Connect with us

Olahraga

Antara Manchester United dan Venezuela

Published

on

Sebagai seorang fans Manchester United, tahun ini merupakan tahun yang berat. Hampir ada saja bahan perundungan yang bisa disasarkan ke penulis, terutama oleh sesama penggemar bola namun berbeda klub.

Apalagi melihat berbagai prestasi yang diraih oleh sesama klub Inggris lainnya. Liverpool dan Tottenham lolos ke final liga Champion, Chelsea dan Arsenal lolos ke final liga Eropa.

Bagaimana dengan rival sekota Manchester City? Tim tersebut telah meraih dua gelar, Premiere League dan EFL Cup, dan berpeluang meraih treble karena telah lolos ke final FA Cup dan akan bertemu dengan Watford.

Di sisi lain, Manchester United hanya bisa berada di posisi enam liga Inggris, sebuah penurunan yang sebenarnya telah terjadi semenjak Sir Alex Ferguson memutuskan untuk pensiun dari dunia sepak bola.

Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, seperti kesalahan strategi transfer, permasalahan manajemen, tidak adanya regenerasi pemain senior, hingga tidak ada pelatih yang bisa menggantikan posisi Sir Alex.

Ketika penulis renungi, ternyata ada persamaan antara Manchester United dengan negara Venezuela.

Menengok Venezuela

Supporters of the Venezuelan opposition leader Juan Guaido, who many nations have recognized as the country's rightful interim ruler, take part in a rally to demand President Nicolas Maduro to allow humanitarian aid to enter the country, outside of an Air Force base in Caracas, Venezuela February 23, 2019. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins - RC1305D0E9B0

Krisis Venezuela (Brookings Institution)

Penulis akan menganalogikan kasus Manchester United (MU) dengan negara Venezuela, negara yang tengah dilanda krisis luar biasa. Apakah ada persamaannya?

  • Pengganti Pelatih yang Salah Strategi

Kita anggap Sir Alex sebagai mantan presiden Venezuela, Hugo Chavez. Chavez menjabat sebagai presiden cukup lama, yakni 14 tahun. Chavez berhasil membuat negaranya makmur dengan berbagai kebijakannya yang cenderung kiri.

Setelah Chavez meninggal pada tahun 2013, posisinya digantikan oleh Nicolas Maduro. Nah, semenjak pergantian presiden inilah krisis Venezuela dimulai akibat kesalahan strategi, sama seperti yang dilakukan oleh para penerus Sir Alex di MU.

Mulai dari David Moyes, Ryan Giggs, Louis van Gaal, Jose Mourinho, hingga yang terbaru Ole Gunnar Solskjaer belum ada yang bisa mengembalikan performa MU seperti sedia kala.

Di sisi lain, Maduro belum pernah diganti lagi, walaupun ada upaya dari masyarakat Venezuela untuk melakukan kudeta yang telah digagalkan.

  • Kehabisan Sumber Daya Berkualitas

Salah satu sumber pemasukan Venezuela adalah minyak, yang menjadi pemasukan utama negara dengan prosentase lebih dari 90%. Lantas, produksi minyak Venezuela semakin menurun.

Di MU, jumlah pemain berkualitas yang dimiliki makin lama makin menurun. Setelah kehilangan pemain pilar seperti Giggs, Scholes, Evra, Vidic, hingga Ferdinand, MU seperti kehilangan kegarangannya.

Selain itu, pemain-pemain yang didatangkan untuk menambal lubang tersebut juga terbukti kurang efektif. Kesalahan kebijakan transfer ini seolah sama dengan kesalahan strategi ekonomi Venezuela.

  • Hutang

Venezuela juga terlilit hutang dan sedang tertekan karena tidak bisa membayarnya. MU? Pada tahun 2018, hutangnya mencapai  Rp9.13 triliun.

Bedanya, hutang yang dimiliki oleh MU masih berada di batas aman karena pemasukannya lebih besar, tidak seperti yang sedang dialami oleh Venezuela.

Bisakah Manchester United Kembali Berjaya?

Ole Gunnar Solskjaer (Sky Sports)

Apakah ada cara agar MU kembali seperti pada era Sir Alex? Bisa saja, penulis tetap merasa optimis dengan hal tersebut.

Venezuela tengah berupaya untuk mendatangkan investor dari China untuk memperbaiki perekonomian negaranya. MU bisa melakukan hal yang sama dengan mengganti pemilik klub.

Seandainya MU memiliki pemilik baru yang lebih loyal dalam mengeluarkan uang (mungkin dari Timur Tengah seperti rival sekota), bisa jadi MU akan semakin tangguh karena mendatangkan pemain-pemain yang berkualitas.

Akan tetapi, hal tersebut tentu percuma jika tidak MU dipimpin oleh pelatih yang kurang tepat. Ole sempat memperlihatkan performa yang luar biasa, sebelum mengalami penurunan yang cukup drastis di akhir musim.

Direksi MU nampaknya masih akan tetap mempertahankan Ole di musim depan, tergantung performa yang akan diberikan.

Bagaimana dengan Maduro? Dengan krisis yang menimpanya, tentu publik akan terus menyorot pekerjaannya sebagai kepala negara hingga bisa membuat Venezuela kembali kondusif.

Jika tetap gagal? Bisa jadi ia akan didepak secara paksa dari posisinya, entah oleh rakyat atau militer sekalipun.

Selain itu, mental klub pun harus ditata ulang. Kembalikan mental juara yang harusnya mengalir di nadi tiap pemain. Begitu pula dengan mental warga Venezuela. Keterpurukan yang mereka alami sekarang juga harus bisa menjadi modal utama untuk bangkit.

 

 

Kebayoran Lama, 18 Mei 2019, terinspirasi setelah perundungan dari banyak pihak serta diskusi dengan teman kantor terkait krisis yang dialami Venezuela

Foto: The Sun

Olahraga

Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?

Published

on

By

Minggu kemarin benar-benar minggu yang melelahkan bagi penggemar Manchester United (MU). Setelah berhasil mengalahkan Manchester City dengan skor 2-1, MU justru kembali melawak di dua pertandingan selanjutnya.

Selain kalah dengan skor 3-4 dari Tottenham Hotspurs (sekaligus mengakhir laju MU di EFL Cup), MU juga baru saja dihabisi 0-3 oleh Bournemouth. Yang lebih menyakitkan, kekalahan telak ini terjadi di kandang MU, Old Trafford.

Sejak pergantian pelatih dari Erik Ten Hag ke Ruben Amorim, banyak optimisme yang muncul di penggemar. Ungkapan “tsunami trofi” pun mulai berdatangan lagi. Sayangnya, terbukti kalau MU tetaplah MU yang dulu, mau siapa pun pelatihnya.

Ada Perubahan Pola Permainan, tapi ya Begitulah

Salah Satu Pemain yang Bersinar di Bawah Amorim (Eurosport)

Jika melihat permainan MU di bawah Amorim, sebenarnya asa itu memang ada. Setelah lama melihat permainan MU yang tak berpola, akhirnya Amorim perlahan bisa menerapkan filosofi 3-4-2-1 yang ia terapkan di klub sebelumnya.

Meskipun hasilnya tak selalu positif, setidaknya ada progres dalam permainan MU. Para pemain lebih sering melakukan pressing, berusaha menjaga area dengan baik, melakukan ancaman-ancaman ke gawang lawan, dan lain sebagainya. Permainan MU (akhirnya) bisa dinikmati.

Selain itu, Amorim tak ragu untuk melakukan rotasi pemain, sesuatu yang jarang dilakukan di era Ten Hag. Walau hasilnya kadang mengecewakan (seperti performa Altay Bayindir ketika melawan Tottenham), setidaknya ini menunjukkan keberanian Amorim.

Amorim juga tak segan-segan untuk mencoret pemainnya jika dianggap tidak mampu perform. Marcus Rashford, yang pada era Ten Hag seolah menjadi anak emas, sudah tiga pertandingan beruntun tidak dimasukkan ke dalam line up.

Dari banyak poin plus tersebut, sayangnya hasil yang diperoleh MU sejak ditangani oleh Amorim tidak terlalu baik. Dalam sembilan laga yang telah dijalani di seluruh kompetisi, MU hanya berhasil meraih hasil 4 menang, 1 seri, dan 4 kekalahan.

Di kala lini penyerangan sudah mulai membaik (terutama berkat performa Amad Diallo), lini pertahanan perlu disorot karena sudah kebobolan 17 kali. Entah formasi Amorim yang memang rentan diserang, atau pemain MU saja yang tak bisa melakukan intruksi pelatih.

Tentu hal ini sangat disayangkan, apalagi ketika Manchester City tengah terpuruk dengan hanya meraih satu kemenangan dalam 12 laga terakhirnya (di mana 9 di antaranya berakhir dengan kekalahan). Alhasil, istilah “Manchester is clown” pun mulai bermunculan.

Apa yang Salah dengan Manchester United?

Entah Apa yang Harus Dilakukan Amorim (ESPN)

Sampai di titik ini, Penulis (dan rasanya mayoritas pendukung lainnya) sudah berada di titik bingung apa yang salah dengan klub ini. Apakah karena julukannya setan merah, sehingga membuat klub ini menjadi terkutuk?

Sejak perginya Sir Alex Ferguson, sudah banyak sekali pelatih yang mencoba menangani MU. Polanya selalu sama, di mana ada fase bulan madu dan fase kehancuran. Entah bagaimana dengan Amorim nanti, tapi sejauh ini tanda-tandanya kurang baik.

Memang, formasi dan gaya permainan MU yang diterapkan oleh Amorim benar-benar berbeda dari pelatih-pelatih sebelumnya, sehingga membutuhkan adaptasi. Namun, rasanya para penggemar sudah terlalu lama “menderita” hingga lebih dari satu dekade.

Apalagi, kita bisa melihat kalau Arne Slot bersama Liverpool dan Enzo Maresca bersama Chelsea bisa langsung nyetel. Bahkan di klasemen Liga Inggris saat ini, kedua tim berada di posisi kedua berkat penampilan konsisten mereka.

Penulis memberikan apresiasi kepada Liverpool yang harus diakui berhasil tampil luar biasa. Meskipun tak mendapatkan tambahan banyak pemain, Slot mampu meracik skuadnya menjadi skuad pemenang. Korban terakhir mereka adalah Tottenham, yang dibantai 6-3.

Mengapa mereka bisa langsung nyetel dengan klub barunya? Penulis juga tidak tahu. Secara kualitas skuad, harusnya tidak berbeda jauh. Namun, secara hasil dan peringkat di liga hasilnya benar-benar jauh.

Entah apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu Penulis berharap Amorim berhasil menemukan solusi dari permasalahan yang sudah terlalu mengakar di klub ini. Akan tetapi, di sisi lain, rasanya Penulis sudah pesimis dan menganggap kalau klub ini memang sudah terkutuk.


Foto Featured Image: Rayo

Continue Reading

Olahraga

Kok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali

Published

on

By

Penulis mengawali minggu ini dengan indah. Selain Manchester United (MU) berhasil menang secara meyakinkan dengan skor 4-0 atas Everton, klub tetangga harus mengalami kekalahan 0-2 atas Liverpool.

Ini menjadi kekalahan empat kali beruntun bagi Manchester City di Premier League, setelah sebelumnya kalah atas Bournemouth (1-2), Brightin and Hove Albion (1-2), dan Tottenham Hotspurs (0-4).

Catatan ini makin diperparah dari hasil pertandingan di kompetisi lain, seperti kekalahan 1-2 atas Spurs di EFL Cup dan 1-4 atas Sporting CP di Liga Champion. Selain itu, mereka juga hanya bisa imbang 3-3 saat berhadapan dengan Feyenoord, walau sempat unggul 3-0.

“Rekor” Impresif Pep dan Manchester City

Kalah Maning Kalah Maning (Caught Offside)

Rentetan hasil buruk tersebut membuat City mencatatkan rekor yang impresif, yakni 6 kali kalah dan 1 kali seri dalam tujuh pertandingan terakhir. Kemenangan terakhir yang mereka dapatkan adalah ketika berhadapan dengan Southampton dengan skor tipis 1-0.

Menariknya, pertandingan tersebut berlangsung pada tanggal 26 Oktober 2024. Artinya, selama bulan November kemarin City gagal meraih satu kemenangan pun. Tak hanya itu, mereka juga kebobolan 15 gol dalam bulan yang sama dan hanya mencetak tujuh gol.

Melansir dari 90Min, pencapaian lima lose streak ini adalah yang pertama bagi Pep Guardiola sepanjang kariernya. Selama menangani City, lose streak paling panjang yang pernah dialami oleh Pep adalah tiga kali beruntun, yakni pada tahun 2018 dan 2021.

Pep juga pernah menderita tiga kekalahan beruntun ketika masih menangani Bayern Munich pada tahun 2015. Selama menangani Barcelona, rekornya lebih fenomenal lagi, di mana ia tidak pernah kalah beruntun lebih dari dua kali.

Selain itu, melansir dari Goal, City menjadi klub pemenang Liga Inggris pertama yang menderita lima kekalahan beruntun sejak tahun 1956. Sebelum City, Chelsea juga pernah mengalami hal yang sama pada bulan Maret 1956.

Rekor menarik lainnya? Ini adalah pertama kalinya City menderita kekalahan lima kali secara beruntun dalam 18 tahun terakhir. Erling Haaland juga ikut mencetak rekor, di mana akhirnya ia mengalami kekalahan ketika berhasil mencetak gol di Premier League.

Mari Kita Bandingkan dengan MU

Lagi Unbeaten nih, Bos (The Seattle Times)

Sebagai perbandingan, MU justru tak terkalahkan sejak Erik Ten Hag dipecat. Dalam empat pertandingan di bawah asuhan Ruud van Nisterlooy, MU mencatatkan tiga kemenangan dan satu kali seri (5-2 vs Leicester City, 1-2 vs Chelsea, 2-0 vs Paok, 3-0 vs Leicester City.

Di bawah pelatih baru Ruben Amorim pun MU masih belum terkalahkan dengan dua kemenangan dan satu kali hasil imbang (1-1 vs Ipswich Town, 3-2 vs Bodo/Glimt, 4-0 vs Everton).

Kekalahan terakhir MU terjadi saat bertamu ke West Ham akhir Oktober. Artinya, di saat City harus terus menderita kekalahan, MU justru tak terkalahkan. Sebagai penggemar MU, kebahagiannya jadi double.

Walau fans MU memang terkenal karena kesombongannya ketika berada di atas angin, menurut Penulis ujian sebenarnya MU akan terlihat ketika berhadapan dengan Arsenal beberapa hari lagi. Jika berhasil menang, artinya MU berada di jalur yang benar.

Menariknya, meskipun menderita hasil buruk secara bertubi-tubi, kok rasanya media sosial sepi-sepi saja seolah tidak ada yang peduli. Coba bayangkan hal yang sama terjadi pada MU, pasti sudah menjadi gorengan media dan content creator selama berbulan-bulan.

Apa yang Terjadi dengan Manchester City?

Jadi Penyebab Utama? (Reuters)

Sebagai klub yang mendominasi Premier League beberapa tahun terakhir, tentu kejatuhan City menimbulkan banyak pertanyaan bagi penggemar sepak bola. Apa yang menyebabkan City seolah lupa dengan caranya menang?

Banyak yang mengatakan kalau cederanya Rodri menjadi biang keroknya. Pep tidak memiliki pengganti sepadan yang bisa mengisi posisi tersebut, sehingga strategi yang ia terapkan tak bisa berjalan dengan optimal.

Namun, alasan cedera rasanya terlalu klise. MU pernah mengalami badai cedera yang lebih parah musim kemarin, dengan total kasus cedera lebih dari 60. Namun, MU tak sampai mengalami apa yang dialami City sekarang.

Alasan lain yang lebih masuk akal adalah kedalaman skuad City yang seolah hilang begitu saja. Cederanya Rodri menjadi bukti nyata bagaimana tidak ada pemain pelapis yang setidaknya memiliki kualitas mendekatinya.

Lucunya, jika membuka situs resmi City bagian daftar pemain, bagian Forwards hanya memiliki Erling Haaland seorang. Amit-amit seandainya Haaland cedera, siapa yang akan mengisi posisinya?

Tak hanya itu, pemain-pemain inti City banyak yang sudah berusia di atas kepala tiga, seperti Ilkay Gundogan (34), Kyle Walker (34), Kevin De Bruyne (33), Ederson (31), Mateo Kovacic (30), John Stones (30), hingga Bernardo Silva (30).

Sebagai perbandingan (lagi), pemain inti MU yang berkepala tiga hanya Bruno Fernandes (30) dan Casemiro (32). MU bahkan tak segan untuk mengorbitkan pemain muda, seperti Alejandro Garnacho (20), Amad Diallo (22), hingga Kobbie Mainoo (19).

Ini seolah menunjukkan bahwa Pep tidak melakukan regenerasi kepada skuad City. Masa jaya City sudah mulai habis dan Pep tidak melakukan tindakan antisipasi. Memang sesekali ia memainkan pemain akademi, tapi tak ada yang benar-benar bersinar.

Tentu menarik untuk melihat apakah akhirnya Pep dan City berhasil bangkit dan memutus rentetan hasil buruk yang diderita. Penulis sebagai penggemar MU tentu berharap kalau hasil buruk ini akan terus berlanjut selama mungkin.


Lawang, 2 Desember 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester City atas Liverpool

Foto Featured Image: Bitter and Blue

Sumber Artikel:

Fixtures & Results | Man Utd Men’s First Team | Manchester United

Man City plummet to worst form in 18 years as Pep Guardiola suffers unprecedented fifth straight defeat in 4-0 thrashing against Tottenham | Goal.com

Pep Guardiola’s worst losing streaks

Manchester City – Detailed squad 24/25 | Transfermarkt

Manchester United – Detailed squad 24/25 | Transfermarkt

Continue Reading

Olahraga

Menatap Masa Depan Manchester United Bersama Ruben Amorim

Published

on

By

Setelah jeda internasional, akhirnya para penggemar Manchester United (MU) bisa menyaksikan pertandingan perdana timnya di bawah asuhan pelatih baru, Ruben Amorim. Ia menggantikan Erik Ten Hag yang dipecat beberapa minggu lalu.

Hasilnya, sayang sekali tidak terlalu menyenangkan. Bertandang ke Portman Road yang menjadi kandang Ipswich Town, setan merah hanya berhasil meraih imbang 1-1. Bahkan, seandainya Andre Onana tidak tampil super, MU sangat berpeluang untuk kalah.

Penulis paham jika semua butuh proses. Tidak mungkin dalam satu laga Amorim langsung bisa mengubah MU kembali ke masa jayanya, apalagi dengan komposisi pemain yang sama. Oleh karena itu, mari kita menatap masa depam MU bersamanya.

Bagaimana Amorim Menerjemahkan Filosofinya ke MU

MU di Bawah Arahan Amorim (Optus Sport)

Selama Penulis menjadi penggemar MU, tim ini hampir selalu menggunakan formasi empat bek, dari zaman Sir Alex Ferguson hingga Erik Ten Hag. Nah, Amorim ini beda, karena dia terbiasa menggunakan formasi tiga bek, tepatnya 3-4-2-1.

