanya dalam satu artikel.

Rangkuman Ulasan Film dan Serial MCU

Setelah serial Secret Invasion, Marvel merilis tiga serial lagi, yakni Loki Season 2, What If…? Season 2, dan Echo. Selain itu, Marvel juga merilis film layar lebar terakhir di tahun 2023, yakni The Marvels.

Lantas, bagaimana pendapat Penulis tentang film dan serial-serial tersebut? Apakah semakin memundurkan kualitas MCU, atau justru berhasil menyelamatkannya? Berikut adalah ulasan Penulis selengkapnya!

Review Loki Season 2

Singkat kata, Loki Season 2 adalah serial terbaik yang pernah diproduksi oleh MCU. Bahkan, lebih bagus dari WandaVision yang sebelumnya Penulis anggap sebagai serial terbaik. Serial ini, dari episode pertama hingga terakhir, berhasil konsisten menyajikan tontonan yang berkualitas.

Setelah menonton episode 4, Penulis sudah menuliskan bahwa serial ini benar-benar terasa menjadi oase di tengah film dan serial Marvel lainnya yang begitu buruk. Hampir mayoritas menganggap kalau serial ini berhasil menyelamatkan muka Marvel yang terus-menerus dikritik.

Apa yang paling Penulis suka dari serial ini adalah pengembangan karakter yang dialami oleh Loki. Dari yang awalnya antagonis narsistik menjadi penyelamat universe dengan mengorbankan egonya. Siapa yang menyangka kalau God of Mischief rela melakukan sejauh itu?

Karakter-karakter pendukungnya pun tak kalah menarik. Apresiasi perlu disematkan ke Ke Huy Quan yang memerankan karakter OB. Sekali lagi, ia menjadi karakter yang dengan mudah dicintai oleh penontonnya.

Kesimpulannya, serial ini jelas akan menjadi parameter ke depannya kalau sebuah serial Marvel minimal ya memiliki kualitas cerita seperti ini. Standar yang jelas tinggi, sehingga para penonton pun harus bisa mengelola ekspektasinya dengan bijak.

SKOR: 9/10

Review The Marvels

The Marvels adalah film yang benar-benar biasa saja. Plot cerita, biasa, lurus tanpa plot twist. Villain utama biasa saja, tipe yang akan mudah dilupakan. Malah, sepanjang nonton film ini, Penulis merasa kalau film ini benar-benar tipe M-She-U yang sering diungkapkan oleh netizen.

Salah satu hal yang paling membuat Penulis kesal adalah bagaimana Captain Marvel, yang notabene menjadi salah satu superhero terkuat di MCU, terlihat kewalahan melawan villain yang kemampuannya B aja. Sangat terlihat kalau ia cukup di-nerf demi kepentingan cerita.

Dramanya dengan Monica Rambeau juga terasa canggung dan tidak natural. Seperti klise pada umumnya, konflik antara Monica dan Captain Marvel hanya karena miskomunikasi yang selesai ketika mereka akhirnya berbicara dari hati ke hati.

Di sisi lain, mungkin kehadiran Kamala Khan bisa dibilang membuat film ini setidaknya terasa segar dan berwarna. Karakternya yang lovable di serial Ms. Marvel berhasil dipertahankan di film ini dan seolah menjadi “anak bontot” dari tiga bersaudara.

Memang ada sedikit kejutan di bagian akhir, tapi jujur sama sekali tidak mengejutkan karena rumornya sudah santer terdengar sebelum filmnya rilis. Kamala mendatangi Kate Bishop dari serial Hawkeye untuk bergabung dengan “Avengers” baru, sedangkan Monica terlempar ke universe lain di mana ia bertemu dengan Beast dari X-Men.

SKOR: 6/10

Review What If…? Season 2

Mengingat musim pertamanya berhasil menyajikan cerita-cerita yang menarik, Penulis pun berekspektasi kalau musim kedua dari serial What If…? akan sama bagusnya. Sayangnya, ekspektasi tersebut dipatahkan begitu saja.

Berbeda dengan musim pertamanya, serial ini dirilis setiap hari, bukan setiap minggu. Tentu harusnya hal tersebut membuat penggemar senang, bukan? Iya, jika jalan ceritanya sebagus musim pertamanya. Musim kedua ini bisa dibilang lumayan mengecewakan.

Pertama, episode-episodenya tidak terlalu saling terkait seperti musim pertama. Ada beberapa episode yang sama sekali tidak memiliki pengaruh ke finale episode-nya. Kedua, serial ini terlalu berfokus ke Captain Carter, seolah semakin menegaskan MCU itu M-She-U.

Ketika, karakter Supreme Strange yang sudah menjalani character development di musim pertama menjadi villain lagi, bahkan villain utama. Tujuannya pun sama, menghidupkan kembali Christie dengan membuat ulang semestanya yang telah hancur.

Salah satu poin positif dari serial ini adalah adanya karakter Kahhori, yang merupakan karakter orisinal untuk serial What If…?. Ia pun bekerja sama dengan Captain Carter untuk mengalahkan Supreme Strange dan menyelamatkan multiverse.

SKOR: 6/10

Review Echo

Di awal tahun 2024, Marvel merilis sebuah serial baru berjudul Echo, yang merupakan seri pertama yang masuk ke dalam seri Marvel Spotlight. Serial ini berfokus ke karakter Maya Lopez, yang telah muncul di serial Hawkeye.

Mungkin Marvel sudah punya feeling kalau serial ini tidak akan terlalu berhasil, sehingga mereka memutuskan untuk merilis semua episodenya dalam satu hari. Keputusan tersebut mungkin benar, karena serial ini cukup membuat Penulis garuk-garuk kepala.

Selama beberapa episode awal, Penulis benar-benar dibuat bingung mau dibawa ke arah mana serial ini. Apakah ini merupakan perjalanan awal Maya menjadi superhero, pembalasan dendam masa lalu, atau malah cuma jadi pemanasan serial Daredevil Born Again.

Rupanya, serial ini pada akhirnya berfokus bagaimana Maya menyelesaikan konflik dengan Kingpin, yang selama ini sudah dianggap sebagai pamannya sendiri. Namun, penyelesaian konfliknya di episode terakhir pun terasa aneh dan berakhir begitu saja.

Karakter Kingpin di sini jelas berhasil mencuri perhatian berkat akting dari Vincent D’Onofrio. Sayangnya, karakter Maya terasa kurang berhasil digali potensinya untuk menjadi karakter besar di MCU. Apalagi, tidak jelas bagaimana nasibnya di masa depan MCU.

SKOR: 5/10

Penutup

Dari empat film/serial yang Penulis ulas di atas, hanya Loki Season 2 yang Penulis anggap berhasil. Ini tentu menunjukkan kalau MCU masih harus berbenah jika tidak ingin ditinggalkan oleh penggemarnya.

Sejauh ini, sudah ada banyak upaya untuk menyelamatkan muka MCU, termasuk menunda beberapa proyek untuk memastikan kualitasnya. Di tahun 2024 ini, hanya ada film Deadpool & Wolverine yang akan dirilis oleh Marvel, dan jujur Penulis sangat mengantisipasinya.

Saat artikel ini ditulis, Penulis sedang mengikuti serial animasi X-Men ’97, sebuah lanjutan dari serial klasik Marvel yang dirilis di tahun 90-an. Sejauh ini, serial ini cukup memuaskan dan memiliki jalan cerita yang menarik dan membuat penasaran.

Bisa jadi, film Deadpool & Wolverine dan serial X-Men ’97 tersebut dijadikan patokan oleh Marvel apakah semesta X-Men masih menarik minat penonton. Jika iya, maka kemungkinan besar Mutant Saga akan hadir setelah Multiverse Saga berakhir.


Lawang, 24 April 2024, terinspirasi setelah menyadari ada banyak serial dan film MCU yang belum dibuatkan ulasannya

Continue Reading

Film & Serial

Akhirnya Marvel Kembali Menarik Gara-gara Loki Season 2

Published

on

By

Sepanjang Multiverse Saga, Marvel kerap meluncurkan serial yang menimbulkan kekecewaan, apalagi Secret Invasion yang bikin geleng-geleng kepala. Penulis jadi semakin pesimis dengan masa depan Marvel Cinematic Universe (MCU).

Sejauh ini, hanya ada tiga serial yang Penulis anggap benar-benar bagus dari awal hingga akhir, yakni WandaVision, Loki, dan What If…?. Sebenarnya serial Moon Knight juga lumayan bagus, yang sayangnya memiliki episode terakhir yang cukup generik dan terasa kurang.

Di antara tiga serial Marvel yang Penulis sukai, Loki menjadi yang pertama memiliki sekuel. Jujur, Penulis sangat antusias ketika akhirnya serial ini tayang, mengingat akhir dari musim pertamanya sedikit cliff hanging.

Nah, untungnya tingginya ekspektasi Penulis tidak sia-sia karena sejauh ini serial Loki benar-benar memuaskan! Pace-nya cepat dan tidak terasa dragging sama sekali, penuh kejutan, alur cerita yang rapi, serta ada beberapa teknik shoot yang menarik.

Selain itu, tensi dari serial ini juga sangat menarik. Kita seolah ikut dibuat tegang dengan konflik multiverse yang dihadapi oleh Loki (Tom Hiddleston) bersama teman-temannya. Kesan clock is ticking benar-benar terasa, hingga akhirnya DUUUAAAARRRR!!! di episode 4.

Ketika Marvel Kembali Menarik

Untuk yang awam, Loki Season 2 bercerita tentang kekacauan yang terjadi di Time Variance Authority (TVA) setelah kematian He Who Remains (Jonathan Majors) yang dibunuh oleh varian Loki, Sylvie (Sophia Di Martino).

Hingga artikel ini ditulis (27/10), Loki Season 2 telah memasuki episode 4. Dibandingkan dengan episode-episode sebelumnya (yang sebenarnya so far so good), episode kali ini benar-benar mindblowing dan mengejutkan.

Demi menghindari spoiler pada artikel ini, Penulis hanya bisa menggambarkan kalau episode ini benar-benar tidak tertebak. Build up yang rapi dari episode pertama hingga ketiga ternyata tidak mengubah apa-apa. Apa yang dikhawatirkan akhirnya benar-benar terjadi.

Akhir yang sangat menggantung di episode ini juga memberikan kesan yang mirip dengan Avengers: Infinity Wars, di mana Thanos berhasil melenyapkan setengah populasi alam semesta.

Sekali lagi, kita disajikan misi yang dilakukan oleh protagonis kita gagal dilakukan. Namun, seperti yang sudah Penulis jelaskan di tulisan lain, tingkat destruktif di serial ini benar-benar beda level. Penulis benar-benar tidak sabar untuk menonton episode ke-5 mendatang.

Yang jelas, sejauh ini serial Loki Season 2 berhasil membuat Penulis berpikir kalau Marvel mulai menarik lagi dan kembali ke jalan yang benar. Kekacauan demi kekacauan yang terjadi di serial-serial sebelumnya seolah tertebus dengan kemunculan serial ini.

Penulis berusaha untuk mencari celah untuk mengkritik serial ini. Hanya saja, Penulis benar-benar tidak menemukan apa yang kurang dari Loki Season 2 sejauh ini. Meskipun tentu tidak sempurna, Penulis berhasil dibuat puas olehnya.

Episode 4 Selalu Jadi yang Paling Mengejutkan?

Ada fakta menarik tentang episode 4 serial Loki Season 2. Pada musim pertamanya, episode keempatnya juga sangat mengejutkan ketika sosok di balik TVA terkuak hanya robot dan di-prune-nya Mobius dan Loki.

Jika diingat-ingat lagi, sebenarnya banyak kejadian yang mengejutkan terjadi di episode keempat dari semua serial Marvel. Penulis akan coba bahas beberapa untuk membuktikan pernyataan tersebut.

Di WandaVision, akhirnya terkuak apa yang sebenarnya terjadi pada Wanda dan penduduk kota Westview. Di The Falcon and the Winter Soldier, kita bisa melihat bagaimana Captain America baru melakukan pembuhan dengan menggunakan perisainya.

Episode 4 favorit Penulis, selain Loki Season 2, adalah What If…? yang menceritakan tentang Supreme Doctor Strange yang sangat dark. Di serial Hawkeye, kita bisa melihat kemunculan karakter Yelena Belova (Florence Pugh).

Moon Knight pun cukup mengejutkan, di mana karakter utama Steven Grant (Oscar Isaac) ditembak tepat di dada oleh antagonisnya. Kejadian yang mirip juga terjadi di serial Secret Invasion, di mana Talos (Ben Mendelsohn) dibunuh oleh Gravik (Kingsley Ben-Adir).

Mengingat kebanyakan serial Marvel hanya memiliki enam episode (kecuali WandaVision, What If…?, dan She-Hulk: Attorney at Law yang punya sembilang episode), wajar jika episode 4 menampilkan adegan mengejutkan karena sudah mendekati klimaks.

Selain itu, episode 5 seringnya dimanfaatkan sebagai momen cooldown sebelum finale episode, sehingga terasa boring dan dragging. Apalagi, tak jarang Marvel mengecewakan penggemarnya dengan buruknya konklusi serial di episode terakhir.

Penutup

Masih ada dua episode lagi sebelum serial Loki Season 2 tamat. Namun, sejauh ini serial ini mampu memuaskan Penulis yang telah dikecewakan berkali-kali, baik karena film maupun serialnya.

Memang film Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah film yang bagus, tetapi dampaknya secara keseluruhan untuk Multiverse Saga sangat kecil. Loki Season 2 bersentuhan langsung dengan konsep multiverse beserta bahayanya.

Penulis bahkan meyakini kalau apa yang terjadi di serial Loki ini akan memiliki pengaruh besar kepada keseluruhan saga. Event yang akan terjadi di film-film selanjutnya, termasuk Avengers: Kang Dynasty dan Avengers: Secret Wars, bisa bermula dari serial ini.

Semoga saja di dua episode terakhir, serial ini bisa konsisten menjaga kualitas ceritanya, sehingga Penulis bisa berpikir kalau MCU masih menyenangkan untuk ditonton.


Lawang, 27 Oktober 2023, terinspirasi setelah menonton Loki Season 2 Episode 4 yang cukup mindblowing

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan