Pengalaman
Pengalaman Mengejar Beasiswa (dan Gagal Empat Kali)

Pada tulisan Dulu Kerja di Mana, penulis sudah bercerita tentang perjalanannya setelah lulus kuliah dan mengapa baru bekerja formal lebih dari satu setengah tahun setelah wisuda.
Alasan terkuatnya adalah penulis yang ingin mengejar beasiswa di luar negeri dan mengejar karir sebagai seorang dosen. Maklum, penulis memiliki passion mengajar hingga menggagas kegiatan SWI Mengajar di lingkungan penulis.
Karena bulan depan sertifikat IELTS penulis akan kedaluwarsa (masa berlakunya 2 tahun), penulis ingin sedikit berbagi pengalaman tentang kegagalan (atau kebelumberhasilan) dalam mengejar beasiswa.
Chevening

Chevening (University of Huddersfield)
Beasiswa pertama yang penulis kejar adalah Chevening. Bagaimana tidak, penulis terobsesi dengan Inggris sejak lama sehingga bisa sekolah di sana tentu menjadi impian.
Apalagi beasiswa Chevening termasuk yang pertama buka, sekitar bulan Agustus sampai November. Pada periode tersebut di tahun 2017, penulis sedang mengambil kursus perisiapan IELTS di Kampung Inggris.
Loh, berarti belum punya sertifkat IELTS, dong? Belum, tapi kita memang bisa mendaftar tanpa IELTS dan mencantumkan keterangan kalau akan menyusulkan hasil tesnya. Toh, tidak ada risiko yang diambil.
Beasiswa Chevening mengharuskan kita memilih tiga jurusan berserta kampusnya. Sebagai orang awam, tentu awalnya penulis mengalami kesulitan kampus mana yang cocok.
Setelah melakukan riset, penulis menemukan ada tiga kampus yang cocok untuk penulis. Kampus tersebut adalah University of Reading (UR), Manchester Metropolitan University (MMU), dan University of Brighton.
Jurusan yang diambil kurang lebih bidangnya sama, yakni Information Management. Ketiga kampus tersebut memiliki jurusan tersebut dan memiliki peringkat yang tidak terlalu tinggi, tapi lebih tinggi dari kampus Indonesia pada waktu itu.
Untuk lebih memahami jurusan yang akan diambil, penulis rela berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri acara Pameran Studi Luar Negeri, salah satu yang terbesar di Indonesia.
Di sana, penulis bertemu dengan perwakilan dari University of Reading dan Manchester Metropolitan University secara langsung. Setelah pertemuan, penulis pun mendaftar ke kampus-kampus tersebut untuk mendapatkan Letter of Acceptance atau LoA.
Alhamdulillah, penulis berhasil mendapatkan LoA conditional dari UR dan MMU yang artinya penulis telah diterima di kampus tersebut.
Penulis tinggal berusaha mendapatkan nilai IELTS dan melengkapi berbagai persyaratan Chevening lainnya, termasuk menjawab empat pertanyaan Chevening.
Empat pertanyaan tersebut adalah tentang Leadership & Influence, Networking, Studying in the UK, dan Career Plan. Penulis juga membuat Motivation Letter. Mungkin kapan-kapan, penulis akan membagikan jawaban-jawaban tersebut di blog ini.
Karena berhasil mendapatkan nilai minimum IELTS (6.5), penulis berhasil menngubah LoA di UR menjadi unconditional. Untuk MMU belum karena surat rekomendasinya dianggap kurang memenuhi syarat.
Sayangnya pada awal tahun 2018, penulis mendapatkan pengumuman kalau belum berhasil mendapatkan beasiswa Chevening yang begitu didambakan.
Sebenarnya, penulis mendapatkan beasiswa sebesar 5.000 poundsterling dari MMU, akan tetapi jumlah uang sekolahnya 13.000 poundsterling. Penulis tidak akan sanggup membayar sisa uang tersebut.
New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS)

New Zealand ASEAN Scholarship (Oxbridge)
Sempat drop karena kegagalan pertama, penulis mencoba beasiswa lainnya yang tersedia. Salah satu yang menarik minat penulis adalah New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS).
Penulis melakukan pendaftaran di sela-sela pelatihan menjadi volunteer Asian Games, di mana penulis memutuskan untuk ikut setelah kegagalan mendapatkan beasiswa Chevening.
Selandia Baru adalah negara yang menarik. Apalagi, mereka juga menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi sehingga akan membantu banyak.
Sama seperti Chevening, penulis pun melakukan pendaftaran beasiswa. Penulis juga berusaha mendapatkan LoA dari kampus-kampus yang dituju walaupun tidak mendapatkan balasan.
Dibandingkan dengan Chevening, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab ketika kita ingin mendaftar. Kalau tidak salah, ada belasan soal esai yang harus penulis selesaikan.
Persiapan yang penulis lakukan untuk mendaftar di kampus ini tidak segigih ketika mendaftar di Chevening, sehingga bisa ditebak jika penulis pun gagal mendapatkan beasiswa NZAS.
Ignacy Łukasiewicz

Ignacy Łukasiewicz (NAWA)
Dua kali kegagalan cukup membuat penulis semakin merasa drop, tapi tidak cukup untuk menghentikan penulis untuk mencoba mendapatkan beasiswa. Ignacy Łukasiewicz dari Polandia menjadi target selanjutnya.
Penulis memilih negara ini bukan tanpa alasan. Penulis memiliki teman yang sudah melakukan studi di sana, sehingga setidaknya penulis memiliki referensi secara langsung. Penulis juga mendaftar di kampus dan jurusan yang sama dengannya.
Selain mengerjakan esai, untuk pertama kalinya penulis diminta untuk membuat surat keterangan sehat. Hal ini tidak dipersyaratkan oleh kedua beasiswa yang penulis coba sebelumnya.
Setelah menyelesaikan berbagai proses administrasi, lagi-lagi penulis harus menelan kekecewaan karena belum berhasil mendapatkan beasiswa. Bedanya, penulis sempat masuk ke dalam daftar cadangan walau akhirnya juga tidak mendapatkan panggilan.
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)

LPDP (Kami Indonesia)
Tiga kali kegagalan membuat penulis mulai melupakan impiannya untuk mendapatkan beasiswa (dianggap mental lemah enggak apa-apa, kok). Oleh karena itu ketika LPDP mulai membuka pendaftaran, penulis agak setengah hati mengerjakannya.
Kegagalan mendaftar beasiswa yang satu ini bukan karena tidak memenuhi persyaratan, melain karena penulis memutuskan untuk tidak jadi mendaftar.
Salah satu persyaratan mendaftar adalah memiliki surat bebas dari penyakit TBC. Ketika coba pergi ke Rumah Sakit Sumber Waras, ternyata biayanya cukup tinggi dan butuh waktu agak lama.
Mendengar kabar tersebut, penulis memutuskan untuk membatalkan niat mendaftar LPDP. Apalagi, penulis mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan Asian Games waktu itu.
Mengapa Bisa Gagal?
Setelah lewat satu tahun, terkadang penulis melakukan kontemplasi untuk mencari alasan mengapa bisa gagal mendapatkan beasiswa hingga empat kali. Jawabannya adalah karena diri penulis sendiri.
Pertama, penulis kurang mempersiapkan diri. Semua serba mendadak dan tidak dipersiapkan secara matang. Apalagi setelah menonton video Jerome Polin, penulis semakin yakin kalau start-nya sedikit terlambat.
Kedua, penulis kurang mencurahkan waktunya untuk belajar. Memang penulis berhasil mendapatkan nilai IELTS yang dipersyaratkan, akan tetapi lebih banyak waktu penulis yang habis untuk hal yang sia-sia.
Seharusnya, penulis mengalokasikan waktunya untuk melakukan riset tentang kampus, jurusan, negara tujuan, target ke depan, rencana karir, dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut tentu akan membantu penulis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang harus penulis jawab ketika mendaftar. Ini menjadi alasan ketiga mengapa penulis gagal.
Alasan terakhir yang mungkin juga menjadi alasan utama adalah jawaban-jawaban esai penulis yang kurang mengena, terlalu muluk, dan kurang realistis. Penulis menyadari hal ini ketika membaca ulang jawaban-jawaban penulis.
Mungkin ada alasan-alasan lain yang menyebabkan penulis gagal, namun keempat hal tersebut penulis anggap sebagai alasan utamanya. Yang jelas, penulis tidak akan menuduh buku-buku motivasi ataupun orang-orang yang memberi semangat sebagai toxic positivity.
Penutup
Apakah penulis merasa menyesal karena sudah membuang waktunya satu tahun lebih untuk mengejar beasiswa? Jawabannya tentu saja TIDAK.
Selama proses mendapatkan beasiswa, penulis mendapatkan banyak sekali pelajaran kehidupan yang berharga. Banyak sekali hal yang baru penulis ketahui, banyak kejadian yang menjadi pemicu mengapa penulis berada di tempatnya sekarang.
Penulis membuat blog ini juga sebagai upaya mendapatkan beasiswa. Penulis mendaftar sebagai volunteer Asian Games juga ketika sedang mengejar beasiswa.
Oleh karena itu, penulis ingin berbagi pengalaman ini kepada pembaca sekalian. Kalau kata pakde penulis, jangan hanya berlajar dari keberhasilan seseorang, belajarlah dari kegagalannya juga.
Apakah penulis akan menyerah untuk mendapatkan beasiswa? Untuk sementara waktu, iya. Sertifkat IELTS yang penulis miliki akan habis bulan depan, dan penulis harus belajar secara intens lagi untuk bisa mendapatkan sertifikat yang baru.
Penulis masih mendapatkan email dari University of Reading dan Manchester Metropolitan University. Sekarang sudah agak jarang sih, mungkin sudah di-blacklist karena penulis mengundurkan diri tanpa keterangan.
Untuk sekarang, penulis ingin belajar di luar kampus terlebih dahulu. Penulis akan menikmati pekerjaan yang sekarang dimiliki dan akan terus belajar hal baru. Jika ada kesempatan untuk melanjutkan studi lagi, mengapa tidak?
Semoga tulisan ini bisa memberikan inspirasi dan semangat bagi pembaca yang sedang mengejar atau memiliki impian melanjutkan studi di luar negeri.
Kebayoran Lama, 9 November 2019, terinspirasi setelah teringat sertifikat IELTS-nya akan kedaluwarsa bulan depan
Foto:
Pengalaman
Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan

Dalam empat bulan terakhir, atau sejak masuk tahun 2025, Penulis mengakui kalau sedang banyak masalah, yang kebanyakan hanya ada di pikiran. Hal tersebut membuat produktivitas menulis blog ini terasa mandek, dengan jumlah produksi artikel berkurang drastis.
Pada bulan Desember, masih lumayan ada tujuh tulisan yang terbit, sebelum di bulan Januari benar-benar tidak ada tulisan yang tayang. Februari ada satu tulisan, yang mirisnya merupakan tulisan pertama di tahun 2025. Di Maret setidaknya ada empat tulisan.
Blog ini, yang harusnya menjadi tempat menyalurkan hobi, justru belakangan terasa menjadi beban. Ada puluhan ide artikel yang tertumpuk begitu saja tanpa pernah dieksekusi. Ada belasan buku yang menanti untuk diulas, hingga lupa apa yang harus diulas.
Berhenti Menulis karena Rasa Malas?
Setiap merasa harus memutus lingkaran ini dan mulai kembali rutin menulis, keinginan tersebut terputus hanya setelah maksimal dua tulisan. Setelah itu kembali menghilang hingga waktu yang tidak ditentukan.
Apakah permasalahan yang Penulis sebutkan di atas hanya merupakan alibi untuk menutupi alasan sebenarnya dari berhentinya Penulis menulis, yaitu rasa malas? Bisa jadi. Namun, rasa malas bisa muncul dengan sebab, seperti kepala yang rasanya penuh sekali.
Ketika pikiran suntuk dan dengan “liarnya” mengembara ke sana kemari, itu sangat memengaruhi mood. Sekali lagi, menulis yang harusnya jadi aktivitas menyenangkan justru menjadi momok yang menakutkan.
Apakah rasa malas ini muncul karena di tempat kerja Penulis juga menulis? Bisa jadi, karena tentu itu memunculkan rasa jenuh. Mau sebagus apapun idenya, butuh tekad yang kuat untuk bisa mengeksekusinya, dan tekad itu bisa luntur karena rasa jenuh.
Apakah rasa malas ini muncul karena Penulis kesulitan mengatur waktunya? Bisa jadi, karena waktu yang dimiliki dalam 24 jam digunakan untuk aktivitas lainnya. Jujur, kebanyakan bukan aktivitas produktif sebagai pelarian dari masalah yang ada di kepala.
Lantas, apakah rasa malas ini bisa jadi pembenaran untuk berhentinya produksi blog ini? Entahlah, Penulis merasa dirinya terbagi menjadi dua. Satu menjustifikasi rasa malas tersebut karena memang sedang banyak pikiran, yang satu merutuk diri karena kontrol diri yang lemah.
Apakah produksi artikel di blog ini bisa kembali normal jika masalah-masalah yang ada di pikiran itu terselesaikan? Sekali lagi, entahlah. Bisa jadi berhentinya produksi artikel tersebut memang murni karena rasa malas saja, lalu mencari-cari justifikasi yang paling terlihat elegan.
Menyadari Kita Harus Tetap Berjalan
Saat menulis artikel ini, justru masalah-masalah di kepala tengah berada di klimaksnya. Tentu aneh, mengapa ketika berada di puncak permasalahannya Penulis justru akhirnya memutuskan untuk menulis lagi setelah sekian lama.
Mungkin, karena sudah berada di klimaksnya, Penulis menyadari bahwa setelah ini jalannya akan melandai, menurun. Permasalahan, apapun bentuknya, pasti akan selesai. Semua itu hanya sementara, tidak akan terjadi selamanya.
Mungkin, karena pada akhirnya Penulis menyadari bahwa hidup harus tetap berjalan. Yang namanya berjalan, tentu tak pernah selalu mulus. Pasti beberapa kali kita akan menemukan jalan yang rusak, gronjalan, kubangan lumpur, dan masih banyak lagi lainnya.
Namun, pada akhirnya kita tetap melanjutkan perjalanan. Memang kita jadi kotor, mungkin ada luka juga, tapi itu adalah “harga” yang harus dibayar untuk mencapai tujuan. Demi tujuan itulah kita terus berjalan.
Lantas, apa tujuan yang sedang Penulis tuju sekarang? Penulis tidak akan menuliskannya di sini, tapi yang jelas, untuk mencapai tujuan tersebut, bisa mendisiplinkan diri untuk konsisten menulis artikel di blog ini adalah salah satu jalan yang harus Penulis tempuh.
Untuk itulah, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis artikel ini, yang mungkin secara bobot tidak ada bobotnya, lebih sekadar gerutuan karena insomnia datang menyerang. Setidaknya, ini adalah upaya nyata Penulis untuk kembali ke jalan yang benar.
Entah cara apa yang akan Penulis lakukan agar aktivitas menulis blog ini menjadi kembali menyenangkan dan membuat Penulis bersemangat, bahkan ketika isi pikirannya penuh dengan masalah. Sambil berjalan, Penulis akan berusaha menemukan jawabannya.
Lawang, 8 April 2025, terinspirasi karena insomnia karena berbagai masalah yang ada di pikirannya
Foto Featured Image: Tobi via Pexels
Pengalaman
Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025

Memulai tulisan pertama tahun 2025 di bulan Februari memang sangat terlambat. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir Penulis bisa dibilang cukup rajin dalam menulis di hari pertama pergantian tahun, walau setelah itu juga kurang bisa konsisten.
Ada beberapa alasan yang membuat Penulis “menghilang” hampir dua bulan di blog ini, tapi pada tulisan kali ini Penulis hanya akan menyebutkan satu alasan: kehilangan gairah untuk menulis, atau singkatnya bisa dibilang malas.
Tentu rasa malas itu tidak datang begitu saja, ada banyak alasan yang menyertainya. Namun, rasanya alasan-alasan tersebut tidak perlu diungkapkan. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin melakukan beberapa refleksi saja mengenai apa yang sudah terjadi di tahun 2024 ini.
Dompet Menangis karena Membeli Banyak Perangkat

Tahun 2024 adalah tahun yang berat untuk dompet Penulis. Ada banyak sekali pengeluaran, entah itu untuk kebutuhan maupun keinginan. Saking banyaknya, arus kas Penulis sepanjang 2024 jadi minus, pertama sejak terakhir kali minus pada tahun 2020.
Kalau tahun 2020 minus wajar, karena Penulis resign pada bulan September 2020, sehingga ada beberapa bulan Penulis tidak mendapatkan gaji rutin. Pemasukan dari pekerjaan sebagai freelancer tentu tidak menutup kebutuhan sehari-hari.
Nah, kalau di 2024 kemarin, minus yang terjadi murni terjadi karena banyaknya pengeluaran. Mungkin ini akan terdengar sebagai flexing, tapi Penulis di tahun yang sama membeli smartphone dan laptop baru, serta build PC dengan alasan awal “untuk bantu skripsi adik.”
Penulis memang sudah berencana untuk membeli smartphone baru di awal tahun karena merasa tidak nyaman dengan Xiaomi POCO F4, yang akhirnya Penulis berikan kepada ibu. Awalnya mengincar Samsung S24, tapi karena pakai Exynos, Penulis beralih ke iPhone 13.
Lalu ketika bulan puasa, di kala uang THR sudah masuk ke rekening, adik Penulis mengatakan bahwa dirinya butuh PC untuk menunjang skripsinya. Sebagai kakak, tentu Penulis berusaha memenuhi hal tersebut, hitung-hitung mewujudkan cita-cita untuk punya PC.
Kampretnya, setelah selesai build PC, PC tersebut justru jarang dipakai adik Penulis untuk skripsian! Pada akhirnya PC tersebut jadi perangkat utama Penulis untuk bekerja dan bermain game. Yah, setidaknya dengan demikian tidak ada penyesalan.
Menjelang akhir tahun, tepatnya di bulan Oktober, Penulis sempat iseng mampir ke Digimap. Sialnya, sedang ada promo pelajar yang memberikan potongan 500 ribu. Ditambah voucher MAP 300 ribu, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli laptop MacBook Air M1.
Setelah membeli laptop tersebut, laptop lama Penulis akhirnya dibeli adik Penulis (yang tadi minta di-build-kan PC!) dengan harga miring karena memang butuh laptop dengak spek yang lumayan tinggi untuk menunjang kerjaan dan skripsinya.
Memang nyesek rasanya jika mengingat berapa uang yang dikeluarkan untuk perangkat-perangkat tersebut. Memang Penulis memanfaatkan cicilan 0% dari kartu kredit, tapi tetap saja pembelian-pembelian tersebut membuat dompet Penulis menangis.
Namun, jika melihat dari sisi lain, memiliki kombo PC + MacBook merupakan cita-cita Penulis sejak zaman kuliah. Jadi, anggap saja kalau ini memang sudah saatnya untuk menuntaskan impian tersebut.
Ke Jakarta dan Semarang Dua Kali, ke Solo Satu Kali

Pengeluaran lain yang membuat arus kas Penulis minus adalah seringnya Penulis berpergian. Dalam satu tahun, Penulis dua kali pergi ke Jakarta dan Semarang, serta satu kali pergi ke Solo karena berbagai urusan.
Penulis ke Jakarta pertama kali di awal tahun 2024, karena kebetulan kantor Penulis mengadakan staycation. Setelah itu, Penulis tinggal di Jakarta kurang lebih satu bulan karena ada banyak teman yang ingin Penulis temui.
Sepulang dari Jakarta, Penulis berlibur satu keluarga ke Solo dan Semarang. Sebagai anak pertama, tentu Penulis berusaha untuk menjadi “sponsor” untuk acara liburan ini, walau tentu tidak semua pengeluaran Penulis yang menanggung.
Lantas di pertengahan tahun, Penulis harus kembali ke Jakarta. Kali ini sekeluarga, karena adik Penulis (bukan yang minta di-build-kan PC) lamaran. Karena satu keluarga, kunjungan ke Jakarta kali ini hanya sebentar.
Sepulang dari Jakarta (kami menggunakan mobil pribadi, pulang-pergi Malang-Jakarta), kami sempat mampir ke Semarang satu malam untuk istirahat sekaligus curi-curi liburan. Bisa dibilang, tahun 2024 kemarin merupakan tahun di mana Penulis keluar kota terbanyak.
Produksi Artikel Whathefan yang Meningkat
Salah satu achievement yang Penulis dapatkan di tahun 2024 adalah naiknya jumlah produksi artikel Whathefan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Sejak pertama kali menulis di tahun 2018, jumlah artikel di blog ini memang cenderung menurun terus.
Tahun 2022 adalah penulisan blog paling sedikit sepanjang sejarah dengan 91 artikel, yang lalu meningkat sedikit menjadi 98 artikel di tahun 2023. Nah, di tahun 2024 jumlah tersebut melonjak menjadi 127 artikel.
Salah satu penyebab peningkatan ini adalah Penulis yang cukup rutin menulis, terutama di bulan Juni ketika Penulis berhasil menulis penuh satu bulan tanpa putus. Walau setelah itu kembali fluktuatif, setidaknya raihan tersebut bisa membuktikan kalau Penulis sebenarnya bisa konsisten menulis.
Biasanya, di awal tahun Penulis punya target untuk memproduksi artikel hingga 200 dalam satu tahun. Namun, mengingat artikel pertama blog ini saja baru ditulis bulan Februari, rasanya target yang realistis adalah jangan sampai produksi tahun ini lebih kecil dari tahun kemarin.
Untuk itu, mungkin akan ada penyesuaian juga agar Penulis tidak malas-malas amat dalam Penulis. Contohnya adalah penyesuaian Notion, yang entah sudah berapa bulan terbengkalai dan berisi schedule yang tak pernah dituntaskan.
Penutup
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, tahun 2024 memang lebih dinamis (dan lebih banyak pengeluaran tentunya!). Setidaknya, satu impian Penulis akhirnya bisa dicapai, walau efeknya ke dompet juga lumayan terasa.
Di awal tahun 2025 ini, tentu Penulis berharap bisa melakukan pengetatan pengeluaran. Namun, dengan adik Penulis yang akan segera menikah pada bulan Februari, rasanya pengetatan pengeluaran ini baru bisa dilakukan ketika bulan puasa nanti.
Selain itu, sekali lagi Penulis berharap untuk bisa menjaga konsistensi dalam menulis artikel untuk blog ini. Semoga tahun ini Penulis lebih bisa mengendalikan emosi dan mood-nya, sehingga bisa sebanyak mungkin memproduksi artikel di blog ini.
Saat menulis artikel ini, Penulis sudah berada di Jakarta, menginap di kos adik yang juga merupakan kos lama Penulis. Rencananya, Penulis akan di Jakarta sekitar tiga minggu hingga acara pernikahan selesai. Semoga saja tabungan Penulis yang sudah menipis ini cukup.
Kebayoran Lama, 10 Februari 2025, terinspirasi setelah ingin mulai lebih rutin menulis di blog ini di tahun 2025
Pengalaman
Ini Pengalaman Saya Menonton Video Klip “The Catalyst”

Sensasi menantikan sebuah album musik akan rilis sudah lama tidak Penulis rasakan. Terakhir kali itu terjadi adalah tujuh tahun yang lalu, ketika album One More Light mengumumkan akan rilis pada 19 Mei 2017.
Setelah itu, meskipun musisi lain akan mengumumkan akan merilis album (katakanlah, One Ok Rock), Penulis tidak akan terlalu antusias menunggunya. Ketika rilis memang langsung mendengarkan, tapi tak memberikan sensasi yang sama dengan Linkin Park.
Nah, pada tanggal 15 November mendatang, Linkin Park dengan formasi baru akan merilis album pertamanya yang berjudul From Zero. Sensasi ini pun datang lagi dan membuat Penulis merasa tidak sabar ingin segera mendengarkan semua lagu dalam albumnya.

Jelang rilisnya album tersebut, Linkin Park secara bertahap telah merilis tiga single di waktu yang berbeda: “The Emptiness Machine”, “Heavy Is The Crown”, dan “Over Each Other”. Penulis berharap lagu-lagu lainnya di album ini akan mirip dengan dua single pertama.
Berbicara tentang sensasi menunggu tanggal rilis album Linkin Park, Penulis mau tidak mau jadi teringat bagaimana dulu dirinya menantikan single pertama dari album A Thousand Suns, “The Catalyst”. Itulah yang ingin Penulis bagikan pada tulisan kali ini.
Menonton Video Klip “The Catalyst” dari Televisi
Ketika Penulis menjadi penggemar Linkin Park saat SMP, band ini telah memiliki tiga album: Hybrid Theory, Meteora, dan Minutes to Midnight. Oleh karena itu, begitu mengetahui Linkin Park akan merilis album baru pada tanggal 13 September 2010, Penulis begitu bersemangat.
Waktu itu, internet belum semudah sekarang. Minimal, kita harus pergi ke warnet untuk bisa terkoneksi dengan internet, termasuk YouTube. Bahkan, untuk berita terbaru seputar musik, Penulis masih mengandalkan televisi.
Nah, melalui acara Breakout di NET TV yang dipandu oleh Boy William, Penulis jadi mengetahui kalau Linkin Park akan merilis single terbaru mereka berjudul “The Catalyst” dan mereka akan menayangkan video klipnya secara perdana.
Penulis masih ingat betul acara tersebut mulai jam tiga sore. Boy bercerita sedikit tentang perjalanan Linkin Park sebagai band sebagai selingan video-video klip lama Linkin Park. Barulah menjelang akhir acara, video klip “The Catalyst” ditayangkan.
Kesan pertama ketika menonton video klip, keren, baik dari sisi lagu maupun sinematografinya. Memang lagu ini sekarang tidak lagi masuk tier atas bagi Penulis, tapi pada waktu itu, Penulis sangat menyukainya.
Penulis juga ingat ketika itu langsung mengirim SMS ke sohibnya yang juga menonton acara tersebut, dan ia mengatakan sentuhan dari Mr. Han sebagai sutradaralah yang membuat video klip “The Catalyst” menjadi begitu keren.
Bagaimana Pengalaman Tersebut akan Sulit Terulang
Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman menantikan album atau lagu dari musisi favoritnya masih bisa dirasakan sekarang. Namun, pengalaman menonton video klip dari single terbaru di televisi rasanya tidak akan pernah dirasakan lagi.
Dengan adanya platform YouTube dan media sosial, semua bisa menontonnya tanpa kesulitan di detik ketika video klipnya rilis. Tak perlu lagi mendengarkan Boy William menjelaskan perjalanan musisi yang sedang merilis single terbaru.
Bahkan, kita tak perlu takut lagi ketinggalan karena kita bisa mengaktifkan notifikasi apabila video klip tersebut telah rilis. Apalagi, di YouTube biasanya para musisi akan memasang countdown untuk meningkatkan hype.
Sensasi ini rasanya tidak akan pernah terjadi di era instan seperti sekarang. Lantas, apakah hal tersebut buruk? Penulis tidak tahu. Namun, karena pernah mengalami era yang tidak serba instan, Penulis jadi belajar tentang kesabaran dan menikmati proses.
Semoga generasi kini bisa mempelajari itu di era yang serba instan seperti sekarang
Lawang, 31 Oktober 2024, terinspirasi setelah teringat bagaimana dulu dirinya menonton video klip “The Catalyst”
Foto Featured Image:
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan
-
Renungan5 bulan ago
Bagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri
-
Anime & Komik5 bulan ago
Ai Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #28: Point City
-
Olahraga4 bulan ago
Apakah Manchester United Benar-Benar Telah Menjadi Klub Terkutuk?
-
Sosial Budaya5 bulan ago
Mengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #27: Here to Slay