Ketika Formula 1 memasuki awal musim 2024, banyak penggemar yang menginginkan musim ini di-skip saja dan langsung masuk ke musim 2025. Alasannya jelas, karena Max Verstappen dan Red Bull begitu mendominasi.
Bayangkan, dalam 10 balapan pertama, Verstappen berhasil memenangkan tujuh di antaranya. Kemenangan Verstappen hanya berhasil direbut oleh Carlos Sainz (GP Australia), Lando Norris (GP Miami), dan Charles Leclerc (GP Monaco).
Namun, dalam enam balapan terakhir, Verstappen dan Red Bull terlihat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan, pesaing terdekat mereka, Lando Norris dan Mclaren, terlihat mulai mendekat dengan sangat cepat.
Selain Mercedes, Mclaren juga sering berhasil merebut kemenangan di GP Belanda melalui Norris dan kemenangan awkward Oscar Piastri di GP Hungaria. Terbaru, Leclerc berhasil mendapatkan kemenangan keduanya musim ini di GP Italia dengan gemilang.
Puasa kemenangan hingga enam balapan membuat posisi Verstappen di puncak klasemen mulai goyang. Meskipun dalam enam balapan tersebut ia konsisten masuk setidaknya enam besar, selisih poinnya dengan Norris menipis hingga tinggal 62 poin saja.
Norris sendiri cukup kompetitif dan mobil Mclaren memang sedang kencang-kencangnya. Setelah insiden di GP Austria yang membuatnya DNF, ia berhasil naik podium empat kali dari lima kesempatan. Tiga di antaranya berhasil di atas Verstappen.
Klasemen konstraktor malah lebih tipis lagi. Saat ini, selisih antara Red Bull dan Mclaren hanya tersisa 8 poin! Salah satu faktor pendukungnya adalah performa Sergio Perez yang benar-benar anjlok, di saat duo Mclaren sama-sama konsisten di papan atas.
Yups, Piastri sendiri cukup mampu mengimbangi performa Norris. Dalam enam balapan terakhir, ia selalu konsisten masuk ke empat besar. Di klasemen, ia sekarang berada di posisi empat, selisih 44 poin dengan Norris di peringkat dua.
Nah, normalnya dalam Formula 1, tim akan memiliki pembalap prioritas yang (biasanya) dipilih berdasarkan siapa yang di klasemen lebih berpeluang untuk juara. Kita sudah sering melihat hal ini, seperti Ferrari di era Michael Schumacher atau Red Bull di era Sebastian Vettel.
Masalahnya, tampaknya Mclaren tidak menyukai team order seperti itu dan memutuskan untuk menerapkan Papaya Rules, yang intinya mempersilakan kedua pembalapnya untuk bersaing secara sehat selama tidak merugikan tim.
Mclaren yang Ogah Terapkan Team Order
Lho, bukannya bagus karena menjunjung tinggi sportivitas? Jawabannya bisa benar, bisa salah. Bagi Mclaren yang terakhir kali juara pembalap pada tahun 2008 melalui Lewis Hamilton, bisa jadi itu keputusan yang salah.
Mclaren seolah sudah terlalu lama menjadi tim papan tengah, sehingga terkesan tidak siap ketika mereka memiliki kesempatan untuk menjadi juara baik dari segi pembalap maupun konstraktor. Padahal, saat ini mereka telah memiliki mobil yang sangat mumpuni.
Norris sendiri telah lama “mengabdi” untuk Mclaren sejak musim 2016, sehingga sangat masuk akal jika ia menjadi pembalap prioritas. Piastri yang baru bergabung musim lalu pun pasti bisa menerima keputusan tim, apalagi statusnya sebagai rookie.
Jika Mclaren tidak bisa memberi ketegasan kepada kedua pembalapnya, bisa-bisa justru akan merusak keharmonisan tim yang bisa berakibat lepasnya gelar juara. Norris bisa saja merasa kesal karena tidak diprioritaskan dan tidak mendapatkan bantuan dari Piastri.
Di sisi lain, Norris pun harus bisa meningkatkan performanya. Musim ini ia berhasil mendapatkan empat Pole Position, tapi tiga kali ia gagal mengonversinya menjadi kemenangan akibat buruknya start yang ia lakukan.
Idealisme yang dimiliki oleh Mclaren memang bagus, tapi rasanya kurang cocok diterapkan jika risikonya adalah membuat Norris harus mengubur mimpinya untuk menjadi juara dunia. Selisih poinnya dengan Verstappen benar-benar tipis, dengan delapan sirkuit tersisa.
Untuk gelar juara konstruktor mungkin relatif bisa direbut, mengingat bagaimana anjloknya Perez dan penurunan performa yang dialami oleh Red Bull. Sungguh, tak salah apabila Mclaren melakukan Asa Mclaren Rebut Gelar Juara dari Red Bull Terhadang Papaya Rules
untuk memastikan gelar juara dunia pembalap diraih oleh Norris.
Parahnya lagi, dua dari tiga kekalahan MU terjadi dengan skor yang cukup memalukan, yakni 0-3. Lebih memalukannya lagi, kekalahan atas Liverpool dan Tottenham Hotspurs tersebut terjadi di kandang MU, Old Trafford.
Di Europe League pun tidak lebih baik. Pada pertandingan pertama, MU hanya berhasil bermain imbang melawan FC Twente. Mau tidak mau, kursi kepelatihan Erik Ten Hag pun mulai digoyang lagi. Banyak penggemar yang ingin ia keluar dari tim.
Ketika banyak netizen yang sudah lama menginginkan Ten Hag keluar dari MU, Penulis masih berusaha untuk mendukungnya. Alasannya, mau siapapun pelatihnya, MU sedang berada dalam kondisi yang sulit karena banyak hal.
Apalagi, Ten Hag berhasil mengakhiri paceklik gelar MU yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Di musim pertamanya, ia berhasil meraih Carabao Cup, sedangkan di musim keduanya ia berhasil mendapatkan FA Cup setelah mengalahkan Manchester City di final.
Namun, makin ke sini, Penulis makin setuju untuk mendepak Ten Hag. Salah satu alasannya adalah karena sang pelatih kerap menunjukkan sikap keras kepala dan tidak ingin disalahkan atas hasil buruk yang didapatkan oleh timnya.
Sebagai seorang pelatih, tentu saja ia menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas buruknya performa tim. Akan tetapi, Ten Hag kerap menolak kritik yang dilayangkan kepadanya dan memberikan berbagai bantahan yang sering membuat jengkel.
Selain itu, permainan MU belakangan ini benar-benar amburadul. Jujur saja, melihat permainan timnas Indonesia di bawah arahan Shin Tae-yong jauh lebih enak dibandingkan melihat permainan MU.
Contoh dalam laga melawan Spurs kemarin, distribusi MU benar-benar buruk. Pemain MU jelas terlihat kesulitan untuk lepas dari high pressing yang dilakukan oleh pemain Spurs. Tak hanya itu, kemampuan individunya pun terlihat kalah telak.
Ten Hag selalu berkoar-koar ingin menjadikan MU sebagai tim penyerangan transisi terbaik. Masalahnya, finishing dan pola penyerangan MU benar-benar buruk. Buktinya dalam enam laga, MU hanya berhasil mencetak 5 gol, ketika Erling Haaland telah mencetak dua kali lipatnya.
Lini depan MU memang benar-benar terlihat tumpul. Joshua Zirkzee sebagai striker rekrutan terbaru kurang memiliki finishing touch yang akurat. Rasmus Hojlund pun masih belum bisa menemukan performa terbaiknya pascacedera.
Pemain-pemain sayapnya pun terlihat kurang bisa menusuk. Pemain tengah kurang bisa mendistribusikan bola ke depan. Pemain belakang kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Mungkin hanya Andre Onana yang benar-benar bisa melakukan tugasnya dengan cukup baik.
Terakhir, satu alasan yang membuat Penulis ilfeel terhadap Ten Hag adalah nepotisme yang ia lakukan. Mungkin Pembaca juga sudah tahu bagaimana ia kerap merekrut mantan anak buahnya di Ajax Amsterdam. Hasilnya? Lihat saja berapa yang benar-benar berhasil.
Lantas, Siapa yang Lebih Layak dari Erik Ten Hag?
Penulis sadar kalau pergantian pelatih tidak akan serta-merta akan mengubah MU menjadi lebih baik dalam waktu singkat. Sejak ditinggal Sir Alex Ferguson, sudah banyak pelatih yang mencoba dan hasilnya tak pernah memuaskan.
Namun, melihat progres Ten Hag yang seolah mandek, Penulis merasa penyegaran memang perlu dilakukan. Penulis bahkan sudah kehabisan argumen untuk membela sang pelatih, sehingga akhirnya ikut bergabung dengan kubu yang menginginkan ia untuk cabut.
Momen ini membuat kita teringat pada masa-masa ketika para pendukung MU banyak yang menyuarakan agar Ole Gunnar Solkjaer dipecat dari tim. Penggemar sudah capek dengan narasi “percaya dengan proses” karena ini sudah memasuki tahun ketiganya di MU.
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana Arne Slot bisa langsung menyatu dengan timnya di musim perdananya. Tak hanya itu, Enzo Maresca juga terlihat langsung nyetel dengan Chelsea yang kerap melawak bersama MU dalam beberapa tahun terakhir.
Jika melihat mereka berdua, tentu narasi “percaya dengan proses” menjadi basi. Bisa jadi, bukan progres MU yang memang membutuhkan waktu lama, tapi memang kemampuan Ten Hag hanya sebatas ini. Ia tak akan mampu membawa MU ke masa kejayaannya lagi.
Oleh karena itu, menurut Penulis nama yang paling cocok untuk menggantikan Ten Hag adalah Ruud Van Nisterlooy yang kini sedang menjadi asisten pelatih di MU. Ada banyak alasan mengapa Penulis menjagokan mantan striker tajam tersebut.
Pertama, Nisterlooy merupakan salah satu legenda MU. Ia tentu sudah mengenal tim dengan baik. Walau tak semua, ada beberapa pemain legenda yang berhasil menjadi pelatih di tim yang dulu ia bela, seperti Zinedine Zidane di Real Madrid, Pep Guardiola di Barcelona, atau Mikel Arteta di Arsenal sekarang.
Karier kepelatihannya memang belum cukup panjang untuk di tim senior. Namun, saat melatih PSV Eindhoven pada musim 2022-2023, ia berhasil mempersembahkan dua trofi, Johan Cruyff Shield dan KNVB Cup, sebelum memutuskan untuk meninggalkan tim karena suatu alasan.
Meskipun Nisterlooy belum tentu bisa membawa tim menjadi lebih baik, setidaknya akan ada penyegaran di dala m tim jika Ten Hag meninggalkan tim. Para pemain MU pun harusnya lebih hormat kepada Nisterlooy yang berstatus sebagai legenda tim.
Lawang, 30 September 2024, terinspirasi setelah kesabarannya habis melihat MU yang makin tidak karuan
Melalui balapan yang dilalui oleh Piastri kemarin malam, entah mengapa Penulis semakin yakin kalau pembalap asal Australia tersebut berpotensi untuk menjadi juara dunia di masa depan. Ada banyak champion factors yang Penulis rasa ia miliki.
Sebelumnya, mari kita bahas sedikit tentang GP Azerbaijan kemarin. Penulis sendiri tidak bisa menontonnya secara live karena kebetulan balapannya yang berlangsung pada pukul 18:00 WIB bersamaan dengan acara masjid di tempat tinggal Penulis.
Pole position sendiri berhasil diraih oleh Charles Leclerc. Ini adalah pole keempat secara beruntun yang berhasil ia raih di Azerbaijan. Namun, tiga edisi sebelumnya ia selalu gagal mengonversinya menjadi kemenangan.
Piastri yang memang berada di belakang Leclerc hampir di setiap lap berhasil melakukan manuver dive bomb secara mulus dan tanpa kesalahan. Setelah itu, ia mampu bertahan dari manuver-manuver Leclerc hingga garis finis, apalagi degradasi ban Leclerc juga lebih parah.
Omong-omong soal finis, ada plot twist yang melibatkan Sergio Perez dan Carlos Sainz. Dua lap sebelum finis, Leclerc yang sudah tak mampu mengejar Piastri justru dikejar oleh Perez. Saat keduanya beradu, Sainz tiba-tiba menyalip Perez.
Nah, saat keduanya beradu di lintasan lurus, mereka justru bersenggolan dan mengakibatkan keduanya DNF. Dalam video tayangan ulang, kita bisa melihat kalau memang Sainz agak ke kiri, tapi Perez pun sebenarnya masih punya banyak ruang kosong di sisi kirinya.
Perez sangat marah dengan kecelakaan tersebut karena ini bisa dibilang salah satu performa terbaiknya setelah sekian balapan tampil underperform. Apalagi, hasil ini membuat Red Bull akhirnya berhasil dilewati oleh Mclaren di klasemen konstruktor dengan keunggulan 20 poin.
Max Verstappen yang selama ini menggendong Red Bull pun tampaknya tak mampu berbuat banyak. Dengan berbagai masalah yang ia temui di mobilnya, ia finis di belakang Lando Norris yang membuat jarak mereka berdua kembali terpangkas.
Oh, satu lagi, dua pembalap rookie, Franco Colapinto (William) dan Oliver Bearman (Haas) juga sama-sama berhasil mendulang poin pada balapan ini. Bearman sendiri dipastikan akan menjadi pembalap Haas musim depan, sedangkan nasib Colapinto belum diketahui.
Colapinto, yang menggantikan Logan Sargeant, seolah membuktikan kalau dirinya memang pantas untuk mendapatkan kursi F1. Di sisi lain, Bearman juga mencatatkan rekor menarik sebagai pembalap pertama yang meraih poin di dua balapan perdananya dengan dua tim yang berbeda.
Apa yang Membuat Piastri Layak Menjadi Juara Dunia
Sekarang mari kita bicara tentang Piastri. Menurut Penulis, balapan kemarin merupakan salah satu performa terbaiknya sepanjang kariernya di F1. Manuvernya dalam menyalip Leclerc, manajemen bannya, hingga aksi bertahannya perlu diacungi jempol.
Mungkin dalam beberapa balapan ia terlihat kurang memiliki pace seperti yang terlihat pada GP Hungaria. Namun, sebenarnya kualitas yang ia miliki bisa dibilang cukup luar biasa, apalagi jika mengingat ini baru musim keduanya di F1.
Banyak orang berpendapat kalau Piastri adalah Kimi Raikkonen versi baik. Ketenangannya luar biasa di usianya yang sangat muda (Piastri kelahiran tahun 2001). Mau dalam keadaan tertekan sekalipun seperti balapan kemarin, ia tetap bisa mengendalikan emosinya.
Ia juga bukan tipe yang meledak-ledak bahkan setelah meraih kemenangan sekalipun. Ia juga rasanya tak pernah terdengar marah-marah di radio, bahkan dalam kondisi yang merugikan dirinya sekalipun.
Walau tenang, di arena balapan, ia bisa berubah menjadi monster yang menakutkan. Pada GP Azerbaijan kemarin, ia mengabaikan instruksi tim untuk “bermain aman” dan memilih untuk mengikuti intusinya sebagai seorang juara. Hasilnya, ia terbukti benar.
Selama beberapa tahun terakhir, terutama di era dominasi Hamilton dan Verstappen, ada banyak nama pembalap muda yang dianggap layak untuk menjadi juara dunia. Contohnya adalah Leclerc dan Norris.
Namun, keduanya dianggap tak mampu balapan di bawah tekanan dan kerap melakukan blunder tak perlu. Alhasil, potensi mereka kerap dianggap sia-sia karena dianggap kurang punya mentalitas juara.
Nah, Piastri berbeda. Banyak penggemar yang menganggap kalau ia lebih memiliki mental juara dibandingkan para seniornya tersebut. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh dramanya ketika akan masuk ke dalam F1.
Setelah itu, Alpine langsung mengumumkan Piastri akan menjadi pembalap mereka musim depan. Hal ini langsung dibantah oleh Piastri dengan mengatakan kalau ia belum menandatangani kontrak apapun. Plot twist-nya, ia justru bergabung dengan Mclaren.
Dengan beberapa faktor tersebut, entah mengapa Penulis meyakini kalau suatu hari Piastri bisa menjadi seorang juara dunia, baik dengan Mclaren maupun dengan tim lain. Mari kita nantikan saja apakah prediksi ini akan benar-benar terjadi atau tidak.
Lawang, 16 September 2024, terinspirasi setelah menonton GP Azerbaijan
Setiap awal musim, para penggemar Manchester United (MU) di seluruh dunia menaruh harapan yang besar untuk klubnya. Tak sedikit yang menyebutkan kalau musim ini akan terjadi tsunami trofi, yang sayangnya hingga saat ini belum pernah terjadi.
Musim ini pun begitu, dan tampaknya hasilnya juga akan sama saja seperti musim-musim sebelumnya. Bagaimana tidak, liga baru berjalan tiga pertandingan, MU sudah menelan dua kali kekalahan.
Kekalahan yang terbaru terasa lebih menyakitkan karena didapatkan dari rival abadinya, Liverpool, dengan skor telak 0-3. Padahal di awal musim, MU tampak meyakinkan setelah Sir Jim Ratcliffe dan INEOS melakukan banyak perubahan, termasuk membeli pemain yang tepat.
Beberapa tahun terakhir, MU kerap ditertawakan karena sering membeli pemain overpriced. Padahal, pemain yang dimiliki memiliki kualitas yang biasa-biasa saja. Contoh mudahnya adalah Jadon Sancho dan Antony.
Di musim ini, MU tampak telah belajar dari kesalahan tersebut dengan melakukan pembelian pemain yang masuk akal. Tidak hanya itu, pembelian yang dilakukan juga melihat kebutuhan tim, posisi mana yang membutuhkan pemain baru.
Berikut adalah daftar pemain baru MU, tidak termasuk pembelian pemain muda yang tidak masuk ke dalam tim ini:
Leny Yoro (LOSC Lille | €62.00m)
Manuel Ugarte (Paris Saint-Germain | €50.00m)
Matthijs de Ligt (Bayern Munich | €45.00m)
Joshua Zirkzee (Bologna FC | €42.50m)
Noussair Mazraoui (Bayern Munich | €15.00m)
MU punya permasalahan besar di lini belakang, yang bisa dilihat dari defisitnya selisih gol mereka di musim kemarin. Oleh karena itu, Penulis mengapresiasi langkah manajemen MU yang baru di bawah Sir Ratcliffe yang mendatangkan dua bek, satu bek kanan, dan satu gelandang bertahan.
Dari sisi kepelatihan, ada beberapa perombakan. Yang paling fenomenal tentu saja mendatangkan mantan striker legendaris MU, Ruud van Nisterlooy, untuk menjadi asisten Erik Ten Hag.
Sir Ratcliffe juga menyebutkan akan memperbaiki fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh MU, termasuk stadion dan markas latihan. Dengan langkah-langkah tersebut, wajar jika penggemar MU menjadi banyak berekspetasi ke klub yang belakangan sering menyakiti mereka ini.
Ternyata MU Tetap Melawak
Penulis menonton ketiga pertandingan MU di awal musim ini, bahkan rela tetap berlangganan Vidio meskipun biayanya bertambah cukup banyak. Penulis secara pribadi penasaran dengan perubahan seperti apa yang akan terjadi di musim ini.
Ternyata, memang perubahan itu tidak bisa terjadi secara instan. MU bisa dibilang tampil cukup buruk dalam tiga pertandingan pertamanya. Kemenangan pertamanya melawan Fulham tidak terlalu impresif, bahkan gol yang dicetak Zirkzee terjadi menjelang pertandingan berakhir.
Saat melawan Brighton, Penulis sudah feeling hasilnya akan kurang baik karena MU kerap kalah ketika berhadapan dengan tim ini. Benar saja, Brighton berhasil menang 2-1 melalui gol di injury time.
Penulis benar-benar tak habis pikir dengan gol Joao Pedro yang dicetak pada menit 90+5. Saat proses gol terjadi, benar-benar tidak ada satu pun pemain yang menjaganya sehingga ia bisa menyundul bola dengan mudahnya ke gawang Onana.
Puncaknya tentu saja ketika MU dibabat habis oleh Liverpool di kandang. Dua blunder yang dilakukan oleh Casemiro membuat Liverpool berhasil unggul 2-0 di babak pertama melalui sontekan Luis Diaz. Permainan Casemiro di pertandingan tersebut memang benar-benar parah.
Ten Hag bereaksi cepat dengan menggantinya dengan pemain muda Toby Collyer di babak kedua, tapi tetap saja level permainan MU seolah berada jauh di bawah Liverpool. Bahkan, Mainoo juga melakukan blunder yang akhirnya dimanfaatkan dengan baik oleh Salah.
Jika ditanya apa yang salah dengan MU, jujur Penulis sendiri pun tidak bisa menjawabnya. Jika pertanyaan serupa diajukan ke penggemar Chelsea, mungkin mereka bisa menjawab manajemen di era Todd Boehly benar-benar membuat tim menjadi amburadul.
Nah, MU ini manajemen udah mulai dirombak, staf kepelatihan diganti, pemain bagus didatangkan, stadion dan fasilitas diperbaiki. Kalau semuanya baru, lantas mengapa MU tetap seperti musim-musim sebelumnya yang enggak jelas mainnya?
Memang semua butuh proses, tapi penggemar MU pasti akan mengatakan prosesnya sudah terlalu lama. Memang kita harus move on dari masa-masa keemasan Sir Alex Ferguson, tapi ya ga sebobrok ini juga. MU ini tim bola yang penuh dengan sejarah.
Entah sampai kapan ujian ini akan terus berlangsung bagi penggemar MU. Satu yang pasti, mayoritas penggemar MU itu setia. Meskipun disakiti berkali-kali, kami akan tetap mendukung MU. Tentu, sesekali sambil misuh karena saking kesalnya.
Lawang, 2 September 2024, terinspirasi setelah menonton kekalahan MU atas Liverpool
You must be logged in to post a comment Login