Hal ini pun langsung ia terapkan pada pertandingan kemarin, meskipun waktu latihan yang ia lakukan bersama tim bisa terbilang cukup singkat. Selain itu, karena ada banyak pemain bertahan yang cedera, ia sedikit melakukan eksperimen.

Pada line-up, awalnya ia memasang Matthijs de Ligt, Johnny Evans, dan Noussair Mazraoui yang notabene merupakan bek sayap. Di babak kedua, ia bahkan mengganti Evans dengan Luke Shaw yang juga merupakan bek sayap dan baru sembuh dari cederanya.

Menggeser posisi sayap menjadi bek tengah sebenarnya bukan hal baru, apalagi pemain MU seperti Shaw juga pernah melakukannya. Tak jarang bek sayap akhirnya malah jadi bek tengah tetap, seperti yang terjadi pada Benjamin Pavard di Inter Milan.

Selain itu, ada yang menarik di babak kedua, di mana Amorim memasukkan Rasmus Hojlund dan Joshua Zirkzee sekaligus, menggantikan Christian Eriksen dan Marcus Rashford. Waktu melihat ini, Penulis benar-benar bingung dengan strategi sang pelatih.

Jika melihat polanya, Bruno Fernandes tampaknya ditarik agak mundur untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Eriksen dan salah satu dari Hojlund atau Zirkzee menempati posisi Bruno di belakang striker bersala Alejandro Garnacho.

Hal menarik lainnya di pertandingan kemarin adalah penempatan Amad Diallo di posisi bek kanan, yang ternyata cukup cocok untuknya. Pada pertandingan kemarin, Diallo berhasil memberikan assist untuk gol yang dicetak oleh Rashford.

Berdasarkan pertandingan kemarin, Penulis menilai kalau Amorim adalah tipikal pelatih yang tidak ragu untuk melakukan banyak eksperimen untuk menyesuaikan para pemainnya dengan sistem yang ia buat. Para pemain tampaknya harus keluar dari zona nyamannya.

Jangan Menaruh Terlalu Banyak Ekspetasi kepada Amorim

Wawancara Ruben Amorim (YouTube)

“Pertandingan yang sulit. Saya melihat para pemain saya terlalu banyak berpikir. Hal-hal baru, dan mereka memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Itu tidak normal pada tahap musim ini, tetapi sejak awal sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Ini seri dan itu bukan perasaan yang baik ketika Anda berada di Manchester United.”

Pernyataan di atas terlontar dari mulut Amorim seusai laga. Menurutnya, pemainnya masih ragu-ragu di lapangan, hal yang sebenarnya masih bisa dimaklumi karena strategi yang dibawa Amorim benar-benar baru dan para pemain butuh waktu untuk beradaptasi.

Amorim juga merupakan tipe pelatih yang memperhatikan ball possesion, dan menurutnya pertandingan kemarin MU kurang memegang kendali. Hal ini memang sangat terlihat, terutama di babak pertama di mana MU justru sering tertekan oleh Ipswich Town.

Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau para penggemar mau tidak mau harus bersabar (lagi) sembari terus memantau progres yang diperlihatkan oleh Amorim dan pemainnya di lapangan.

Kita para penggemar juga harusnya melakukan interopeksi diri, jangan terlalu berekspetasi kepada pelatih baru. Entah sudah ada berapa pelatih top yang gagal menangani MU. Tim ini sakit bukan hanya di lapangan, tapi sudah menyebar ke berbagai sektor.

Apalagi, Amorim merupakan pelatih muda. Walau ia berhasil mencatatkan prestasi fenomenal, jangan langsung berharap kalau ia akan menjadi The Next Alex Ferguson. Ia hanya lebih tua beberapa hari dari Cristiano Ronaldo, jelas ia masih butuh banyak tambahan jam terbang.

Jadi, untuk sekarang lebih baik kita nikmati saja proses berubahnya MU di bawah arahan Amorim.


Lawang, 25 November 2024, terinspirasi setelah menonton pertandingan perdana Manchester United di bawah asuhan Ruben Amorim

Foto Featured Image: France24

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan